ESSAY MANAJEMEN PERUBAHAN - MERGER HP COMPAQ



Kisah Tentang Perubahan Hewlett Packard: Mengelola Suatu Merger
Sekitar pukul tujuh pagi pada tanggal 19 Maret 2002, CEO  Carly Fiorina dan CFO Bob Wayne pemilik Hewlett Packard sedang bebincang-bincang di telepon dengan Deutsche Bank mencoba untuk melakukan upaya terakhir untuk meyakinkan mereka untuk sepakat memutuskan’ ya’. Setelah pengumuman usulan merger yang dilakukan pada bulan September 2001, Walter Hawlet, putra dari asisten pendiri HP, telah resmi menyatakan menentang terhadap usulan tersebut, yang membutuhkan persetujuan dari pemegang saham. Fiorina dan timnya menghadapi pertentangan yang serius dan terakumulasi terhadap upaya merger, akan tetapi ada juga yang anggota dewan direksi perhatian terhadap pertumbuhan masa depan HP jika persetujuan ditolak.
Sewaktu mengawali usulan merger, HP merasa percaya diri bahwa putusan sepakat ya oleh Deutsche Bank merupkan hal yang meyakinkan. Perwakilan Deutsche Bank, seperti George D.Elling, telah menjadi pendukung pertama terhadap merger dan dilaporkan bahkan telah memberi HP kontrak senilai US$ 1 juta untuk membuka rencana pemilihan terhadap institusi lain. Kata berubah dalam pemikiran Deutsche Bank memang disampaikan oleh Wayman, namun kenyataannya, mereka mengubah kembali keputusan mereka. Tim Deutsche Bank memutuskan bahwa kegagalan untuk melanjutkan merger akan menjadi lebih buruk daripada merger itu sendiri. Pada tanggal 19 Maret 2002, merger disetujui melalui voting yang dilakukan pemegang saham- hasilnya tampak akan menjadi lebih sulit yang telah mengkondisikan Deutche Bank untuk tidak mendukung merger.

Sebelum Merger
Kembali pada tahun 1999 ketika Fiorina bergabung dengan HP, perusahaan dalam keadaan yang sangat membutuhkan bimbingan. Bagian divisi komputer pribadi (PC Desktop) menghadapi kompetisi yang sedang bertumbuh, tenaga penjualan memerlukan koordinasi yang lebih baik dan perusahaan kehilangan kekuasaan pasar  untuk bersaing dengan system Dell dan Sun Micro. Fiorina menggabungkan organisasi dengan aspirasi dan tekanan external, untuk mengubah bagaimana hal ini berfungsi. Dalam pandangan Fiorina, budaya HP dapat diubah dengan “kembali pada akar permasalahan”. Salah satu cara yang dilakukan Fiorina untuk mencapai hal tersebut adalah dengan bekerjasama dengan agen periklanan lokal dan pimpinan dari Sumber Daya Manusia untuk menciptakan suatu ketetapan “Aturan dari Garasi” yang membentuk  keadaan seperti apa  yang  Fiorina harapkan dari budaya yang ada di HP. “Pelanggan mendefinisikan pekerjaan yang terlaksana dengan baik” dan “menciptakan cara kerja yang berbeda” menjadi penanda terhadapa arah dan aspirasi perusahaan.
Para pelanggan ini menginginkan paket lengkap yang mencakup kebutuhan mereka secara keseluruhan. Sejalan dengan unit operasional yang tidak komunikatif dalam HP, Fiorina mengorganisasikan kembali perusahaan ke dalam ”bentuk kuadran”, menciptakan dua bagian depan-belakang yang terdiri atas penjualan dan  pemasaran dan dua fungsi “belakang-akhir” dimana produksi dan penelitian  berlangsung. Ada sesuatu yang sungguh-sungguh, tetapi tidak kelihatan,  yang merupakan kekuatan pegawai untuk melakukan perubahan. Visi Fiorina terhadap HP yaitu menciptakan hubungan dengan para pelanggan yang mungkin akan tampak baik, akan tetapi sebagai suatu perubahan yang radikal, hal ini tidak begitu ditanggapi dengan baik oleh beberapapihak yang merupakan bagian dari sistem HP.

Paska Merger   
Sebagai akibat dari merger, ada permasalahan hukum yang menentang merger dan mencoba untuk menggagalkan merger tersebut, Fiorina menangani begitu banyak tugas yang terbentang di hadapannya. Kesatuan dari kedua budaya perusahaan dipersulit oleh hubungan yang tegang yang terjadi antara Fiorina dengan stafnya sendiri yang mengkspresikan bentuk keseriusan terkait dengan manfaat dari merger. Walaupun merger telah dilakukan oleh HP dan Compaq, masih banyak karyawan yang tidak menyadari gerakan HP yang paling beresiko, antara lain dihadapkan dengan pemutusan hubungan kerja yang dihasilkan dari merger tersebut. Perusahaan menghadapi tantangan dengan cara persaingan yang sangat signifikan baik dari Dell dalam bisnis PC dan IBM sebagai penyedia layanan.

Essay ini cuma versi sampel aja.
Untuk versi lengkap / full
Atau mau bikin essay judul lain
Silakan order langsung:
Diana - o85868o39oo9
Ditunggu ordernya yaa?
Thanks..                    


STUDI KASUS PELANGGARAN ETIKA BISNIS - SUAP PAJAK PT EASMAN CHRISTENSEN


 PENDAHULUAN
September Tahun 2001, KPMG-Siddharta Siddharta & Harsono terbukti menyuap aparat pajak di Indonesia sebesar US$ 75 ribu. Untuk menyiasati pengeluaran ini, diterbitkan faktur palsu untuk biaya jasa profesional KPMG yang harus dibayar kliennya PT Easman Christensen, anak perusahaan Baker Hughes Inc. yang tercatat di bursa New York.
Kasus penyuapan pajak ini terkuak dari, Penasihat Anti Suap Baker ternyata yang khawatir dengan perilaku anak perusahaannya. Maka, untuk mengantisipasi resiko risiko lebih besar, Baker melaporkan secara suka rela kasus ini dan memecat para eksekutifnya.
Badan pengawas pasar modal AS, Securities & Exchange Commission, menjeratnya dengan Foreign Corrupt Practices Act, undang-undang anti korupsi buat perusahaan Amerika di luar negeri. Akibatnya, hampir saja Baker dan KPMG terseret ke pengadilan distrik Texas. Namun, oleh karena permohonan aker dan itikad baiknya telah melaporkan kasus ini secara sukarela, kasus ini akhirnya diselesaikan di luar pengadilan.

LANDASAN TEORI
Auditing adalah proses pengumpulan dan pengevaluasian bahan bukti tentang informasi yang dapat di ukur mengenai suatu entitas ekonomi yang dilakukan seorang yang kompeten dan independen untuk dapat menentukan dan melaporkan kesesuaian informasi termasuk dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan menurut Arens Loebbecke (1996:1).
Secara umum pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa audit adalah proses secara sistematis yang dilakukan oleh orang berkompeten dan independen dengan mengumpulkan dan mengevaluasi bahan bukti dan bertujuan memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut.
Dalam melaksanakan audit faktor-faktor yang harus diperhatikan adalah:
  1. Dibutuhkan informasi yang dapat diukur dan sejumlah kriteria (standar) yang dapat digunakan sebagai panduan untuk mengevaluasi informasi tersebut.
  2. Penetapan intetitas ekonomi dan periode waktu yang di audit harus jelas untuk menentukan lingkup tanggung jawab auditor.
  3. Bahan bukti harus diperoleh dalam jumlah dan kualitas yang cukup untuk memenuhi tujuan audit.
  4. Kemampuan auditor memahami kriteria yang di gunakan serta sikap independen dalam mengumpulkan bahan bukti yang diperlukan untuk mendukung kesimpulan yang akan diambilnya.

PEMBAHASAN
Kasus suap pajak ini seharusnya tidak boleh terjadi, apabila setiap akuntan mempunyai pengetahuan, pemahaman dan menerapkan etika secara mendalam dalam pelaksanaan pekerjaan profesionalnya. Pekerjaan seorang profesional harus dikerjakan dengan sikap profesional pula, dengan sepenuhnya melandaskan pada standar moral dan etika tertentu. Kemampuan seorang profesional untuk dapat mengerti dan peka terhadap persoalan etika juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan dimana dia berada. Sebuah kasus ironis, oleh karena pengungkapannya justru dilakukan oleh pemegang otoritas pasar modal Amerika Serikat (SEC).
Kasus KPMG-Siddharta Siddharta & Harsono juga melibatkan kantor akuntan publik yang dinilai terlalu memihak kepada kliennya. Pada kasus ini, prinsip- prinsip yang dilanggar yaitu antara lain:
  1. Prinsip integritas. Akuntan yang telah berusaha menyuap untuk kepentingan klien seperti pada kasus di atas dapat dikatakan tidak jujur dan tidak adil dalam melaksanakan tugasnya. Selain prinsip tersebut, akuntan juga telah melanggar prinsip obyektivitas hingga ia bersedia melakukan kecurangan. Di sini terihat bahwa ia telah mengabaikan integritasnya sebagai akuntan publik.
  2. Prinsip Obyektifitas. Dalam hal ini KPMG-Siddharta Siddharta & Harsono bersikap tidak objektif, karena cenderung berat sebelah untuk membela kepentingan kliennya, PT Easman Christensen agar mendapatkan keringanan pembayaran pajak, dan kemudian akuntan mengusulkan pada PT Easman Christensen untuk menyuap pejabat pajak Indonesia. Hasilnya adalah kewajiban pajak yang seharusnya $3,2 juta menyusut menjadi hanya $270 ribu saja.
  3. Prinsip Kompetensi serta Sikap Kecermatan dan Kehati-hatian Profesional. Dalam hal ini, KPMG-Siddharta Siddharta & Harsono tidak berlaku dengan hati-hati karena tidak mempertimbangkan efek buruk yang terjadi atas tindakan yang dilakukannya, yaitu kerugian yang harus ditanggung oleh negara demi keuntungan kliennya dan kelangsungan jasa akuntannya agar digunakan terus oleh kliennya, PT Easman Christensen. Kemahiran profesionalnya tidak digunakan untuk tindakan yang positif, tetapi mengarah ke perbuatan negatif, yaitu mengelabuhi, mengakali, dan menyuap petugas pajak, sehingga hal tersebut jelas dinilai sangat tidak professional.
  4. Prinsip Perilaku Profesional. Dalam hal ini, KPMG-Siddharta Siddharta & Harsono jelas-jelas melanggar prinsip-prinsip profesional, karena:
  • Menyarankan hal yang tidak seharusnya dilakukan kepada kliennya, yaitu melakukan penyuapan demi mendapatkan keringanan pembayaran pajak.
  • Bersekongkol dengan pihak ketiga (petugas pajak) untuk kepentingan klien dan organisasinya, yang berakibat pada kerugian negara dari sektor pajak.
  • Tindakan yang dilakukan KPMG-Siddharta Siddharta & Harsono berkaitan dengan hal-hal benturan kepentingan.

KESIMPULAN
Kasus yang dilakukan oleh KPMG-Siddharta Siriddharta & Harsono terhadap kliennya PT. Easman Christensen telah melanggar prinsip-prinsip etika yang digariskan dalam kode etik akuntansi, yaitu prinsip integritas, objektivitas, Kompetensi serta Sikap Kecermatan dan Kehati-hatian Profesional, dan prinsip perilaku profesional. Tindakan menyarankan klien untuk menyuap petugas pajak merupakan tindakan yang tidak etis bagi seorang akuntan, dimana seorang akuntan seharusnya bertindak jujur dan mengikuti kaidah-kaidah yang ada, termasuk mengatur kewajiban tentang pajak. Akan kesalahannya itu, KPMG-Siddharta Siriddharta & Harsono dan Baker nyaris terseret ke pengadilan distrik Texas.

DAFTAR PUSTAKA
Arens, A. A., dan Loebbecke, J. K. (1996). Auditing, buku-1. Diterjemahkan oleh Amir. Abadi Jusuf. Penerbit Salemba Empat, Jakarta.

Bayles, Michael D. 1981. Professional Ethics, California: Wadsworth Publishing Company.

Behrman, J.N. 1988. Essays on Ethics in Business and the Professions. Prentice Hall.

Jusup, Al Haryono, 2001, Auditing (Pengauditan), Yogyakarta : STIE YKPN.

Sihwahjoeni dan M.Gudono, 2000, Persepsi Akuntan terhadap Kode Etik Akuntan. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol.3, No.2, Juli : 168-184. 

Makalah ini cuma versi sampel aja
Untuk versi lengkap atau
butuh makalah judul lain.
Langsung request aja..
Diana - o85868o39oo9
Dijamin Beresss
Thanks...
Ditunggu ordernya yaa....

CANVAS STRATEGY PADA PERUSAHAAN SOUTHWEST AIRLINE




PENDAHULUAN
Perjalanan dan keberhasilan maskapai penerbangan Southwest Airlines dari Amerika Serikat, merupakan salah satu kisah sukses yang patut dijadikan sebagai referensi dalam implementasi blue ocean strategy. Dalam dunia penerbangan komersial, Southwest Airlines dikenal memiliki ciri khusus, yakni harga tiket murah. Untuk bisa menawarkan jasa penerbangan murah tersebut, ada sejumlah faktor yang menentukan, tapi yang paling kelihatan adalah selama penerbangan tidak disediakan makanan lengkap, hanya ada kacang dan makanan kecil. Selain itu Southwest Airlines hanya mengoperasikan satu jenis pesawat, yakni Boeing 737. Kebijakan ini memungkinkan perusahaan bisa memangkas biaya perawatan dan pelatihan kru pesawat, serta mampu lebih fokus pada layanan yang handal. Pilihan itu jelas sudah diperhitungkan, dan ternyata memang bisa diterima dengan baik oleh para pelanggannya. Pada kenyataannya, konsumen pesawat terbang komersial memang lebih menyukai tawaran inti dari maskapai penerbangan, yaitu harga tiket murah, penerbangan tepat waktu dan layanan yang memuaskan.

PEMBAHASAN
Dalam kasus industri penerbangan ada delapan faktor utama, yaitu : harga, tiket pesawat, makanan, ruang santai, pilihan kelas tempat duduk, konektivitas hub, layanan ramah, kecepatan dan keberangkatan dari kota-ke-kota yang dituju.
Dalam buku “Blue Ocean Strategy”, Profesor W. Chan Kim dan Prof. Renee Mauborgne menggambarkan strategi yang ditempuh oleh Southwest Airlines dalam sebuah Kanvas Strategi (strategy canvas) dengan membandingkan jenis layanan transportasi darat dan transportasi pesawat terbang konvensional/tradisional, sebagaimana terlihat dalam Gambar 1 di bawah.

Gambar 1. Kanvas Strategi (Strategy Canvas) Southwest Airlines
Sumber: Effendi Ariyanto (2007)

Dari profil yang ada pada strategy canvas Southwest Airlines, jelas terlihat bahwa perusahaan penerbangan ini hanya berfokus pada tiga hal: pelayanan yang ramah, kecepatan, dan keberangkatan point-to-point secara berkala. Southwest Airlines tidak memandang perlu untuk melakukan investasi ekstra pada makanan, restorasi, dan pilihan kursi, yang justru merupakan faktor kompetitif bagi para pesaing tradisional dalam dunia penerbangan komersial.
Southwest Airlines menciptakan “samudera biru” dengan mendobrak dilema yang harus dipilih oleh konsumen, yaitu antara pilihan kecepatan dengan moda transportasi penerbangan atau aspek hemat serta fleksibilitas dengan moda transportasi mobil. Southwest Airlines melakukan ini dengan menghilangkan dan mengurangi faktor-faktor tertentu dalam kompetisi dan meningkatkan faktor-faktor lain dalam industri maskapai penerbangan tradisional, serta tak lupa menciptakan faktor-faktor baru berdasarkan industri alternatif transportasi mobil. Dengan cara ini Southwest Airlines mampu menawarkan utilitas yang belum pernah ada sebelumnya bagi pengguna jasa penerbangan udara dan mencapai lompatan nilai dengan model bisnis berbiaya rendah.

REKOMENDASI STRATEGI
Dengan keberhasilan yang diperoleh, Southwest Airlines bisa saja membeli pesawat ukuran lebih besar, menjual tiket kelas satu, memulai penerbangan trans-kontinental, dan merombak secara radikal sifat Southwest Airlines pada saat itu juga. Tetapi Kelleher menolak melakukannya. Sebaliknya ia tetap memilih apa yang sudah menjadi ciri khas mereka.
Berdasarkan pertimbangan diatas pertumbuhan yang berkelanjutan yang dapat dilakukan oleh Southwest adalah ekspansi pasar. Ekspansi pasar ini dapat dilakukan dengan mengambil alih rute-rute penerbangan yang ditinggalkan oleh para pesaingnya atau di negara-negara bagian yang tidak banyak disinggahi oleh penerbangan nasional. Sehingga dengan demikian Southwest Airline mampu melakukan penetrasi pasar sebagai penerbangan antar kota di Amerika Serikat.

REFERENSI
Kim & Mauborgne (2005), Blue Ocean Strategy, Harvard Business School Press

Leung W (2008), Framework for migrating innovations across industries, Imperial College Business School

Sekian dulu yaa...
Untuk versi lengkap atau
pembuatan analisis perusahaan lain
Silakan request aja
Diana - o85868o39oo9
Ditunggu Ordernya yaa?
Thanks