ANALISIS WANITA SEBAGAI PELAKU KORUPSI DARI PERSPEKTIF SOSIOLOGI HUKUM



ANALISIS WANITA SEBAGAI PELAKU KORUPSI DARI
PERSPEKTIF SOSIOLOGI HUKUM
(Studi Kasus pada Angelina Sondakh sebagai Koruptor Proyek Wisma Atlet)

PENDAHULUAN
Masalah korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Meningkatnya tindak korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak – hak sosial dan hak – hak ekonomi masyarakat.
Pelaku korupsi kelas kakap saat ini sudah tidak menjadi monopoli kaum pria lagi. Dengan adanya emansipasi wanita, maka kedudukan, pangkat, jabatan, dan kekuasaan yang tinggi pun sekarang tidak lagi didominasi oleh kaum pria, melainkan membuka kesempatan bagi kaum hawa untuk memiliki jabatan tersebut. Jabatan yang tinggi memiliki potensi dalam terjadinya kasus korupsi, karena adanya kesempatan untuk menangani proyek – proyek besar yang melibatkan aliran dana yang tidak sedikit. Jika dicermati dengan teliti kasus demi kasus korupsi yang sedang diusut KPK belakangan ini, kita akan menemukan satu benang merah yang menghubungkannya, yakni keterlibatan perempuan sebagai aktor penting dalam jejaring mafia perampok uang rakyat. Sederet nama perempuan terseret dalam kasus korupsi. Setidaknya ada sembilan nama yang bisa disebut di sini. Mulai dari Angelina Sondakh, Miranda Swaray Goeltom, Nunun Nurbaitie, Wa Ode Nurhayati, Yulianis, Mindo Rosalina Manulang, Neneng Sri Wahyuni, Arthalyta Suryani (Ayin) hingga Harini Wiyoso.
Dari sekian nama- nama koruptor wanita tersebut, salah satu yang mendapat perhatian publik adalah Angelina Sondakh. Angelina Sondakh sebelumnya dikenal sebagai public figure karena merupakan Puteri Indonesia 2001 dan berkarier sebagai artis, menyusul pernikahannya dengan aktor terkenal Adjie Massaid, mantan suami penyanyi Reza Artamevia. Angelina Sondakh kemudian melebarkan kariernya untuk terjun ke dunia politik sebagai kader Partai Demokrat pada tahun 2004. Kehadirannya sebagai politisi muda partai yang berkarir cepat, memiliki pengaruh luar biasa, karena ia telah berhasil menarik gerbong fraksi di tubuh partai yang berimplikasi munculnya gesekan di internal partai. Situasi politik, khususnya di internal partai Demokrat dewasa ini tengah mengalami babak genting. Suatu fase dimana dinamika organisasi membutuhkan energi besar untuk menghadapi berbagai implikasi tekanan politik akibat kasus yang disebabkan salah satu kadernya.
Ranah hukum yang membekap kader muda demokrat dengan berbagai skandal hukum tersebut disebut-sebut telah menyeret banyak petinggi partai demokrat yang tengah berkuasa saat ini. Angelina Sondakh menjadi tersangka menerima fee dalam pembahasan anggaran di DPR tentang proyek Wisma Atlet yang berbiaya Rp191 miliar dan proyek pengadaan alat laboratorium di beberapa perguruan tinggi dengan nilai proyek Rp600 miliar. Dengan perkembangan yang ada sekarang ini maka alangkah bijaknya kasus Angelina Sondakh selain dibahas pada sisi hukumnya juga pada politik hukum dan sosiologi hukum.

IDENTIFIKASI MASALAH
Identifikasi masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
Bagaimana tinjauan perspektif sosiologi hukum terhadap kasus Angelina Sondakh sebagai salah satu wanita pelaku korupsi?

Tulisan ini hanya versi draft saja..
klo mau versi lengkapnya atau mau minta dibuatkan judul lain,
silahkan contact o85 868o 39oo9 (Diana)
kami tunggu ordernya ya...

TRADISIONALISME ISLAM, PEMIKIRAN POLITIK HASYIM ASYARI



TRADISIONALISME ISLAM, PEMIKIRAN POLITIK HASYIM ASYARI

PENDAHULUAN
Islam tradisional dipandang sebagai sesuatu yang kolot. Akan tetapi, inti ajaran Islam tradisional adalah suatu ajaran yang berpegang pada Sunnah Nabi, yang diikuti oleh para Sahabat dan secara keyakinan telah diperaktekkan oleh komunitas Muslim.
Produk dari ajaran tradisionalisme Islam nampak pada pembangunan pesantren. Pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan tradisional yang telah berkembang sejak masa pra kolonial. Dalam perkembangannya pesantren telah memberikan andil yang cukup besar untuk memajukan Indonesia baik pada sebelum maupun sesudah kemerdekaan. ajaran dan tokoh-tokoh pesantren tampak mengambil peran penting dalam perjalanan bangsa Indonesia.
Sterotype terhadap pergerakan kaum tradisionalis dan para pemimpinnya perlu dikaji kembali. Dalam realita, banyak pemimpin kaum tradisionalis yang mempunyai pandangan yang haus dan adaptif sebagaimana koleganya, baik utu dari kaum sekular maupun kaum modernis. Salah satu contohnya adalah K.H. Hasyim Asyari. Sebagai pemimpin besar kaum Islam Tradisionalis (NU), beliau juga memiliki pemikiran yang hebat dalam dunia politik, serta memiliki peran dalam memberikan sumbangsih pemikiran terhadap dunia politik di Indonesia.
K.H. Hasyim Asyari juga mendirikan pesantren Tebuireng pada tahun 1899 M. Pesantren Tebuireng merupakan salah satu pesantren yang memiliki arti penting dalam perjalanan sejarah karena dari tempat ini muncul berbagai macam organisasi dan tokoh-tokoh yang berkiprah dalam pentas politik nasional seperti lahirnya NU (Nahdlatul Ulama) dan munculnya ulama modern seperti Kiai Wahid, yang menjabat Menteri Agama.

IDENTIFIKASI MASALAH
Identifikasi masalah yang akan dibahas dalam masalah ini adalah bagaimanakah tradisionalisme Islam dan pemikiran politik yang dicetuskan oleh K.H. Hasyim Asyari?

Tulisan ini hanya versi draft...
untuk versi utuhnya, atau mau minta dibuatkan judul baru
contact o85 868o 39oo9 (Diana)
ditunggu ordernya yah...

SKENARIO PEMERATAAN PENDIDIKAN INDONESIA



 

SKENARIO

PEMERATAAN PENDIDIKAN INDONESIA



Pendahuluan

Indonesia sebagai Negara yang berdasarkan hukum, telah menyatakan dalam Undang-Undang Dasar 1945 bahwa setiap warga Negara berhak memperoleh pendidikan. Pemerintah Indonesia melalui Dinas Pendidikan pun berupaya merealisasikan isi UUD 1945 pasal 31 ayat 1 tersebut. Namun, melalui pemberitaan media cetak ataupn media elektronik, berita tentang pendidikan banyak pula yang merupakan berita memprihatinkan. Beberapa provinsi yang jauh dari ibukota kekurangan tenaga pengajar, bangunan sekolah rusak, anak-anak kesulitan mencapai lokasi sekolah mereka, dan lain sebagainya.

Pendidikan merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia dan untuk itu setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya tanpa memandang status sosial, status ekonomi, suku, etnis, agama, dan gender. Pemerataan akses dan peningkatan mutu pendidikan akan membuat warga negara Indonesia memiliki kecakapan hidup (life skills) sehingga mendorong tegaknya pembangunan manusia seutuhnya serta masyarakat madani dan modern yang dijiwai nilai-nilai Pancasila, sebagaimana yang telah diamanatkan dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Kemdiknas).

Pernyataan Kemdiknas tersebut mengindikasikan bahwa Negara juga menaruh perhatian untuk menciptakan pendidikan di Indonesia yang merata dalam hal mutu dan kemudahan akses. Pendidikan, minimal pada tingkat pendidikan dasar, adalah bagian dari hak asasi manusia dan hak setiap warga negara yang usaha pemenuhannya harus direncanakan dan dijalankan dengan sebaik mungkin. Pemenuhan atas hak untuk mendapatkan pendidikan dasar yang bermutu merupakan ukuran keadilan dan pemerataan atas hasil pembangunan dan sekaligus menjadi investasi sumber daya manusia yang diperlukan untuk mendukung keberlangsungan pembangunan bangsa. Hak untuk mendapatkan pendidikan dasar sebagai pemenuhan hak asasi manusia telah menjadi komitmen global. Oleh karena itu, program pendidikan untuk semua yang inklusif diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal dengan sistem pendidikan terbuka dan demokratis serta berkesetaraan gender agar dapat menjangkau mereka yang berdomisili di tempat terpencil serta mereka yang mempunyai kendala ekonomi dan sosial.

Paradigma ini menjamin keberpihakan kepada peserta didik yang memiliki hambatan fisik ataupun mental, hambatan ekonomi dan sosial, ataupun kendala geografis, yaitu layanan pendidikan untuk menjangkau mereka yang tidak terjangkau. Keberpihakan diwujudkan dalam bentuk penyelenggaraan sekolah khusus, pendidikan layanan khusus, ataupun pendidikan nonformal dan informal, pendidikan dengan sistem guru kunjung, pendidikan jarak jauh, dan bentuk pendidikan layanan khusus lain sehingga menjamin terselenggaranya pendidikan yang demokratis, merata, dan berkeadilan serta berkesetaraan gender.

Di antara masyarakat Indonesia yang bersifat umum, ada sejumlah siswa yang memerlukan perhatian sangat khusus dengan layanan yang khusus pula. Kekhususannya itu bisa jadi karena masalah yang sifatnya fisik, geografis, atau sosial. Bab IV Bagian kesatu Pasal 6 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa: setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu dan setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.

Selanjutnya Pasal 6 juga menyatakan bahwa: warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus, dan warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus dan warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.

Mengingat Indonesia merupakan Negara kepulauan yang besar dan tingkat populasi termasuk tertinggi di dunia, masalah pemerataan pendidikan ini merupakan salah satu masalah penting yang harus diupayakan tercipta. Agar para warga Negara memiliki kesempatan meraih pendidikan bermutu baik walaupun jauh dari ibukota.

Tulisan ini berusaha untuk melakukan analisis prospek pemerataan pendidikan di Indonesia menggunakan Konstruksi Skenario Model Royal Dutch / Shell  yang diciptakan oleh Pierre Wack.

Berdasarkan skenario model Royal Dutch / Shell, langkah – langkah yang harus dilakukan untuk menyusul skenario adalah sebagai berikut :

  1. Mengidentifikasi Pokok Persoalan / Faktor Lingkungan yang Berpengaruh
  2. Mengidentifikasi Kekuatan Penentu Utama (Main Trends)
  3. Mengidentifikasi Variabel Ketidakpastian (Uncertainties)
  4. Menyusun Konstruksi Skenario
  5. Membangun Narasi Skenario



Pokok Persoalan / Faktor-Faktor Lingkungan yang Berpengaruh untuk Pemerataan Pendidikan di Indonesia



1.      Lingkungan Pendidikan Formal

1.      1 Pendidikan Dasar (berdasarkan data dari Kemdiknas)

Dalam rangka memperluas akses dan pemerataan pendidikan dasar, pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk terus meningkatkan partisipasi pendidikan sekaligus menurunkan kesenjangan taraf pendidikan antarkelompok masyarakat. APK jenjang SD/MI/SDLB/Paket A terus mengalami peningkatan dari 112,50% pada tahun 2004 menjadi 116,95% pada tahun 2009. Pada periode yang sama, Angka Partisipasi Murni (APM) SD/MI/SDLB/Paket A juga meningkat dari 94,12% menjadi 95,23%. Selanjutnya, pada jenjang SMP/MTs/sederajat, APK juga meningkat dari 81,22% pada tahun 2004 menjadi 98,11% pada tahun 2009. Peningkatan APK SD/MI/SDLB/Paket A juga diikuti dengan menurunnya disparitas APK antara kabupaten dan kota dari 2,49% pada tahun 2004 menurun menjadi 2,20% pada tahun 2009. Selanjutnya, pada periode yang sama disparitas APK SMP/SMPLB/MTs/Paket B menurun dari 25,14% menjadi 18,90%. terdapat 20 provinsi yang capaian APM SD/SDLB/MI/Paket A telahmencapai atau lebih dari APM nasional pada tahun 2009, yaitu sebesar 95,23%.

Sementara itu, masih terdapat 13 provinsi yang capaian APM SD/MI/Paket A-nya di bawah APM nasional tahun 2009. Bila dilihat capaian APM SD/MI/Paket A pada tingkat kabupaten/kota, sebanyak 146 kabupaten (39% dari 373 kabupaten) dan 16 kota (17% dari 95 kota) yang capaian APM SD/SDLB/MI/Paket A-nya di bawah target nasional tahun 2009. Kondisi yang sama juga terjadi pada APK SMP/MTs/Paket B. Sebanyak 14 provinsi di Indonesia yang capaian APK-nya masih di bawah APK nasional tahun 2009, dan sebanyak 19 provinsi yang capaian APK-nya telah mencapai atau melampaui APK nasional tahun 2009. Bila dilihat capaian APK SMP/MTs/Paket B pada tingkat kabupaten/kota, ternyata lebih dari setengah jumlah kabupaten di Indonesia (238 kabupaten dari 386 kabupaten atau 62%) yang capaian APK-nya masih di bawah target nasional tahun 2009. Pada tingkat kota masih ada 6 kota (6% dari 97 kota) yang capaian APK-nya masih di bawah target nasional tahun 2009.




Dalam hal peningkatan akses pendidikan untuk jenjang SD/SDLB/MI/Paket A seperti yang terlihat pada indikator APM menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu, namun disparitas antarprovinsi, antarkabupaten dan antarkota masih relatif tinggi. Sementara itu, upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan tidak terlepas dari peran strategis guru. Untuk meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan, maka ketersediaan pendidik yang berkualitas dan dalam jumlah yang mencukupi, serta distribusi yang merata merupakan persyaratan mutlak yang harus dipenuhi. Pada jenjang SD, secara nasional rasio guru terhadap siswa telah sangat baik, yaitu 17

siswa per guru. Namun, bila dilihat rasio tersebut di setiap provinsi, terlihat disparitas yang cukup lebar, yaitu dari 33 siswa per guru di Provinsi Papua hingga 13 siswa per guru di Provinsi D.I. Yogyakarta dan Provinsi Kalimantan Selatan. Pada jenjang SMP secara nasional rasio guru terhadap siswa telah mencapai 16 siswa per guru, tetapi jika dilihat data per provinsi, nampak disparitas rasio guru terhadap siswa yang cukup lebar antarprovinsi. Rasio guru terhadap siswa di Provinsi Gorontalo dan Provinsi D.I. Yogyakarta telah mencapai 12 siswa per guru, sementara di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan di Provinsi Banten rasio guru terhadap siswa adalah masing-masing 27 dan 28 siswa per guru.




1.      2 Pendidikan Menengah

APK SMA/SMALB/SMK/MA/MAK/Paket C mengalami peningkatan dari 49,01% pada tahun 2004 menjadi 69,60% pada tahun 2009. Pada periode yang sama, peningkatan angka partisipasi pendidikan jenjang menengah tersebut juga diikuti dengan menurunnya disparitas APK antara kabupaten dan kota dari 33,13% menjadi 29,20%. Dibandingkan dengan jenjang pendidikan dasar, disparitas pendidikan pada jenjang menengah terlihat sebaran yang lebih besar antarprovinsi, yaitu dari yang tertinggi sebesar 119,4% di Provinsi DKI Jakarta sampai yang terendah sebesar 57,4% di Provinsi Sulawesi Tengah. Pada Gambar 2.5 terlihat bahwa sebanyak 15 provinsi memiliki APK SMA/SMK/MA/MAK/Paket C di bawah APK nasional tahun 2009.

Sementara itu, pada tingkat kabupaten/kota, masih ada 204 kabupaten dan 4 kota yang capaian APK-nya masih berada di bawah target nasional tahun 2009. Hal ini menunjukkan bahwa pada jenjang pendidikan menengah, disparitas akses pendidikan antarprovinsi, antarkabupaten, dan antarkota masih cukup lebar.






Pada jenjang pendidikan menengah (SMA/MA dan SMK/MAK) rasio guru terhadap siswa secara nasional masing-masing telah mencapai 15 dan 16 guru per siswa. Namun, seperti halnya pada SD/MI dan SMP/MTs sebaran guru antarprovinsi tidak merata. Gambar 2.6 menunjukkan provinsi-provinsi dengan rasio guru terhadap siswa yang sangat baik seperti di Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi D.I. Yogyakarta, dan Provinsi Gorontalo (12 siswa per guru) pada SMA/MA, dan di Provinsi Maluku (11 siswa per guru) pada SMK/MAK. Sementara itu, rasio guru terhadap siswa SMA/MA di Provinsi Papua Barat adalah 29 guru per siswa, dan rasio guru terhadap

siswa SMK/MAK di Provinsi Aceh adalah 49 siswa per guru dan bahkan di Provinsi Sulawesi Utara adalah 54 siswa per guru. Hasil yang sama juga terjadi pada program sekolah/madrasah berbasis keunggulan lokal. Hingga tahun 2008 telah dikembangkan sebanyak 100 SMA dan 341 SMK berbasis keunggulan lokal. Rasio kesetaraan gender pada jenjang pendidikan menengah juga meningkat dari 93,80% pada tahun 2004 menjadi 95,90% pada tahun 2009.


Selain itu, rasio lulusan SMP/MTs dan SMA/SMK/MA Tidak Melanjutkan mengikuti Pendidikan Kecakapan Hidup (PKH) juga menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Pada tahun 2009, rasio ini mencapai 18,99% atau jauh di atas target nasional yang ditetapkan, yaitu 15%.



Dari data tentang keadaan pendidikan formal di Indonesia tersebut sasaran untuk pemerataan pendidikan di Indonesia menjadi terarah dan bertarget jelas.



2.      Lingkungan Sosial dan Budaya

Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku dan etnik serta ratusan bahasa daerah memberi tantangan sendiri bagi pembelajaran budaya. Hal ini terlihat dengan adanya pelajaran muatan local yang biasanya berisi materi bahasa daerah sesuai dengan domisili. Keadaan sosial, seperti pandangan hidup turun temurun juga mempengaruhi pendidikan di Indonesia. Sebagai contoh, seorang anak dari keluarga nelayan atau kuli kasar akan lebih memilih bekerja menghasilkan uang daripada bersekolah dan tidak mendapat uang. Namun, permasalahan pendidikan tidak hanya terkait masalah intern dalam negeri tetapi juga hubungannya dengan Negara lain.

Kondisi sosial dan budaya yang mempengaruhi pembangunan pendidikan dalam kurun waktu lima tahun mendatang antara lain adalah (1) jumlah penduduk yang makin tinggi menempatkan Indonesia dalam posisi yang makin penting dalam percaturan global; (2) angka HDI Indonesia meningkat dari tahun ke tahun tetapi masih di bawah mayoritas negara di Asia Tenggara; (3) masih tingginya kesenjangan antargender, antara penduduk kaya dan miskin, antara perkotaan dan perdesaan, antara wilayah maju dan wilayah tertinggal; (4) masih rendahnya peringkat Indeks Pembangunan Gender Indonesia yang menduduki urutan ke-93 dari 177 negara (UNDP 2007/2008); (5) perubahan gaya hidup yang konsumtif dan rendahnya kesadaran masyarakat yang berpotensi menurunkan kualitas lingkungan; (6) adanya ketidakseimbangan sistem lingkungan akibat pencemaran oleh industri, pertanian, dan rumah tangga; (7) masih rendahnya pemanfaatan keanekaragaman hayati yang dapat menjadi alternatif sumber daya termasuk penelitian-penelitian yang dapat berpotensi menghasilkan Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI); (8) masih rendahnya kualitas SDM Indonesia untuk bersaing di era ekonomi berbasis pengetahuan (Knowledge-Based Economy).

Permasalahan social dan budaya tersebut memberi masukan bahwa pendidikan akademik saja tak cukup bagi masayarakat Indonesia, tetapi juga pendidikan karakter.



3.      Lingkungan Ekonomi

Kondisi ekonomi yang mempengaruhi pembangunan pendidikan dalam kurun waktu lima tahun mendatang antara lain adalah (1) tingginya angka kemiskinan dan pengangguran; (2) masih adanya kesenjangan pertumbuhan ekonomi antarwilayah; (3) masih banyak basis kekuatan ekonomi yang mengandalkan upah tenaga kerja yang murah dan ekspor bahan mentah dari eksploitasi sumber daya alam tak terbarukan; (4) makin meningkatnya daya saing Indonesia yang perlu diikuti dengan peningkatan kemampuan tenaga kerja; (5) munculnya ancaman raksasa ekonomi global seperti Cina dan India dan semakin luasnya perdagangan bebas yang mengancam daya saing perekonomian nasional; (6) masih rendahnya optimalisasi pendayagunaan sumber daya ekonomi yang berasal dari sumber daya alam; (7) pertumbuhan ekonomi Indonesia yang relatif tinggi, baik yang sudah berjalan maupun yang direncanakan, perlu didukung dengan penyiapan tenaga kerja yang memadai; dan (8) ancaman masuknya tenaga terampil menengah dan tenaga ahli dari negara lain.



4.      Lingkungan Teknologi

Dengan perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat saat ini, factor lingkungan teknologi merupakan factor penting permasalahan pemerataan pendidikan di Indonesia. Kondisi teknologi yang mempengaruhi pembangunan pendidikan dalam kurun waktu lima tahun mendatang antara lain adalah (1) kesenjangan literasi TIK antarwilayah, (2) kebutuhan akan penguasaan dan penerapan iptek dalam rangka menghadapi tuntutan global, (3) terjadinya kesenjangan antara perkembangan teknologi dan penguasaan iptek di lembaga pendidikan, (4) semakin meningkatnya peranan TIK dalam berbagai aspek kehidupan termasuk dalam bidang pendidikan, (5) semakin meningkatnya kebutuhan untuk melakukan berbagi pengetahuan dengan

memanfaatkan TIK, (6) perkembangan internet yang menghilangkan batas wilayah dan waktu untuk melakukan komunikasi dan akses terhadap informasi, dan (7) perkembangan internet yang juga membawa dampak negatif terhadap nilai dan norma masyarakat serta memberikan peluang munculnya plagiarisme dan pelanggaran HAKI.



5.      Lingkungan Politik, Pertahanan, dan Keamanan

Kondisi politik, pertahanan dan keamanan yang mempengaruhi pembangunan pendidikan dalam kurun waktu lima tahun mendatang antara lain adalah (1) ketidakstabilan politik serta pertahanan dan keamanan yang mengancam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, (2) ketidakselarasan peraturan perundangan yang berdampak pada penyelenggaraan pendidikan, (3) kebutuhan pendidikan politik untuk mendorong kesadaran masyarakat dalam berdemokrasi, (4) implementasi otonomi daerah yang mendorong kemandirian dan berkembangnya kearifan lokal,

(5) terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam implementasi otonomi daerah, (6) keterlambatan penerbitan turunan peraturan perundangan yang berdampak pada bidang pendidikan, (7) ancaman disintegrasi bangsa akibat dari ketidakdewasaan dalam berdemokrasi, (8) ideologi negara sebagai pemersatu bangsa dan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, dan (9) komitmen pemenuhan pendanaan pendidikan minimal 20% dari APBN dan APBD sesuai dengan UUD 1945 Pasal 31 ayat (4).



6.      Lingkungan Geografis dan Keadaan Alam

Indonesia merupakan Negara dengan lima pulau besar dan merupakan Negara kepulauan memiliki iklim tropis. Infrastruktur tata kota berbeda di tiap provinsi. Dengan asumsi pulau Jawa terutama ibu kota memiliki tingkat infrastruktur paling tinggi. Namun demikian, masih banyak lokasi di Indonesia yang masih sedikit sekali tersentuh infrastruktur, seperti daerah-daerah perbatasan dengan Negara lain, provinsi Indonesia Timur, dan daerah pedalaman lainnya. Kontur bumi yang tidak selalu sama di seluruh Indonesia juga harus ditangani dengan penanganan berbeda.

Indonesia dengan ikllim tropis hanya memiliki dua musim, yaitu musim kemarau dan musim hujan. Namun, dengan adanya isu tentang pemanasan global keseimbangan dampak iklim juga terjadi di Indonesia. Banyak kasus kemarau berkepanjangan yang menyebabkan banyak provinsi kekurangan air bersih. Ada pula kasus banjir bandang di berbagai provinsi di Indonesia.

Lokasi geografis Indonesia yang sangat strategis menyebabkan Indonesia sering dilanda gempa bumi tektonik, dan pegunungan berapi di Indonesia yang masih cukup banyak aktif, meyebabkan Indonesia juga kerap dilanda gempa vulkanik dan bencana meletusnya gunung berapi. Bencana alam lain yang kerap melanda Indonesia adalah kebakaran hutan, dan tsunami.

Bencana alam ini menyebabkan sarana dan prasarana pendidikan juga ikut terkena efeknya. Gedung sekolah hancur, tenaga guru berkurang, dll menuntuk perhatian pemerintah memeriksa infrastruktur di berbagai wilayah tersebut.





Di bawah ini merupakan ringkasan hasil identifikasi Pokok Persoalan / Faktor-Faktor Lingkungan yang Berpengaruh untuk Pemerataan Pendidikan di Indonesia

Identifikasi
Implikasi Bagi Proses Pemerataan Pendidikan
1. Lingkungan Pendidikan Formal
1.      1 Pendidikan Dasar
1.      2 Pendidikan Menengah
- Mengetahui provinsi mana yang belum sesuai standar Kemdiknas dalam hal APK dan APM dan ketersediaan guru
2. Lingkungan Sosial dan Budaya
- Motivasi untuk menyamai pendidikan Negara-negara asing
- Perlunya pendidikan karakter
- Jumlah penduduk yang makin tinggi menempatkan Indonesia dalam posisi yang makin penting dalam percaturan global
3. Lingkungan Ekonomi
- Perlunya meningkatkan sumber daya manusia
- makin meningkatnya daya saing Indonesia yang perlu diikuti dengan peningkatan kemampuan tenaga kerja
4. Lingkungan Teknologi
- Pemerintah menyediakan akses teknologi informasi bagi seluruh warga Negara
- kebutuhan akan penguasaan dan penerapan iptek dalam rangka menghadapi tuntutan global,
- semakin meningkatnya peranan TIK dalam berbagai aspek kehidupan termasuk dalam bidang pendidikan
- semakin meningkatnya kebutuhan untuk melakukan berbagi pengetahuan dengan
memanfaatkan TIK
- perkembangan internet yang menghilangkan batas wilayah dan waktu untuk melakukan komunikasi dan akses terhadap informasi
5. Lingkungan Politik, Pertahanan, dan Keamanan
- Otonomi daerah yang mendorong kemandirian
- Pemahaman perbedaan di Indonesia perlu bagi setiap individu
- ideologi negara sebagai pemersatu bangsa dan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan
- komitmen pemenuhan pendanaan pendidikan minimal 20% dari APBN dan APBD sesuai dengan UUD 1945 Pasal 31 ayat (4).
6. Lingkungan Geografis dan Keadaan Alam
- Perawatan sarana dan prasarana bagi akses pendidikan



Dari uraian dan resume di atas, diperoleh 6 faktor lingkungan bisnis yang mempengaruhi prospek Bandara Internasional di Yogyakarta. Terdapat 6 variabel yang merupakan variable yang termasuk dalam kategori kecenderungan utama (main trends), yaitu variable yang telah juga menjadi penentu akan keberhasilan pemerataan pendidikan di Indonesia. Selebihnya dikategorikan sebagai variabel ketidakpastian (uncertainties) [Suwarsono, 2008:294].



Kekuatan Penentu Utama (Main Trends) Pemerataan Pendidikan di Indonesia



Di bawah ini adalah tabel yang menguraikan secara ringkas dampak dari variabel Main Trends terhadap pemerataan pendidikan di Indonesia



T1
Penyediaan tenaga guru di daerah tak terjangkau di Indonesia sehingga mutu pendidikan sesuai standar Kemdiknas tercipta
T2
Pendidikan karakter menciptakan pribadi unggul yang dapat menyaingi individu dan bangsa lain dari Negara-negara asing
T3
Peningkatan sumber daya manusia untuk mencapai taraf hidup yang baik
T4
Penyediaan akses teknologi informasi yang menjangkau seluruh wilayah Indonesia
T5
Otonomi daerah yang meningkatkan kemandirian dan pemahaman tentang pentingnya pendidikan
T6
Perawatan sarana dan prasarana pendidikan di seluruh wilayah Indonesia dengan infrastruktur yang sama





Variabel Ketidakpastian (Uncertainties)

Menurut Suwarsono (2008), variabel –variabel yang tidak dapat dikategorikan sebagai Main Trends disebut dengan Unvcertainties variables. Diyakini bahwa variabel tersebut memiliki pengaruh terhadap eksistensi Bandara Internasional tetapi tidak dapat dipastikan apakah pengaruh tersebut menguntungkan atau sebaliknya merugikan. Selain itu, variabel tersebut disebut uncertainties dikarenakan tidak dapat dipastikan atau diketahui seberapa besar atau kuat pengaruhnya. Bisa jadi pengaruhnya tidak signifikan tetapi sebaliknya mungkin perubahan lingkungan tersebut benar – benar menentukan pemerataan pendidikan Indonesia.

Di bawah ini adalah tabel daftar variabel – variabel uncertainties dari pemerataan pendidikan Indonesia

U1
Pemerintah menyediakan akses teknologi informasi bagi seluruh warga Negara
U2
ideologi negara sebagai pemersatu bangsa dan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan





Dari uraian di atas, terdapat 8 variabel lingkungan pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia yang dipercaya setiap perubahannya akan memberikan pengaruh. Dari 8 variabel tersebut kemudian dianalisis lebih lanjut dengan cara memberikan penilaian secara kuantitatif menggunakan skala 1 sampai 5 pada dua buah ukuran yaitu intensitas pengaruh dan tingkat ketidakpastian masing – masing variabel lingkungan tersebut terhadap eksistensi pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia. Semakin besar angkanya, berarti semakin besar pengaruh variabel terhadap peluang pemerataan pendidikan di Indonesia dan semakin tinggi tingkat ketidakpastian eksistensinya.















Gambar 1. Hasil Penilaian Intensitas Pengaruh




Konstruksi Skenario

Berdasarkan analisis di atas, diambil dua buah variabel yang dianggap memiliki tingkat ketidakpastian paling tinggi dengan intensitas pengaruh yang paling besar, yaitu : (1) Penyediaan tenaga guru dan (2) Pendirikan karakter. Dengan menggunakan asumsi bahwa masing – masing variabel tersebut memiliki 2 nilai ekstrim, yaitu tinggi dan rendah, maka gabungan dari kedua variabel akan membentuk sebuah matrik 2 x 2 sehingga menghasilkan 4 kuadran scenario sebagai berikut.





Gambar. Hasil Penyusunan Skenario

Pendidikan Karakter
Penyediaan Tenaga Guru

Tinggi              Rendah
Tinggi / Mendukung
Skenario 1 :
Berkembang
Skenario 2 :
Stagnan
Rendah / Tidak Mendukung
Skenario 3 :
Fragmentasi
Skenario 4 :
Chaos



Untuk menggambarkan seberapa besar pengaruh variabel – variabel lain selain penyediaan tenaga guru dan pembentukan pribadi unggul, di bawah ini adalah tabel yang kondisi variabel yang mendukung terbentuknya kondisi yang mengarah pada terwujudnya salah satu dari skenario di atas.



Table 4. Cetak Biru Skenario



Skenario A
Berkembang
Skenario B
Stagnan
Skenario C
Oligopoli
Skenario D
Monopoli
U1
Pemerintah menyediakan akses teknologi informasi bagi seluruh warga Negara
Menguat
Tidak berubah
Menguat
Memburuk
U2
ideologi negara sebagai pemersatu bangsa dan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan
Menguat
Stabil
Meningkat
Memburuk
T3
Pendidikan karakter menciptakan pribadi unggul yang dapat menyaingi individu dan bangsa lain dari Negara-negara asing
Meningkat
Stabil
Meningkat
Memburuk
T4
Peningkatan sumber daya manusia untuk mencapai taraf hidup yang baik
Meningkat
Tidak berubah
Menguat
Memburuk
T5
Penyediaan akses teknologi informasi yang menjangkau seluruh wilayah Indonesia
Memburuk
Tidak berubah
Memburuk
Menguat
T6
Otonomi daerah yang meningkatkan kemandirian dan pemahaman tentang pentingnya pendidikan
Meningkat
Stabil
Meningkat
Memburuk



Narasi Skenario

Salah satu dari keempat scenario di bawah akan benar –benar terwujud dengan asumsi bahwa variabel – variabel lain di luar adanya penyediaan tenaga guru dan pembentukan karakter yang unggul dalam kondisi yang mendukung terbentuknya skenario tersebut seperti yang tercantum dalam Tabel 4 di atas.

Penyediaan tenaga guru di daerah tak terjangkau di Indonesia sehingga mutu pendidikan sesuai standar Kemdiknas tercipta dan upaya untuk pendidikan karakter menciptakan pribadi unggul yang dapat menyaingi individu dan bangsa lain dari negara-negara asing, sehingga dapat mewujudkan pemerataan pendidikan di seluruh Indonesia, bahkan sampai ke pelosok – pelosok daerah.



Scenario 1 : Berkembang

Skenario 1 merupakan kombinasi dari ketersediaan tenaga guru yang inkremental dan pendidikan karakter yang unggul yang juga inkremental. Jika penyediaan tenaga guru yang berkualitas di daerah tak terjangkau di Indonesia dan pendidikan karakter menciptakan pribadi unggul yang dapat menyaingi individu dan bangsa lain dari negara-negara asing. Jika tenaga guru yang berkualitas tersedia di seluruh Indonesia, maka akan memenuhi standar Dinas Pendidikan tentang keseragaman kualitas guru. Sedangkan apabila pendidikan pribadi unggul dapat dilaksanakan, maka akan dapat mendukung proses pemerataan kualitas pendidikan karena adanya kemauan dan kemampuan dari dalam siswa itu sendiri.



Skenario 2: Stagnan

Skenario 2 merupakan kombinasi dari penyediaan tenaga guru bersifat rendah dan pembentukan karakter yang unggul yang bersifat radikal. Kurangnya ketersediaan tenaga guru yang berkualitas di seluruh Indonesia membuat skenario ini menjadi cenderung stagnan, walaupun ada karakter guru yang bersifat radikal.



Skenario 3: Fragmentasi

Skenario 3 merupakan kombinasi penyediaan tenaga guru yang tinggi dan pembentukan karakter yang ungggul cenderung rendah.



Skenario 4: Chaos

Skenario 4 merupakan kombinasi munculnya tuntutan radikal baik tentang penyediaan tenaga guru berkualitas maupun pembentukan karakter yang unggul keduanya rendah.



Referensi:

Muhammad, Suwarsono, Matriks & Skenario dalam Strategi, UPP STIM YKPN, Yogyakarta, 2008.



Rencana Strategis Kemdiknas Indonesia. Kemdiknas.go.id (diakses 10 Desember 2012).