Testimoni

Halaman

Makalah - ETIKA BISNIS PT. LAPINDO



LATAR BELAKANG
Kehidupan manusia tidak bisa dipisahkan dari lingkungannya. Baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial. Kita bernapas memerlukan udara dari lingkungan sekitar. Kita makan, minum, menjaga kesehatan, semuanya memerlukan lingkungan. Pengertian lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia yang memengaruhi perkembangan kehidupan manusia baik langsung maupun tidak langsung. Kualitas lingkungan yang baik merupakan salah satu modal dasar penting bagi terlaksananya pembangunan yang berkelanjutan. Kualitas lingkungan berpengaruh terhadap kualitas hidup masyarakat atau penduduk asli, maupun penduduk (masyarakat pendatang) yang berkunjung ke daerah tersebut. Banyak aktivitas manusia yang memiliki dampak buruk terhadap kualitas lingkungan karena pengelolaan sampah dan limbah yang kurang baik.

Banjir Lumpur Panas Sidoarjo atau Lumpur Lapindo, merupakan peristiwa menyemburnya lumpur panas di lokasi pengeboran Lapindo Brantas Inc di Dusun Balongnongo Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, sejak 29 Mei 2006. Tragedi ‘Lumpur Lapindo’ dimulai pada tanggal 27 Mei 2006. Peristiwa ini menjadi suatu tragedi ketika banjir lumpur panas mulai menggenangi areal persawahan, pemukiman penduduk dan kawasan industri. Hal ini wajar mengingat volume lumpur diperkirakan sekitar 5.000 hingga 50 ribu meter kubik perhari (setara dengan muatan penuh 690 truk peti kemas berukuran besar). Akibatnya, semburan lumpur ini membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar maupun bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur: genangan hingga setinggi 6 meter pada pemukiman; total warga yang dievakuasi lebih dari 8.200 jiwa; rumah/tempat tinggal yang rusak sebanyak 1.683 unit; areal pertanian dan perkebunan rusak hingga lebih dari 200 ha; lebih dari 15 pabrik yang tergenang menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan lebih dari 1.873 orang; tidak berfungsinya sarana pendidikan; kerusakan lingkungan wilayah yang tergenangi; rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan listrik dan telepon); terhambatnya ruas jalan tol Malang-Surabaya yang berakibat pula terhadap aktivitas produksi di kawasan Ngoro (Mojokerto) dan Pasuruan yang selama ini merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur.
Lokasi semburan lumpur ini berada di Porong, yakni kecamatan di bagian selatan Kabupaten Sidoarjo, sekitar 12 km sebelah selatan kota Sidoarjo. Kecamatan ini berbatasan dengan Kecamatan Gempol (kabupaten Pasuruan) di sebelah selatan. Lokasi pusat semburan hanya berjarak 150 meter dari sumur Banjar Panji-1 (BJP-1), yang merupakan sumur eksplorasi gas milik Lapindo Brantas Inc sebagai operator blok Brantas. Lokasi semburan lumpur tersebut merupakan kawasan pemukiman dan di sekitarnya merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur. Tak jauh dari lokasi semburan terdapat jalan tol Surabaya-Gempol, jalan raya Surabaya-Malang dan Surabaya-Pasuruan-Banyuwangi (jalur pantura timur), serta jalur kereta api lintas timur Surabaya-Malang dan Surabaya-Banyuwangi, Indonesia.

Lumpur juga berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Kandungan logam berat (Hg), misalnya, mencapai 2,565 mg/liter Hg, padahal baku mutunya hanya 0,002 mg/liter Hg. Hal ini menyebabkan infeksi saluran pernapasan, iritasi kulit dan kanker. Kandungan fenol bisa menyebabkan sel darah merah pecah (hemolisis), jantung berdebar (cardiac aritmia), dan gangguan ginjal.

Selain perusakan lingkungan dan gangguan kesehatan, dampak sosial banjir lumpur tidak bisa dipandang remeh. Setelah lebih dari 100 hari tidak menunjukkan perbaikan kondisi, baik menyangkut kepedulian pemerintah, terganggunya pendidikan dan sumber penghasilan, ketidakpastian penyelesaian, dan tekanan psikis yang bertubi-tubi, krisis sosial mulai mengemuka. Makalah ini berusaha untuk mengulas kasus lumpur panas dari aktivitas bisnis PT. Lapindo Brantas dalam kaitannya dengan etika lingkungan.

RUMUSAN MASALAH
- Bagaimana dampak lingkungan dari lumpur panas Lapindo tersebut?
- Bagaimana sudut pandang dari etika lingkungan terhadap kasus Lapindo?

PEMBAHASAN
Teori
Prinsip Etika yang ada:
1. Hak dan deontologi
William Blackstone mengajukan pikiran bahwa tiap manusia berhak atas lingkungan berkualitas yang memungkinkan manusia untuk hidup lebih baik lagi. Lingkungan berkualitas bukan hanya menjadi harapan namun harus direalisasikan karena menjadi hak tiap manusia. Manusia mempunyai hak moral atas segala sesuatu yang perlu untuk hidup pantas sebagai manusia, artinya hal ini memungkinkan manusia memenuhi kesanggupannya sebagai makhluk yang rasional dan bebas. Dalam konteks ekonomi pasar bebas, setiap orang berhak memakai miliknya guna menghasilkan keuntungan. Tapi hak atas lingkungan berkualitas dapat mengalahkan hak seseorang untuk memakai miliknya dengan bebas.

2. Teori Utilitarisme
Dalam perspektif Utilitarisme sudah menjadi jelas bahwa lingkungan hidup tidak lagi boleh lagi diperlakukan sebagai suatu eksternalitas ekonomis. Jika dampak atas lingkungan tidak diperhitungkan dalam biaya manfaat, pendekatan ini menjadi tidak etis apalagi jika kerusakan lingkungan dibebankan pada orang lain.


3. Keadilan
Keadilan dipahami sebagai keadilan distributif, artinya keadilan yang mewajibkan kita membagi dengan adil. Hal ini dapat dijelaskan dengan berbagai macam cara diantaranya:
a. persamaan
b. prinsip penghematan adil
c. keadilan sosial

4. Etika Kepedulian
Kepedulian terhadap sesama manusia ataupun lingkungan arus diterapkan di mana saja kita tinggal. Etika kepedulian di sini kurang diperhitungkan dan diterapkan guna kepentingan bersama. Dalam kasus ini, menjadi tidak etis karena telah mencemari lingkungan dan tidak bertanggungjawab secara social atas dampak yang telah dihasilkan.

5. Etika Kebajikan

Nilai kebajikan perlu dipahami demi kenyamanan satu sama lain. Menjadi tidak etis apabila perusahaan tidak bisa memberikan nilai atau value yang positif untuk lingkungan sekitar. Nilai atau value yang dimiliki hanya untuk kepentingan perusahaan dan kepentingan pihak atas tanpa memperdulikan masyarakat sekitar terutama masyarakat miskin dan tertindas.

Data
Penyebab Terjadinya Bencana Menurut Para Ahli
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ilmuwan dari berbagai negara menyimpulkan bahwa luapan lumpur adalah akibat dari proses pengeboran eksplorasi gas yang dilakukan PT. Lapindo Brantas. Tim yang dipimpin oleh Richard Davies dari Universitas Durham, Inggris, itu menyatakan, data yang dirilis Lapindo yang menjadi dasar bukti baru timnya bahwa pengeboran menyebabkan luapan lumpur. Dan melalui serangkaian konferensi internasional yang diselenggarakan oleh pihak yang netral, diperoleh hasil akhir bahwa kesalahan operasi Lapindo dianggap para ahli sebagai penyebab semburan Lumpur panas di Sidoarjo.

Akan tetapi pihak Lapindo dan beberapa geolog menganggap bahwa semburan Lumpur diakibatkan oleh gempa bumi Yogyakarta yang terjadi dua hari sebelum Lumpur menyembur pada tanggal 29 Mei 2006. Sementara sebagian ahli menganggap bahwa hal itu tidak mungkin karena jarak yang terlalu jauh dan skala gempa yang terlalu kecil. Mereka, melalui berbagai penerbitan di jurnal ilmiah yang sangat kredibel, justru menganggap dan menemukan fakta bahwa penyebab semburan adalah kesalahan operasi yang dilakukan oleh Lapindo. Lapindo telah lalai memasang casing, dan gagal menutup lubang sumur ketika terjadi loss dan kick, sehingga Lumpur akhirnya menyembur. (Ketika Lapindo mengebor lapisan bumi dari kedalaman 3580 kaki sampai ke 9297 kaki, mereka “belum” memasang casing 9-5/8 inchi)

Puluhan ahli datang dari seluruh penjuru dunia membahas enam makalah tentang masalah Lapindo yang dipaparkan oleh para presenter, baik dari pihak Lapindo maupun para pakar independen. Dan karena para ahli yang berada di pihak Lapindo tetap berkeras dengan pendirian mereka, untuk memperoleh kepastian pendapat dari para ahli dunia tersebut dengan cara voting, menggunakan metoda langsung angkat tangan. Hasilnya, tidak diragukan lagi bahwa sebagian besar peserta yang hadir berpendapat bahwa penyebab semburan adalah karena pengeboran yang disebabkan oleh Lapindo. Hasil konferensi ini mestinya cukup untuk meyakinkan publik, pemerintah, dan penegak hukum di Indonesia bahwa Lapindo merupakan pihak yang harus bertanggung jawab dalam Bencana ini. Kesimpulan ini juga diharapkan bisa segera menghentikan berbagai upaya Lapindo untuk menghindar dari kewajiban, serta segera memenuhi hak dari korban Lumpur.

Dampak Lumpur Lapindo Keseluruhan
Lumpur menggenangi duabelas desa di tiga kecamatan. Semula hanya menggenangi empat desa dengan ketinggian sekitar 6 meter, yang membuat dievakuasinya warga setempat untuk diungsikan serta rusaknya areal pertanian. Luapan lumpur ini juga menggenangi sarana pendidikan dan Markas Koramil Porong. Hingga bulan Agustus2006, luapan lumpur ini telah menggenangi sejumlah desa/kelurahan di Kecamatan Porong, Jabon, dan Tanggulangin, dengan total warga yang dievakuasi sebanyak lebih dari 8.200 jiwa dan tak 25.000 jiwa mengungsi. Karena tak kurang 10.426 unit rumah terendam lumpur dan 77 unit rumah ibadah terendam lumpur.
Lahan dan ternak yang tercatat terkena dampak lumpur hingga Agustus 2006 antara lain: lahan tebu seluas 25,61 ha di Renokenongo, Jatirejo dan Kedungcangkring; lahan padi seluas 172,39 ha di Siring, Renokenongo, Jatirejo, Kedungbendo, Sentul, Besuki Jabon dan Pejarakan Jabon; serta 1.605 ekor unggas, 30 ekor kambing, 2 sapi dan 7 ekor kijang.
Sekitar 30 pabrik yang tergenang terpaksa menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan ribuan tenaga kerja. Tercatat 1.873 orang tenaga kerja yang terkena dampak lumpur ini. Empat kantor pemerintah juga tak berfungsi dan para pegawai juga terancam tak bekerja. Tidak berfungsinya sarana pendidikan (SD, SMP), Markas Koramil Porong, serta rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan listrik dan telepon)
Rumah/tempat tinggal yang rusak akibat diterjang lumpur dan rusak sebanyak 1.683 unit. Rinciannya: Tempat tinggal 1.810 (Siring 142, Jatirejo 480, Renokenongo 428, Kedungbendo 590, Besuki 170), sekolah 18 (7 sekolah negeri), kantor 2 (Kantor Koramil dan Kelurahan Jatirejo), pabrik 15, masjid dan musala 15 unit. Kerusakan lingkungan terhadap wilayah yang tergenangi, termasuk areal persawahan
Pihak Lapindo melalui Imam P. Agustino, Gene-ral Manager PT Lapindo Brantas, mengaku telah menyisihkan US$ 70 juta (sekitar Rp 665 miliar) untuk dana darurat penanggulangan lumpur.
Akibat amblesnya permukaan tanah di sekitar semburan lumpur, pipa air milik PDAM Surabaya patah. Meledaknya pipa gas milik Pertamina akibat penurunan tanah karena tekanan lumpur dan sekitar 2,5 kilometer pipa gas terendam. Ditutupnya ruas jalan tol Surabaya-Gempol hingga waktu yang tidak ditentukan, dan mengakibatkan kemacetan di jalur-jalur alternatif, yaitu melalui Sidoarjo-Mojosari-Porong dan jalur Waru-tol-Porong. Tak kurang 600 hektar lahan terendam.
Sebuah SUTET milik PT PLN dan seluruh jaringan telepon dan listrik di empat desa serta satu jembatan di Jalan Raya Porong tak dapat difungsikan. Penutupan ruas jalan tol ini juga menyebabkan terganggunya jalur transportasi Surabaya-Malang dan Surabaya-Banyuwangi serta kota-kota lain di bagian timur pulau Jawa. Ini berakibat pula terhadap aktivitas produksi di kawasan Ngoro (Mojokerto) dan Pasuruan yang selama ini merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur.

Ulasan Dari Sisi Etika Bisnis

Dari Uraian kasus diatas diketahui bahwa kelalaian yang dilakukan PT. Lapindo Brantas merupakan penyabab utama meluapnya lumpur panas di Sidoarjo, akan tetapi pihak Lapindo malah berdalih dan enggan untuk bertanggung jawab. Jika dilihat dari sisi etika bisnis, apa yang dilakukan oleh PT. Lapindo Berantas jelas telah melanggar etika dalam berbisnis. Dimana PT. Lapindo Brantas telah melakukan eksploitasi yang berlebihan dan melakukan kelalaian hingga menyebabkan terjadinya bencana besar yang mengakibatkan kerusakan parah pada lingkungan dan sosial.

Eksploitasi besar-besaran yang dilakukan PT. Lapindo membuktikan bahwa PT. Lapindo rela menghalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan. Dan keengganan PT. Lapindo untuk bertanggung jawab membuktikan bahwa PT. Lapindo lebih memilih untuk melindungi aset-aset mereka daripada melakukan penyelamat dan perbaikan atas kerusakan lingkungan dan sosial yang mereka timbulkan.

Hal yang dilakukan oleh PT. Lapindo telah melanggar prinsip – prinsip etika yang ada. Prinsip mengenai hak dan deontologi yang menekankan bahwa tiap manusia berhak atas lingkungan berkualitas, akan tetapi dengan adanya peristiwa lumpur panas tersebut, warga justru mengalami dampak kualitas lingkungan yang buruk. Sedangkan perspektif utilitarisme menegaskan bahwa lingkungan hidup tidak lagi boleh diperlakukan sebagai suatu eksternalitas ekonomis. Jika dampak atas lingkungan tidak diperhitungkan dalam biaya manfaat, pendekatan ini menjadi tidak etis apalagi jika kerusakan lingkungan dibebankan pada orang lain. Akan tetapi, dalam kasus ini PT. Lapindo justru mengeruk sumber daya alam di Sidoarjo untuk kepentingan ekonomis semata, dan cenderung kurang melakukan pemeliharaan terhadap alam, yang dibuktikan dengan penghematan biaya operasional pada pemasangan chasing, sehingga menumbulkan bencana yang besar. Selanjutnya, kerusakan akibat kesalahan tersebut menimpa pada warga Porong yang tidak berdosa.

Prinsip etika bisnis mengenai keadilan distributif juga dilanggar oleh PT. Lapindo, karena perusahaan tidak bertindak adil dalam hal persamaan, prinsip penghematan adil, dan keadilan sosial. PT. Lapindo pun dinilai tidak memiliki kepedulian terhadap sesama manusia atau lingkungan, karena menganggap peristiwa tersebut merupakan bencana alam yang kemudian dijadikan alasan perusahaan untuk lepas tanggung jawab. Dengan segala tindakan yang dilakukan oleh PT. Lapindo secara otomatis juga berarti telah melanggar etika kebajikan.

Hal ini membuktikan bahwa etika berbisnis yang dipegang oleh suatu perusahaan akan sangat mempengaruhi kelangsungan suatu perusahaan. Dan segala macam bentuk pengabaian etika dalam berbisnis akan mengancam keamanan dan kelangsungan perusahaan itu sendiri, lingkungan sekitar, alam, dan sosial.

KESIMPULAN
Dari Uraian kasus diatas diketahui bahwa kelalaian yang dilakukan PT. Lapindo Brantas merupakan penyabab utama meluapnya lumpur panas di Sidoarjo, akan tetapi pihak Lapindo malah berdalih dan enggan untuk bertanggung jawab. Jika dilihat dari sisi etika bisnis, apa yang dilakukan oleh PT. Lapindo Berantas jelas telah melanggar etika dalam berbisnis. Dimana PT. Lapindo Brantas telah melakukan eksploitasi yang berlebihan dan melakukan kelalaian hingga menyebabkan terjadinya bencana besar yang mengakibatkan kerusakan parah pada lingkungan dan sosial.

Eksploitasi besar-besaran yang dilakukan PT. Lapindo membuktikan bahwa PT. Lapindo rela menghalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan. Dan keengganan PT. Lapindo untuk bertanggung jawab membuktikan bahwa PT. Lapindo lebih memilih untuk melindungi aset-aset mereka daripada melakukan penyelamat dan perbaikan atas kerusakan lingkungan dan sosial yang mereka timbulkan. Hal yang dilakukan oleh PT. Lapindo telah melanggar prinsip – prinsip etika yang ada, baik dari prinsip hak dan deontologi, utilitarisme, prinsip keadilan distributif, dan prinsip kepedulian dan kebajikan.

DAFTAR PUSTAKA
A Sonny Keraf, Etika Lingkungan, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005, hlm 3
Ancaman Luapan Lumpur Sidoarjo, Kompas, 2/12/2006
Divisi Humas Lapindo Brantas, Siaran Pers Lapindo Brantas: Memanfaatkan lumpur alami, Sidoarjo, 7 Juli 2006
Ediar Usman, M. Salahuddin, DAS. Ranawijaya dan Juniar P. Hutagaol, Lokasi Pengendepan Akhir dan Evaluasi Pengelolaan Lumpur Porong, 3/10/2006.
Geolog Yakin Lumpur Lapindo adalah Mud Volcano 4,9 Juta Tahun, www.detik.com.25/9/2006
Lapindo Dinilai Berbohong Soal Dana Penanggulangan Lumpur, , www.tempointeraktif.com., 9/03/2007
Menteri Urusan Lumpur, Koran Tempo, 26/11/2006
Tim Lapindo Tanggap Amankan Lumpur Panas, www.detik.com., 10/6/2006
Valentionus Darsono, Pengantar Ilmu Lingkungan, Penerbit Universitas AtmaJaya Yogyakarta, 1995, hal 18
Makalah ini hanya versi ringkas aja
Untuk versi lengkap atau
mau request tema lain 
Hubungi saya aja
Diana - o85868o39oo9
Ditunggu Ordernya Yaa?
Thanks