Testimoni

Halaman

MELIHAT KEJAHATAN KORPORASI YANG DILAKUKAN OLEH PT PISMATEX TERHADAP SARUNG MEREK GAJAH DUDUK

 

MELIHAT KEJAHATAN KORPORASI YANG DILAKUKAN OLEH PT PISMATEX TERHADAP SARUNG MEREK GAJAH DUDUK



Keberadaan korporasi di era modern seperti ini bukanlah sesuatu yang baru. Korporasi mulai berkembang seiring dengan perkembangan dunia industri dan bisnis. Secara garis besar yang dinamakan korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisir, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum (MA, 2016). Lebih jauh, dalam perkembangannya korporasi ternyata tidak hanya bergerak di bidang kegiatan ekonomi saja (Muladi & Priyatno, 2007), sehingga keberadaanya menjadi semakin luas dan dapat mendominasi berbagai aspek kehidupan manusia.

Korporasi pada dasarnya diciptakan untuk menjawab tuntutan perkembangan ekonomi dan bisnis pada zaman revolusi industri yang semakin luas dan kompleks (Luthan, 1994), dimana ini kemudian diwujudkan dalam bentuk korporasi. Namun demikian, tidak jarang korporasi dalam aktivitasnya melakukan tindakan menyimpang atau kejahatan dengan berbagai modus operandi (Shanty, 2017). Kejahatan yang dilakukan oleh korporasi ini sering disebut dengan kejahatan korporasi. Secara sederhana, kejahatan korporasi adalah (corporate crime) merupakan suatu kejadian dimana sebuah korporasi melakukan kejahatan atau untuk menampung hasil kejahatan, menyembunyikan harta kekayaan hasil tindak pidana yang tidak tersentuh proses hukum dalam pertanggungjawaban pidana (criminal liability) (Djanim & Halim, 2018). 

Sehubungan dengan penjelasan tersebut, maka dalam makalah ini akan dibahas tentang salah satu kasus kejahatan korporasi yang belakangan ini terjadi. Kasus yang dipilih adalah tentang dugaan penggelapan yang dilakukan oleh PT Pismatex, terkait dengan produk sarung Gajah Duduk di Pekalongan. Terkait dengan hal ini, fokus pembahasan dalam makalah akan menjelaskan tentang posisi kasus sebagai suatu bentuk kejahatan korporasi dan mengapa ini dapat disebut sebagai pelanggaran dalam bentuk kejahatan korporasi. Selanjutnya, pembahasan juga akan menjelaskan tentang pelanggaran hukum yang dilakukan oleh PT Pismatex tersebut, dan bagaimanana penggelapan yang dimaksudkan sebagai bentuk kejahatan korporasi. Terakhir, topik yang akan dibahas dalam makalah ini adalah tentang proses hukum yang saat ini berlangsung untuk menangani kasus penggelapan tersebut, dimana ini menyangkut dengan upaya penyelidikan yang dilakukan oleh pihak Bareskrim Kepolisian Indonesia, Polri.

Beberapa saat lalu, diketahui bahwa salah satu perusahaan yang bergerak dibidang textile sarung terbesar di Indonesia, dilaporkan atas dugaan penggelapan kepada pihak kepolisian. Pada akhirnya, pihak kepolisian, Polri, melakukan penggrebekan terhadap perusahaan PT Pismatex yang berlokasi di Kota Pekalongan, Jawa Tengah. Beberapa saat lalu, ada empat penyidik dari Bareskrim Polri melakukan penyelidikan serta penggeledahan pabrik sarung Gajah Duduk di Sapugarut, Kota Pekalongan. Penggeledahan yang dilakukan ini merupakan lanjutan atas laporan PT Pisma Abadi Jaya yang melaporkan Umar Djuber selaku direktur Gajah Duduk tentang kasus yang berkaitan. PT Pisma Abadi Jaya melaporkan adanya dugaan penggelapan 32 ribu kodi sarung milik PT Pisma Abadi Jaya  yang merugikan perusahaan hingga Rp 55 miliar. Laporan di Mabes Polri dibuat di bulan Mei 2022 dan hingga kini kasusnya terus berjalan (Kompas TV, 2023).

Sehubungan dengan hal ini, secara khusus tindakan penggelapan yang dilakukan oleh korporasi belum diatur dalam undang-undang tertentu. Namun pada dasarnya akan dikaitkan dengan ketentuan dalam KUHP, dimana penggelapan diatur dalam pasal 372 KUHP yang menyatakan bahwa barang siapa yang sengaja memiliki dengan cara melawan hak suatu barang yang secara keseluruhan atau sebagian milik orang lain dan barang tersebut ada dalam tangannya bukan karena tindak kejahatan maka akan dihukum dengan tindakan penggelapan yang hukumannya penjara maksimal 4 tahun. Disini, yang dimaksud barang siapa secara luas dapat diterapkan kepada sebuah korporasi.

Lebih lanjut, terkait dengan penjelasan kasus yang telah dilakukan, dapat dikatakan bahwa kasus ini masih cukup baru, sehingga bisa dikapatan bahwa belum banyak perkembangan ksus yang dapat diamati. Beberapa pokok utama yang dapat dtangkap dalam penanganan kasus adalah dugaan penggelapan yang suah berlangsung sejak Maret 2021; kasus pertama kali dilaporkan pada Mei 2022; proses penyididkan yang baru dilakukan Mei 2023; hingga perkiraan pelaku dan jumlah kerugian yang ditimbulkan. Dari sini dapat dikatakan bahwa, perkembangan terbaru kasus baru memasuki tahap penyidikan, oleh pihak kepolisian, Bareskrim Polri. Proses penyidikan pada dasarnya dilakukan sesuai dengan prosedur yang tercantum dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi. Dalam Perma ini, tahap ini masuk dalam suatu proses pemeriksaan.


 

Daftar Pustaka

Djanim, R., & Halim, P. (2018). Kejahatan Korporasi Dan Pertanggungjawaban Pidana "KaJian terhadap Bentuk Baru Pelaku Kejahatan di Indonesia". Jakarta: UM Jakarta Press.

Kompas TV. (2023, Mei 31). Bareskrim Polri Geledah Pabrik Sarung PT Gajah Duduk di Pekalongan Terkait Dugaan Penggelapan. Dipetik Juli 14, 2023, dari Kompas: https://www.kompas.tv/regional/411902/bareskrim-polri-geledah-pabrik-sarung-pt-gajah-duduk-di-pekalongan-terkait-dugaan-penggelapan

Luthan, S. (1994). Anatomi Kejahatan Korporasi dan Penanggulangannya. Jumal Hukum, 2(1).

MA. (2016). PEraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara. Dipetik Juli 14, 2023, dari Mahkamah Agung: https://bawas.mahkamahagung.go.id/bawas_doc/doc/perma_13_2016_web_fix.pdf

Muladi, & Priyatno, D. (2007). Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Kencana Prenada Media Group.

Shanty, L. (2017). Aspek Teori Hukum dalam Kejahatan Korporasi. Pakuan Law Review, 3(1).


Reinventing Government

Soal:

Bagaimana implementasi mewirausahakan birokrasi pada pemerintahan daerah Anda masing-masing?

Jawaban:

Reinventing Government pada Pemerintah Daerah DIY

Reinventing government merupakan suatu konsep dimana pemerintahan dapat diwirausahakan sehingga dapat memenuhi kebutuhan birokrasi. Tujuan reinventing government adalah untuk dapat menumbuhkan sikap dan perilaku birokrat yang inovatif, adaptif terkontrol oleh birokrasi sehingga bermartabat dan berorientasi kepada masyarakat. Reinventing government merupakan gagasan atau ide yang baik untuk menata pemerintahan apabila didukung penuh oleh seluruh aspek di negara ini yaitu pemerintah, masyarakat, dan swasta dengan rasa kepedulian yang tinggi terhadap tanah air dan berkomitmen mencapai tujuan bersama yaitu kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Reinventing government merupakan cara birokrasi mengubah sistem atau pengaturan agar pelaksanaan pemeritahan dapat berjalan secara akuntabilitas, resposif, inovatif, profesional, dan entrepreneur. Entrepreneur dimaksudkan agar pemerintah daerah yang telah diberikan otonomi memiliki semangat kewirausahaan untuk lebih inovatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dan dapat menjawab tuntutan masyarakat di era globalisasi. Sehingga mewirausahakan birokrasi bukan berarti birokrasi melakukan wirausaha untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya melainkan memberdayakan institusi agar produktivitas dan efisiensi kerja dapat dioptimalkan (Fatikha, 2016).

Pada dasarnya pemerintahan dengan perusahaan memiliki latar belakang dan tujuan yang berbeda. Perusahaan memiliki orientasi kepada laba untuk tetap dapat memproduksi dan mempertahankan keberlangsungan usahanya, pendapatan berasal dari konsumen, dan memiliki daya saing yang tinggi. Sedangkan pemerintahan cenderung berorientasi kepada kelanggengan kekuasaannya dan keuntungan pribadi, pendapatan berasal dari pajak, dan mempunyai motif kepentingan. Dari hal tersebut maka berdampak bedanya pandangan terhadap gaji dan resiko pemecatan antara PNS dengan pegawai swasta. PNS mempunyai resiko yang sangat kecil terhadap pemecatan serta tetap mendapatkan gaji yang sama tanpa melihat kinerja antara yang baik dan buruk, sedangkan pegawai swasta rentan terhadap pemecatan dan perolehan gaji yang beragam antar pegawai yang tergantung pada kinerja mereka. Efisiensi tidak dapat diperoleh pemerintah karena penggunaan anggaran yang sangat besar untuk belanja pegawai (Fatikha, 2016).

Sistem pemerintahan yang desentralisasi dan pemberian otonomi daerah mengakibatkan setiap daerah berupaya mewujudkan pemerintahan birokrasi yang efektif dan efisien, akuntabilitas, kreatif, inovatif, dan mandiri. Kemandirian pemerintahan daerah terutama dalam hal anggaran harus didukung oleh aparatur pemerintahan yang memiliki jiwa entrepreneur. Entrepreneur pada proses pemerintahan adalah jiwa wirausaha yang memunculkan kreativitas dan inovasi para aparaturnya sehingga akan lebih menghasilkan (produktivitas) dalam hal pelayanan kepada masyarakat. Oleh karena itu sangat baik apabila pemerintah daerah menggunakan sepuluh prinsip reinventing government untuk lebih memberdayakan aparaturnya. Reinventing government diartikan sebagai pembangunan birokrasi yang berdasarkan prinsip wirausaha yaitu membiasakan organisasi-organisasi pemerintahan untuk terus memperbaharui dan meningkatkan kualitasnya secara berkelanjutan. Reinventing government memberikan solusi bagi organisasi-organisasi pemerintah yang tidak lagi produktif dan hanya dapat menghabiskan anggaran negara untuk menjadi suatu organisasi yang mau mengubah seluruh sistem di dalamnya dan menjadikannya suatu organisasi yang hidup mandiri, penuh dengan inovasi dan kreativitas, produktif dan mau terus-menerus meningkatkan kualitas kerja serta menjadi bagian yang penting bagi masyarakat (Fatikha, 2016).

Reinventing government dapat pula diartikan sebagai pembaharuan birokrasi. Arti pembaharuan menurut Plastrik dan Osborne (dalam Siren dan Sinaga, 2017) adalah transformasi sistem dan organisasi pemerintah secara fundamental guna menciptakan peningkatan dramatis dalam efektifitas, efisiensi, dan kemampuan mereka untuk melakukan inovasi. Transformasi ini dicapai dengan mengubah tujuan, sistem insentif, pertanggung jawaban, struktur kekuasaan, dan budaya sistem dan organisasi Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta. Thoha (dalam Siren dan Sinaga, 2017) menjelaskan bahwa istilah ini sebenarnya sama halnya dengan upaya untuk melakukan pembaruan di bidang birokasi pemerintah (Siren & Sinaga, 2017). Penerapan konsep reinventing government dalam Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta harus disesuaikan dengan kondisi sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri terutama apabila diterapkan pada pemerintah daerah yang terdapat di Daerah Istimewa Yogyakarta maka akan semakin beragam. Pada dasarnya pemerintah daerah dituntut untuk dapat mengambil intisari positif konsep reinventing government yang sesuai dengan kondisi yang ada pada organisasi pemerintahannya dan diterapkan atau diimplementasikan dengan dukungan berbagai pihak terkait seperti birokrasi, swasta, dan masyarakat sehingga dapat optimal pada pelaksanaannya (Fatikha, 2016).

Pada dasarnya konsep tentang entrepreneur government ini bisa diterapkan kedalam birokrasi di Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta. Masalahnya adalah apakah para birokrat dan masyarakat Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta sudah siap dengan konsep tersebut. Pengaplikasian konsep entrepreneur government perlu dimodifikasi sesuai dengan konteks birokrasi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Inovasi masih merupakan sebuah uthopia bahkan menjadi momok yang menakutkan jika tidak ingin dicap sebagai aparat pembangkang yang tidak loyal dan taat kepada atasan dan aturan formal yang ada. Sehingga melahirkan istilah “hidup segan mati tak mau” dimana pada prinsipnnya jajaran birokrasi ingin melakukan yang terbaik bagi peningkatan pelayanan akan tetapi karena tersandung oleh keberadaan aturan formal dan loyalitas buta kepada atasan dan aturan formal membuat mereka tidak bisa berbuat banyak. Aspek sosialisasi dari prinsip entrepreneur government ini semestinya sering dilakukan guna memenuhi kebutuhan akan pengetahuan sumber daya manusia aparat birokrasi. Untuk menambah pengetahuan tersebut aparat birokrasi diberikan kesempatan untuk mengikuti acara-acara yang membahas konsep-konsep pemerintahan yang bergaya wirausaha. Pemerintahan yang bergaya wirausaha tidak memberikan tempat pada budaya paternalistik, hirarki yang kaku dan terpaku pada aturan-aturan yang permanen. Keluwesan pada aturan, inovasi, kreatifitas, efisiensi, efektifitas dan akuntabilatas selalu menjadi pendorong untuk terciptanya pemerintahan yang bergaya wirausaha selama tidak bertentangan dengan misi yang diemban organisasi di lingkungan Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta (Gani, 2012).

Pengembangan jiwa serta spirit kewirausahaan dalam budaya kerja menjadi pendorong dan motivasi bagi aparat birokrasi di lingkungan Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta. Salah satu strategi dalam mengembangkan kewirausahaan adalah strategi budaya. Strategi ini dilakukan dengan mengubah kebiasaan, menyentuh perasaan dan mengubah pikiran atau pandangan seseorang terhadap suatu hal. Mengembangkan bentuk dan sifat komunikasi dua arah dan terbuka dalam suasana kerja yang kondusif adalah hal mutlak dalam sebuah organisasi. Pembentukan budaya komunikasi yang dua arah dan terbuka belumlah dikembangkan. Hal ini dikarenakan pengembangan budaya merupakan suatu yang sangat sulit dan memerlukan waktu yang cukup lama (Gani, 2012).

Referensi

Fatikha, A. C. (2016). Reinventing Government dan Pemberdayaan Aparatur Pemerintah Daerah. Jurnal Ilmiah Administrasi Pemerintahan Daerah 8.1 (2016).

Gani, F. S. (2012). Implementasi Entrepreneur Government Dalam Birokrasi Pemerintah Daerah Kabupaten Gorontalo (Studi Di Kantor Pelayanan Terpadu Kabupaten Gorontalo). Jurnal Pelangi Ilmu 5.02 (2012).

Siren, & Sinaga, I. (2017). Penerapan Reinventing Government (Mewirausahakan Birokrasi) di Kecamatan Jekan Raya Kota Palangka Raya. Restorica: Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi Negara dan Ilmu Komunikasi, Volume 3 Issue 2, October 2017, Page 26-31.

 

Efektivitas Peran Organisasi Multilateral Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dalam Peningkatan Stabilitas Keamanan dan Menurunkan Ketimpangan Ekonomi di Negara-negara Islam

 


Abstrak

Organisasi Kerjasama Islam (OKI) adalah sebuah organisasi multilateral dengan 57 negara anggota yang merupakan bagian yang cukup besar dari populasi Muslim dunia. Artikel ini mengkaji peran Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan badan-badan multilateralnya dalam menangani dua masalah kritis yang dihadapi negara-negara Islam: stabilitas keamanan dan ketidaksetaraan ekonomi. Banyak negara Islam yang mengkhawatirkan stabilitas keamanan saat mereka menghadapi berbagai krisis, terorisme, dan kesulitan geopolitik. OKI dan badan-badan khusus memainkan peran penting dalam mempromosikan perdamaian, menyelesaikan konflik, dan memerangi terorisme. OKI berusaha untuk mempromosikan diskusi dan kolaborasi di antara negara-negara anggota, serta penyelesaian sengketa dan stabilitas di dunia Islam, melalui upaya-upaya diplomatik, inisiatif mediasi, dan proyek-proyek pengembangan kapasitas. Kesenjangan ekonomi adalah masalah utama lain yang mengganggu negara-negara Islam, karena perbedaan pendapatan dan kekayaan menghambat pertumbuhan jangka panjang dan kohesivitas sosial. OKI dan lembaga-lembaga afiliasinya, seperti Bank Pembangunan Islam (IDB), bekerja untuk menghilangkan kesenjangan ekonomi dengan memberikan bantuan keuangan, mendorong perdagangan dan investasi, dan mendukung proyek-proyek pembangunan sosial. Organisasi Kerja Sama Islam juga melobi kebijakan ekonomi global yang adil yang menguntungkan negara-negara Islam, seperti keringanan utang, perjanjian perdagangan istimewa, dan transfer teknologi. Selain itu, OKI mengakui pentingnya kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dalam mencapai pembangunan jangka panjang dan mengurangi kesenjangan ekonomi. Berbagai upaya dilakukan di seluruh negara anggota untuk meningkatkan keterlibatan perempuan dalam proses pengambilan keputusan, meningkatkan akses terhadap pendidikan dan perawatan kesehatan, dan mempromosikan prospek ekonomi bagi perempuan.

Kata kunci: Organisasi Kerjasama Islam (OKI), organisasi multilateral, Stabilitas keamanan, Ketimpangan ekonomi, negara-negara Islam





Kampanye Pemasaran Burger King

 

“Pesanlah Dari McDonalds” 

Kampanye Pemasaran Burger King di masa Pandemi

Pada tahun 2020 pandemi telah menyebabkan adanya disrupsi yang telah memberikan dampak terhadap bisnis, bahkan yang berskala besar sekalipun. Hal ini salah satunya dapat dilihat pada bisnis restoran yang harus membatasi jumlah pengunjung, menyediakan layanan pengantaran atau bahkan menutup usahanya akibat upaya pembatasan sosial. Keberadaan pembatasan sosial juga telah menyebabkan bisnis restoran multinasional mendapatkan dampak, yang dapat diperhatikan dari adanya penurunan pendapatan yang cukup signifikan, hingga pada tingkat 30%-40%. Tabel di bawah ini menunjukkan jumlah penurunan pendapatan beberapa restoran  yang disebabkan karena hambatan operasi di masa pandemi.

Adanya penurunan pendapatan di masa pandemi kemudian mendorong berbagai bisnis untuk mencari cara penanggulangan untuk tetap bertahan di masa krisis. Bisnis kemudian mencari berbagai siasat untuk menarik perhatian pelanggan. Hal ini salah satunya ditunjukkan oleh kampanye pemasaran unik yang ditunjukkan oleh Burger King. Burger King membuat kampanye pemasaran dengan tajuk “Pesanlah Dari McDonalds” yang mendorong pelanggan untuk membeli makanan baik dari gerai makanan cepat saji lain yang menjadi rivalnya maupun warung makan independen. Pesan dari kampanye pemasaran tersebut menggaris bawahi pentingnya menyelamatkan pekerjaan dari ribuan karyawan yang bekerja di gerai-gerai makanan dengan melakukan pembelanjaan di restoran-restoran tersebut. Hal ini diakhiri dengan dorongan secara halus bagi pelanggan untuk melakukan pembelian aktual di gerai Burger King.

Kampanye pemasaran yang dilakukan oleh Burger King tersebut kemudian amat menarik perhatian masyarakat. Kampanye sosial media ini mendapatkan hampir 350 ribu likes dan komentar mendekati 13 ribu. Keberhasilan kampanye pemasaran Burger King ini disebabkan karena kampanye tersebut telah dapat memunculkan emphatic society, dimana orang-orang yang melihatnya akan tergerak untuk ikut andil dalam kampanye tersebut. Keberhasilan dari kampanye tersebut telah memberikan beberapa keuntungan bagi Burger King, diantaranya peningkatan kesadaran merek (brand awareness) dan Burger King mendapatkan citra merek (brand image) yang positif. Dengan cara tersebut, Burger King telah menempatkan dirinya di benak pelanggan sehingga ketika pelanggan ingin mengkonsumsi burger, maka merek ini yang akan diingatnya.

Dampak lebih jauh dari kampanye pemasaran yang berhasil tersebut adalah peningkatan saham di masa krisis. PT Mitra Adi Perkasa (MAPI), pengelola Burger King di Indonesia, mengalami penguatan saham sebesar  1,59% dengan nilai transaksi Rp4,6 miliar. Hal ini menunjukkan angka yang lebih baik jika dibandingkan dengan beberapa rivalnya seperti KFC yang mengalami penguatan sebesar 0,55% dan Pizza Hut yang mengalami penguatan sebesar 0,8%. Hal tersebut secara lebih jauh menunjukkan keberhasilan kampanye pemasaran yang dilakukan Burger King di masa krisis seperti yang terjadi di masa pandemi.