Testimoni

Halaman

KASUS FETISH KAIN JARIK DAN URGENSI PENGESAHAAN RUU-PKS

 

KASUS FETISH KAIN JARIK DAN URGENSI PENGESAHAAN RUU-PKS

 

1.      PENDAHULUAN

Di akhir bulan Juli 2020 seseorang dengan inisial MFS melalui utasan Twitter-nya, menyampaikan pengalamannya dalam mengenal pria fetish kain jarik bernama Gilang melalui media sosial kemudian bertukar nomor telepon. Gilang mengaku sebagai mahasiswa salah satu perguruan tinggi negeri di Surabaya angkatan 2015. Ia meminta kepada pemilik akun itu untuk membantunya dalam riset akademik. Gilang meminta si pemilik akun membungkus dirinya dengan kain jarik hingga menutupi seluruh tubuhnya. Ia berdalih dalam kondisi terbungkus tersebut akan nampak sifat asli seseorang.

Si pemilik akun itu akhirnya meminta bantuan temannya untuk melakukan aksi bungkus-membungkus. Ia dibungkus selama 3 jam lamanya. Selama proses membungkus, Gilang meminta difoto dan dibuatkan video.Setelah pemilik akun dibungkus, Gilang meminta teman pemilik akun yang dibungkus itu ikut dibungkus juga. Si temannya menyanggupi, namun di tengah jalan ia menyerah karena mengalami sesak napas.Namun Gilang terus memaksa hingga mengancam akan bunuh diri, penyakitnya kambuh hingga ancaman lainnya yang membuat korban mulai kesal. Gilang terus memohon hingga menangis melalui sambungan telepon.[1]

Si pemilik akun baru menyadari menjadi korban pelecehan seksual saat diberitahu oleh temannya. Ia langsung mengirimkan sebuah link berita tentang fetish kain jarik, sejak saat itu Gilang tak lagi membalas pesan-pesannya. Dari kasus tersebut ada beberapa hal yang akan diangkat dalam tulisan ini. Yang pertama adalah fetish, yaitu dorongan seksual yang berhubungan dengan benda mati atau benda hidup. Yang kedua adalah posisi MFS sebagai seorang korban pelecehan seksual yang berjenis kelamin laki-laki. Yang ketiga adalah dapat dipandangnya kasus ini sebagai urgensi untuk pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).

 

2.      PEMBAHASAN

2.1.   Kasus Fetish Jarik

Menurut DSM-5, fetish disorder dicirikan sebagai suatu kondisi di mana terdapat ketergantungan yang terus-menerus atau berulang pada objek yang tidak hidup (seperti pakaian dalam atau sepatu hak tinggi) atau fokus yang sangat spesifik pada bagian tubuh (kebanyakan sering nongenital, seperti kaki) untuk mencapai gairah seksual. Fetishist (orang dengan fetish) biasanya memegang, menggosok, mengecap, atau mencium benda fetish untuk kepuasan seksual atau meminta pasangannya untuk mengenakan objek tersebut selama aktivitas seksual.[2]

Dalam kasus ini objeknya adalah kain jarik, dan dibandingkan dengan anggota tubuh tertentu yang terekspos yang memunculkan gairah seksual seperti pada parsialitas, justru seluruh tubuh yang tertutup yang memunculkan gairah pada Gilang. Didorong oleh fetishitas inilah yang membuat Gilang menjebak para korbannya dengan dalih sebagai suatu penelitian sosial.

Meskipun merupakan suatu kelainan menurut DSM akan tetapi memiliki fetish selama tidak diterapkan pada orang tanpa konsensual bukan merupakan suatu tindak kejahatan. Yang menjadi masalah di sini adalah pelaku yang menipu dan memperdaya korbannya, meminta tolong mereka untuk membantunya melakukan penelitian namun korban berujung dilecehkan secara seksual. Selain itu tampaknya perilaku ini merupakan sesuatu yang telah dimiliki bertahun-tahun, dilihat dari bagaimana dua tahun sebelumnya Gilang juga pernah terjerat karena masalah yang sama.

2.2.   Laki-laki Sebagai Korban Pelecehan Seksual

Pelecehan seksual sering diremehkan dampaknya terhadap perempuan namun pelecehan seksual terhadap laki-laki merupakan diskursus yang lebih sering lagi diabaikan. Hal ini karena selain proporsinya yang jauh lebih kecil, selain itu laki-laki yang melaporkan bahwa dirinya merupakan korban pelecehan seksual justru sering mendapatkan hinaan sosial karena tidak dapat membela diri atau menunjukkan tanda-tanda bahwa ia terangsang ketika dilecehkan.

Misalnya penelitian yang dilakukan oleh Scarduzio, dkk. (2018) menggarisbawahi bahwa korban pelecehan seksual berjenis kelamin lelaki masih sangat kurang dipelajari, dan mereka melakukan interview kepada dua lelaki yang merupakan korban pelecehan yang dilakukan oleh atasan mereka yang juga laki-laki. Dalam penelitian ini dijelaskan bagaimana maskulitas hegemonik mempengaruhi pengalaman mereka terhadap pelecehan seksual. Maskulitas hegemonik membuat respon mereka berbeda dengan korban perempuan, misalnya pada bagaimana mereka sering disalahkan karena tidak membela diri dengan lebih serius seperti menendang pelaku karena toh kekuatan mereka cukup besar sebagai seorang pria.[4]Dalam kasus ini terkadang ada komentar yang menyalahkan korban, misalnya dalam gambar berikut.


2.3.   Urgensi Pengesahan RUU-PKS

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mengatur tindak pidana kekerasan seksual yang tidak seluruhnya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sehingga RUU Penghapusan Kekerasan Seksual adalah ketentuan khusus (lex specialist) dari KUHP. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual juga merumuskan jenis-jenis pemidanaan sebagai pidana pokok maupun pidana tambahan yang berbeda dengan KUHP. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak merumuskan denda sebagai ancaman pidana karena denda akan masuk ke kas negara namun tidak berkorelasi dengan penyediaan penggantian kerugian bagi korban. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual memperkenalkan rehabilitasi khusus bagi pelaku tindak pidana kekerasan seksual tertentu. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual juga merumuskan sejumlah ancaman pidana tambahan yang dijatuhkan sesuai perbuatan yang dilakukan, seperti ancaman pidana tambahan perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, kerja sosial, pembinaan khusus, pencabutan hak asuh, pencabutan hak politik, pencabutan hak menjalankan pekerjaan tertentu, pencabutan jabatan atau profesi dan pengumuman putusan hakim.[5]




Ini hanya versi sampelnya saja ya...
Untuk file lengkap atau mau dibuatkan custom, silahkan PM kami ke
WA : 
0882-9980-0026
(Diana)