Tinjauan Hukum terhadap Pernikahan Dini di Indonesia
I. Pendahuluan
Diskursus mengenai pernikahan dini di Indonesia bukan merupakan hal yang baru. Hal ini sudah sering menjadi topik utama di berbagai pembahasan. Pembahasan mengenai masalah ini pun telah dilakukan dari berbagai persepektif yang sebagian besar menyetujui bahwa hal ini kurang menguntungkan terutama bagi anak yang terlibat di dalamnya. Meskipun begitu, pembahasan mengenai masalah ini, masih sering dilakukan secara terus menerus. Hal ini disebabkan karena kasus yang berkaitan dengan masalah ini juga selalu muncul dan menimbulkan perbincangan.
Kasus pernikahan dini, sebagian besar terjadi di daerah, contohnya adalah yang terjadi di Kecamatan Halong, Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan. Salah satu kasusnya pernikahan dini tersebut terjadi antara D (15 tahun) dan DA (14 tahun). Keduanya masih bersekolah, D masih duduk di bangku SMP dan suaminya, DA, masih tercatat sebagai siswa kelas 5 sekolah dasar. Keduanya dinikahkan karena alasan untuk mencegah perbuatan zina yang dilarang agama (Intisari Online, 2019). Menilik pada usia disaat kedua orang tersebut menikah, hal ini tentu tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur pemerintah berdasarkan UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang menjelaskan bahwa batas minimal usia perkawinan bagi perempuan adalah 16 tahun dan 19 tahun bagi pria.
Pengaturan yang dilakukan pemerintah tersebut bukan tanpa alasan. Pernikahan dibawah umur pada waktu seseorang belum siap mental maupun kedewasaan jiwa kerap kali mengakibatkan terjadinya permasalahan dikemudian hari bahkan tidak jarang yang berantakan dan berakhir dengan perceraian, beda halnya jika pernikahan tersebut dilakukan oleh pasangan yang sudah sama-sama dewasa mayoritas memberikan dampak positif untuk kehidupan rumah tangganya baik itu kedewasaan jiwa maupun kesiapan mental (Khairillah, Jazari, & Faisol, 2019). Tinjauan mengenai dampak sosial yang ditimbulkan mengenai pernikahan dibawah umur seperti itu telah banyak dilakukan, namun masih jarang adanya tinjauan hukum terhadap masalah ini. Tulisan ini akan melakukan tinjauan hukum mengenai masalah pernikahan dini terutama mengenai sahnya pernikahan dibawah umur yang tidak dilakukan sesuai undang-undang serta status hukum anak yang dihasilkan dari pernikahan dini tersebut.
II. Pembahasan
2.1.Tinjuan hukum terhadap sahnya pernikahan dibawah umur berdasarkan ketentuan undang-undang
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan menjelaskan bahwa Pernikahan merupakan suatu ikatan lahir maupun batin antara seorang laki-laki dengan perempuan sebagai suami istri yang sah dalam rangka untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum yang mempunyai akibat-akibat hukum. Sah atau tidaknya suatu perbuatan hukum ditentukan oleh hukum positif yang berlaku di suatu negara.
Berdasarkan hal tersebut, maka sah atau tidaknya suatu perkawinan atau pernikahan didasarkan pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan. Syarat-syarat sahnya perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 meliputi syarat-syarat materiil maupun formil. Syarat-syarat materil, yaitu syarat-syarat yang mengenai diri pribadi calon mempelai, sedangkan syarat-syarat formil menyangkut formalitas-formalitas atau tata cara yang harus dipenuhi sebelum dan pada saat dilangsungkannya perkawinan. Syarat materiil itu sendiri ada yang berlaku untuk semua perkawinan (umum) dan berlaku hanya untuk perkawinan tertentu saja (Purwaningsih & Muslicha, 2014).
2.2.Status hukum anak yang lahir dari pernikahan di bawah umur
Pria dan wanita melakukan perkawinan mempunyai tujuan yang sangat diharapkan oleh keduanya yaitu keturunan. Anak merupakan buah hati, oleh karena itu kehadirannya sangat dinantikan oleh keluarga. Kelahiran anak juga merupakan hal yang harus disyukuri dalam sebuah hubungan keluarga. Karena anak adalah sesuatu yang sangat berpengaruh demi kelangsungan hidup keluarga. Definisi anak adalah seorang lelaki atau perempuan yang belum dewasa atau belum mengalami masa pubertas (Tanmaela, 2013).
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pernikahan merupakan suatu perbuatan hukum. Oleh karena itu, hal ini akan menimbulkan suatu konsekuensi hukum. Hal ini termasuk akibat hukum yang akan didapatkan oleh suami dan istri setelah pernikahan dilaksanakan. Pernikahan dibawah umur merupakan pernikahan yang sah setelah mendapatkan dispensasi usia menikah, meskipun usianya masih di bawah umur. Hal ini kemudian mewujudkan suatu konsekuensi hukum bahwa anak tersebut telah dianggap dewasa dan dianggap cakap dalam melakukan suatu perbuatan hukum atau ia tidak berada di bawah pengampuan orangtuanya lagi. Oleh karena itu, ketika anak tersebut mengandung dan melahirkan seorang anak, maka anak tersebut menjadi anak sah sebagai akibat mereka dinikahkan. Dan apabila anak itu dinikahkan kemudian anak itu lahir sebagai anak sah, maka timbullah suatu hubungan perdata antara orang tua dan anak terhadap harta perkawinan. Anak sah dalam hal ini berarti anak tersebut lahir dari pasangan ayah dan ibu dari hasil pernikahan yang sah pula.
Ini hanya versi sampelnya saja ya...
Untuk file lengkap atau mau dibuatkan custom, silahkan PM kami ke
WA :
0882-9980-0026
(Diana)