Tampilkan postingan dengan label birokrasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label birokrasi. Tampilkan semua postingan

Reinventing Government

Soal:

Bagaimana implementasi mewirausahakan birokrasi pada pemerintahan daerah Anda masing-masing?

Jawaban:

Reinventing Government pada Pemerintah Daerah DIY

Reinventing government merupakan suatu konsep dimana pemerintahan dapat diwirausahakan sehingga dapat memenuhi kebutuhan birokrasi. Tujuan reinventing government adalah untuk dapat menumbuhkan sikap dan perilaku birokrat yang inovatif, adaptif terkontrol oleh birokrasi sehingga bermartabat dan berorientasi kepada masyarakat. Reinventing government merupakan gagasan atau ide yang baik untuk menata pemerintahan apabila didukung penuh oleh seluruh aspek di negara ini yaitu pemerintah, masyarakat, dan swasta dengan rasa kepedulian yang tinggi terhadap tanah air dan berkomitmen mencapai tujuan bersama yaitu kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Reinventing government merupakan cara birokrasi mengubah sistem atau pengaturan agar pelaksanaan pemeritahan dapat berjalan secara akuntabilitas, resposif, inovatif, profesional, dan entrepreneur. Entrepreneur dimaksudkan agar pemerintah daerah yang telah diberikan otonomi memiliki semangat kewirausahaan untuk lebih inovatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dan dapat menjawab tuntutan masyarakat di era globalisasi. Sehingga mewirausahakan birokrasi bukan berarti birokrasi melakukan wirausaha untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya melainkan memberdayakan institusi agar produktivitas dan efisiensi kerja dapat dioptimalkan (Fatikha, 2016).

Pada dasarnya pemerintahan dengan perusahaan memiliki latar belakang dan tujuan yang berbeda. Perusahaan memiliki orientasi kepada laba untuk tetap dapat memproduksi dan mempertahankan keberlangsungan usahanya, pendapatan berasal dari konsumen, dan memiliki daya saing yang tinggi. Sedangkan pemerintahan cenderung berorientasi kepada kelanggengan kekuasaannya dan keuntungan pribadi, pendapatan berasal dari pajak, dan mempunyai motif kepentingan. Dari hal tersebut maka berdampak bedanya pandangan terhadap gaji dan resiko pemecatan antara PNS dengan pegawai swasta. PNS mempunyai resiko yang sangat kecil terhadap pemecatan serta tetap mendapatkan gaji yang sama tanpa melihat kinerja antara yang baik dan buruk, sedangkan pegawai swasta rentan terhadap pemecatan dan perolehan gaji yang beragam antar pegawai yang tergantung pada kinerja mereka. Efisiensi tidak dapat diperoleh pemerintah karena penggunaan anggaran yang sangat besar untuk belanja pegawai (Fatikha, 2016).

Sistem pemerintahan yang desentralisasi dan pemberian otonomi daerah mengakibatkan setiap daerah berupaya mewujudkan pemerintahan birokrasi yang efektif dan efisien, akuntabilitas, kreatif, inovatif, dan mandiri. Kemandirian pemerintahan daerah terutama dalam hal anggaran harus didukung oleh aparatur pemerintahan yang memiliki jiwa entrepreneur. Entrepreneur pada proses pemerintahan adalah jiwa wirausaha yang memunculkan kreativitas dan inovasi para aparaturnya sehingga akan lebih menghasilkan (produktivitas) dalam hal pelayanan kepada masyarakat. Oleh karena itu sangat baik apabila pemerintah daerah menggunakan sepuluh prinsip reinventing government untuk lebih memberdayakan aparaturnya. Reinventing government diartikan sebagai pembangunan birokrasi yang berdasarkan prinsip wirausaha yaitu membiasakan organisasi-organisasi pemerintahan untuk terus memperbaharui dan meningkatkan kualitasnya secara berkelanjutan. Reinventing government memberikan solusi bagi organisasi-organisasi pemerintah yang tidak lagi produktif dan hanya dapat menghabiskan anggaran negara untuk menjadi suatu organisasi yang mau mengubah seluruh sistem di dalamnya dan menjadikannya suatu organisasi yang hidup mandiri, penuh dengan inovasi dan kreativitas, produktif dan mau terus-menerus meningkatkan kualitas kerja serta menjadi bagian yang penting bagi masyarakat (Fatikha, 2016).

Reinventing government dapat pula diartikan sebagai pembaharuan birokrasi. Arti pembaharuan menurut Plastrik dan Osborne (dalam Siren dan Sinaga, 2017) adalah transformasi sistem dan organisasi pemerintah secara fundamental guna menciptakan peningkatan dramatis dalam efektifitas, efisiensi, dan kemampuan mereka untuk melakukan inovasi. Transformasi ini dicapai dengan mengubah tujuan, sistem insentif, pertanggung jawaban, struktur kekuasaan, dan budaya sistem dan organisasi Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta. Thoha (dalam Siren dan Sinaga, 2017) menjelaskan bahwa istilah ini sebenarnya sama halnya dengan upaya untuk melakukan pembaruan di bidang birokasi pemerintah (Siren & Sinaga, 2017). Penerapan konsep reinventing government dalam Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta harus disesuaikan dengan kondisi sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri terutama apabila diterapkan pada pemerintah daerah yang terdapat di Daerah Istimewa Yogyakarta maka akan semakin beragam. Pada dasarnya pemerintah daerah dituntut untuk dapat mengambil intisari positif konsep reinventing government yang sesuai dengan kondisi yang ada pada organisasi pemerintahannya dan diterapkan atau diimplementasikan dengan dukungan berbagai pihak terkait seperti birokrasi, swasta, dan masyarakat sehingga dapat optimal pada pelaksanaannya (Fatikha, 2016).

Pada dasarnya konsep tentang entrepreneur government ini bisa diterapkan kedalam birokrasi di Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta. Masalahnya adalah apakah para birokrat dan masyarakat Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta sudah siap dengan konsep tersebut. Pengaplikasian konsep entrepreneur government perlu dimodifikasi sesuai dengan konteks birokrasi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Inovasi masih merupakan sebuah uthopia bahkan menjadi momok yang menakutkan jika tidak ingin dicap sebagai aparat pembangkang yang tidak loyal dan taat kepada atasan dan aturan formal yang ada. Sehingga melahirkan istilah “hidup segan mati tak mau” dimana pada prinsipnnya jajaran birokrasi ingin melakukan yang terbaik bagi peningkatan pelayanan akan tetapi karena tersandung oleh keberadaan aturan formal dan loyalitas buta kepada atasan dan aturan formal membuat mereka tidak bisa berbuat banyak. Aspek sosialisasi dari prinsip entrepreneur government ini semestinya sering dilakukan guna memenuhi kebutuhan akan pengetahuan sumber daya manusia aparat birokrasi. Untuk menambah pengetahuan tersebut aparat birokrasi diberikan kesempatan untuk mengikuti acara-acara yang membahas konsep-konsep pemerintahan yang bergaya wirausaha. Pemerintahan yang bergaya wirausaha tidak memberikan tempat pada budaya paternalistik, hirarki yang kaku dan terpaku pada aturan-aturan yang permanen. Keluwesan pada aturan, inovasi, kreatifitas, efisiensi, efektifitas dan akuntabilatas selalu menjadi pendorong untuk terciptanya pemerintahan yang bergaya wirausaha selama tidak bertentangan dengan misi yang diemban organisasi di lingkungan Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta (Gani, 2012).

Pengembangan jiwa serta spirit kewirausahaan dalam budaya kerja menjadi pendorong dan motivasi bagi aparat birokrasi di lingkungan Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta. Salah satu strategi dalam mengembangkan kewirausahaan adalah strategi budaya. Strategi ini dilakukan dengan mengubah kebiasaan, menyentuh perasaan dan mengubah pikiran atau pandangan seseorang terhadap suatu hal. Mengembangkan bentuk dan sifat komunikasi dua arah dan terbuka dalam suasana kerja yang kondusif adalah hal mutlak dalam sebuah organisasi. Pembentukan budaya komunikasi yang dua arah dan terbuka belumlah dikembangkan. Hal ini dikarenakan pengembangan budaya merupakan suatu yang sangat sulit dan memerlukan waktu yang cukup lama (Gani, 2012).

Referensi

Fatikha, A. C. (2016). Reinventing Government dan Pemberdayaan Aparatur Pemerintah Daerah. Jurnal Ilmiah Administrasi Pemerintahan Daerah 8.1 (2016).

Gani, F. S. (2012). Implementasi Entrepreneur Government Dalam Birokrasi Pemerintah Daerah Kabupaten Gorontalo (Studi Di Kantor Pelayanan Terpadu Kabupaten Gorontalo). Jurnal Pelangi Ilmu 5.02 (2012).

Siren, & Sinaga, I. (2017). Penerapan Reinventing Government (Mewirausahakan Birokrasi) di Kecamatan Jekan Raya Kota Palangka Raya. Restorica: Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi Negara dan Ilmu Komunikasi, Volume 3 Issue 2, October 2017, Page 26-31.

 

MAKALAH - BIROKRASI PADA ERA REFORMASI


Periodesasi perubahan pemerintahan yang berlangsung di Indonesia, terjadi secara mendasar sejak digulingkannya reformasi tahun 1998, dengan ditandai lengsernya rezim soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun di Republik ini. Pasca tahun 1998 banyak perubahan yang sangat signifikan, terutama pada sistem pemerintahan dan birokrasi di Indonesia, yaitu berubahnya struktur pemerintahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi, dengan dikeluarkannya UU nomor 22 tahun 1999 pada masa pemerintahan Gus Dur, yang kemudian direvisi dengan Undang-undang nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah pada masa Pemerintahan Megawati Soekarnoputri.
Hampir sepuluh tahun setelah Indonesia memasuki era "reformasi" (pasca kepemimpinan Soeharto), negara ini tetap belum mampu menunjukkan reformasi birokrasi seperti yang diharapkan sebelumnya. Essay ini berusaha menganalisis apa yang terjadi pada birokrasi Indonesia pada era reformasi dan apa kelebihan dan kekurangan birokrasi pada masa itu.

Birokrasi Zaman Reformasi
Publik mengharapkan bahwa dengan terjadinya Reformasi, akan diikuti pula dengan perubahan besar pada desain kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, baik yang menyangkut dimensi kehidupan politik, sosial, ekonomi maupun kultural. Perubahan struktur, kultur dan paradigma birokrasi dalam berhadapan dengan masyarakat menjadi begitu mendesak untuk segera dilakukan mengingat birokrasi mempunyai kontribusi yang besar terhadap terjadinya krisis multidimensional yang tengah terjadi sampai saat ini. Namun, harapan terbentuknya kinerja birokrasi yang berorientasi pada pelanggan sebagaimana birokrasi di Negara – Negara maju tampaknya masih sulit untuk diwujudkan. Osborne dan Plastrik ( 1997 ) mengemukakan bahwa realitas sosial, politik dan ekonomi yang dihadapi oleh Negara – Negara yang sedang berkembang seringkali berbeda dengan realitas sosial yang ditemukan pada masyarakat di negara maju.

  Kelebihan dan Kekurangan Birokrasi pada Masa Reformasi
Kelebihan
  1. Terbentuknya Lembaga-Lembaga Baru
Pada masa pemerintahan SBY yang paling kontroversi adalah dibentuknya lembaga baru yang konsentrasi pada penghapusan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, yaitu berdirinya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dimana tindakan yang dilakukan oleh lembaga ini cukup banyak membuahkan hasil, dengan mengungkap banyak kasus mega korupsi baik dilembaga legislatif (DPR), Eksekutif (Korupsi di Departemen, Bank Indonesia) dan Yudikatif (korupsi di MA, Kejaksaan, dan Kepolisian), walaupun pada akhirnya lembaga ini digembosi juga.

  1. Penyelenggaraan Pemilu
Pada Era Reformasi, pembaharuan tata politik nasional dalam suasana transisi menuju demokrasi dimulai dengan Pemilu 1999. Pemilu ini dinilai sukses merestrukturisasi kepemimpinan nasional dan lokal secara demokratis,  menghasilkan sejumlah pembaruan konstitusi dan tata hukum turunannya, mendesentralisasi kekuasaan, dan lain - lain.

Kekurangan
1.      KKN Tetap Merajalela
Era reformasi yang diharapkan mampu merubah Indonesia ke arah yang lebih baik ternyata terkendala oleh mental birokrasi yang tidak mau berubah. Menurut laporan political and economic risk consultancy (PERC), birokrasi Indonesia  masih termasuk kategori sangat buruk. Para eksekutif bisnis yang disurvei PERC berpendapat masih banyak birokrat Indonesia yang memanfaatkan posisi mereka untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya. PERC juga masih menempatkan Indonesia dalam kelompok negara yang memiliki tingkat korupsi yang tinggi.

2.      Warisan Sistem Demokrasi Primordial      
Munculnya birokrasi patrimonial di Indonesia merupakan kelanjutan dan warisan dari siystem nilai tradisional yang tumbuh di masa kerajaan-kerajaan masa lampau dan bercampur dengan birokrasi gaya kolonial.

3.      Adanya kepercayaan yang kian meluntur terhadap para politisi.
Jika dibandingkan hasil survei terakhir tahun 2005, survei tahun 2009 menunjukkan adanya kepercayaan yang kian meluntur terhadap para politisi. Pada survei tahun 2005, sebesar 44,2 persen masyarakat menilai kinerja politisi masih relatif baik[1]. Dalam kurun waktu enam tahun terjadi penurunan 21 persen mengenai politisi, dan ini sangat menurun drastis. 
4.      Berkurangnya  Transparansi dan Kebebasan Pers
Sudah menjadi konsumsi publik bahwa akan di sahkannya Undang-Undang tentang Kerahasiaan Negara di Era SBY,  Meski pengaturan rahasia negara dalam bentuk UU bisa ditoleransikan termasuk di negara-negara demokrasi, tapi hal itu harus dijauhkan dari tendensi untuk membatasi hak-hak publik dalam mendapatkan informasi. Keamanan dan kedaulatan nasional sebagai tujuan utama UU Rahasia Negara tentu bukan alasan memadai untuk melenyapkan hak asasi rakyat untuk mendapatkan informasi yang lebih transparan. Kerahasiaan berujung pada lahirnya birokrasi yang otoriter yang memosisikan diri sebagai pemilik dan penafsir tunggal kebenaran. (Dakidae, 2003:153).
  
  1. Kelembagaan dan Ketatalaksanaan
Selain permasalahan KKN, dalam bidang kelembagaan dan ketatalaksanaan, birokrasi di tingkat pusat maupun daerah cenderung semakin banyak dan tambun (bottleneck). Dengan kondisi yang demikian maka organisasi akan cenderung kaku dan lambat dalam mengantisipasi permasalahan yang timbul. Kecenderungan yang terjadi saat ini adalah bahwa dalam penyusunan suatu organisasi cenderung lebih ditekankan pada bagan strukturnya saja, dan melupakan jumlah dan kualifikasi personel, sistem pengambilan keputusan, sistem komunikasi serta rentang kendali organisasi (span of control).


DAFTAR PUSTAKA
Alatas, Syed Hussein. 1987. Korupsi, Sifat,Sebab dan Fungsi. Jakarta: LP3ES.

Djafar, Wahyudi, 2006. Memotong Warisan Birokrasi Masa Lalu, Menciptakan Demarkasi Bebas Korupsi. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM),  Jakarta.

Dwiyanto,Agus dkk.2006.Reformasi Birokrasi Publik Di Indonesia, Gadjah Mada University Press : Yogyakarta

Hans-Dieter Evers dan Tilman Schiel, Kelompok-Kelompok Strategis: Studi Perbandingan tentang Negara, Birokrasi, dan Pembentukan Kelas di Dunia Ketiga, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1990, hal, 228.

Korupsi Sudah Menjadi Kebiasaan: Birokrasi Patrimonial Sumber Masalah, Kompas, 21 November 2006

Kumorotomo, Wahyudi. 2005. Akuntabilitas Birokrasi Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kuntjoro Jakti, Dorojatun. Birokrasi di Dunia Ketiga: Alat Rakyat, Alat Penguasa, atau    Penguasa. Jurnal Prisma No.10 Tahun IX Oktober 1980.


Tulisan ini masih draft
Butuh versi lengkapnya??
Atau mau bikin judul lain??
Buruan request aja
Diana - o85868o39oo9
Ditunggu Ordernya Yaa
Thanks