Tampilkan postingan dengan label MANAJEMEN KONFLIK. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label MANAJEMEN KONFLIK. Tampilkan semua postingan

Kasus Intoleransi Di Kota Solo Berdasarkan Teori Konflik

 

Kasus Intoleransi Di Kota Solo Berdasarkan Teori Konflik


A.    Pendahuluan

Kehidupan masyarakat selalu dipenuhi dengan perbedaan pendapat, yang pada akhirnya bisa menimbulkan perseteteruan antara dua pihak yang berbeda. Salah satu masalah yang masih dihadapi oleh masyarakat diseluruh dunia, termasuk Indonesia, adalah masalah tentang Intoleransi, yang berhubungan dengan sikap diskriminasi, yang biasanya, kaum minoritas menjadi korban dari tindakan ini. Intoleransi berbarti tidak ada tenggang rasa atau tidak toleran (KBBI, 2012-2020). Sementara toleran sendiri memiliki arti sebagai  sebuah sikap yang bersifat menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri (KBBI, 20120-2020). Jadi, secara garis besar intoleransi adalah sikap yang tidak bisa menhargai pandangan orang lain yang bertentangan dengan diri sendiri.

Belakangan ini, kasus-kasus intoleransi masih terus terjadi. Kasus intoleransi, salah satu yang sering terjadi adalah dalam aspek kehidupan beragama. Diketahui bahwa berdasaran indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB), dari skor 1-100, skor indeks KUB nasional mengalami fluktuasi setiap tahunnya, mulai dari 75,35 pada 2015 hingga menjadi 73,83 pada 2019. Angka rerata nasional sempat turun pada 2017-2018 hingga menjadi 70,90 pada 2018 (Gusman, 2020). Meskipun indeks kerukunan umat beragama menunjukkan nilai yang cukup baik, tapi hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa peristiwa-peristiwa intoleransi masih terus terjadi. Selain itu, kasus-kasus intoleransi yang paling banyak terjadi seringny aberkaitan dengan umat beragama, dengan jumlah kasus yang paling banyak terjadi di sekitaran Pulau Jawa, mulai dari propinsi Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Timur, hingga Jawa Tengah (Suciatiningrum, 2019).

Salah satu kasus intoleransi yang terjadi adalah tentang sebuah pembubaran paksa sebuah upacara mododareni yang dilakukan oleh sebuah keluarga di Kota Solo, Jawa Tengah. Lebih tepatnya, upacara mododareni tersebut dilaksanakan di rumah almarhum Segaf Al-Jufri, Jl. Cempaka No. 81, Kp. Mertodranan, Pasar Kliwon, Kota Surakarta, pada Sabtu, 8 Agustus 2020. Saat acara masih berlangsung, sejumlah massa meminta agar acara dibubarkan. Pada akhir peristiwa tersebut, ada sekitar 3 orang anggota kelurga yang mengalami luka-luka akibat amukan massa (Gusman, 2020). Dalam hal ini, maka dalam makalah ini akan membahas tentang bagaimana peristiwa intoleransi ini jika dilihat dari sebuah teori, yaitu teori konflik.

B.     Pembahasan

1.      Kasus Intoleransi di Kota Solo dalam Upacara Midodareni

Peristiwa yang menunjukkan terjadinya intoleransi terjadi di Kota Solo pada tanggal 8 Agustus 2020 lalu. Peristiwa tersebut melibatkan sebuah keluarga yang tengah menjalankan prosesi upacara Midodareni, yaitu upacara yang biasa dilakukan oleh kedua keluarga calon pengantin malan sebelum upacara pernikahan dilaksanakan. Keluarga yang dimaksud adalah keluarga Assegaf bin Juhri  (Gusman, 2020).

Ketika itu, keluarga Assegaf bin Juhri bermaksud untuk melangsungkan pernikahan putri dari Habib Umar Assegaf. Namun ketika upacara Midodareni yang dilanjutkan dengan acara makan-makan itu belum selesai, pihak keluarga didatangi massa yang ingin meminta kejelasan tentang acara apa yang tengah berlangsung. Kunjungan tersebut juga menghadirkan polisi setempat, sebagai pihak penengah dan sebagai pihak yang memediasi supaya kerusuhan tidak terjadi. Pada akhirnya pihak keluarga setuju untuj membubarkan acara, dengan jaminan keamanan atas amukan massa. Namun pada akhirnya kerusuhan tetap terjadi, perusakan kendaraan bermotor terjadi, pemukulan terhadap sejumlah keluarga juga terjadi, hingga akhirnya 3 orang anggota keluarga harus dilarikan kerumah sakit  (Rachmawati, 2020). Ketiga korban dari mempelai perempuan, Habib Umar Assegaf (54) dan anaknya, HU (15), serta Husin Abdullah (57) terluka. Perwakilan keluarga, Memed menyebut ketiga korban itu ditendang, dipukul, dan dilempari batu (Isnanto, 2020). Selain terjadinya penyerangan, pihak keluarga juga mendapatkan serangan verbal, atau intimidasi verbal (Rachmawati, 2020).

Sementara itu, untuk alasan utama yang membuat massa mendatangi acara tersebut adalah bahwa massa menganggap apa yang dilakukan oleh pihak keluarga sebagai bagian dari kegiatan terlarang dan bertentangan dengan agama islam, atau bertentanagn dengan komunitas warga setempat yang kebanyakan adalah keturunan Arab (Isnanto, 2020). Terlebih, pada dasarnya alasan tersebut dianggap sebagai sebuah tindakan tak berdasar, sebab upacara mododareni sudah menjadi bagian dari adat Indonesia, khususnya masyrakat Jawa, dan termasuk kota Solo. Uapcara ini juga telah dikenal oleh masyarakat secara meluas (CNN Indonesia, 2020). Jadi tidak ada alasan, mengapa upacara sebelum melangsungkan pernikahan ini dapat dianggap sebagai bagian dari ajaran sesat dan terlarang, karena telah menjadi bagian dari kebudayaan orang jawa itu sendiri.

Hingga akhirnya, tim gabungan Polresta Surakarta dan Polda Jawa Tengah telah menangkap tujuh terduga pelaku kekerasan yang mengakibatkan tiga korban luka-luka itu. Pada kasus tersebut, kelima tersangka diantaranya terancam Pasal 160 KUHP dan Pasal 335 KUHP tentang penghasutan untuk bertindak pidana kekerasan serta Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan (CNN Indonesia, 2020).

2.      Analisis Intoleransi di Kota Solo Berdasarkan Teori Konflik

Intoleransi merupakan bagian dari sebuah bentuk konflik sosial yang terjadi dalam masyarakat. Terjadinya konflik intoleransi ini, dapat disebabkan oleh beberapa hal. Termasuk dalam masalah keagamaan,  berikut ini merupakan beberapa hal yang menjadi alasan penyebab terjadinya intoleransi di Indonesia (Putro, 2017), yaitu:

a.       Perbedaan dalam memahami ajaran secara tekstual. Hal ini menghasilkan pengamalan yang berbeda dalam internal keagamaan. Ada yang menganggap kelompoknya paling benar, dan menganggap yang lainnya sesat.

b.      Adanya aksi-aksi penolakan terhadap pendirian rumah ibadah

c.       Adanya perbedaan adat istiadat dalam lingkungan masyarakat

d.      Adanya perbedaan persepsi di antara petugas saat melakukan tugas dilapangan

MAKALAH MANAJEMEN KONFLIK

PENDAHULUAN DAN JENIS KONFLIK
Dalam sebuah organisasi, konflik sering kali menjadi sesuatu yang biasa terjadi dan tidak dapat dihindari kejadiannya. Namun hal ini kemudian akan dapat menjadi sebuah situasi menguntungkan apabila konflik dapat dimenejemenkan dengan baik. Sebelum membahas lebih jauh mengenai pemenejemenan konflik, terlebih dahulu kita akan mengenal jenis-jenis konflik.

Jenis konflik berdasarkan hasilnya dibagi menjadi 2 (Winardi, 1994:5)
  • Konflik destruktif adalah konflik yang menimbulkan kerugian bagi individu dan organisasi dimana masing-masing pihak akan memfokuskan perhatian tenaga dan pikiran serta sumber-sumber organisasi bukan untuk mengembangkan produktifitas tetapi untuk merusak bahkan menghancurkan lawan konfliknya.
  • Konflik konstruktif adalah konflik yang mengarah pada pencarian solusi mengenai substansi konflik.

Sementara jenis konflik berdasarkan jumlah orang yang terlibat terbagi menjadi 4 (Pickering, 2000:12)
  • Konflik Diri
  • Konflik Antarindividu
  • Konflik

Berikut adalah beberapa definisi para ahli mengenai manajemen konflik:
  • Dr. Wiraman (2010) : Manajemen konflik merupakan proses pihak yang terlibat konflik atau pihak ketiga menyusun strategi konflik dan menerapkannya untuk mengendalikan konflik agar menghasilkan resolusi yang diinginkan.
  • Lynne Irvine (1998) : the strategy which organizations and individual employ to identify and manage differences, thereby reducing the human and financial cost of unmanaged conflict, while harnessing conflict as a source of innovation and improvement. Inti dari pengertian ini adalah menejemen konflik ‘mempekerjakan’ individu dan organisasi untuk mengidentifikasi dan mengelola perbedaan dan kemudian memanfaatkannya sebagai sumber inovasi dan perbaikan.

TEORI-TEORI
Dalam memenejemenkan konflik, ada beberapa gaya yang dapat dipakai individu dalam pemenejemenannya. Gaya ini diungkapkan dalam beberapa teori yang dijelaskan dibawah ini (Wirawan, 2010:138) :
  • Teori Grid. Dalam teori ini, gaya manajemen konflik disusun berdasarkan dua dimensi, yaitu perhatian manajer terhadap orang atau bawahan dan perhatian manajer terhadap produksi.
  • Teori Thomas dan Kilmann. Kenneth W. Thomas dan Ralp H. Kilmann mengembangkan taksonomi gaya manajemen konflik berdasarkan dua dimensi, yaitu kerja sama (cooperativeness) dan keasertifan (assertiveness). Kerja sama merupakan upaya orang untuk memuaskan orang lain jika menghadapi konflik. Keasertifan merupakan upaya orang untuk memuaskan diri-sendiri jika menghadapi konflik.
  • Teori Rahim. M.A. Rahim (1983) mengembangkan model gaya manajemen konflik yang tidak jauh berbeda dengan model yang dikemukakan oleh Thomas dan Kilmann. Klasifikasi gaya manajemen konflik Rahim disusun berdasarkan dua dimensi, yaitu memperhatikan orang lain (cooperativeness) adalah sampai seberapa tinggi pihak yang terlibat konflik memperhatikan lawan konfliknya dalam menghadapi situasi konflik dan memperhatikan diri sendiri (assertiveness) adalah sampai seberapa tinggi pihak yang terlibat konflik memperhatikan dirinya sendiri dalam menghadapi situasi konflik.

Ketiga teori ini kemudian mengembangkan gaya-gaya dari setiap dimensi yang mereka definisikan. Terdapat lima gaya individu dalam menghadapi situasi konflik yang sebenarnya hampir mirip pemaknaannya. Oleh karena itu, penulis akan menjelaskan lima macam gaya yang diambil dari Teori Thomas dan Kilmann (Winardi, 1994:18) :
  • Tindakan menghindari, yaitu individu bersikap tidak kooperatif dan tidak asertif. Individu cenderung menarik diri dari situasi yang sedang terjadi dan bersikap netral dalam segala keadaan.
  • Kompetisi atau komando otoritatif, yaitu individu bersikap asertif dan tidak kooperatif. Individu lebih cenderung untuk menentang keinginan pihak lain untuk mendominasi situasi yang terjadi.
  • Akomodasi atau meratakan, yaitu individu bersikap kooperatif dan tidak asertif. Hal ini dilakukan untuk tetap mempertahankan harmoni yang sudah terjalin dalam suatu organisasi, individu lebih cenderung untuk membiarkan keinginan pihak lain menonjol.
  • Kompromis, yaitu individu bersikap cukup kooperatif dan asertif. Tindakan ini bertujuan agar tercipta situasi kepuasan parsial bagi keinginan semua pihak, melakukan tindakan tawar-menawar untuk mencapai pemecahan optimal sehingga tidak seorangpun merasa bahwa ia menang atau kalah secara mutlak.
  •  Kolaborasi (kerjasama) atau pemecahan masalah, yaitu individu bersikap keduanya. Berupaya untuk memuaskan keinginan setiap pihak berkepentingan, tetapi dengan jalan melalui setiap perbedaan yang ada. Setiap permasalahan dicari jalan keluar atau pemecahan masalahnya yang kemudian membuat setiap orang mencapai keuntungan sebagai hasilnya.

FAKTOR-FAKTOR
Individu ketika memilih untuk menggunakan suatu gaya dalam memanajemen konflik didorong oleh faktor-faktor tertentu. Terdapat empat belas faktor yang menurut Dr. Wirawan (2010:135)
  • Asumsi mengenai konflik. Asumsi mempengaruhi pola perilaku individu dalam menghadapi situasi konflik.
  • Persepsi mengenai penyebab koflik. Persepsi mempengaruhi gaya manajemen konflik seseorang.
  • Ekspektasi atas reaksi lawan konfliknya. Seseorang yang menyadari bahwa ia menghadapi konflik akan menyusun strategi dan taktik untuk menghadapi lawan konfliknya.
  • Pola komunikasi dalam interaksi konflik. Bagaimana hasil dari suatu konflik ditentukan bagaimana proses interaksi komunikasi di antara pihak – pihak yang terlibat konflik.
  • Kekuasaan yang dimiliki. Kedua belah pihak yang berkonflik melakukan suatu permainan kekuasaan dimana yang merasa memiliki kekuasaan lebih tinggi akan lebih cenderung mempertahankan keinginannya.
  • Pengalaman menghadapi situasi konflik. Para pihak yang terlibat konflik memiliki proses interaksi konflik dan gaya manajemen konflik yang dipengaruhi oleh pengalaman mereka dalam menghadapi konflik dan menggunakan gaya manajemen konflik tertentu.
  • Sumber yang dimiliki. Dipengaruhi oleh kekuasaan, pengetahuan, pengalaman, dan uang.
  • Jenis kelamin. Banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa gaya manajemen wanita berbeda dengan konflik laki-laki.
  • Kecerdasan emosional. Beberapa dimensi kecerdasan emosional, antara lain: memanajemeni emosi, empati, dan membangun hubungan berdasarkan kecerdasan emosionalnya.
  • Kepribadian. Mempengaruhi gaya manajemen konflik, karena setiap pribadi memiliki karakteristik yang berbeda-beda, dimana yang kepribadiannya pemberani cenderung memilih gaya kepemimpinan berkompetisi.
  • Budaya organisasi sistem sosial. Mendorong individu untuk memilih gaya manajemen konflik yang berbeda.
  • Prosedur yang mengatur pengambilan keputusan jika terjadi konflik. Dalam suatu organisasi mapan, gaya manajemen komflik pimpinan dan anggota organisasi akan tercermin.
  • Situasi konflik dan posisi dalam konflik. Gaya manajemennya bisa berubah menjadi gaya manajemen konflik kompromi dan kolaborasi.
  • Keterampilan berkomunikasi. Akan memperngaruhi dalam memilih gaya manajemen konflik, karena orang yang kemampuan komunikasinya rendah, maka akan kesulitan jika menggunakan gaya manajemen konflik kompetisi, kolaborasi, maupun kompromi.
TUJUAN MANAJEMEN KONFLIK
Saat muncul sebuah konflik, dan konflik tersebut bisa dimanjemen, akan terlihat beberapa tujuan manajemen konflik (Wirawan, 2010:132)
  • Menfokuskan anggota pada visi, misi dan tujuan organisasi.
Saat dalam suatu organisasi terdapat manajemen konflik, secara tidak langsung konflik tersebut akan mempengaruhi kinerja dari masing-masing anggotanya, yang pada akhirnya mengarah pada visi, misi, dan tujuan organisasi.
  • Memahami orang lain dan memahami keberagaman.
Bahwa saat melakukan pekerjaan, akan ada saatnya muncul bantuan dari pihak-pihak lain. Saat kita berusaha memahami orang lain yang dalam hal ini telah membantu kita, dan kita menemukan perbedaan antara diri dan orang p-tersebut, manajemen konflik digunakan untuk memahami keberagaman yang ada.
  • Meningkatkan kreativitas.
Dalam usaha manajemen konflik, akan muncul berbagai upaya untuk mengurangi konflik. Upaya tersebut memunculkan kreativitas dan bahkan inovasi, yang selanjutnya akan berpengaruh kepada produktivitas.
  • Meningkatkan keputusan melalui pertimbangan.

Dalam pemecahan konflik, akan selalu dihadapkan kepada sebuah pertimbangan. Manajemen konflik yang ada memfasilitasi terciptanya alternatif, yang pada akhirnya membantu menentukan keputusan yang bijak dalam sebuah pertimbangan.
  • Memfasilitasi pelaksanaan kegiatan.
Peran serta, pemahaman bersama, dan kerja sama adalah salah satu kunci yang bisa dan memfasilitasi pelaksanaan kegiatan. Seluruh unit-unit yang ada saling mendukung untuk mencapai tujuan tertentu.
  • Menciptakan prosedur dan mekanisme penyelesaian konflik.
Organisasi dalam perjalanannya akan selalu menemui konflik yang harus dihadapi. Konflik yang ada sebelumnya menjadi pembelajaran bagi sebuah organisasi untuk kedepannya menciptakan prosedur untuk menyelesaikan konflik berikutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Pickering, Peg. 2000. How to Manage Conflict (Kiat Menangkan Konflik). Jakarta: Erlangga.

Walton, Richard E. 1987. Managing Conflict. New York: Addison-Wesley.

Wilmot, W. W., dan J. L. Hocker. 2001. Interpersonal Conflict #6. New York: McGraw-Hill.

Winardi. 1994. Manajemen Konflik (Konflik Perubahan dan Pengembangan). Bandung: Mandar Maju.

Wirawan. 2010. Konflik dan Manajemen Konflik (Teori, Aplikasi, dan Penelitian). Jakarta: Salemba Humanika.


Makalah ini cuma versi sampel aja...
Untuk versi lengkap atau 
butuh makalah judul lain
Silakan Request aja...

Diana - o85868o39oo9

Dijamin Beress - Ga ribett
Ditunggu Ordernya Yach??
Thanks