Tampilkan postingan dengan label makalah hubungan internasional. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label makalah hubungan internasional. Tampilkan semua postingan

Rezim Lingkungan Internasional dalam Mempertahankan Negara dari Tindakan Pencemaran Lingkungan (Kasus pada Copenhagen Protocol)

 

Rezim Lingkungan Internasional dalam Mempertahankan Negara dari Tindakan Pencemaran Lingkungan (Kasus pada Copenhagen Protocol)


A.    Pendahuluan

Pada tahun 1970-an, isu lingkungan hidup pertama kali diangkat sebagai agenda dalam hubungan internasional. Hal tersebut ditunjukkan melalui terselenggaranya Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Lingkungan hidup pada tahun 1972 di Stockholm, Swedia. Beberapa tahun kemudian, yaitu pada tahun 1992, isu lingkungan hidup kembali diangkat dalam konferensi PBB tentang lingkungan hidup di Rio De Janeiro, Brazil. Sebelumnya, pada tahun 1990, telah diadakan konferensi PBB terkait  perubahan iklim dunia di Montreal, Kanada. Kepedulian terhadap lingkungan hidup telah menjadi isu global karena permasalahan lingkungan hidup mempunyai efek global, yaitu permasalahan yang berkaitan dengan  CFCyang memiliki dampak pada pada pemanasan global. Selain itu, isu lingkungan hidup juga berkaitan dengan eksploitasi sumber daya global seperti lautan dan atmosfer. Permasalahan lingkungan hidup bersifat transnasional, maka dari itu kerusakan lingkungan di suatu negara memiliki dampak pada wilayah di sekitarnya. Selain itu, kegiatan eksploitasi atau degradasi lingkungan berskala lokal atau nasionaldilakukan di banyak negara di seluruh dunia sehingga dianggap sebagai masalah global. Proses yang menyebabkan eksploitasi yang berlebihan dan degradasi lingkungan memiliki keterkaitan dengan proses politik dan sosialekonomi yang luas (Hartati, 2012).

Kerusakan lingkungan hidup menjadi perhatian lingkungan global, dimana aktor non negara memiliki peran penting dalam menghadapiisu lingkungan internasional, yang terfokus pada perkembangan dan implementasi rezim lingkungan hidup internasional. Dan cakupan lingkungan hidup ini adalah seluruh kondisi eksternal yang memiliki pengaruh terhadap kehidupan dan peranan organisme.Kerjasama internasional yang bertujuan untuk menangani permasalahan lingkungan internasional difokuskan untuk mencari kesepakatan norma internasional yang sah dan cara pengimplementasiannya. Norma standar tersebut  dibutuhkan sebagai prinsip dasar penyusunan kebiakan dan proses penanganan yang tepat dalam membentuk rezim internasional dalam permasalahan lingkungan hidup. Proses implementasi rezim lingkungan hidup internasional adalah proses dimana anggota rezim mengumpulkan, menukar serta membahas informasi terkait permasalahan yang diangkat dalam rezim tersebut. Prosesimplementasi rezim mencakup  pertukaran data dan informasi, analisis data, serta penilaian terhadap proses implementasi yang telah dilakukan oleh negara anggota(Hartati, 2012). Berdasarkan pada latar belakang tersebut, maka tulisan ini bertujuan untuk megnetahui  tentang bagaimana rezim mampu mempertahankan perilaku negara dari tindakan yang dapat mencemari lingkungan dunia, pembahasan tersebut akan menggunakan studi kasus pada Copenhagen Protocol.

B.     Pembahasan

Rezim lingkungan internasional berbeda dari rezim internasional lainnya yang umumnya didasarkan pada kepentingan dan kekuatan. Rezim lingkungan bukanlah rezim yang didasarkan pada kepentingan rezim karena bersifat nirlaba dan didasarkan pada kesadaran. Rezim lingkungan sangat bergantung pada masalah dalam bidang tertentu sehingga menuntut kesadaran bersama dalam mencapai tujuan efektivitas rezim, karena lingkungan bukan untuk berbagi keuntungan tertentu tetapi untuk kepentingan bersama. Rezim lingkungan internasional tidak didasarkan pada kekuatan karena efektivitasnya tidak tergantung pada aktor hegemon tetapi keputusan kolektif atau keputusan bersama. Rezim bertujuan untukmemberikan perlindungan terhadap tatanan lingkungan karena perlindungan lingkungan adalah bentuk tindakan keamanan kolektif(Winarno, 2017).

Tuntutan efektivitas implementasi rezim lingkungan internasional berlandaskan pada tiga hal. Pertama, manajemen lingkungan domestik tidak lagi efektif untuk menyelesaikan permasalahan lingkungan, sehingga membutuhkan adanya kerja sama yang efektif antarnegara. Kedua, semakin meningkatnya skala permasalahan lingkungan baik dalam cakupan  regional dan lokal, seperti degradasi perkotaan, deforestasi, penggurunan, sanitasi, penggundulan, atau kelangkaan air. Ketiga, hubungan kompleks antara ekonomi dunia dengan masalah lingkungan yang semakin mengglobal. Dengan demikian, rezim lingkungan merupakan bentuk kerja sama di antara para pelaku yang menempatkan masalah lingkungan sebagai bidang isu spesifik. Rezim lingkungan internasional dibentuk atas dasar desakan isu-isu yang terus meningkat sehingga peran penting rezim yang menurut adalah untuk mengelola konflik dan masalah-masalah yang menjadi kepentingan bersama. Rezim ini mencakup peraturan hukum, norma, aturan, dan prosedur pengambilan keputusan baik secara eksplisit maupun implisit dalam ruang lingkup harapan bagi semua aktor dalam bidang hubungan internasional tertentu (Winarno, 2017).

Diplomasi Ekonomi Indonesia dengan Kawasan Timur Tengah Studi Kasus Diplomasi Ekonomi dengan Arab Saudi



Diplomasi Ekonomi Indonesia dengan Kawasan Timur Tengah
Studi Kasus Diplomasi Ekonomi dengan Arab Saudi


 1.      Pendahuluan
Indonesia merupakan negara yang dikategorikan negara masih berkembang. Oleh karenanya, Indonesia masih harus mengejar ketertinggalannya dari negara-negara lain, negara-negara adikuasa dan negara maju lainnya. Selain itu kita juga harus senantiasa menjaga keutuhan wilayah negara karena sekarang kita adalah sebuah negara yang berdaulat. Artinya kita adalah negara mandiri yang bukan merupakan negara jajahan negara lain lagi dan harus berusaha memenuhi kebutuhannya sendiri, Indonesia bebas menentukan bagaimana arah negaranya, peraturannya dan bagaimana negara ini akan berjalan.
Dalam rangka memenuhi kebutuhan, setiap negara tidak mungkin dapat benar-benar memenuhi segala kebutuhannya di semua bidang sendiri. Kita pasti memerlukan pasokan, bantuan atau hubungan dengan negara lain untuk memajukan negaranya. Misalnya saja, ketika kita ingin memajukan negara di bidang pendidikan, kita perlu membuat kerjasama dengan negara yang tingkat pendidikannya tinggi untuk mengirim anak bangsa kita untuk belajar disana. Kerjasama yang dilakukan sebelumnya dapat membantu kita mendapatkan keamanan dan beberapa keuntungan. Kerjasama antar negara ini sering disebut dengan diplomasi. Diplomasi dilakukan oleh hampir semua negara yang ada di dunia untuk mendapatkan keuntungan satu sama lain. Keuntungan yang ingin diinginkan dari masing-masing negara pun beragam. Ada yang menginginkan keuntungan dibidang politik, ekonomi, budaya dan lain sebagainya. Maka dari itu, terkadang kebijakan-kebijakan negara sangat dipengaruhi oleh kerjasama-kerjasama yang dilakukan lewat diplomasi ini. Selain untuk mendapat keuntngan diplomasi ini juga bermanfaat untuk menciptakan perdamaian dunia karena hubungan baik antar negara akan membuat kedua negara tersebut terhindar dari pertikaian.
Indonesia juga tidak terkecuali, Indonesia melakukan diplomasi dengan banyak negara lain sesuai dengan apa yang ada di ketentuan undang-undang yaitu ikut berperan aktif dan ikut berperan dalam melaksanakan ketertian dunia yang berlandaskan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Diplomasi Indonesia dibagi menjadi hubungan bilateral, regional, dan multi lateral. (Kemetrian Luar Negeri Republik Indonesia, Diplomasi Indonesia 2014, 2015). Hubungan ini dilakukan dengan hampir seluruh negara di Dunia. Indonesia tentunya juga melakukan diplomasi dengan kawasan Timur Tengah. Tidak mengherankan, kawasan Timur Tengah adalah kawasan yang kaya akan minyak. Banyak negara lain pula yang tertarik menjalin hubungan baik dengan negara-negara kawasan Timur Tengah. Dalam pembahasan ini saya akan menjelaskan diplomasi Indonesia dengan negara-negara kawasan Timur Tengah beserta studi kasus diplomasi ekonomi Indonesia dan Arab Saudi.

2.      Pembahasan
a.      Diplomasi Ekononomi di Indonesia
·         Pengertian
Istilah diplomasi sering kita dengar di berbagai kesempatan, dalam percakapan sehari-hari kita sering menggunakan kata tersebut untuk menyebut seseorang yang memiliki kemampuan tutur kata yang baik, teratur dan sistematis. Sedangkan dalam konteks internasional, diplomasi diartikan sebagai pembicaraan formal ataupun nonformal antara dua atau lebih negara dalam membicaraka suatu hal yang berkaitan dengan berbagai kepentingannya. Kata diplomasi sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu “diploun” yang berarti “melipat”. Fungsi utama diplomasi adalah menyelesaikan berbagai perbedaan internasional dengan ketenangan dan bersahabat melalui perundingan yang diperlancar dengan hubungan pribadi yang baik dan saling pengertian. (Solihin, 2012). Maka dari itu diplomasi biasanya dilakukan sekaligus dengan kunjungan negara, kedua belah piha saling menunjukkan keramahtamahan dna persahabatan.
Diplomasi ini sendiri ada bermacam-macam. Ada diplomasi preventif, dilpomasi penyelaian konflik, diplomasi persahabatan, diplomasi ekonomi dan lain lain, fokus pembahasan ini ada pada diplomasi ekomoni. Diplomasi ekonomi ini memiliki tujuan khusus yaitu hubungannya dengan politik, ekonomi dometik dan internasional, dan perdagangan. Hubungan ini berperan penting dalam hubungan luar negeri karena globalisas ekonomi terus melanda dunia sehingga diplomasi ekonomi merupakan instrumen penting dalam politik  luar negeri. Secara umum, diplomasi ekonomi diterjemahkan sebagai proses pengajuan kebijakan dan keputusan serta berbagai konsultasi tentang kemudahan dan prospek ekonomi guna mencapai tujuan dan kepentingan nasional, untuk dinegosisasikan agar dapat disepakati oleh negara lain, baik secara bilateral maupun multirateral.
·         Sejarah Diplomasi Ekonomi di Indonesia
Diplomasi ekonomi Indonesia tercatat dalam sejarah dimulai pada sekitar tahun 1700 Masehi antara suku Aborigin di kawasan Australia Utara dengan orang Makassar yang melakukan perdagangan teripang. (Angayomi, 2009) Lalu pada awal kemerdekaan pada tahun 1945 Indonesia mulai melakukan diplomasi denga negara lain yaitu diplomasi beras dengan India, dan diplomasi ekonomi dengan mengadakan hubungan dagang luar negeri dengan perusahaan swasta Amerika Serikat, Singapura dan Malaysia. Pada pemerintahan Soeharto diplomasi ekonomi Indonesia dengan dasar hubungan sejarah, politik dan budayad engan Belanda menghasilkan Intergovernmental Group on Indonesia(IGGI) yang anggotanya adalah Bank Pembangunan Asia, Dana Moneter Internasional, UNDP, Bank Dunia, Australia, Belgia, Britania Raya, Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Selandia Baru, Swiss dan Amerika Serikat. (Solichin, Harianto, & Subekti)
b.      Diplomasi Indonesia Ekonomi dengan Kawasan Timur Tengah
Kawasan Timur Tengah merupakan salahsatu wilayah yang memiliki potensi yang besar. Dari segi geografis, memiliki letak yang sangat strategis, dimana wilayah ini menjadi jembatan untuk menghubungkan tiga benua: Asia, Afrika, dan Eropa. Dan yang merupakan faktor yang paling penting dan cukup berpengaruh ialah Timur Tengah adalah kawasan yang kaya minyak. Minyak merupakan sumber ekonomi terbesar bagi negara-negara di kawasan Timur Tengah. Minyak merupakan hal yang sangat penting bagi negara- negara industri, khususnya dalam bidang teknologi. Tanpa minyak, negara teknologi akan mati. Dan minyak pulalah yang menjadi faktor sangat penting sehingga negara-negara industri seperti Amerika, Perancis, Inggris menjadi semakin terdorong untuk menguasai kawasan ini dengan segala cara. Dengan potensi yang begitu besar maka ancaman bagi negara lain juga menjadi besar. Maka dari itu kita perlu melakukan diplomasi dalam rangka preventif.
c.       Diplomasi Ekonomi dengan Arab Saudi
Kerjasama Indonesia dan Arab Saudi termasuk pada  kerjasama bilateral adalah bentuk hubungan yang dilakukan oleh suatu negara dengan negara lain, yang bertujuan untuk memenuhi kepentingan negara-negara di dunia, yang meliputi kerjasama di bidang politik, sosial, pertahanan keamanan, kebudayaan, dan ekonomi, dalam bingkai pada politik luar negeri masing-masing. (Isdah, 2018)
Indonesia memiliki hubungan luar negeri yang cukup lama dengan Arab  Saudi.Arab Saudi sendiri adalah sebuah negara yang berbentuk monarki atau negara kerajaan. Kerajaan Arab Saudi (Kingdom of Saudi Arabia/Al-Mamlakah Al Arabiyah As-saudiyah), merupakan salah satu negara yang memiliki hubungan yang erat dengan Indonesia. (Isdah, 2018)
Hubungan Indonesia dan Arab Saudi memang sangat erat mengingat Indonesia yang merupakan negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam secara otomatis setiap tahun jemaah haji dari Indonesia jumlahnya sangat banyak. Selain itu yang maak dibicarakan adalah TKI di Arab Saudi, terlepas dengan semua itu Hubungan bilateral tiga tahun ini sangat kuat antara Indonesia dan Arab Saudi.

3.      Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa diplomasi adalah hal yang penting untuk dilakukan sebuah negara agar dapat memenuhi kebutuhannya sekaligus meningkatkan berbagai macam aspek dalam kehidupan bernegaranaya. Sebagai contoh yaitu dengan adanya diplomasi ekonomi, dalam diplomasi ini kedua negara dapat berunding dan saling menawarkan perjanjian-perjanjian yang saling menguntungkna bagi kedua belah pihak. Jika kerjasama ini berhasil, bukan tidak mungkin tingkat ekonomi dalam suatu negara dapat berubah.

Artikel ini adalah versi sampel saja.
Untuk versi lengkap atau
bisa juga tugas custom, based on request
silahkan WA ke 085-8680-39009 (Diana)
Ditunggu ordernya kakak :))


Hubungan Internasional Negara China dan Filipina Studi Kasus Konflik Laut China Selatan



Hubungan Internasional Negara China dan Filipina
Studi Kasus Konflik Laut China Selatan
Abstrak
Sengketa Spartly adalah awal dari konflik China dan Filipina yang sama-sama mengklaim wilayahnya di kawasan Laut China Selatan. Konflik Laut China Selatan yang melibatkan China dan Filipina ini menempuh perjalanan yang panjang sebelum tahun 2015. Pada akhirnya, di tahun 2015, kasus arbitrase UNCLOS Filipina v. China berlangsung. Perselisihan teritorial China Laut Selatan mereka tetap merupakan faktor penting dalam hubungan bilateral antara China dan Filipina. Meskipun mereka telah sepakat untuk bekerja dalam kerangka mekanisme resolusi konflik Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara untuk menyelesaikan masalah ini dengan ramah, kedua negara terus melakukan persaingan regional. Klaim di daerah Sejak saat itu, kedua negara telah dengan cepat menormalisasi hubungan bilateral mereka, meningkatkan hubungan investasi, dan saat ini merenungkan pengetatan hubungan pertahanan.

A.    Pendahuluan
Laut Cina Selatan adalah laut semi tertutup di Samudera Pasifik barat "yang luasnya hampir 3,5 juta kilometer persegi". Laut ini merupakan jalur pengiriman penting, tempat memancing yang kaya, dan diyakini memiliki sumber minyak dan gas yang cukup besar. Laut Cina Selatan menawarkan tempat memancing yang kaya dan kekayaan potensial dari deposit minyak, gas dan mineral bawah laut. Sebelas juta barel minyak dan 190 triliun kaki kubik gas alam mungkin ada di sana, menurut laporan tahun 2013 dari Administrasi Informasi Energi A.S (News 2017). Ini berbatasan dengan beberapa negara. Itu terletak pada "selatan Cina dan pulau-pulau Hainan dan Taiwan; Di sebelah barat Filipina; Di sebelah timur Vietnam; dan di sebelah utara Malaysia, Brunei, Singapura dan Indonesia ".2 Ini mencakup ratusan fitur geografis, baik di atas maupun di bawah air (Pemmaraju 2016).
Mengingat sifat geografi Laut Cina Selatan yang kompleks, sejumlah negara yang berbatasan dengan laut China terlibat secara hukum dan mengklaim wilayahnya masing-masing. Perselisihan tersebut merupakan salah satu masalah penting yang menimpa China dan empat negara penggugat Asia Tenggara - Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei. Bagian dari modernisasi pertahanan yang dilakukan oleh negara-negara Asia Tenggara terkait dengan masalah ini. Keseriusan masalah ini ditunjukkan pada bulan Februari 1995, ketika China merambah di Semenanjung Mischief yang diklaim Filipina di Spratlys. Kemudian Sekretaris Pertahanan Filipina Orlando S. Marcado kemudian menggambarkan pendudukan China atas Mischief Reef dan benteng bangunannya pada akhir 1998 sebagai indikasi kuat "invasi merayap" China terhadap "rantai Laut China Selatan yang disengketakan" (Emmers 2007).
Konflik Laut China Selatan yang melibatkan China dan Filipina ini menempuh perjalanan yang panjang sebelum tahun 2015. Pada akhirnya, di tahun 2015, kasus arbitrase UNCLOS Filipina v. China berlangsung. Yang pertama meminta pengadilan untuk membatalkan klaim "sembilan dash line" nanti (GAU 2015). Kemudian pada bulan Juli 2016, sebuah pengadilan arbitrasi di bawah Lampiran VII Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) memutuskan untuk menolak klaim maritim dalam kasus Filipina v. Republik Rakyat Cina. Keputusan ini tidak menunjukkan efek apapun, karena China tidak mengakui pengadilan tersebut dan juga tidak mematuhi keputusannya, sehingga keputusan tersebut tidak dapat dilaksanakan. Keputusan yang diharapkan beberapa mungkin akhirnya menyelesaikan sebagian konflik yang saling terkait mengenai zona ekonomi eksklusif, hidrokarbon berharga dan gas alam, belum lagi total perdagangan senilai 5,3 triliun yang melewati Laut Cina Selatan setiap tahun (Ronen and Němeček 2017).

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka paper ini merumuskan permasalahan, yaitu:
1.      Bagaimana proses penyelesaian konflik China – Filipina dalam sengkeka Laut China Selatan?
2.      Bagaimana bentuk hubungan international China – Filipina pasca keputusan Arbitrase UNICLOS terkait dengan sengketa Laut China Selatan?

C.    Pembahasan
1.      Proses penyelesaian konflik China – Filipina dalam sengkeka Laut China Selatan
Sengketa Spartly adalah awal dari konflik China dan Filipina yang sama-sama mengklaim wilayahnya di kawasan Laut China Selatan. Kepulauan Spratly diklaim oleh China, Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei. Perselisihan teritorial kedua di Laut Cina Selatan menyangkut kepulauan Paracel, yang diklaim oleh Vietnam dan Taiwan. Makalah ini hanya berfokus pada isu Spratly. Klaim yang dibuat oleh pihak-pihak yang terlibat dalam perselisihan Spratly dapat dipisahkan menjadi klaim historis penemuan dan pendudukan, dan klaim bahwa beristirahat pada perpanjangan yurisdiksi yang berdaulat di bawah interpretasi ketentuan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS). Beijing memandang Laut Cina Selatan sebagai laut Cina eksklusif dan mengklaim hampir seluruh wilayahnya. Klaim historisnya didasarkan pada penemuan dan pendudukan wilayah tersebut (Emmers 2007). Anggota ASEAN yang asli yang terlibat dalam perselisihan tersebut mengajukan klaim yang bertentangan yang berbeda dari yang dibahas di atas. Di antara negara-negara anggota, Filipina mengklaim wilayah terbesar Spratly, sebuah zona yang disebut sebagai Kalayaan. Pertama secara resmi diproklamasikan pada tahun 1971, sebuah keputusan presiden 1978 mendeklarasikan Kalayaan sebagai bagian dari wilayah nasionalnya.
Arbitrase Laut Cina Selatan antara Filipina dan China memprihatinkan aplikasi oleh Filipina untuk keputusan terkait empat hal mengenai hubungan antara Filipina dan China di Laut Cina Selatan. Pertama, Filipina meminta sebuah keputusan mengenai hak dan kewajiban para Pihak di Laut Cina Selatan dan dampak dari Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut ("Konvensi") mengenai klaim China terhadap hak-hak bersejarah di dalam wilayahnya yang disebut juga nine-dash-line. Kedua, Filipina mencari sebuah keputusan mengenai apakah beberapa fitur maritim tertentu yang diklaim oleh China dan Filipina benar-benar ditandai sebagai pulau, bebatuan, dataran rendah atau bank yang terendam di bawah Konvensi. Status fitur-fitur ini di bawah Konvensi menentukan zona maritim yang mampu mereka hasilkan. Ketiga, Filipina mencari keputusan mengenai apakah tindakan China tertentu di Laut Cina Selatan telah melanggar Konvensi, dengan mencampuri pelaksanaan hak dan kebebasan kedaulatan Filipina di bawah Konvensi atau melalui kegiatan konstruksi dan penangkapan ikan yang telah merusak lingkungan laut. Akhirnya, Filipina meminta sebuah keputusan bahwa tindakan-tindakan tertentu yang dilakukan oleh China, khususnya reklamasi tanah skala besar dan pembangunan pulau-pulau buatan di Kepulauan Spratly sejak arbitrase ini dimulai, secara tidak sah memperburuk dan memperpanjang perselisihan para Pihak (Il Sore 24 ore 2016).
Keputusan dari Arbritase Laut China Selatan tahun 2016 menghasilkan The Tribunal Award di bawah the United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Dalam Penghargaannya pada tanggal 12 Juli 2016, Pengadilan tersebut mempertimbangkan implikasi dari garis sembilan-dash 'China dan apakah China memiliki hak historis atas sumber daya di Laut Cina Selatan melampaui batas zona maritim yang berhak berdasarkan Konvensi. Oleh karena itu, Tribunal menyimpulkan bahwa, antara Filipina dan China, tidak ada dasar hukum bagi China untuk mengklaim hak historis atas sumber daya, melebihi hak yang diatur oleh Konvensi, di dalam wilayah laut yang berada dalam 'sembilan dasbor garis'. Pada tanggal 12 Juli 2016, Tribunal mempertimbangkan status fitur di Laut Cina Selatan dan hak-hak ke area maritim yang dapat diklaim China sesuai dengan Konvensi.

2.      Bentuk hubungan international China – Filipina pasca keputusan Arbitrase UNICLOS terkait dengan sengketa Laut China Selatan
"Titik terendah" dalam hubungan kedua negara didramatisasi dengan mengajukan sebuah petisi untuk arbitrase oleh pemerintah Filipina melawan China sebelum Pengadilan Internasional mengenai Hukum Laut (ITLOS) pada bulan Maret 2014 untuk menyelesaikan perselisihan teritorial di China Selatan. Laut. Kementerian luar negeri China mengeluarkan sebuah demonstrasi diplomatik atas pengarsipan yang disebutnya sebagai tindakan melawan negara yang bersahabat; Ini menegaskan kembali juga bahwa klaim berdaulat harus diselesaikan melalui negosiasi. Inti pertengkaran tersebut adalah bagaimana menyelesaikan ketegangan teritorial di laut China Selatan yang tidak hanya melibatkan China dan Filipina tetapi juga negara-negara lain di Asia: bilateral atau multilateral seperti melalui ASEAN. Perselisihan teritorial telah dibuat lebih rumit dengan masuknya Filipina ke dalam Perjanjian Kerjasama Pertahanan yang Diperluas (OPCA Defence Cooperation Agreement / EDCA) dengan AS pada bulan April 2014 yang percaya bahwa kemitraan pertahanan baru akan menjadi penghalang terhadap "ketegasan" China di Laut China Selatan. Apalagi, pemerintah Filipina memperkuat kemitraan pertahanannya dengan Jepang yang memiliki klaim teritorial sendiri atas pulau Diaoyu (Senkaku) melawan China (Tuazon 2014).
Tiga tahun setelah Filipina memulai proses persidangan melawan China di bawah Lampiran VII Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS), lima hakim di Pengadilan Arbitrasi akhirnya memberikan penilaian mereka yang telah lama dinanti dalam "Penghargaan Tanpa Suara" pada tanggal 12 Juli 2016. Intinya, klaim Filipina di Laut Cina Selatan (SCS ) Telah diperkuat dengan mengorbankan klaim hak-hak bersejarah China di belakang nine-dash-line Laut China Selatan, dan berimplikasi jangka panjang terhadap keamanan regional, hubungan Sino-AS yang penting, dan pada kredibilitas dan sentralitas ASEAN sebagai promotor utama stabilitas, keamanan, dan kemakmuran regional.
Sengketa Laut Cina Selatan yang telah berlangsung lama antara China dan negara-negara tetangga maritim lainnya, terutama antara China dan Filipina, semakin menarik perhatian dunia daripada sebelumnya melalui proses arbitrase antarnegara yang dibawa oleh Filipina sehubungan dengan perselisihan mengenai " Hak maritim "dan keabsahan kegiatan Tionghoa di Laut Cina Selatan. Sejak inisiasi arbitrase Filipina, ketegangan politik dan keamanan Laut Cina Selatan belum berkurang, namun telah meningkat menjadi titik nyala konflik yang potensial. Salah satu contoh nyata adalah bahwa China telah melakukan kegiatan reklamasi lahan secara besar-besaran di pulau-pulau dan terumbu karang yang disengketakan di Laut Cina Selatan (Yu 2016).
Filipina dan China dan Filipina telah kembali ke "jalur yang benar" untuk menyelesaikan perselisihan Laut China Selatan setahun setelah putusan arbitrase. Sejak tahun lalu, dengan usaha bersama kedua belah pihak, China dan Filipina telah kembali ke jalur yang benar untuk menyelesaikan perselisihan secara damai melalui dialog dan negosiasi, dan hubungan China-Filipina telah meningkat secara menyeluruh (Viray 2017). Dalam rangka menegakkan ketetapan hukum maritim internasional, Filipina tetap berpegang teguh pada resolusi sengketa maritim yang damai. Mengingat bahwa hukum internasional dan opini publik sekarang sepenuhnya mendukungnya, penting bahwa pemerintahan Filipina memainkan kartunya dengan baik dalam hubungan bilateralnya dengan China dan juga keterlibatan multilateral dengan sesama negara anggota ASEAN dan kekuatan ekstra-regional lainnya yang berbagi kepentingan bersama dalam pelestarian lingkungan dan stabilitas regional secara keseluruhan (Manhit 2016). Meskipun dengan tegas menjunjung tinggi kedaulatan teritorial dan kepentingan maritim dan kepentingannya di Laut Cina Selatan, China juga telah berkomitmen untuk menyelesaikan perselisihan yang relevan melalui negosiasi dan konsultasi dengan negara-negara yang secara langsung berkepentingan dan bekerja sama dengan negara-negara ASEAN untuk bersama-sama menjunjung tinggi perdamaian dan stabilitas di Laut China Selatan (Viray 2017).
Perselisihan teritorial China Laut Selatan mereka tetap merupakan faktor penting dalam hubungan bilateral antara China dan Filipina. Meskipun kedua negara telah sepakat untuk bekerja dalam kerangka mekanisme resolusi konflik Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara untuk menyelesaikan masalah ini dengan ramah, kedua negara terus melakukan persaingan regional. Klaim di daerah Sejak saat itu, kedua negara telah dengan cepat menormalisasi hubungan bilateral mereka, meningkatkan hubungan investasi, dan saat ini merenungkan pengetatan hubungan pertahanan. Mengenai hubungan bilateral, Filipina harus menjunjung tinggi ketentuan putusan tersebut sebagai dasar untuk dimulainya kembali kembali pembicaraan pemerintah-ke-pemerintah tingkat tinggi dan kemungkinan pengejaran investasi asing di bawah usaha patungan dengan China.
Menurut teori IR liberal, negara-negara yang terlibat dalam perdagangan memiliki lebih sedikit konflik internasional satu sama lain, karena mereka ingin mempertahankan perdagangan semacam itu dan dengan demikian hubungan baik (Russett and Oneal 2001)  Dari perspektif ini, banyak ilmuwan berpendapat bahwa karena China mendapat keuntungan dari berdagang dengan negara lain, China ingin mempertahankan sistem saat ini agar dapat terus menerima manfaat tersebut (Brandt, Rawskl and Zhu 2007). Namun, bukan karena keinginan China untuk mempertahankan perdagangan dengan Filipina yang menjelaskan peningkatan hubungan bilateral. Dengan kata lain, penekanan liberalisme pada aktor negara yang bertujuan untuk memaksimalkan perdagangan negara mereka dengan negara-negara lain tidak didukung dalam kasus ini.
China tetap berkomitmen untuk melakukan negosiasi dengan Filipina untuk penyelesaian perselisihan dan peningkatan hubungan bilateral. Ini belum diubah oleh arbitrase. Arbitrase yang diprakarsai secara sepihak oleh mantan pemerintah Filipina telah menyebabkan kerusakan pada hubungan China-Filipina. Mempertimbangkan bahwa Filipina adalah salah satu tetangga dekat China sehingga sangat penting bagi Filipina untuk menyediakan waktu yang masuk akal bagi China untuk mengelola risiko nasionalisme yang berkembang di dalam negeri saat bekerja untuk menyempurnakan undang-undang maritimnya sendiri sesuai dengan ketentuan UNCLOS.
Mengenai hubungan multilateral, Filipina harus secara aktif mempresentasikan kasusnya sebagai preseden hukum bagi negara-negara anggota ASEAN untuk lebih memperjelas hak dan batasan maritim masing-masing serta menyesuaikan kebijakan domestik masing-masing mengenai hak penangkapan ikan dan eksplorasi mineral / minyak dan gas dengan UNCLOS ketentuan. Hal ini pada akhirnya akan menjadi dasar hukum untuk pengaturan delimitasi maritim dan pembagian sumber daya di antara negara-negara anggota ASEAN dan antara negara-negara penuntut ASEAN dan China, sehingga mengurangi risiko terjadinya kekerasan di laut.
Momentum kerja sama antara China dan Filipina akan menjadi kesempatan untuk menggariskan strategi kerjasama di masa depan untuk persatuan yang lebih erat dan keuntungan yang lebih besar bagi masyarakat kedua belah pihak. Berkaitan dengan masalah Laut Cina Selatan, China selalu siap untuk terlibat dalam komunikasi yang ramah dan jujur dengan negara-negara ASEAN. China akan menerapkan eclaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (DOC) secara komprehensif dan efektif dan terus memajukan konsultasi Kode Etik di Laut Cina Selatan. China akan mengikuti "dual track approach". Ini berarti perselisihan yang relevan harus diselesaikan dengan benar oleh negara-negara yang secara langsung terlibat dalam konsultasi dan negosiasi yang bersahabat, sementara perdamaian dan stabilitas Laut Cina Selatan dipelihara bersama oleh China dan negara-negara ASEAN.

3.      Kesimpulamn
Mengingat sifat geografi Laut Cina Selatan yang kompleks, sejumlah negara yang berbatasan dengan laut China terlibat secara hukum dan mengklaim wilayahnya masing-masing. Perselisihan tersebut merupakan salah satu masalah penting yang menimpa China dan empat negara penggugat Asia Tenggara - Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei. Konflik Laut China Selatan yang melibatkan China dan Filipina ini menempuh perjalanan yang panjang sebelum tahun 2015. Pada akhirnya, di tahun 2015, kasus arbitrase UNCLOS Filipina v. China berlangsung.
Perselisihan teritorial China Laut Selatan mereka tetap merupakan faktor penting dalam hubungan bilateral antara China dan Filipina. Meskipun mereka telah sepakat untuk bekerja dalam kerangka mekanisme resolusi konflik Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara untuk menyelesaikan masalah ini dengan ramah, kedua negara terus melakukan persaingan regional. Klaim di daerah Sejak saat itu, kedua negara telah dengan cepat menormalisasi hubungan bilateral mereka, meningkatkan hubungan investasi, dan saat ini merenungkan pengetatan hubungan pertahanan.
Makalah ini juga berpendapat bahwa hubungan diplomatik dan ekonomi harus dipromosikan dengan saling pengertian. Filipina a di China berbagi akar sejarah, perdagangan, dan budaya yang umum sehingga membantu komunikasi ramah dan interaksi yang ramah. Tapi kontradiksi tetap tidak hanya mengenai perbedaan teritorial dan historis, namun juga mengenai bagaimana kebijakan luar negeri dilakukan

Daftar Pustaka
Brandt, Loren, Thomas G. Rawskl, and Xiaodong Zhu. "International Dimensions of China’s Long Boom." In China’s Rise and the Balance of Influence in Asia, by William W. Keller and Thomas G. Rawski, 14-46. Pittsburgh : The University of Pittsburgh Pres, 2007.
Emmers, Ralf. "The De-escalation of the Spratly Dispute in Sino-Southeast Asian Relations." Conference on "The South China Sea: Towards a Cooperative Management Regime”. Singapore: S. Rajaratnam School of International Studies: Maritime Security Programme, 2007. 1-30.
GAU, Michael Sheng-ti. "The Sino-Philippine Arbitration on the South China Sea Disputes: Ineffectiveness of the Award, Inadmissibility of the Claims, and Lack of Jurisdiction, with Special Reference to the Legal Arguments Made by the Philippines in the Hearing on 7-13 July 2015." China Oceans Law Review 2015, no. 2 (2015): 90-207.
Il Sore 24 ore. "Summary of the tribunal’s decisions on its jurisdiction and on the merits of the Philippines’ claim." Il Sore 24 ore. 2016. http://www.ilsole24ore.com/pdf2010/Editrice/ILSOLE24ORE/ILSOLE24ORE/Online/_Oggetti_Embedded/Documenti/2016/07/12/Decisione-Aja-filippine-cina.pdf (accessed Agustus 2017, 2017).
Manhit, Dindo. Keeping the peace in post-arbitration . Juli 19, 2016. http://www.philstar.com/headlines/2016/07/19/1604482/keeping-peace-post-arbitration (accessed Agustus 28, 2017).
News, Fox. South China Sea dispute: What to know. Mei 25, 2017. http://www.foxnews.com/world/2017/05/25/south-china-sea-dispute-what-to-know.html (accessed Agustus 28, 2017).
Pemmaraju, Sreenivasa Rao. "The South China Sea Arbitration (The Philippines v. China): Assessment of the Award on Jurisdiction and Admissibility." Chinese Journal of International Law Advance, 2016: 1-43.
Ronen, Daniel, and David Němeček. "Settling the South China Sea Dispute." Security Council Research Paper, 2017: 1-35.
Russett, Bruce, and John Oneal. Triangulating Peace: Democracy, Interdependence, and International Organizations. New York: W.W. Norton and Company, 2001.
Tuazon, Bobby M. "The Highs And Lows Of Philippines-China Relations: Current Situation and Prospects." Lecture for the Guangxi Academy of Social Sciences, Institute of Southeast Asian Studies, April 18, 2014, Nanning. Nanning: Institute of Southeast Asian Studies, 2014. 1-10.
Viray, Patricia Lourdes. China: Philippines came back to right track a year after Hague ruling . Juli 13, 2017. http://www.philstar.com/headlines/2017/07/13/1719200/china-philippines-came-back-right-track-year-after-hague-ruling (accessed Agustus 2017, 2017).
Yu, Mincai. The South China Sea Dispute and the Philippines Arbitration Tribunal: China's Policy Options. Mei 11, 2016. http://www.internationalaffairs.org.au/australianoutlook/the-south-china-sea-dispute-and-the-philippines-arbitration-tribunal-chinas-policy-options/ (accessed Agustus 2017, 2017).

Mau dibuatkan paper HI seperti ini?
Atau tugas-tugas custom lainnya?
Silahkan contact ke WA 085868039009 (Diana)
Happy Order :)