Tampilkan postingan dengan label Filipina. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Filipina. Tampilkan semua postingan

Kebijakan Luar Negeri Filipina pada Era Presiden Duterte


Kebijakan Luar Negeri Filipina pada Era Presiden Duterte

A.    Pendahuluan
Negara yang merdeka dan berdaulat menjalankan kebijakan politik luar negerinya dalam dunia internasional. Kebijakan politik luar negeri suatu negara menunjukkan kepentingan nasional negara tersebut. Dalam hubungannya dengan kepentingan nasional, kebijakan politik luar negeri suatu negara bertujuan untuk dapat memperjuangkan kepentingan nasional negara dengan tepat. Hal tersebut tidak lepas dari peran pemerintahan yang berkuasa dalam negara tersebut. Filipina sebagai negara yang merdeka dan berdaulat juga memiliki peran aktif dalam politik internasional melalui politik luar negerinya yang merupakan cerminan dari kepentingan nasionalnya. Kepentingan nasional Filipina juga masih memiliki keterkaitan dengan sejarah panjang negara Filipina sejak awal. Filipina yang pernah berada di bawah kekuasaan Amerika Serikat, masih membawa pengaruh nilai-nilai Amerika Serikat yang tertanam. Bahkan, kerja sama antara Amerika Serikat dengan Filipina pun dinilai sangat baik yang ditunjukkan dengan mengizinkan tentara Amerika Serikat untuk mempunyai pangkalan dan melakukan pelatihan militer di wilayahnya, yaitu di Mindanao. Kecenderungan politik luar negeri Filipina pun tidak lepas dari kolonial Amerika Serikat (Putri, 2017).  
Pada Mei 2016 Rodrigo Duterte resmi menjadi Presiden Filipina ke-16 setelah memenangkan pemilihan umum Presiden. Di masa pemerintahan Presiden Duterte yang masih terbilang baru, Presiden Duterte sudah banyak mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang dinilai sangat kontroversial, seperti kebijakan Presiden Duterte untuk menembak mati para pengedar narkoba yang menolak untuk ditangkap. Kebijakan Duterte yang terbilang ekstrem ini mengundang perhatian dari berbagai pihak termasuk organisasi internasional tertinggi yaitu PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang menilai bahwa kebijakan Presiden Duterte ini dinilai telah melanggar hukum internasional tentang HAM (Hak Asasi Manusia). PBB dan beberapa negara di DK-PBB (Dewan Keamanan PBB) meminta Presiden Duterte untuk menarik kebijakan tersebut karena dinilai sebagai pelanggaran terhadap hukum internasional (Lubis, 2017).

B.     Pembahasan
1.      Kebijakan luar negeri Filipina terkait Laut Cina Selatan
a.      Hubungan Filipina dengan Cina
Konflik terkait Laut Cina Selatan mencakup kawasan Spratlys dan Scarbourogh dalam beberapa periode sejak 1970-an seolah dinilai telah menjadi pembentuk pola hubungan antara Filipina dengan Cina. Terkait permasalahan sengketa tersebut, isu terbaru adalah klaim 9 dash line oleh Cina pada tahun 2009 yang memulai memanasnya hubungan di antara kedua negara. Dalam klaim terbaru, Cina menetapkan wilayah lautan yang dimiliki mencakup seluruh bagian Laut Cina Selatan seperti yang tertera dalam peta resmi pada pemerintahan Kuomintang tahun 1947 dan masa awal pemerintahan Cina tahun 1949. Bagi Filipina dan Cina, Laut Cina Selatan memiliki nilai strategis tersendiri yang kemudian mendasari sengketa perebutan wilayah beserta dengan negara pengklaim lainnya. Laut Cina Selatan dianggap sebagai salah satu laut terpenting seiring dengan peranannya sebagai penghubung perdagangan dunia serta kekayaan alam di dalamnnya. Sejak awal permasalahan ini muncul, secara konsisten Pemerintah Filipina melakukan perimbangan dalam mengatasi ancaman Cina terutama melalui Amerika Serikat dan ASEAN sebagai aliansi utama (Numadi, 2018).

b.      Dasar dan tujuan kebijakan luar negeri Filipina terkait Laut Cina Selatan di era Presiden Duterte
Terdapat pergeseran pendekatan strategi yang signifikan terhadap Cina pada era pemerintahan Presiden Duterte. Secara umum, Amerika Serikat masih menjadi sekutu terdekat Filipina, dan di sisi lain, Cina masih dipandang sebagai ancaman. Namun di bawah pemerintahan Presiden Rodrigo Duterte, kebijakan luar negeri Filipina mengalami pergeseran yang signifikan yang dapat dilihat dari pernyataan Presiden Duterte yang mengatakan berpisah dengan Amerika Serikat saat berkunjung ke Beijing bulan Oktober 2016. Kunjungan Presiden Duterte ke Beijing tersebut menghasilkan Joint Statement yang secara umum menggambarkan hubungan bersahabat kedua bangsa yang sudah terjalin sejak lama. Selain itu, kedua negara sepakat untuk meningkatkan hubungan bilateral, yang berdasar pada mutual respect, ketulusan, persamaan derajat, serta mutual benefit. Terkait isu Laut Cina Selatan, kedua negara sepakat bahwa sengketa di Laut Cina Selatan tidak menunjukkan hubungan Filipina-Cina secara keseluruhan. Hubungan antara Filipina dengan Cina menjadi erat yang dapat dilihat dari kesediaan dan keterbukaan Presiden Duterte terhadap kerjasama militer dengan Cina di perairan Sulu. Hal itu disampaikan Duterte setelah mengunjungi dua kapal perang Cina di pelabuhan Kota Davao untuk keperluan kunjungan. Presiden Duterte mengatakan, tujuannya berkunjung dan menyambut kapal perang China tersebut adalah untuk menunjukkan niat baik dari Filipina serta meningkatkan confidence-building di antara kedua negara. Selain China, Presiden Duterte juga membuka ruang kepada Rusia untuk bergabung dalam latihan militer gabungan di Laut Sulu, sebagai wujud kebijakan luar negeri Filipina yang independen (Ikanang, 2017)

2.      Kebijakan luar negeri Filipina terkait kejahatan transnasional narkoba
a.      Permasalahan narkoba di Filipina
Dalam kasus peredaran narkoba, awalnya negara-negara di Asia Tenggara hanya dijadikan negara transit narkoba yang berasal dari dan ke berbagai belahan dunia lain. Akhirnya peredaran narkoba justru semakin meluas di negara Asia Tenggara dengan adanya jenis-jenis narkoba yang semakin bervariasi. Pada awal tahun 1990-an Filipina hanya menjadi titik transit utama narkoba, namun di akhir tahun 1990-an telah menjadi salah satu produsen dan eksportir terbesar narkoba jenis sabu-sabu. Sehingga permasalahan narkoba di Filipina menjadi tantangan bagi pemerintah untuk melakukan upaya penanganan yang serius. Filipina telah menjadi salah satu negara dunia yang mengalami masalah perdagangan narkoba yang serius. Menurut International Narcotics Control Strategy Report (INCSR) perdagangan narkoba secara ilegal terus menimbulkan ancaman nasional yang serius, terutama dalam pemilihan umum nasional di Filipina. Hal ini dikarenakan narko-politik telah menjadi isu utama dalam kampanye pemilihan, yang berdasarkan pada laporan departemen luar negeri Amerika Serikat menyatakan bahwa perdagangan narkoba dapat mempengaruhi hasil pemilu di Filipina karena banyak politisi Filipina masuk dalam dunia narkoba berdasarkan pernyataan Drug Enforcement Agency Filipina (Bahaduri, 2017; Maulidya, 2019).

b.      Kebijakan luar negeri Filipina terkait kejahatan transnasional narkoba di era Presiden Duterte
Implementasi War on Drugs tidak lepas dari berkembangnya persoalan narkotika dan obat bius yang dari tahun ke tahun terus menunjukkan peningkatan di Filipina. Pihak-pihak yang terlibat dalam War on Drugs ternyata tidak hanya dari pemerintah atau masyarakat, namun juga kelompok yang selama ini dikategorikan dalam organisasi teroris, yaitu MLF (Moro Liberation Front) dan MILF(Moro Islamic Liberation Front. Hal ini justru menunjukkan prestasi kemampuan Presiden Duterte dalam membangun konsolidasi dengan berbagai pihak, termasuk pihak lawan untuk mewujudkan kepentingan bersama, yaitu Filipina yang bebas dari narkotika dan obat bius. Langkah Duterte dalam mengikutsertakan CPP (Communist Party of Philippines),  MLF dan MILF dikarenakan dalam lembaga pemerintah kekurangan personel dan sumber daya manusia, serta penguasaan medan, dimana sebagian kasus-kasus peredaran narkotika dan obat bius terjadi di wilayah pedalaman. Dan bagi organisasi terroris, dengan adanya kebijakan War on Drugs dan karena adanya pertimbangan ideologis yang menganggap narkotika dan obat bius merupakan benda haram yang dilarang oleh agama, serta adanya kompensasi yang diberikan oleh pemerintah Filipina berupa uang ataupun inisiatif untuk dapat bergabung angkatan bersanjata nasional Filipina (Bahaduri, 2017).

C.    Kesimpulan
Di masa pemerintahan Presiden Duterte yang masih terbilang baru, Presiden Duterte sudah banyak mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang dinilai sangat kontroversial, seperti kebijakan Presiden Duterte untuk menembak mati para pengedar narkoba yang menolak untuk ditangkap serta mengubah haluan kebijakan luar negeri Filipina yang tadinya anti Cina menjadi mitra kerja sama yang baik dengan Cina.

Sistem Pemilihan Umum Filipina pada Tahun 2016



Sistem Pemilihan Umum Filipina pada Tahun 2016 

A.    Pendahuluan
Masalah utama yang menentukan pembangunan sebuah negara adalah konsep kedaulatan yang dianut. Kedaulatan merupakan konsepsi yang berkaitan dengan kekuasaan tertinggi dalam organisasi negara. Isra (dalam Sarbaini, 2015) menjelaskan bahwa kekuasaan tertinggi tersebut biasanya dipahami sebagai sesuatu yang bersifat abstrak, tunggal, dan utuh, serta tidak berasal dari kekuasaan lain yang lebih tinggi. Pengakuan pemegang kekuasaan tertinggi suatu negara tidak mutlak, karena mengalami perkembangan dari sisi pemikiran maupun praktik ketatanegaraan, dari gagasan kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat. [1]
Dalam gagasan tentang negara dan praktik kenegaraan sepanjang peradaban manusia, terdapat lima teori atau ajaran tentang kedaulatan. Kelima teori tersebut mencakup kedaulatan tuhan, kedaulatan raja, kedaulatan negara, kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum. Sejak adanya perkembangan peradaban rasionalisme, teori kedaulatan yang saat ini paling banyak dianut oleh negara-negara di dunia merupakan kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum. Kedaulatan rakyat menjadi dasar utama perkembangan demokrasi.[2]
Karakteristik sebuah negara demokratis adalah seberapa besar negara melibatkan masyarakat dalam perencanaan atau pelaksanaan pemilihan umum. Sebab partisipasi politik masyarakat sebagai pemilih merupakan aspek penting dalam sebuah tatanan negara demokrasi. Dalam hubungannya dengan demokrasi, partisipasi politik memiliki pengaruh terhadap legitimasi oleh masyarakat pada berjalannya suatu pemerintahan. Dalam Pemilu misalnya partisipasi politik memiliki pengaruh pada legitimasi masyarakat pada calon atau pasangan calon terpilih. Setiap masyarakat mempunyai preferensi dan kepentingan masing-masing yang bertujuan untuk menentukan pilihan dalam pemilu. Masa depan pejabat publik yang terpilih dalam Pemilu memiliki ketergantungan pada preferensi masyarakat sebagai pemilih. Partisipasi politik masyarakat dalam Pemilu juga dapat dinilai sebagai evaluasi dan kontrol masyarakat terhadap pemimpin atau pemerintahan.[3]
Pemilu merupakan wujud nyata demokrasi prosedural, meskipun demokrasi tidak sama dengan pemilihan umum, akan tetapi pemilihan umum adalah salah satu aspek demokrasi yang penting yang harus diselenggarakan secara demokratis. Maka dari itu, lazimnya di negara-negara demokrasi mentradisikan Pemilu sebagai bentuk memilih pejabat-pejabat publik di bidang legislatif dan eksekutif baik di pusat maupun daerah. Demokrasi dan Pemilu yang demokratis memiliki hubungan qonditio sine qua non, atau yang satu tidak bisa ada tanpa yang lain, atau kedu hal tersebut saling membutuhkan satu sama lain. Dalam arti bahwa Pemilu merupakan prosedur untuk mencapai demokrasi atau merupakan prosedur untuk memindahkan kedaulatan rakyat kepada kandidat tertentu untuk menduduki jabatan-jabatan politik. [4]
Pelaksanaan pemilihan umum merupakan momen yang sangat penting sebagai proses demokrasi di sejumlah negara demokrasi seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Filipina. Negara-negara tersebut sudah melaksanakan pemilihan umum (pemilu) secara berkala dalam kurun waktu yang cukup lama. Sama seperti Indonesia, sebelum memasuki demokratisasi, Filipina juga pernah berada di bawah rezim otoriter. Selama 20 tahun dari tahun 1965 hingga 1986, Filipina berada di bawah pemerintahan otoriter Ferdinan Edralin Marcos. Akibat dari kekuasaan yang otoriter, Marcos menggunakan jabatannya untuk mendirikan rezim yang membolehkannya tetap menjabat presiden hingga periode ke empat. Di bawah kepemimpinan Marcos, Filipina mengalami swasembada pangan, di mana produksi beras melimpah dan membuat Filipina mengekspor beras ke luar negeri. Kondisi ekonomi yang stabil ini tidak berlangsung lama, karena pada tingkat sosial masyarakat, terjadi kesenjangan antara yang kaya dengan miskin yang terjadi akibat isu korupsi yang berkembang di tubuh pemerintahan Ferdinand Marcos, sehingga hal tersebut menyebabkan munculnya kejahatan dan kerusuhan sipil di seluruh negeri. [5]
Kondisi ini memicu gejolak politik dalam negeri, yang memunculkan kelompok yang menentang rezim Marcos di bawah pimpinan senator Benigno Aquino. Tahun 1983 Benigno Aquino ditembak mati setelah dirinya kembali dari pengasingan yang saat itu berupaya menggulingkan diktator Marcos. Hal ini menjadi pemicu terjadinya gerakan massa yang disebut revolusi EDSA untuk menumbangkan rezim. Revolusi EDSA terjadi tahun 1986, karena Marcos telah menghilangkan sebagian dari hak suara masyarakat Filipina yang pro pada rivalnya di pemilu presiden, Corazon Aquino. Marcos juga berupaya mengganti anggota Comelec untuk berbuat curang dan memenangkannya kembali sebagai presiden. Hal inilah yang mendorong terjadinya people power, yang merupakan revolusi terbesar di Filipina yang membuat Marcos pada turun dari jabatannya sebagai presiden dalam revolusi EDSA tahun 1986. [6] [7]

Artikel ini adalah versi sampel saja.
Untuk versi lengkap atau
bisa juga tugas custom, based on request
silahkan WA ke 0882-9980-0026 (Diana)
Ditunggu ordernya kakak :))




[1] Sarbaini. (2015). Demokratisasi Dan Kebebasan Memilih Warga Negara Dalam Pemilihan Umum. Jurnal Inovatif, Volume VIII Nomor I Januari 2015
[2]  Ibid.
[3] Liando, D. M. (2016). Pemilu Dan Partisipasi Politik Masyarakat (Studi Pada Pemilihan Anggota Legislatif Dan Pemilihan Presiden Dan Calon Wakil Presiden Di Kabupaten Minahasa Tahun 2014). Jurnal LPPM Bidang EkoSosBudKum Volume 3 Nomor 2 Tahun 2016 Edisi Oktober
[4] Prasetyoningsih, N. (2014). Dampak Pemilihan Umum Serentak Bagi Pembangunan Demokrasi Indonesia. Jurnal Media Hukum Vol 21, No 2 (2014)
[5] Setiawan, W. (2017). Perbandingan Sistem Pemilihan Umum Antara Indonesia Dan Filipina. Universitas Muhammadiyah Malang
[6] Ibid.
[7] Anggara, C., Marjono, & Swastika, K. (2017). American Intervention In The Overthrow Of President Ferdinand E. Marcos In Philippines In 1983-1986. Jurnal Historica Volume. 1 (2017) Issue. 1

Hubungan Internasional Negara China dan Filipina Studi Kasus Konflik Laut China Selatan



Hubungan Internasional Negara China dan Filipina
Studi Kasus Konflik Laut China Selatan
Abstrak
Sengketa Spartly adalah awal dari konflik China dan Filipina yang sama-sama mengklaim wilayahnya di kawasan Laut China Selatan. Konflik Laut China Selatan yang melibatkan China dan Filipina ini menempuh perjalanan yang panjang sebelum tahun 2015. Pada akhirnya, di tahun 2015, kasus arbitrase UNCLOS Filipina v. China berlangsung. Perselisihan teritorial China Laut Selatan mereka tetap merupakan faktor penting dalam hubungan bilateral antara China dan Filipina. Meskipun mereka telah sepakat untuk bekerja dalam kerangka mekanisme resolusi konflik Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara untuk menyelesaikan masalah ini dengan ramah, kedua negara terus melakukan persaingan regional. Klaim di daerah Sejak saat itu, kedua negara telah dengan cepat menormalisasi hubungan bilateral mereka, meningkatkan hubungan investasi, dan saat ini merenungkan pengetatan hubungan pertahanan.

A.    Pendahuluan
Laut Cina Selatan adalah laut semi tertutup di Samudera Pasifik barat "yang luasnya hampir 3,5 juta kilometer persegi". Laut ini merupakan jalur pengiriman penting, tempat memancing yang kaya, dan diyakini memiliki sumber minyak dan gas yang cukup besar. Laut Cina Selatan menawarkan tempat memancing yang kaya dan kekayaan potensial dari deposit minyak, gas dan mineral bawah laut. Sebelas juta barel minyak dan 190 triliun kaki kubik gas alam mungkin ada di sana, menurut laporan tahun 2013 dari Administrasi Informasi Energi A.S (News 2017). Ini berbatasan dengan beberapa negara. Itu terletak pada "selatan Cina dan pulau-pulau Hainan dan Taiwan; Di sebelah barat Filipina; Di sebelah timur Vietnam; dan di sebelah utara Malaysia, Brunei, Singapura dan Indonesia ".2 Ini mencakup ratusan fitur geografis, baik di atas maupun di bawah air (Pemmaraju 2016).
Mengingat sifat geografi Laut Cina Selatan yang kompleks, sejumlah negara yang berbatasan dengan laut China terlibat secara hukum dan mengklaim wilayahnya masing-masing. Perselisihan tersebut merupakan salah satu masalah penting yang menimpa China dan empat negara penggugat Asia Tenggara - Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei. Bagian dari modernisasi pertahanan yang dilakukan oleh negara-negara Asia Tenggara terkait dengan masalah ini. Keseriusan masalah ini ditunjukkan pada bulan Februari 1995, ketika China merambah di Semenanjung Mischief yang diklaim Filipina di Spratlys. Kemudian Sekretaris Pertahanan Filipina Orlando S. Marcado kemudian menggambarkan pendudukan China atas Mischief Reef dan benteng bangunannya pada akhir 1998 sebagai indikasi kuat "invasi merayap" China terhadap "rantai Laut China Selatan yang disengketakan" (Emmers 2007).
Konflik Laut China Selatan yang melibatkan China dan Filipina ini menempuh perjalanan yang panjang sebelum tahun 2015. Pada akhirnya, di tahun 2015, kasus arbitrase UNCLOS Filipina v. China berlangsung. Yang pertama meminta pengadilan untuk membatalkan klaim "sembilan dash line" nanti (GAU 2015). Kemudian pada bulan Juli 2016, sebuah pengadilan arbitrasi di bawah Lampiran VII Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) memutuskan untuk menolak klaim maritim dalam kasus Filipina v. Republik Rakyat Cina. Keputusan ini tidak menunjukkan efek apapun, karena China tidak mengakui pengadilan tersebut dan juga tidak mematuhi keputusannya, sehingga keputusan tersebut tidak dapat dilaksanakan. Keputusan yang diharapkan beberapa mungkin akhirnya menyelesaikan sebagian konflik yang saling terkait mengenai zona ekonomi eksklusif, hidrokarbon berharga dan gas alam, belum lagi total perdagangan senilai 5,3 triliun yang melewati Laut Cina Selatan setiap tahun (Ronen and Němeček 2017).

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka paper ini merumuskan permasalahan, yaitu:
1.      Bagaimana proses penyelesaian konflik China – Filipina dalam sengkeka Laut China Selatan?
2.      Bagaimana bentuk hubungan international China – Filipina pasca keputusan Arbitrase UNICLOS terkait dengan sengketa Laut China Selatan?

C.    Pembahasan
1.      Proses penyelesaian konflik China – Filipina dalam sengkeka Laut China Selatan
Sengketa Spartly adalah awal dari konflik China dan Filipina yang sama-sama mengklaim wilayahnya di kawasan Laut China Selatan. Kepulauan Spratly diklaim oleh China, Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei. Perselisihan teritorial kedua di Laut Cina Selatan menyangkut kepulauan Paracel, yang diklaim oleh Vietnam dan Taiwan. Makalah ini hanya berfokus pada isu Spratly. Klaim yang dibuat oleh pihak-pihak yang terlibat dalam perselisihan Spratly dapat dipisahkan menjadi klaim historis penemuan dan pendudukan, dan klaim bahwa beristirahat pada perpanjangan yurisdiksi yang berdaulat di bawah interpretasi ketentuan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS). Beijing memandang Laut Cina Selatan sebagai laut Cina eksklusif dan mengklaim hampir seluruh wilayahnya. Klaim historisnya didasarkan pada penemuan dan pendudukan wilayah tersebut (Emmers 2007). Anggota ASEAN yang asli yang terlibat dalam perselisihan tersebut mengajukan klaim yang bertentangan yang berbeda dari yang dibahas di atas. Di antara negara-negara anggota, Filipina mengklaim wilayah terbesar Spratly, sebuah zona yang disebut sebagai Kalayaan. Pertama secara resmi diproklamasikan pada tahun 1971, sebuah keputusan presiden 1978 mendeklarasikan Kalayaan sebagai bagian dari wilayah nasionalnya.
Arbitrase Laut Cina Selatan antara Filipina dan China memprihatinkan aplikasi oleh Filipina untuk keputusan terkait empat hal mengenai hubungan antara Filipina dan China di Laut Cina Selatan. Pertama, Filipina meminta sebuah keputusan mengenai hak dan kewajiban para Pihak di Laut Cina Selatan dan dampak dari Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut ("Konvensi") mengenai klaim China terhadap hak-hak bersejarah di dalam wilayahnya yang disebut juga nine-dash-line. Kedua, Filipina mencari sebuah keputusan mengenai apakah beberapa fitur maritim tertentu yang diklaim oleh China dan Filipina benar-benar ditandai sebagai pulau, bebatuan, dataran rendah atau bank yang terendam di bawah Konvensi. Status fitur-fitur ini di bawah Konvensi menentukan zona maritim yang mampu mereka hasilkan. Ketiga, Filipina mencari keputusan mengenai apakah tindakan China tertentu di Laut Cina Selatan telah melanggar Konvensi, dengan mencampuri pelaksanaan hak dan kebebasan kedaulatan Filipina di bawah Konvensi atau melalui kegiatan konstruksi dan penangkapan ikan yang telah merusak lingkungan laut. Akhirnya, Filipina meminta sebuah keputusan bahwa tindakan-tindakan tertentu yang dilakukan oleh China, khususnya reklamasi tanah skala besar dan pembangunan pulau-pulau buatan di Kepulauan Spratly sejak arbitrase ini dimulai, secara tidak sah memperburuk dan memperpanjang perselisihan para Pihak (Il Sore 24 ore 2016).
Keputusan dari Arbritase Laut China Selatan tahun 2016 menghasilkan The Tribunal Award di bawah the United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Dalam Penghargaannya pada tanggal 12 Juli 2016, Pengadilan tersebut mempertimbangkan implikasi dari garis sembilan-dash 'China dan apakah China memiliki hak historis atas sumber daya di Laut Cina Selatan melampaui batas zona maritim yang berhak berdasarkan Konvensi. Oleh karena itu, Tribunal menyimpulkan bahwa, antara Filipina dan China, tidak ada dasar hukum bagi China untuk mengklaim hak historis atas sumber daya, melebihi hak yang diatur oleh Konvensi, di dalam wilayah laut yang berada dalam 'sembilan dasbor garis'. Pada tanggal 12 Juli 2016, Tribunal mempertimbangkan status fitur di Laut Cina Selatan dan hak-hak ke area maritim yang dapat diklaim China sesuai dengan Konvensi.

2.      Bentuk hubungan international China – Filipina pasca keputusan Arbitrase UNICLOS terkait dengan sengketa Laut China Selatan
"Titik terendah" dalam hubungan kedua negara didramatisasi dengan mengajukan sebuah petisi untuk arbitrase oleh pemerintah Filipina melawan China sebelum Pengadilan Internasional mengenai Hukum Laut (ITLOS) pada bulan Maret 2014 untuk menyelesaikan perselisihan teritorial di China Selatan. Laut. Kementerian luar negeri China mengeluarkan sebuah demonstrasi diplomatik atas pengarsipan yang disebutnya sebagai tindakan melawan negara yang bersahabat; Ini menegaskan kembali juga bahwa klaim berdaulat harus diselesaikan melalui negosiasi. Inti pertengkaran tersebut adalah bagaimana menyelesaikan ketegangan teritorial di laut China Selatan yang tidak hanya melibatkan China dan Filipina tetapi juga negara-negara lain di Asia: bilateral atau multilateral seperti melalui ASEAN. Perselisihan teritorial telah dibuat lebih rumit dengan masuknya Filipina ke dalam Perjanjian Kerjasama Pertahanan yang Diperluas (OPCA Defence Cooperation Agreement / EDCA) dengan AS pada bulan April 2014 yang percaya bahwa kemitraan pertahanan baru akan menjadi penghalang terhadap "ketegasan" China di Laut China Selatan. Apalagi, pemerintah Filipina memperkuat kemitraan pertahanannya dengan Jepang yang memiliki klaim teritorial sendiri atas pulau Diaoyu (Senkaku) melawan China (Tuazon 2014).
Tiga tahun setelah Filipina memulai proses persidangan melawan China di bawah Lampiran VII Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS), lima hakim di Pengadilan Arbitrasi akhirnya memberikan penilaian mereka yang telah lama dinanti dalam "Penghargaan Tanpa Suara" pada tanggal 12 Juli 2016. Intinya, klaim Filipina di Laut Cina Selatan (SCS ) Telah diperkuat dengan mengorbankan klaim hak-hak bersejarah China di belakang nine-dash-line Laut China Selatan, dan berimplikasi jangka panjang terhadap keamanan regional, hubungan Sino-AS yang penting, dan pada kredibilitas dan sentralitas ASEAN sebagai promotor utama stabilitas, keamanan, dan kemakmuran regional.
Sengketa Laut Cina Selatan yang telah berlangsung lama antara China dan negara-negara tetangga maritim lainnya, terutama antara China dan Filipina, semakin menarik perhatian dunia daripada sebelumnya melalui proses arbitrase antarnegara yang dibawa oleh Filipina sehubungan dengan perselisihan mengenai " Hak maritim "dan keabsahan kegiatan Tionghoa di Laut Cina Selatan. Sejak inisiasi arbitrase Filipina, ketegangan politik dan keamanan Laut Cina Selatan belum berkurang, namun telah meningkat menjadi titik nyala konflik yang potensial. Salah satu contoh nyata adalah bahwa China telah melakukan kegiatan reklamasi lahan secara besar-besaran di pulau-pulau dan terumbu karang yang disengketakan di Laut Cina Selatan (Yu 2016).
Filipina dan China dan Filipina telah kembali ke "jalur yang benar" untuk menyelesaikan perselisihan Laut China Selatan setahun setelah putusan arbitrase. Sejak tahun lalu, dengan usaha bersama kedua belah pihak, China dan Filipina telah kembali ke jalur yang benar untuk menyelesaikan perselisihan secara damai melalui dialog dan negosiasi, dan hubungan China-Filipina telah meningkat secara menyeluruh (Viray 2017). Dalam rangka menegakkan ketetapan hukum maritim internasional, Filipina tetap berpegang teguh pada resolusi sengketa maritim yang damai. Mengingat bahwa hukum internasional dan opini publik sekarang sepenuhnya mendukungnya, penting bahwa pemerintahan Filipina memainkan kartunya dengan baik dalam hubungan bilateralnya dengan China dan juga keterlibatan multilateral dengan sesama negara anggota ASEAN dan kekuatan ekstra-regional lainnya yang berbagi kepentingan bersama dalam pelestarian lingkungan dan stabilitas regional secara keseluruhan (Manhit 2016). Meskipun dengan tegas menjunjung tinggi kedaulatan teritorial dan kepentingan maritim dan kepentingannya di Laut Cina Selatan, China juga telah berkomitmen untuk menyelesaikan perselisihan yang relevan melalui negosiasi dan konsultasi dengan negara-negara yang secara langsung berkepentingan dan bekerja sama dengan negara-negara ASEAN untuk bersama-sama menjunjung tinggi perdamaian dan stabilitas di Laut China Selatan (Viray 2017).
Perselisihan teritorial China Laut Selatan mereka tetap merupakan faktor penting dalam hubungan bilateral antara China dan Filipina. Meskipun kedua negara telah sepakat untuk bekerja dalam kerangka mekanisme resolusi konflik Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara untuk menyelesaikan masalah ini dengan ramah, kedua negara terus melakukan persaingan regional. Klaim di daerah Sejak saat itu, kedua negara telah dengan cepat menormalisasi hubungan bilateral mereka, meningkatkan hubungan investasi, dan saat ini merenungkan pengetatan hubungan pertahanan. Mengenai hubungan bilateral, Filipina harus menjunjung tinggi ketentuan putusan tersebut sebagai dasar untuk dimulainya kembali kembali pembicaraan pemerintah-ke-pemerintah tingkat tinggi dan kemungkinan pengejaran investasi asing di bawah usaha patungan dengan China.
Menurut teori IR liberal, negara-negara yang terlibat dalam perdagangan memiliki lebih sedikit konflik internasional satu sama lain, karena mereka ingin mempertahankan perdagangan semacam itu dan dengan demikian hubungan baik (Russett and Oneal 2001)  Dari perspektif ini, banyak ilmuwan berpendapat bahwa karena China mendapat keuntungan dari berdagang dengan negara lain, China ingin mempertahankan sistem saat ini agar dapat terus menerima manfaat tersebut (Brandt, Rawskl and Zhu 2007). Namun, bukan karena keinginan China untuk mempertahankan perdagangan dengan Filipina yang menjelaskan peningkatan hubungan bilateral. Dengan kata lain, penekanan liberalisme pada aktor negara yang bertujuan untuk memaksimalkan perdagangan negara mereka dengan negara-negara lain tidak didukung dalam kasus ini.
China tetap berkomitmen untuk melakukan negosiasi dengan Filipina untuk penyelesaian perselisihan dan peningkatan hubungan bilateral. Ini belum diubah oleh arbitrase. Arbitrase yang diprakarsai secara sepihak oleh mantan pemerintah Filipina telah menyebabkan kerusakan pada hubungan China-Filipina. Mempertimbangkan bahwa Filipina adalah salah satu tetangga dekat China sehingga sangat penting bagi Filipina untuk menyediakan waktu yang masuk akal bagi China untuk mengelola risiko nasionalisme yang berkembang di dalam negeri saat bekerja untuk menyempurnakan undang-undang maritimnya sendiri sesuai dengan ketentuan UNCLOS.
Mengenai hubungan multilateral, Filipina harus secara aktif mempresentasikan kasusnya sebagai preseden hukum bagi negara-negara anggota ASEAN untuk lebih memperjelas hak dan batasan maritim masing-masing serta menyesuaikan kebijakan domestik masing-masing mengenai hak penangkapan ikan dan eksplorasi mineral / minyak dan gas dengan UNCLOS ketentuan. Hal ini pada akhirnya akan menjadi dasar hukum untuk pengaturan delimitasi maritim dan pembagian sumber daya di antara negara-negara anggota ASEAN dan antara negara-negara penuntut ASEAN dan China, sehingga mengurangi risiko terjadinya kekerasan di laut.
Momentum kerja sama antara China dan Filipina akan menjadi kesempatan untuk menggariskan strategi kerjasama di masa depan untuk persatuan yang lebih erat dan keuntungan yang lebih besar bagi masyarakat kedua belah pihak. Berkaitan dengan masalah Laut Cina Selatan, China selalu siap untuk terlibat dalam komunikasi yang ramah dan jujur dengan negara-negara ASEAN. China akan menerapkan eclaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (DOC) secara komprehensif dan efektif dan terus memajukan konsultasi Kode Etik di Laut Cina Selatan. China akan mengikuti "dual track approach". Ini berarti perselisihan yang relevan harus diselesaikan dengan benar oleh negara-negara yang secara langsung terlibat dalam konsultasi dan negosiasi yang bersahabat, sementara perdamaian dan stabilitas Laut Cina Selatan dipelihara bersama oleh China dan negara-negara ASEAN.

3.      Kesimpulamn
Mengingat sifat geografi Laut Cina Selatan yang kompleks, sejumlah negara yang berbatasan dengan laut China terlibat secara hukum dan mengklaim wilayahnya masing-masing. Perselisihan tersebut merupakan salah satu masalah penting yang menimpa China dan empat negara penggugat Asia Tenggara - Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei. Konflik Laut China Selatan yang melibatkan China dan Filipina ini menempuh perjalanan yang panjang sebelum tahun 2015. Pada akhirnya, di tahun 2015, kasus arbitrase UNCLOS Filipina v. China berlangsung.
Perselisihan teritorial China Laut Selatan mereka tetap merupakan faktor penting dalam hubungan bilateral antara China dan Filipina. Meskipun mereka telah sepakat untuk bekerja dalam kerangka mekanisme resolusi konflik Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara untuk menyelesaikan masalah ini dengan ramah, kedua negara terus melakukan persaingan regional. Klaim di daerah Sejak saat itu, kedua negara telah dengan cepat menormalisasi hubungan bilateral mereka, meningkatkan hubungan investasi, dan saat ini merenungkan pengetatan hubungan pertahanan.
Makalah ini juga berpendapat bahwa hubungan diplomatik dan ekonomi harus dipromosikan dengan saling pengertian. Filipina a di China berbagi akar sejarah, perdagangan, dan budaya yang umum sehingga membantu komunikasi ramah dan interaksi yang ramah. Tapi kontradiksi tetap tidak hanya mengenai perbedaan teritorial dan historis, namun juga mengenai bagaimana kebijakan luar negeri dilakukan

Daftar Pustaka
Brandt, Loren, Thomas G. Rawskl, and Xiaodong Zhu. "International Dimensions of China’s Long Boom." In China’s Rise and the Balance of Influence in Asia, by William W. Keller and Thomas G. Rawski, 14-46. Pittsburgh : The University of Pittsburgh Pres, 2007.
Emmers, Ralf. "The De-escalation of the Spratly Dispute in Sino-Southeast Asian Relations." Conference on "The South China Sea: Towards a Cooperative Management Regime”. Singapore: S. Rajaratnam School of International Studies: Maritime Security Programme, 2007. 1-30.
GAU, Michael Sheng-ti. "The Sino-Philippine Arbitration on the South China Sea Disputes: Ineffectiveness of the Award, Inadmissibility of the Claims, and Lack of Jurisdiction, with Special Reference to the Legal Arguments Made by the Philippines in the Hearing on 7-13 July 2015." China Oceans Law Review 2015, no. 2 (2015): 90-207.
Il Sore 24 ore. "Summary of the tribunal’s decisions on its jurisdiction and on the merits of the Philippines’ claim." Il Sore 24 ore. 2016. http://www.ilsole24ore.com/pdf2010/Editrice/ILSOLE24ORE/ILSOLE24ORE/Online/_Oggetti_Embedded/Documenti/2016/07/12/Decisione-Aja-filippine-cina.pdf (accessed Agustus 2017, 2017).
Manhit, Dindo. Keeping the peace in post-arbitration . Juli 19, 2016. http://www.philstar.com/headlines/2016/07/19/1604482/keeping-peace-post-arbitration (accessed Agustus 28, 2017).
News, Fox. South China Sea dispute: What to know. Mei 25, 2017. http://www.foxnews.com/world/2017/05/25/south-china-sea-dispute-what-to-know.html (accessed Agustus 28, 2017).
Pemmaraju, Sreenivasa Rao. "The South China Sea Arbitration (The Philippines v. China): Assessment of the Award on Jurisdiction and Admissibility." Chinese Journal of International Law Advance, 2016: 1-43.
Ronen, Daniel, and David Němeček. "Settling the South China Sea Dispute." Security Council Research Paper, 2017: 1-35.
Russett, Bruce, and John Oneal. Triangulating Peace: Democracy, Interdependence, and International Organizations. New York: W.W. Norton and Company, 2001.
Tuazon, Bobby M. "The Highs And Lows Of Philippines-China Relations: Current Situation and Prospects." Lecture for the Guangxi Academy of Social Sciences, Institute of Southeast Asian Studies, April 18, 2014, Nanning. Nanning: Institute of Southeast Asian Studies, 2014. 1-10.
Viray, Patricia Lourdes. China: Philippines came back to right track a year after Hague ruling . Juli 13, 2017. http://www.philstar.com/headlines/2017/07/13/1719200/china-philippines-came-back-right-track-year-after-hague-ruling (accessed Agustus 2017, 2017).
Yu, Mincai. The South China Sea Dispute and the Philippines Arbitration Tribunal: China's Policy Options. Mei 11, 2016. http://www.internationalaffairs.org.au/australianoutlook/the-south-china-sea-dispute-and-the-philippines-arbitration-tribunal-chinas-policy-options/ (accessed Agustus 2017, 2017).

Mau dibuatkan paper HI seperti ini?
Atau tugas-tugas custom lainnya?
Silahkan contact ke WA 085868039009 (Diana)
Happy Order :)