Tampilkan postingan dengan label gender dan seksualitas. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label gender dan seksualitas. Tampilkan semua postingan

Enhancing the Role of Women in Gender Development

 

Enhancing the Role of Women in Gender Development


A.    Introduction

Gender movement is one of the global issues developed by all countries in the world along with the existence of democratization, the environment, and human rights. Gender is a set of attitudes, roles, functions and responsibilities inherent in men and women due to cultural formation or environmental influences in which humans grow and grow. In other words, gender can be changed in accordance with the development of the community concerned, because basically gender is something that is shaped by the environment in which they live. The gender movement is not only limited to the issue of gender equality, but also concerns social and cultural change efforts in general, and its development in people's lives. Therefore, currently, the role of women is often included in the gender movement and discourse on gender development. The aim is to realize gender equality and justice, as well as harmonious partnerships between men and women in development. Nevertheless, there are still obstacles faced by women in the implementation of women's roles in gender development.

B.     Discussion

Body I : according to a gender perspective, that all humans, both men and women are the same and are not differentiated and limited by gender reasons. But the fact is, women experience more lagging in the development processes, both as actors and as objects of beneficiaries of development.

Body II: gender roles change over time and with the current development. One of the strategic efforts in increasing the role of women in development is through empowering women by providing equal opportunities and access in all fields and aspects of life, as well as strengthening with policy regulations.

Body III:the obstacles faced by women in the implementation of women's roles in gender development.

C.    Conclusion

To balance the challenges and demands of the changing times, a paradigm shift is needed in developing of the role of women, namely through the gender development and strengthened by regulation of policies. It is done with the hope that it can encourage changes in the way of society's view of gender so that it can encourage women to improve the quality, potential, and abilities they have.

Keterwakilan Wanita dalam Politik di Indonesia

 

Keterwakilan Wanita dalam Politik di Indonesia


A.    Pendahuluan

Sepanjang sejarah peradaban manusia, persoalan ketidakadilan sosial umumnya menimpa kaum wanita, yang mana mereka sering hanya diposisikan pada peran domestik saja, sehingga sangat menghambat kemajuan mereka menggeluti dunia publik. Hal tersebut merupakan rekayasa kultur dan tradisi yang menciptakan pelabelan atau steretip tertentu pada perempuan yang telah mengakar kuat dalam masyarakat. Padahalgender tidak sama dengan jenis kelamin. Gender merupakan konstruksi sosial untuk memberikan label pada masing-masing individu, walaupun sebenarnya tetap didasarkan pada jenis kelamin (Rokhmansyah, 2016).Secara terminologis gender dapat didefinisikan sebagai konstruksi budaya terhadap kaum pria dan wanita. Gender dipandang sebagai suatu konsep kultural yang dipakai untuk membedakan peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara-antara pria dan wanita yang berkembang dalam masyarakat. Gender merupakan suatu sifat yang dijadikan dasar untuk mengidentifikasi perbedaan antara pria dan wanita dilihat dari segi kondisi sosial dan budaya, nilai dan perilaku, mentalitas, dan emosi, serta faktor-faktor nonbiologis lainnya.Sistem patriarki yang mendominasi kebudayaan masyarakat menyebabkan adanya kesenjangan gender dan akhirnya memunculkan ketidakadilan dan diskriminasi gender.

Ketidakadilan gender terjadi karena adanya keyakinan dan pembenaran manusia dalam berbagai bentuk (Muryanti, 2012). Selain itu, ketidakadilan dan diskriminasi tersebut juga diakibatkan karenanya adanya sistem dan struktur sosial yang telah berakar dalam sejarah, adat maupun norma (Marhaeni, 2008). Bentuk-bentuk diskriminasi gender meliputi marginalisasi (diskriminasi terhadap kaum wanita dari dunia kerja dan sektor publik lainnya), subordinasi (anggapan konstruktif dari masyarakat yang menempatkan wanita dalam posisi lemah dan di bawah pria), pandangan stereotip (pelabelan atau cap atau stigma terhadap seseorang, kelompok, atau jenis pekerjaan tertentu), kekerasan (serangan atau invasi terhadap fisik maupun integritas mental psikologi seseorangdan peran ganda (permasalahan beban kerja menyangkut masalah dua peran wanita dalam sektor domestik dan sektor publik).Namun, kemajuan jaman saat ini telah mengubah banyak pandangan mengenai wanita dan perannya dalam kehidupan sosial sehari-harinya, yang mana hal tersebut membuat wanita sudah dapat memperoleh hak yang sama dengan pria. Meskipun demikian,ketidakadilan dan diskriminasi gender juga masih banyak ditemukan di berbagai lingkup kehidupan masyarakat Indonesia.Isu ketidakadilan gender tersebut telah menjadi isu sentral dalam pembangunan, terutama pembangunan sumber daya manusia, karena pada dasarnya kesetaraan dan keadilan gender merupakan salah satu tantangan utama pembangunan.

..........

B.     Pembahasan

..........

Menurut Joice Mitchell, dalam Political Analysis and Public Policy, menyatakan bahwa “Politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijakan umum untuk masyarakat seluruhnya”. Disamping itu, hampir serupa dengan definisi Joyce Mitchell, Karl W. Deutsch juga mengemukakan bahwa “Politik adalah pengambilan keputusan melalui sarana umum”. Keputusan itu berbeda dengan pengambilan keputusan-keputusan pribadi oleh seseorang, dan keseluruhan dari keputusan itu merupakan sektor umum atau sektor publik dari suatu negara(Budiardjo, Soeseno, & Evaquartaa, 2014). Sementara itu, Abdulkadir B. Nambo dan Muhamad Rusdiyanto Puluhuluwa (2005), menemukan dua kecenderungan penting dalam apa yang dinamakan sebagai “definisi politik”, antaranya: 1) Pandangan yang menghubungkan politik dengan adanya negara, yaitu urusan pemerintahan pusat dan daerah; dan 2) Pandangan yang menghubungkan dengan masalah kekuasaan, otoritas dan atau dengan konflik.

Terkait dengan hal tersebut, di seluruh dunia, wanita merupakan bagian yang sangat penting dan tak terpisahkan dari populasi. Tidak heran dalam waktu belakangan ini, wanita di seluruh dunia menjadi fokus positif. Ini adalah hasil dari realisasi apa yang mungkin hilang dari dunia dengan tidak melibatkan mereka secara positif dalam proses pembangunan negara. Meskipun beberapa negara, terutama negara-negara maju, telah menghargai dan memberdayakan sebagian besar wanita mereka untuk memainkan peran mereka dan berkontribusi kuota mereka sendiri untuk pengembangan masyarakat mereka. Namun pada sebagian banyak negara lainnya, terutama negara-negara berkembang, masih belum menghargai sepenuhnya peran penting yang dapat dimainkan perempuan dalam transformasi negara mereka ketika diberdayakan(Asaju & Adagba, 2013). Begitu pula halnya dengan di Indonesia, terutama di bidang publik dan politik. Padahal saat ini, Indonesia sedang berada dalam masa transisi dengan demokrasi yang menjadi isu utama dalam masalah pemerintahan dan negara. Pembangunan politik ini menjadi salah satu masalah krusial yang harus dapat ditangani baik oleh rakyat dari negara ini maupun pemerintah, yang manapembangunan politik yang ideal akan menciptakan adanya demokrasi. Hubungan antara pembangunan dan demokrasi merupakan hal yang sudah ditinjau secara berlanjut, namun hubungannya menjadi semakin jelas pada beberapa dekade terakhir ini. Beberapa   ahli   berpendapat   bahwa   demokrasi    adalah    pengaturan    kelembagaan  untuk  mencapai  keputusan-keputusan  politik di  mana  individu-individu,  melalui perjuangan memperebutkan suara rakyat  pemilih,  memperoleh  kekuasaan   untuk membuat keputusan (Okavia & Widagdo, 2018).

..........

Ini hanya versi sampelnya saja ya...

Untuk file lengkap atau mau dibuatkan custom, silahkan PM kami ke


WA : 

0882-9980-0026

(Diana)

Hukum Tata Negara Dalam Kesetaraan Gender: Kasus

 

Hukum Tata Negara Dalam Kesetaraan Gender: Kasus


A.    Pendahuluan

Salah satu isu yang hingga kini masih terus menjadi tantangan berbagai negara di dunia adalah tentang kesetaraan gender. Kesetaraan gender adalah keadaan bagi perempuan dan laki-laki menikmati status dan kondisi yang sama untuk merealisasikan hak azasinya secara penuh dan sama-sama berpotensi dalam menyumbangkannya dalam pembangunan (Widayani & Hartati, 2014). Kesetaraan gender pada dasarnya adalah keadaan di mana laki-laki dan perempuan sama-sama memperoleh akses pada, berpartisipasi dalam, mempunyai control atas, dan memperolehmanfaat dari suatu kebijakan, program dan kegiatan pembangunan (termasuk pembangunan bidang hukum) sehingga dapat mewujudkan suatu keadilan (Astiti & dkk, 2016).

...........

B.     Pembahasan

1.      Isu kesetaraan gender di sektor media secara global

Isu kesetraan gender berfokus pada bagaimana adanya keseimbangan dalam keterlibatan laki-laki dan perempuan diberbagai bidang kehidupan sehingga tercipta keadilan (Astiti & dkk, 2016), baik di bidang pendidikan, politik, lingkungan sosial, ketenagakerjaan dan lain sebagainya. Salah satunya adalah keseimbangan keterlibatan perempuan di bidang media, khususnya media pemberitaan, mulai dari posisinya sebagai reporter, jurnalis editor informasi dan lain sebagainya.

Mengenai hal ini, dalam suatu analisis pengelompokan gender dari editor top dalam sampel strategis 200 outlet berita online dan offline utama di sepuluh pasar berbeda di empat benua yang dilakukan olehThe Reuters Institute for the Study of Journalismyang berdedikasi untuk mengeksplorasi masa depan jurnalisme di seluruh dunia melalui debat, keterlibatan, dan penelitian, menganalisis pengelompokan gender dari editor top dalam sampel strategis dari 200 outlet berita online dan offline utama di sepuluh pasar berbeda di empat benua, pada tahun 2020 ini diketahui adanya fakta, bahwa hanya 23% dari editor top di 200 outlet utama dalam adalah wanita, meskipun faktanya, rata-rata 40% jurnalis adalah wanita. Jadi dapat dikatakan bahwa jumlah perempuan yang bekerja sebagai jurnalis jauh lebih banyak daripada jumlah perempuan di antara para editor top (Andı, Selva, & Nielsen, 2020). Dengan ini dapat dikatakan bahwa keterlibatan wanita di media cukup banyak, khususnya sebagai jurnalis, namun jumlah mereka yang memimpin media, seperti sebagai editor top (puncak) jumlahnya masih terbatas.

..........

2.      Isu Kesetaraan Gender Di Sektor Media Indonesia

Isu masih belum adanya kesetaraan gender juga terjadi di Indonesia, khususnya di sektor industri media, bagi para pemegang profesi jurnalistik.Di Indonesia hanya ada 30 sampai 35 persen perempuan yang bekerja sebagai jurnalis secara profesional. Bukan hamya dari sektor kalah jumlah, perempuan Indonesia juga rentan mengalami diskriminasi di tempatnya bekerja seperti upah yang tidak setara dibandingkan laki-laki. Sebab perempuan umumnya memiliki jabatan di bawah laki-laki. Selain itu, pada beberapa kasus, perempuan yang sudah menikah dan punya anak biasanya akan dipindahkan ke agenda liputan yang lebih soft atau santai. Sementara untuk kepentingan kanal politik, hukum yang dirasa lebih 'berat', ini akan lebih dipercayakan kepada jurnalis laki-laki. Mereka dipindahkan bukan karena kapabilitas tapi karena sudah punya anak (Halidi & Varwati, 2020).

............

3.      Hukum Tata Negara Indonesia Tentang Kesetaraan Gender

Meningkatkan kesetaraan gender merupakan bagian penting dari strategi pembangunan hukum suatu negara. Pembangunan masa depan hukum Indonesia diantaranya menjamin persamaan gender, dimana negara perlu menjamin persamaan hak dalam setiap aspek kehidupan terhadap perempuan. Dalam hal ini, kehadiran negara dalam rangka pembangunan hukum perspektif gendermelalui kesetaraan hak, sumber daya dan aspirasi, maka negara wajib menjaminperkembangan dan kemajuan perempuan agar perempuan melaksankan danmenikmati hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok atas dasar persamaanantara pria dan wanita (Badri, ‎2018). Oleh sebab itulah, ini juga menjadi bagian dari pelaksanaan hukum tata negara, yang mengacu pada adanya hukum mengenai susunan suatu Negara, dimana pengaturan yang tidak hanya bagi penyelenggara negara, melainkan juga untuk warga negara, terkait dengan kedudukan serta hak dan kewajiban sebagai warga negara (Hayati, Ali, Riyani, & Sanusi, 2017).

............

Konstruksi Image Gender dan Seksualitas dalam Media Massa Studi kasus: Pemberitaan LGBT di Media Massa Indonesia



Konstruksi Image Gender dan Seksualitas dalam Media Massa
Studi kasus: Pemberitaan LGBT di Media Massa Indonesia

A.     Latar Belakang
Diskursus mengenai Lesbian Gay Biseksual dan Transgender (LGBT) di Indonesia belum diterima oleh masyarakat secara luas. Bahwa orang Indonesia yang mengidentifikasi sebagai gay tidak selalu nyaman berada dalam kehidupan sehari-hari mereka mungkin terkait dengan stigma negatif seputar gender dan seksualitas alternatif di nusantara. Sebuah survei dari tahun 2012, oleh surveyor swasta dan badan konsultasi politik Lingkaran Survei Indonesia, yang menginginkan Indonesia yang lebih baik, mengungkapkan bahwa mayoritas warga negara Indonesia (80,6%) tidak ingin memiliki tetangga yang aneh. Salah satu mindstream yang berkembang dalam masyarakat Indonesia dan dunia adalah mengenai kaum LGBT yang dianggap menyimpang dari norma.
Fakta sebaliknya, perkiraan para ahli dan Badan PBB, dengan memperhitungkan jumlah penduduk lelaki dewasa, jumlah lelaki berhubungan seks dengan lelaki (LSL) di Indonesia pada 2011 diperkirakan lebih dari tiga juga orang, padahal pada 2009 angkanya 800 ribu orang. Sehingga da;a, kurun waktu dua tahun, jumlah LSL meningkat lebih dari 300 persen. Bahkan, diperkirakan pada 2013 jumlahnya lebih besar lagi. Khususnya di Ibukota Jakarta, jumlah LSL diperkirakan telah melampaui angka seratus ribu orang.[1] Tingginya angka kaum LGBT ini belum mampu mengubah stigma negative masyarakat yang selama ini melihat LGBT sesbagai rang yang berpenyakitan, dan mindsteram.  Bahkan fenomena LGBT di Indonesia menjadi kontroversial karena rumor yang mengatakan bahwa LGBT itu menular dan harus dijauhi.
Persepsi masyarakat terhadap LGBT tidak lepas dari peran media massa dalam membangun pencitraan kaum LGBT. Media Massa merupakan agen sosial yang mudah menpengaruhi masyarakat, dan media massa dampak penyebaranya paling luas. Dampak media massa mungkin tidak secara langsung terjadi dan dirasakan oleh masyarakat, namun media cukup berperan sangat besar dalam mempengaruhi seseorang. 

B.     Landasan Teori
Komunikasi Massa dan Konstruksi Media Massa
Konstruksi media massa berkaitan dengan teori konstruksi realitas social yang dipaparkan oleh Peter Berger bersama Thomas Luckmann dalam bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality.[2] Literatur tentang konstruksi realitas sosial berpendapat bahwa realitas yang dibangun didasarkan pada empat asumsi dasar: (1) Realitas "tidak hadir secara obyektif" kepada pemirsa, hal ini dipahami melalui pengalaman manusia; (2) kategori bahasa ditentukan oleh "interaksi sosial" yang berlaku pada waktu tertentu; (3) bagaimana realitas didefinisikan ditentukan oleh "konvensi komunikasi"; (4) Perilaku komunikasi merupakan konstruksi realitas sosial (Gergen, 1985 dalam Galbin, 2014).[3]
Ada tiga tahap peristiwa. Pertama, eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Kedua, objektivasi, yaitu hasil yang telah dicapai baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Hasil itu menghasilkan realitas objektif yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisitas yang berada diluar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya. Ketiga, internlisasi. Proses internalisasi lebih merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. 

C.     Pembahasan
1.      Bentuk media untuk konstruksi media massa terhadap LGBT di Indonesia
Berita dianggap sebagai bentuk konstruksi sosial. Menurut Gitlin (1980),[4] bingkai media, "sebagian besar tidak terucapkan dan tidak diketahui, mengatur dunia baik untuk wartawan yang melaporkannya dan, dalam beberapa hal penting, agar kita bergantung pada laporan mereka. Pemberitaan LGBT di media massa Indonesia sejak dua tahun ini menguatkan stigma negative masyarakat Indonesia terhadap keberadaan LGBT. Gelombang penggerebekan polisi yang belum pernah terjadi sebelumnya, serangan main hakim sendiri, dan seruan untuk mengkriminalisasi seks homoseksual telah membuat banyak orang di komunitas LGBT di negara itu takut akan keselamatan mereka.
Terdapat empat jenis informasi yang bias dalam berita: "personalisasi," dramatisasi, "" fragmentasi, "dan" bias gangguan otoritas” (Bennett &  Entman2001)[5]. Dengan demikian, bias dapat dipertimbangkan sebagai bentuk konstruksi sosial. Pemberitaan LGBT di media massa di Indonesia termasuk bias konstruksi social. Menurut laporan Komisi Hak Asasi Manusia Gay dan Lesbian Internasional (2007), orang LGBT Indonesia sering menjadi sasaran pelanggaran hak asasi manusia karena orientasi seksual, identitas gender dan ekspresi gender mereka. Contoh langsung bagaimana LGBTIQ Indonesia didiskriminasikan adalah ketika "Queer Film Festival" diadakan di Jakarta pada tahun 2011 bekerja sama dengan sejumlah Pusat Kebudayaan Eropa.
Kaum LGBT adalah kaum minoritas di Indonesia. Kelompok minoritas merujuk pada kebanyakan adalah kelompok masyarakat yang jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah kelompok masyarakat lain yang dominan.
Pada media massa menggambarkan kaum LGBT sebagai kaum yang menyimpang. Penyampain informasi dilakukan oleh media terhadap kaum LGBT sengaja atau tidak sengaja telah melakukan diskriminasi terhadap kaum LGBT. Sehingga masyarakat yang menonton atau memperoleh informasi tentang LGBT dari media membuat LGBT semakin terpojokkan dan kaum LGBT kehilangan haknya untuk mengekspresikan diri melalui media atau tidak.
Media massa mengarahkan opini khalayak lewat proses framing dan sekaligus menanamkan stereotipe kepada mereka bahwa homoseksual kerap identik dengan kekerasan. Hal ini kemudian menimbulkan kekhawatiran dari masyarakat untuk berhubungan atau bersosialisasi dengan kaum LGBT. Ketika akses untuk bersosialisasi semakin terhambat, kaum LGBT akan memiliki self-esteem yang rendah dan perasaan bersalah yang terus menerus karena ditekan oleh masyarakat (Kirnandita, 2010)[6]

2.      Faktor - faktor kaum LGBT menjadi objek konstruksi media massa dilihat dari konteks marginalisasi, labelisasi dan kekerasan
Penggambaran media positif yang jarang terjadi tentang homoseksualitas juga dapat mempengaruhi kepercayaan heteroseksual. Budidaya teori (Gerbner, Gross, Morgan, Signorielli, & Shanahan, 2002)[7] menunjukkan bahwa menonton televisi mempengaruhi sikap dan keyakinan pemirsa melalui suatu proses dimana dunia seperti yang digambarkan oleh media datang untuk dirasakan oleh pemirsa-khususnya volume tinggi viewers-
Selama ini, peran media massa di Indonesia  yang dianggap belum memiliki keberpihakan pada kelompok LGBT  (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) sehingga ikut melanggengkan diskriminasi  lewat pemberitaan-pemberitaan yang bias.[8]
 
Solusi alternatif yang bisa diterapkan untuk menyelesaikan persoalan diskriminasi LGBT
Media massa, termasuk media online dalam praktiknya tentu tak pernah lepas dari tugas mulianya untuk memberikan informasi sekaligus memberikan edukasi. Media massa bukanlah wadah untuk mempertarungkan kelompok-kelompok di dalam masyrakat. Media massa seharusnya tidak menciptakan jurang dikotomi dan mengadili kaum yang termarginalisasi. Menurut UNDP, ada tiga kategori media konvensional, yang muncul secara cetak dan elektronik, dalam hal bagaimana mereka meliput isu LGBT, yaitu:[9]


Ini hanya sampel saja…
Mau tau versi lengkapnya?
Atau mau order (custom) sesuai request juga bisa


Silahkan WA/ Call ke o85868o39oo9 (Diana)
Ditunggu yaa.. Happy Order 


[1] Jakarta Darurat Gay!. Diakses melalui www.republika.co.id pada tanggal 9 Juli 2017

[2] Peter L. Berger and Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality, A Treatise in the Sociological of Knowledge (Terj.) Hasan Basari (Jakarta: LP3ES, 1990), h. 75.
[3] Galbin, A., (2014). An Introduction To Social Constructionism. Social Research Reports, 26, pp. 82-92, retrieved 10 Juli 2017 from: http://www.researchreports.ro/images/researchreports/social/srr_2014_vol026_004.pdf
[4] Gitlin, T. (1980). The whole world is watching: Mass media in the making & unmaking of the new left. Berkeley: University of California Press.
[5] Bennett, W. L, Entman, R. M., (2001). Mediated Politics in Mediated Politics: Communications in the Future of Democracy. Cambridge:  Cambridge University Press.

[6] Kirnandita, P., (2010). Tanggung Jawab Media dalam Pemberitaan Kaum Lesbi, Gay, Biseks dan TransGender. Makalah perkuliahan Etika dan FIlsafat Komunikasi Universitas Indonesia

[7] Gerbner G, Gross L, Morgan M, Signorielli N, Shanahan J. Growing up with television: Cultivation processes. In: Bryant J, Zillman D, editors. Media effects: Advances in theory and research. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates; 2002. pp. 43–67.

[8] “Media dinilai ikut langgengkan diskriminasi terhadap kaum LGBT”, diakses 10 Juli 2017 dari: http://indonesia.ucanews.com/2014/05/23/media-dinilai-ikut-langgengkan-diskriminasi-terhadap-kaum-lgbt/

[9] UNDP, USAID (2014). Being LGBT in Asia: Indonesia Country Report. Bangkok. Retrieved 10 Juli 2017 from: http://www.asia-pacific.undp.org/content/dam/rbap/docs/Research%20&%20Publications/hiv_aids/rbap-hhd-2014-blia-indonesia-country-report-english.pdf