Tampilkan postingan dengan label case study. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label case study. Tampilkan semua postingan

Just In Time Kasus Pada Pizza Hut Delivery (PHD) Kerobokan


Analisis Lean system Case: Just In Time
Kasus Pada Pizza Hut Delivery (PHD) Kerobokan

A.    Pendahuluan
Lean system adalah sistem produksi yang berfokus pada identifikasi secara sistematis dan penghapusan waste (pemborosan) dari suatu proses dan melibatkan perubahan, meningkatkan proses, produktivitas dan memberikan produk bermutu kepada produsen dan konsumen dengan biaya terrendah (Kurnia, 2011). Berbicara tentang Lean system ini sebenarnya tidak dapat dipisahkan dengan dari Toyota Production System-nya Toyota.  Sebab konsep Lean ini pertama kali diperkenalkan dengan tujuan untuk menggambarkan filosopi sistem produksi dari produsen kendaraan di Jepang, khususnya sistem produksi Toyota (Toyota Production System/TPS). Lean secara keseluruhan memberikan penilaian yang terfokus untuk peningkatan proses yang berkelanjutan. APICS dictionary mendefinisakan lean sebagai suatu filosofi bisnis yang tujuan utama diadakannya adalah untuk meminimasi penggunaan sumber daya yang tidak efisien dalam berbagai aktifitas produksi. Penggunaan sumber daya yang tidak efisien dalam hal ini adalah penggunaan biaya, waktu dan proses yang meyebabkan waste (pemborosan). Ketika Lean berhasil diimplementasikan dengan baik, maka akan menambah hasil produksi serta mengurangi barang persediaan, barang jadi dan barang dalam proses. Dengan kata lain, Lean merupakan pendekatan yang dilakukan untuk meminimasi waste (pemborosan) dengan cara menghilangkan nonvalue added process dalam sebuah aliran kerja (Gaspersz & Fontana, 2011).
Kini penerapan lean system memang sangat diperlukan, sebab  di era globalisasi seperti sekarang ini, pada dasarnya menuntut segala aspek kehidupan seluruh masyarakat untuk berubah, lebih berkembang dan maju. Salah satu mekanisme yang yang menjadi ciri globalisasi dewasa ini adalah tekanan perdagangan yang kompetitif sehingga menuntut setiap perusahaan untuk meningkatkan keunggulan kompetitif mereka agar dapat memenangkan persaingan yang terjadi. Peningkatan keunggulan ini dilakukan dengan salah satu caranya adalah dengan cara menerapkan lean system pada proses produksi, seperti konsepnya, penggunaan lean system ini dapat membantu suatu perusahaan dalam meningkatkan efektifitas dan efisiensi produksi perusahaanya (Hazmi, Karningsih, & Supriyanto, 2012). Bersamaan dengan ini, maka tidak heran jika lean system pada dasarnya identik dengan perusahaan yang bergerak di bidang manufactur, atau perusahaan yang memproduksi barang. Dengan ini pula, lean system sering dikenal juga dengan nama lean manufacturing.
Dalam hal ini, penerapan lean manufacturing di perusahaan dipengaruhi oleh lima elemen primer, yaitu manufacturing flow, organisasi, logistik, metrics dan proses  kontrol. Kondisi penerapan lima elemen primer  lean ini akan mempengaruhi  keberagaman  waste  yang terjadi pada saat proses produksi berlangsung. Jika  waste  pada saat proses produksi beragam, maka akan mengakibatkan efektivitas proses produksi di perusahaan rendah. Waste yang beragam dan efektivitas proses produksi yang rendah mengindikasikan bahwa penerapan lean manufacturing belum baik, sehingga diperlukan analisis terhadap implementasi lean di perusahaan dan langkah-langkah perbaikan yang perlu dilakukan (Trisnal, 2016).
Oleh sebab itulah, secara garis besar, dalam penerapan lean system, sebuah perusahaan dituntut untuk menghasilkan output berkualitas dalam jumlah yang tepat dan pada tempat yang tepat pula, dengan material, waktu proses, tenaga kerja, ruangan, waktu set up, mesin dan lain sebagainya semeninimal mungkin. Jika ini diterapkan, maka pemborosan dalam berbagai aspek akan berkurang, pemakaian perdesiaan dapat di tekan dan proses produksi akan mengalis dengan baik.
Berkaitan dengan hal ini, dalam makalah ini akan dibahas mengenai salah satu contoh penerapan lean system pada suatu perusahaan dalam proses produksinya. Dalam hal ini, penerapan lean system akan di hubungkan dengan penerapan sisten produksi just in time. Perusahaan menggunakan sistem produksi just in time, adalah dimana sistem produksi seperti ini mengharuskan perusahaan untuk memiliki sistem pengendalian persediaan yang adaptif terhadap laju permintaan, agar tidak terjadi stock out ataupun kelebihan bahan baku. Persediaan yang optimal adalah persediaan yang menjamin tersedianya sumber daya pada waktu dan jumlah yang tepat, serta dengan pengalokasian biaya total persediaan yang minimum (Istiqomah & Marie, 2015). Jadi secara garis besar, dapat dikatakan bahwa penerapan lean system akan di fokuskan pada efisiensi penggunaan persediaan. Sebagai contoh, dalam hal ini adakan dibahas tentang apa yang dilakukan oleh perusahaan Pizza Hut Delivery (PHD) yang ada di Indonesia, khususnya outlet yang berlokasi di Bali, tepatnya yang beralamat di Jalan Raya Kerobokan No. 51, Kerobokan Kelod, Kuta Utara, Kabupaten Badung Badung, Bali. 
B.     Pembahasan
1.      Pengertian Just in Ttime dalam Lean System
Pada  dasarnya, dalam situasi persaingan pasar global yang sangat kompetitif seperti sekarang ini, dimana sebagaian besar pasar menetapkan harga (produsen harus mengikuti harga pasar yang berlaku) serta pelanggan hanya membeli produk pada saat dibutuhkan dengan harga yang kompetitif pada tingkat kualitas yang diinginkan, maka setiap perusahaan haruslah memiliki stategi yang tepat untuk menyesuaikan dengan kondisi yang demikian. Oleh sebab itulah, penerapan strategi pasar tepat waktu (Just In Time) lebih tepat dibandingkan strategi produksi konvensional (Gasperz, 2005). Pada dasarnya strategi pasar just in time ini menurut Mulyadi (2009) merupakan suatu manufacturing philosophy yang mulai diterapkan di Jepang pada tahun tujuh puluhan (1970an), lebih tepatnya ini dikembangkandan dipromosikan oleh Toyota Motor Corporation di Jepang, sehingga sering disebut juga sebagai sistem produksi Toyota (Toyota Production System/TPS). Strategi ini kemudian diadopsi oleh banyak perusahaan Jepang, terutama setelah krisis minyak dunia pada tahun 1973. Tujuan utama dari sistem produksi tepat waktu ini adalah mengurangi ongkos produksi dan meningkatkan produkstivitas total industri secara keseluruhan dengan cara menghilangkan pemborosan (waste) secara terus menerus (Gasperz, 2005). Setelahnya, stretegi ini mulai diterapkan oleh perusahaan-perusahaan di U.S.A (United State of America) dua puluh tahun kemudian (Mulyadi, 2009).
2.      Profil Perusahaan
Dalam makalah ini, contoh penerapan penggunaan strategi just in time sebagai bagian dari lean system production, adalah dilihat adari apa yang terjadi di salah satu perusahaan di indonesia yang ebrgerak di bidang industry makanan, yaitu  Pizza Hut Delivery (PHD) Kerobokan, yang berlokasi di Jalan Raya Kerobokan No. 51, Kerobokan Kelod, Kuta Utara, Kabupaten Badung Badung, Bali.
Pada dasarnya, Pizza Hut telah ada sejak Januari, 1984, di Indonesia. Toko pertamanya di buka di Djakarta Theater Building, Thamrin. Toko ini terbuka bagi umum dengan menyajikan pizza untuk pertama kalinya terhadap konsumen Indonesia. Sebagai rantai restoran pizza terbesar di dunia dengan lebih dari 13.000 outlet tersebar di 97 negara, Pizza Hut yang berada dibawah naungan Yum Restaurant International telah dinikmati diseluruh dunia dengan lebih dari 200 juta orang semenjak pertama kali restoran Pizza Hut dibuka pada tanggal 31 May 1958, di Wichita, Kansas, Amerika Serikat (PHD, 2019).
3.      Penerapan Lean system Just in time Pada Perusahaan
Memasuki tahun 2017, Pizza Hut Delivery Kerobokan mulai melakukan penerapan Lean system Just in time  dalam perusahaanya, khususnya dalah dalam hal manajemen persediaan. Strategi penggunaan menejemen persediaaan yang tepat sangat di perluakn bagi Pizza Hut Delivery Kerobokan. Pasalnya ini diperluakan untuk menjaga kelancaran proses produksinya, khususnya dalam hal penyediaan bahan baku.
Sebagai sebuah perusahaan yang bergerak di bidang industri makanan, Pizza tentu memiliki beberapa bahan utama dalam pembuatannya, dalam hal ini,  abhan utama atau bahan baku untuk emmbuat pizza yang paling utama adalah  Dough (adonan), keju mozzarella, dan sauce. Ketiga bahan ini merupakan bahan yang wajib ada dan peggunaanya paling banyak diantra bahan-bahan lain. Sehingga, biaya penyediaanya akan jauh lebih banyak dibandingkan dengan yang lainnya.
C.    Kesimpulan
Berdasarkan penjelsan tesebut, maka dapat di simpulkan bahwa dalam kondisi dunia bisnis yang penuh persaingan, maka perusahaan-perusahaan di dunia dituntut untuk meningkatkan keunggulan kompetitif mereka agar dapat memenangkan persaingan yang terjadi. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk peningkatan keunggulan dapat dilakukan dengan dengan meminimasi waste (pemborosan) dan menghasilkan output berkualitas dalam jumlah yang tepat dan pada tempat yang tepat pula, dengan penggunaan material, waktu proses, tenaga kerja, ruangan, waktu set up, mesin dan biaya semeninimal mungkin. Ini disebut sebagai stategi produksi lean system, dimana salah satunya berfokus pada optimalisasi persediaan agar tidak terjadi stock out ataupun kelebihan bahan baku atau yang disebut dengan strategi just in time.


Ini hanya sampel saja yaa..

Untuk versi lengkapnya atau minta dibuatkan custom
silahkan WA ke 0882-9980-0026
Happy order kakak  :))

Case Study: "You Americans Work Too Hard"



Case Study: "You Americans Work Too Hard"

The closing case examines the differences in work ethic between a German department store employee and an American department store employee.

Key Points:
Andreas Drauschke and Angie Clark hold positions at similar levels in department stores, and receive similar pay. However, Drauschke, who works in Germany, works far fewer hours than Clark, who works in the U.S.
In fact, Drauschke works just 37 hours a week and receives six weeks' vacation each year, while Clark works at least 44 hours a week and takes off only a week at a time. Clark notes that Germans see leisure time as being more important than work time.
The difference between the German work style and the American work style extends into other areas. For example, turnover at the German store is all but nonexistent, while at the American store it is 40 percent a year. In addition, German employees receive extensive training, while workers at the American store receive minimal instruction.
Many employees at the American store also have a second job; however, Drauschke values his free time, and works no longer than absolutely necessary. His viewpoint is shared by other Germans, who fiercely protested the recent mandate that department stores would stay open one evening each week. Germany also prohibits working second jobs during vacation time.



Kasus Penutup
“KALIAN ORANG AMERIKA BEKERJA TERLALU KERAS”

Andreas Drauschke dan Angie Clark bekerja dengan pekerjaan yang sebanding untuk gaji yang sebanding pula di  department store di Berlin dan pinggiran kota Washington D.C. Namun disana tidak ada perbandingan ketika menjelang waktu mereka istirahat.
Pekerjaan Mr. Drauschke membutuhkan 37 jam seminggu dengan 6 minggu cuti pertahun. Tokonya tutup di akhir pekan pada jam 2 Sabtu siang dan tetap buka satu malam tiap minggu –pelayanan baru di Jerman yang dibenci Tuan Drauschke. “Saya tidak mengerti mengapa orang berbelanja di malam hari di Amerika,” kata pria 29 tahun itu, yang mengawasi divisi otomotif, sepeda motor, dan sepedadi Karstadt, rangkaian department store terbesar di Jerman.” Secara logika berbicara, mengapa seseorang perlu membeli sepeda pada jam 8.30 malam?”
Nyonya Clark bekerja setidaknya 44 jam seminggu, termasuk shift malam dan sering kali Sabtu dan minggu. Beliau sering membawa pulang pekerjaannya ke rumah bersamanya, menghabiskan hari liburnya memandu kompetisi, dan tidak pernah mengambil lebih dari satu minggu cuti bersamaan. “Jika saya mengambil lagi, saya merasa saya kehilangan kendali,” kata senior manajer perdagangan di J.C. Penney di Springfield, Virginia.
Nyonya Clark yang berusia 50 tahun lahir di Jerman namun merasa seperti alien ketika beliau mengunjungi tanah kelahirannya tersebut. “Jerman mendahulukan waktu luang dan kerja kemudian,” katanya. “Di Amerika itu adalah sebaiknya.”
Sementara orang-orang Ameria sering kagum dengan perindustrian Jerman, sebuah perbandingan ledakan beban kerja sebenarnya seperti stereotip nasional. Dalam manufaktur, contohnya, rata-rata mingguan di Amerika Serikat 37,7 jam dan meningkat; di Jerman hanya 30 jam dan menurun secara tetap selama beberapa dekade terakhir. Semua pekerja Jerman dijamin oleh hukum minimal 5 minggu libur tahunan.
Satu hari yang dihabiskan di departement store Jerman dan Amerika juga menunjukkan jurang lebar pada etika kerja kedua negara, setidaknya diukur dengan sikap selama waktu kerja. Orang Jerman dengan tegas menolak gangguan apapun di jam santai mereka, sementara banyak pekerja J.C. Penney mengerjakan pekerjaan kedua dan terbebani 60 jam kerja seminggu.
Namun jam yang lama dan tidak biasa sesuai dengan harganya. Staf yang absen di toko Jerman dapat diabaikan; di J.C. Penney hal itu 40 persen pertahun. Jerman melayani pegawai magang  2 hingga 3 tahun dan tahu mereka berharap masuk. Pekerja di J.C. Penney menerima pelatihan 2 hingga 3 hari. Dan ini merupakan kebutuhan ekonomi,  lebih dari pengabdian apapun demi bekerja untuk kepentingannya sendiri, yang muncul untuk memotivasi kebanyakan tenaga kerja Amerika.
“Mulanya itu adalah kebutuhan dan kemudian menjadi ketamakan,” kata Sylvia Johnson, yang menjual penuh waktu di J.C. Penney dan bekerja 15 hingga 20 jam lainnya seminggu melakukan entry data di komputer perusahaan. Kedua pekerjaan itu membantunya memasukkan satu anaknya ke sekolah kedokteran dan yang lainnya ke universitas. Sekarang Nyonya Johnson, 51, mengatakan beliau tidak perlu bekerja terlalu keras –namun masih melakukannya.
“Suami saya dan saya memiliki rumah yang nyaman dan tiga mobil,” kata beliau. “Tapi saya pikir anda akan selalu merasa seperti menginginkan sesuatu yang lebih sebagai penghargaan untuk semua kerja keras yang telah anda lakukan.”
Tuan Drauschke, pengawas Jerman, memiliki pandangan yang berbeda: kerja keras ketika anda dalam pekerjaan dan keluar secepat yang anda bisa. Tukang kebun yang bersemangat dengan seorang istri dan anak yang mash kecil, dia datang 20 menit lebih awal daripada staf yang lainnya tapi sebaliknya dia tidak memiliki ketertarikan dalam bekerja selain 37 jam mandat kontraknya, bahkan jika itu berarti uang lebih. “Waktu luang tidak bisa diganti,” katanya.
Hasrat untuk menjaga waktu kerja tetap pendek adalah sebuah obsesi di Jerman –dan misi konstan dari persatuan kekuasaannnya. Ketika Jerman mengenalkan belanja Kamis malam pada 1989, pekerja retail melakukan pemogokan. Dan Tuan Drauschke menyadari bahwa sulit bagi staf untuk melakukan 2 jam ekstra pada Kamis malam, meskipun shift malam dihargai dengan satu jam lebih sedikit dari pekerjaan seluruhnya. “Istri saya menentang dengan kedatangan saya yang pulang larut malam,” satu pekerja mengatakan padanya ketika ditanya apakah dia akan bekerja hingga jam 8.30 malam pada Kamis selanjutnya.
Tuan Draschke, seperti orang Jerman lainnya, juga menyadari kebiasaan orang Amerika yang mengambil pekerjaan sampingan yang tidak bisa dipahami. “Saya sudah pulang jam 7. Kapan saya harus bekerja?” dia bertanya. Ketika berlibur, itu ilegal –ya, ilegal- bagi orang Jerman untuk bekerja dengan pekerjaan lain selama liburan, waktu yang “jelas untuk memulihkan diri,” jelas Tuan Draschke. Dia menambahkan, “Jika kita memiliki kondisi seperti Amerika, anda akan berpikir keras jika anda ingin meneruskan pekerjaan ini.”
Di J.C. Penney, hari kerja dari manajer perdagangan Nyonya Clark dimulai jam 8 pagi ketika dia menaiki layanan lift ke ruangannya yang tanpa jendela di kantornya. Meskipun toko belum buka hingga jam 10 pagi, dia merasa dia membutuhkan waktu ekstra untuk memeriksa pajangan lantai dan jadwal. Kebanyakan staf penjualan datang sekitar jam 9 pagi untuk menata daftar dan stok ulang rak –sebuah kontras tajam dengan Karstadt, dimana staf penjualan datang tepat sebelum toko buka.

Pertanyaan Kasus

  • 1.      Bagaimana HRM di Amerika Serikat berbeda dengan HRM di Jerman?
  • 2.      Apa yang anda lihat sebagai dasar keuntungan dan kerugian dari setiap sistem?
  • 3.      Jika anda adalah eksekutif tinggi HRM untuk rangkaian departemen store internasional dengan toko di kedua negara Jerman dan Amerika Serikat, apa persoalan dasar yang akan anda butuhkan untuk dibahas mengenai kebijakan HR perusahaan?
  • 4.      Apakah persoalan tersebut lebih atau sedikit gawat dalam industri retailing versus industri lainnya?
  • 5.      Dibawah sistem mana yang anda sukai untuk bekerja?

    Case Questions

    Q1: How does HRM in the United States differ from HRM in Germany?

    Q2: What do you see as the basic advantages and disadvantages of each system?

    Q3: If you were the top HRM executive for an international department store chain with stores in both Germany and the United States, what basic issues would you need to address regarding corporate HR policies?

    Q4: Are the issues more or less acute in the retailing industry versus other industries?

    Q5: Under which system would you prefer to work?

Hong Fok Corporation: The Badger and the Bear

STUDI KASUS 2: 
Perusahaan Hong Fok

Hong Fok Corporation: The Badger and the Bear

Rasa frustasi yang lama dipendam pemegang saham minoritas Hong Fok akhirnya meledak saat RUPST yang digelar pada tanggal 26 April 2012. Pertarungan antara pemegang saham minoritas dan keluarga Cheong, yang merupakan pemegang saham pengendali Hong Fok dan juga mendominasi dewan dan manajemen perusahaan, memicu liputan dan kueri media yang signifikan dari Singapore Exchange (SGX).

Saat rapat tersebut, pemegang saham minoritas mempertanyakan remunerasi yang tinggi yang dibayarkan pada empat direktur eksekutif lebih dari 10 juta dolar selama beberapa tahun terakhir serta pengakuan keuntungan terhadap proyek andalannya, the Concourse Skyline. Tingkat remunerasi ini perlu dipertanyakan karena jumlahnya yang sangat besar, terutama mengingat tidak adanya dividen dan komite remunerasi dalam perusahaan tersebut dalam tahun keuangan yang sama. Pemegang saham minoritas lainnya menyebutkan bahwa direktur dibayar sangat tinggi bahkan ketika Hong Fok mengalami kerugian. Sayangnya, penentangan mereka terhadap direksi remunerasi dengan hasil tunjuk tangan kandas saat chairman meminta untuk beralih ke pemungutan suara berdasarkan poll. Selain itu, Hong Fok membayar direksinya secara substansial lebih dari perusahaan properti real estat lokal lainnya Hotel Property Limited (HPL), meskipun Hong Fok memiliki kapitalisasi pasar, aset kelompok dan keuntungan yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan HPL.

Pada tanggal 27 April 2012, SGX meminta Hong Fok untuk menjelaskan peralihan metode voting dan kebijakan remunerasinya. Pada tanggal 30 April 2012, SGX meminta Hong Fok untuk mengkonfirmasi apakah ada informasi material yang disebarluaskan pada pertemuan yang mensyaratkan diseminasi publik melalui SGXNET. Pemegang saham minoritas meminta bantuan pada SGX perihal pengumuman hasil Q2 2012 pada 14 Agustus 2012. Pada tanggal 17 September 2012, SGX membalas dengan meyakinkan pemegang saham minoritas bahwa mereka telah menyoroti kekhawatirannya kepada Hong Fok.



Discussion Questions
1.      What are the benefit(s) and drawback(s) of voting by a show of hands compared to voting by poll? In your opinion, was the change of voting methods during Hong Fok’s AGM legitimate and fair to minority shareholders?
2.      Evaluate the board composition and structure of Hong Fok for FY2011. In your opinion, how might the announced changes (e.g. the appointment of independent directors, set-up of nomination committee and remuneration committee, etc.) on 30th March 2013 affect the corporate governance of Hong Fok?
3.      In the case of Hong Fok, were the levels of directors’ remuneration appropriate? Currently, what are the available safeguards against excessive directors’ and management’s remuneration?
4.      In your opinion, was the interference by SGX sufficient or effective? What is the role of SGX in protecting minority shareholders?
5.      Compare the SGX listing rules with that of the Stock Exchange of Hong Kong with regard to Interested Person Transactions (IPTs). Which stock exchange provides more effective safeguards for minority shareholders against IPTs?
6.      In many Asian countries, family-controlled companies are very common. What are the key challenges in fostering good corporate governance in such companies?
 
Tugas Studi Kasus kayak ginian?
We DO!!!
Silahkan chatt aja ke WA o85868o39oo9
Happy Order kakak…