Sistem perekonomian Indonesia menurut pendapat berbagai macam pakar memiliki banyak kekurangan, antara lain seperti birokrasi yang korup, lemahnya penegakan hukum, terjadinya korupsi di setiap aspek, berkembangnya sistem kapitalisme semu, strutur perbankan yang manipulatif, sektor riil yang kurang mendapatkan perhatian, dan sebagainya. Akan tetapi, di atas semua kelemahan – kelemahan tersebut, ternyata telah terdapat sebuah fakta baru yang telah merombak struktur ekonomi Indonesia sehingga menimbulkan masalah yang baru.
Apabila dilihat dari Gross Domestic Bruto (GDP / PDB), perekonomian Indonesia selalu mencatat adanya pertumbuhan dan menunjukkan kecenderungan tingkat pertumbuhan yang semakin tinggi, sebelum terjadinya krisis finansial global pada paruh kedua tahun 2008. Demikian pula apabila dilihat dari indikator data – data makro / ekonomi Indonesia yang seringkali menyiratkan perekonomian Indonesia telah pulih kembali. Indikator penting lainnya yang dijadikan pertimbangan adalah nilai ekspor yang terus meningkat melebihi impor sehingga neraca perdagangan Indonesia mendapatkan surplus. Cadangan devisa internasional yang menopang nilai tukar rupiah dan merupakan jangkar pembayaran internasional Indonesia jumlahnya terus meningkat. Dengan demikian, data – data yang dipaparkan oleh pemerintah Indonesia bahwa tiga – empat tahun belakangan ini Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang menggembirakan.
Akan tetapi, tidak semua indikator ekonomi menunjukkan hal yang positif. Dari analisis yang mendetail, terdapat beberapa masalah baru yang terjadi pasca krisis, yang berkaitan antara satu dengan lainnya dan memiliki potensi untuk membebani perekonomian Indonesia.
Masalah – masalah tersebut, yaitu :
- Kemerosotan ditingkat investasi riil/ langsung
- Perubahan saldo dan komposisi neraca transaksi berjalan
- Kemerosotan daya saing internasional
- Penurunan kualitas pertumbuhan ekonomi
EMPAT PERUBAHAN MENDASAR
Penurunan investasi riil berakibat pada penurunan kegiatan – kegiatan produksi secara nasional. Jika kegiatan produksi mengalami penurunan, maka output otomatis akan merosot, sehingga laju pertumbuhan ekonomi akan tersendat. Penurunan kualitas laju pertumbuhan ekonomi telah lama terjadi di Indonesia, dan sayangnya tidak banyak orang yang menyadari resiko dari penurunan kualitas laju pertumbuhan ekonomi tersebut.
Investasi tetap di Indonesia sampai pada tahun 2008 masih terus berada di bawah tingkatan yang ada pada masa sebelum krisis. Padahal, investasi tetap ini secara langsung menentukan investasi riil (real investment) atau investasi langsung (direct investment), yakni investasi yang secara langsung berkaitan dengan produksi dari investor domestik maupun asing.
Dari analisis Bank Dunia, keberadaan FDI di berbagai negara memiliki keterkaitan langsung dengan pertumbuhan ekspor, dan akhirnya pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan di negara atau kawasan yang bersangkutan. Menurut ramalan majalah ekonomi The Economist, Indonesia hanya akan mendapatkan US$ 6,6 miliar per tahun. Taksiran tersebut tidak terlalu melenceng, karena investasi riil yang diterima Indonesia dalam kenyataannya lebih rendah karena selain menerima investasi dari luar negeri, Indonesiat ternyata juga melakukan investasi ke negara lain, dan nilainya sudah mencapai miliaran dollar. Investasi langsung ke luar negeri lebih menyerupai portofolio kraena yang diterima Indonesia hanya laba, sementara penambahan output, fasilitas produksi termasuk infrastruktur, penciptaan lapangan kerja dan stimulus kegiatan perekonomian dinikmati oleh negara penerima investasi. Keseluruhan faktor menjadikan porsi total akumulasi (stok) investasi di Indonesia sangatlah rendah. Pesatnya pertumbuhan ekonomi China setelah dikaji juga menunjukkan betapa pentingnya peranan investas, khususnya FDI dalam memacu ekspor. Sebelumnya, peran ekspor di China dilakukan oleh BUMN dan perusahaan lokal China, akan tetapi sekarang hampir setengah lebih dilakukan oleh perusahaan internasional yang beroperasi di China.
Konsumsi dan belanja pemerintah sangat mempengaruhi investasi. Karena konsumsi dan belanja pemerintah tidak berkaitan langsung dengan output atau produksi, maka pertumbuhan ekonomi yang dibuahkannya juga tidak mencerminkan kenaikan kapasitas atay produksi riil dari ekonomi yang bersangkutan.
Kelebihan dana masyarakat Indonesia mengalir dalam investasi portofolio dan investasi finansial dalam bentuk pembelian saham, obligasi, dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Akan tetapi, banyaknya dana yang tersalurkan tidak membuat bank - bank longgar dalam memberikan kredit atau pinjaman, sebaliknya, mereka masih selektif dengan alasan situasi perekonomian nasional yang tidak begitu kondusif bagi peningkatan kredit secara signifikan.
Sektor keuangan Indonesia mencatat perkembangan yang pesat. Akan tetapi, karena begitu cepat maka lama kelamaan sektor keuangan mulai meninggalkan sektor riil. Akibatnya, masyarakat pengusaha domestik (terutama UKM) tetap sulit mendapatkan sumber dana dalam jumlah yang mencukupi untuk menunjang berbagai kegiatan produktifnya kendati dana di perbankan sebenarnya mengalami kelimpahan.
Pada sisi lain, pemerintah menawarkan investasi finansial semakin menarik dengan suku bunga yang kompetitif dan jaminan keamanan sehingga secara tidak langsung dana masyarakat mengarah pada investasi finansial dan mengesampingkan sektor riil. Efeknya lebih lanjut dari investasi produktif yang tumpul adalah meningkatnya jumlah pengangguran karena pertumbuhan sektor riil terhambat.
2. Perubahan Saldo dan Komposisi Neraca Transaksi Berjalan
Sebelum masa krisis, negara- negara mengalami defisit neraca berjalan (current account). Sebaliknya, setelah krisis negara – negara ini mengalami surplus. Akibatnya, jumlah cadangan internasional semua negara, termasuk Indonesia meningkat. Ini merupakan perubahan atau transformasi kedua dalam perekonomian Indonesia pasca krisis, yang juga mengandung konsekuensi dan memiliki dampak yang luas.
Perubahan tersebut diikuti oleh perubahan dalam perhitungan dan metode penanggulangan defisit pada tiga neraca utama yang menjadi penjabaran dari neraca pembayaran, yaitu :
- Neraca anggaran
- Neraca transaksi berjalan
- Neraca modal.
Sebelum krisis, ada dua macam cara yang biasa digunakan oleh pemerintah untuk menutup defisit, yaitu :
1. Menarik pinjaman dari luar negeri à baik dari pemerintah, lembaga internasional atau swasta
2. Menggalakkan investasi à investai langsung dan investasi tidak langsung atau investasi portofolio.
Pada saat pasca krisis, rumus yang digunakan lebih banyak memperhitungkan sisi pendapatan, dimana defisit pada salah satu neraca yang lain. Dari tiga macam neraca, yang paling diandalkan untuk menutup defisit adalah neraca transaksi berjalan yang dengan sendirinya diprioritaskan untuk mencetak surplus.
Upaya untuk menutup defisit APBN mengalami perbedaan pada tiap – tiap era, yaitu :
- Era Soekarno cara primitif dengan cara menambah pencetakan ulang, sehingga terjadi inflasi
- Era Orde Baru à menambah hutang luar negeri akibarnya akumulasi utang luar negeri yang luar biasa, sampai US$ 150 miliar
- Era Reformasi, khususnya pemerintahan SBY – JK arus masuk modal jangka pendek à didukung dengan strategi bertahap pencabutan subsidi agar tidak membebani anggaran, khususnya subsidi BBM.
Pendekatan surplus neraca transaksi berjalan untuk menutup defisit APBN memiliki masalah, yaitu :
o Sinyalemen perekonomian bubble dinilai terlalu keras, padahal dalam kenyataannya pasar modal di Indonesia selama ini memag sangat didominasi oleh pihak asing.
o Apabila dana – dana asing pindah ke tempat lain, maka bursa pasar modal Indonesia akan menjadi guncang.
o APBN menjadi semakin rentan terhadap berbagai perkembangan internasional
o Daya saing ekonomi Indonesia menjadi semakin buruk.
Penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) adalah langkah yang lebih baik daripada menarik utang luar negeri yang umumnya lebih meningkat. Dalam menjual SBN, kita tidak dapat menolak pembeli asing. Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarno Putri memfokuskan pada usaha penekanan – penekanan defisit anggaran untuk menghentikan defisit APBN. Oleh karena itu, pemerintahan SBY menilai kondisi APBN sudah mulai aman dan dapat digunakan untuk merangsang kegiatan perekonomian.
Realisasi PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak) sangat tinggi, disebabkan oleh realisasi harga dan lifting minyak tanah mentah Indonesia ketimbang asumsi APBN-P. Bisa jadi alasan pemerintah untuk tidak menurunkan harga BBM sesuai harga dasar dunia adalah karena pemerintah di tahun 2008 tidak begitu berhasil menjual obligasi resmi yang diandalkan sebagai instrumen utama penutup defisit.
Pada masa pemerintahan SBY-JK, pengelolaan utang luar negeri Indonesia diakui memang lebih baik. Secara keseluruhan, peran utang luar negeri berkurang karena pemerintah dapat mengandalkan pinjaman dalam negeri melalui penjualan berbagai macam SBN. Jika dikaitkan dengan prinsip nasionalisme ekonomi, langkah ini patut dipuji karena Indonesia kini tidak lagi mengemis – ngemis IMF, Bank Dunia, atau lembaga donor mana saja setiap kali memerlukan dana baru. Kemandirian dalam soal utang justru memperbaiki citra Indonesia, yang setiap kali memerlukannya tidak menghadapi kesulitan yang berarti untuk memintanya dari lembaga – lembaga donor internasional.
3. Penurunan Daya Saing
Dalam survey rutin yang diadakan oleh International Institute for Management Development, dari tahun ke tahun Indonesia secara terus – menerus berada di urutan bawah, dan lebih memprihatinkan lagi, kian lama kedudukannya terus semakin merosot. Pada tahun 1997-an, Indonesia masih lebih tinggi minat perekonomiannya daripada negara – negara ASEAN. Namun, pada periode pasca krisis, kedudukan Indonesia semakin menurun dan sejak tahun 2003 justru sudah tertinggal dari Vietnam dan sejak tahun 2005 Indonesia sudah ditinggalkan oleh semua negara – negara ASEAN.
Berdasarkan kualifikasi yang ditetapkan oleh Badan PBB urusan Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD), Indonesia sebagai tujuan investasi lagi – lagi masuk dalam kelompok terbawah, yakni kelompok negara yang kinerja maupun potensi investasinya sama – sama rendah.
Proses globalisasi menjadikan kompetisi di antara perusahaan – perusahaan internasional juga meningkat. Demi menjaga kelangsungan usahanya, kini perusahaan lebih mementingkan penghematan biaya tetap (fixed cost) seperti kemapanan aturan usaha atau aturan perburuhan, daripada biaya yang berubah – ubah (variable cost), seperti harga bahan baku dan biaya tenaga kerja.
4. Pertumbuhan Ekonomi yang Tidak Seimbang
Pada masa pasca krisis, Indonesia mengalami laju pertumbuhan ekonomi yang cukup baik dalam soal besaran angka pertumbuhannya. Masalahnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia itu sendiri tidak berjalan sebagai mana seharusnya, karena ternyata sangat tidak seimbang dan belakangan bahkan kian tidak seimbang. Yang dimaksudkan dengan pertumbuhan tidak seimbang adalah pertumbuhan ekonomi Indonesia yang bertumpu pada perkembangan sektor – sektor jasa yang tidak dapat diperdagangkan secara internasional dengan leluasa (non-tradable) ; sedangkan sektor barang yang erat kaitannya dengan produksi dan perdagangan dalam pengertian konvensional (tradable) mengalami pertumbuhan yang sangat terbatas, bahkan cenderung melemah.
Indonesia memang bukan satu – satunya negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi timpang, namun ketimpangan di Indonesia lebih mencolok dibandingkan dengan negara- negara lain. Dalam mengatasi pertumbuhan ekonomi yang tidak seimbang itu, ternyata bukan dengan menekan atau menghalangi pertumbuhan sektor non-tradable, melainkan harus mengupayakan agar sektor tradable dapat bertumbuh dengan baik dan cepat agar tidak terlalu tertinggal dari sektor non-tradable.
Sekian dulu pembahasannya yaa..