Analisis Kampanye Iklan Teh Sariwangi

 

Analisis Kampanye Iklan Teh Sariwangi

 

A.    Pendahuluan

Menurut William (1993), iklan adalah sebuah bentuk komunikasi yang bertujuan untuk mem promosikan produk, memotivasi dan mengajak massa untuk bertindak sesuai dengan pemasang iklan. Komunikasi yang terdapat pada iklan tersebut memuat informasi tentang produk yang disertai dengan kata, gambar, dan suara yang dikemas dengan tampilan yang menarik, lucu, sekaligus mendorong masyarakat untuk melakukan pembelian dan penggunaan dari produk atau jasa yang diiklankan. Selain itu, iklan tersebut juga berperan sebagai perubah suatu produk menjadi sebuah citra, yang mana citra tersebutlah yang membawa dampak dan menambah nilai ekonomi dari produk tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, iklan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah iklan mengenai suatu produk minuman, yaitu Teh Sariwangi.

Sariwangi adalah salah satu merek teh lokal di Indonesisa yang diperkenalkan pada tahun 1973 dalam format teh celup. Pada saat itu, teh celup tersebut dinilai sebagai suatu cara baru dalam minum teh yang lain dari teh serbuk. Terlebih di Indonesia sendiri, terdapat tradisi minum teh atau yang biasa disebut “ngeteh”, untuk menjalin tali silahturahmi antar sesama masyarakat. Hal tersebut membuat Sariwangi mendapat tempat di masyarakat, bahkan masih digemari hingga saat ini. Seiring perkembangannya, Sariwangi melakukan berbagai kegiatan komunikasi pemasaran, salah satunya adalah dengan beriklan. Iklan-iklan yang dibuat oleh Sariwangi selalu menggunakan tema seputar kehidupan sehari-hari yang menarik dan hangat, sehingga dianggap sebagai suatu merek teh yang berbeda dari kompetitornya (Safitri, 2014). Berdasarkan hal ini, tulisan ini akan menganalisis mengenai 3 iklan teh Sariwangi dari 3 waku yang berbeda, yaitu . 

B.     Pembahasan

Teh Sariwangi adalah salah satu merek teh lokal di Indonesisa yang diperkenalkan pada tahun 1973 dalam format teh celup. Sariwangi ini pertama kali di perkenalkan oleh PT Sariwangi Agricultural Estate Agency, yang kemudian di akuisisi oleh PT Unilever Tbk pada tahun 1980an. Kegiatan komunikasi pemasaran yang dilakukan oleh PT Unilever Tbk telah memberikan sariwangi identitas sebagai merek teh celup Indonesia dengan citra aspiratif dan premium. Bahkan Unilever juga membuat serangkaian iklan yang terintegrasi atau mempunyai satu benang merah untuk dijadikan headline dalam iklan mereka. Contohnya di dalam iklannya teh sariwangi memasukkan hal-hal yang dapat mengangkat nilai dari sebuah teh dengan menambahkan nilai-nilai lainnya. Berikut iklan-iklan teh Sariwangi yang akan dianalisis.

a.       Iklan Sariwangi “Hangatnya Kebersamaan” (1997)

Iklan ini ditayangkan pada tahun 1997, yang memperlihatkan kehangatan suatu keluarga. Latar dari iklan ini berada pada pagi hari, dimana semua anggota keluarga menyempatkan minum teh sebelum melaksanakan aktivitasnya masing-masing, baik sekolah, bekerja, dan mengurus rumah. Melalui iklan ini, Sariwangi ingin memperkenalkan dirinya sebagai ikon dari kehangatan dan kebersamaan, dimana dengan umpan membuat teh bagi keluarganya akan membuat orang di sekitarnya sadar dan mencoba untuk bergabung dan berkomunikasi lagi. Sehingga hal kecil tersebut menjadi makna besar dalam masyarakat.


b.      Iklan Sariwangi “Mari Ngeteh, Mari Bicara” (2007)

 

Gambar 1. Iklan Sariwangi “Mari Ngeteh, Mari Bicara

 

Iklan ini diperkenalkan pada tahun 2007, yang mengusungkan tema nilai-nilai komunikasi dalam kampanye iklannya. Dimana pada iklan ini, Sariwangi menitikberatkan pada pentingnya berkomunikasi dengan baik dan lancar agar dapat menciptakan suasana yang hangat dan harmonis dalam keluarga. Selain itu, dalam tema iklan ini, Sariwangi juga memasukkan pesan tentang gender di dalamnya, dengan tujuan agar dapat membantu kaum wanita mewujudkan kesetaraan gender. Kampanye ini merupakan program sosial guna memberikan inspirasi, meningkatkan kesadaran, dan memfasilitasi wanita dalam mengambil inisiatif untuk berkomunikasi lebih baik dalam menciptakan kehidupan yang selaras antara laki-laki dan wanita.

 

c.       Iklan Sariwangi “Berani Bicara” (2017)


Gambar 3. Iklan Sariwangi “Berani Bicara” (2017)

 

Iklan terakhir yang dibahas adalah iklan yang dikeluarkan pada tahun 2017 lalu, yang mengusung tema “Berani Bicara”. adalah potret keluarga yang harmonis, tetapi disini keadaannya dimana sang anak sedang membicarakan isi hatinya kepada sang ibu sembari meminum teh, namun tidak berani mengutarakan kepada ayahnya. Namun sang ibu terus mendorong anaknya untuk mengutarakan dan membicarakan kepada ayahnya. Akhirnya anaknya berani mengutarakan keinginannya untuk menonton konser, yang kemudian ditanggapi oleh sang ayah dengan mengatakan “gak boleh, kecuali ayah yang nganterin”. Hal ini menunjukkan bahwa sang ayah menyetujui atau memperbolehkan anaknya untuk menonton konser. saling sibuk dengan urusan masing-masing. Dengan kata lain, iklan Sariwangi ini ingin menyampaikan bahwa dalam sebuah keluarga, setiap anggota harus saling berbicara tentang segala hal meskipun tentang suatu masalah yang sulit. Hal ini dilakukan agar mereka dapat menghadapi dan menyelesaikannya bersama sehingga tidak berlarut-larut yang pada akhirnya dapat membuat hubungan antar anggota keluarga tetap hangat dan harmonis (Suwaibah, 2017). 

 

Refleksi Budaya Jawa Dari Film Pendek TILIK (Bu Tedjo)

 

Refleksi Budaya Jawa Dari Film Pendek TILIK (Bu Tedjo)

 


Pendahuluan

Salah satu bentuk sarana hiburan yang banyak dimanfaatkan masyarakat ada dalam bentuk film. Film memiliki peran sebagai sarana hiburan yang memberikan penawaran mengenai impian kepada penonton ke dalam kejadian dan peristiwa yang terjadi. Hal ini disebabkan karena selama menonton film penonton berubah menjadi pusat segala kejadian dan peristiwa yang di suguhkan, sehingga seolah-olah khalayak penonton ikut merasakan dan menjadi bagian di dalamnya. Hal ini berarti terdapat kemungkinan film untuk dapat mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan di baliknya tanpa pernah berlaku sebaliknya (Sobur, 2003).

Belakangan ini terdapat sebuah film pendek yang mendapatkan perhatian dari masyarakat. Film berjudul “TILIK” yang dalam bahasa jawa berarti menjenguk ini, menunjukkan sebuah fenomena dimana terdapat sekelompok ibu-ibu dari pedesaan di pinggiran Yogyakarta yang ingin pergi ke rumah sakit untuk menjenguk Bu Lurah. Fokus utama film ini berada pada obrolan yang diberikan bumbu gosip oleh para ibu-ibu tersebut dan terpusat pada Bu Tejo yang membicarakan salah seorang perempuan di desa tersebut, Dian, yang disinyalir memiliki tindak tanduk yang kurang baik. Hal ini kemudian mendapat tanggapan yang beragam dari ibu-ibu lainnya ada yang setuju, ada pula yang tidak setuju seperti tokoh Yu Ning, yang menunjukkan ketidak nyamanannya dengan perkataan Bu Tejo (Efendi, 2020).

Film “TILIK” yang telah mendapatkan perhatian publik akibat plotnya yang menggelitik dan menampilkan beberapa kritik sosial ini kemudian juga mendapatkan pujian dan kritikan dari beberapa pihak. Kritik yang muncul pada umumnya berkaitan dengan bagaimana film tersebut dinilai tidak mendidik karena menampilkan gosip dan mengklarifikasi informasi yang belum tentu benar (CNN Indonesia, 2020). Namun hal ini pada dasarnya melenceng jauh dari apa yang ingin diperlihatkan sutradara film ini. Film ini sesungguhnya hanya ingin menunjukkan sebuah realitas sosial yang menunjukkan budaya orang-orang Indonesia, khususnya masyarakat jawa, mengenai gotong-royong dan tolong menolong, mengekspresikan solidaritasnya kepada satu sama lain, dalam bentuk menjenguk tetangga atau kerabat yang sakit. Hal ini bahkan tidak dapat dihalangi oleh jarak yang jauh. Tulisan ini akan melakukan analisa terhadap refleksi budaya jawa tersebut yang muncul dalam film TILIK.  

Pembahasan

Film sebagai refleksi realitas sosial

Pada dasarnya film yang dibuat memiliki dua elemen utama, yaitu: elemen narasi dan sinematik. Kedua elemen terkait satu sama lain untuk membuat sudut pandang sinematik dan estetika film (Tarmawan & Amalina, 2019). Film TILIK yang ditayangkan kepada publik melalui platform Youtube beberapa waktu yang lalu menggambarkan sebuah narasi mengenai upaya ibu-ibu di pinggiran Yogyakarta yang bersama-sama pergi untuk menjenguk Bu Lurah yang sedang sakit. Hal tersebut menggambarkan suatu realitas sosial dimana kepedulian terhadap sesama masyarakat yang mengalami musibah ditunjukkan dengan menjenguknya secara bersama-sama.

Budaya kolektif

Seperti pada budaya Timur lainnya, budaya Indonesia secara umum serta budaya Jawa cenderung kolektif. Dalam suatu budaya yang kolektif perilaku dari para anggotanya sangat ditentukan oleh keanggotaan kelompok dan kebersamaan dan harmoni (Masturi, 2015). Hal ini kemudian mendorong perilaku-perilaku yang dilakukan didasarkan pada dorongan-dorongan yang ada disekitar individu. Budaya kolektif yang ditunjukkan dalam masyarakat Jawa menggambarkan kerangka sosial yang kuat karena terdapat perbedaan antara di dalam kelompok (in-group) dan di luar kelompok (out-group) (Hofstede, 1980). Orang berharap untuk dilindungi dan diperhatikan oleh in-group mereka yang terdiri dari keluarga besar dan keluarga dekat, suku, atau bahkan desa. Perhatian utama dari individu di dalam in-group adalah mencari untuk kebaikan anggota lain terdekat. Hofstede (1980) mengindikasikan bahwa di dalam masyarakat kolektif, kualitas kehidupan yang tinggi didefinisikan lebih pada hubungan keluarga dan in-group.

Hal ini tercermin dalam film TILIK dari bagaimana para ibu-ibu tersebut secara bersama-sama mengekspresikan kepeduliannya kepada tetangga yang sakit dengan menjenguknya meskipun terdapat halangan berupa jarak yang harus mereka tempuh. Sikap kepedulian juga muncul ketika truk yang membawa mereka ke kota tersebut mogok. Sebagian besar dari ibu-ibu tersebut membantu mendorong truk yang menunjukkan suatu sikap kolektif, yaitu saling membantu dan bekerja sama.

Refleksi budaya “tilik” atau menjenguk orang sakit

Menurut Alkhajar (2013), film bukan merupakan entitas yang netral dan bebas nilai. Hal ini disebabkan karena film merupakan media yang efektif dalam membawa pesan-pesan yang memang dilekatkan dan ditanamkan padanya untuk kemudian disampaikan kepada segenap penontonnya (Karkono, Maulida, & Rahmadiyanti, 2020). Oleh karenanya, film kemudian membawa nilai yang mencerminkan diri masyarakat. Selain itu, film juga kemudian dapat digunakan sebagai penuangan nilai kepada penonton. Hal ini kemudian menyebabkan film dapat menjadi sebuah arahan dan penunjukkan nilai yang dapat mempengaruhi khalayak yang menontonnya. 

KASUS DIANGKATNYA BARONESS DIDO HARDING SEBAGAI PEMIMPIN NATIONAL INSTITUTE FOR HEALTH PROTECTION (NIHP) YANG BARU

 

KASUS DIANGKATNYA BARONESS DIDO HARDING SEBAGAI PEMIMPIN NATIONAL INSTITUTE FOR HEALTH PROTECTION (NIHP) YANG BARU

 


1.      PENDAHULUAN

Baroness Dido Harding pada pertengahan bulan Agustus tahun 2020 lalu telah dipilih untuk memimpin organisasi baru yang bertanggung jawab untuk menangani pandemic setelah pemerintah UK mengumumkan untuk membatalkan Kesehatan Masyarakat Inggris (Public Health England/PHE). Untuk sementara waktu, rekan Konservatif akan bertanggung jawab atas Institut Nasional untuk Perlindungan Kesehatan (National Institute for Health Protection/NIHP) dan memimpin pencarian pengganti permanen.[1]

Dalam pengumuman penunjukan tersebut, Sekretaris Kesehatan Matt Hancock mengatakan Baroness Harding memiliki “pengalaman yang sangat baik” di luar pemerintahan dan sebelumnya juga ia telah bekerja untuk NHS sehingga disimpulkan bahwa “kepemimpinannya akan sangat penting dalam mendorong kemajuan ini”. Akan tetapi penunjukan tersebut menuai kritik dan Matt Hancock dituding telah melakukan cronyism dengan menunjuk Baroness Harding yang merupakan temannya. Salah seorang anggota parlemen bahkan mengatakan bahwa penunjukan tersebut adalah “hadiah atas kegagalan” karena selama beberapa waktu terakhir Baroness Harding telah memimpin program pelacakan kontak pemerintah, yang bertujuan untuk melacak orang-orang yang dites positif virus corona dan kontak dekat mereka. Akan tetapi sejak diluncurkan pada bulan Mei, efektivitas dan nilai uang dari program tersebut banyak memunculkan pertanyaan. Aplikasi NHS yang menyertai program tersebut juga dilanda penundaan, dengan uji coba publik baru yang diluncurkan hanya beberapa hari sebelum penunjukan Baroness Harding meskipun telah dijanjikan bahwa aplikasi tersebut akan diluncurkan di bulan Mei.

2.      PEMBAHASAN

2.1.   Cronyism

Jejaring sosial adalah alat yang sangat ampuh, yang dapat diarahkan ke tujuan yang baik sekaligus buruk tergantung pada penggunaannya. Secara umum diyakini bahwa di berbagai lingkungan masyarakat, lembaga jaringan sosial yang saling bertransaksi telah berfungsi dengan baik sebagai pengganti sistem peradilan dan berbagai jenis transaksi dilakukan dengan biaya yang relatif rendah. Fungsi jejaring sosial ini sangat menonjol di negara berkembang. Sebagai contoh, pakar manajemen dan strategi di kawasan Asia Pasifik telah mengidentifikasi setidaknya dua jenis strategi dasar yang memengaruhi pertumbuhan perusahaan di negara berkembang di Asia[2]:

(1)    strategi yang berpusat pada jaringan yang memanfaatkan kapabilitas relasional yang tertanam dalam jaringan eksternal manajer, yang sering dikenal sebagai hubungan manajerial; dan

(2)    strategi yang berpusat pada pasar yang berfokus pada sumber daya perusahaan yang terletak di dalam batas perusahaan.

2.2.   Kecurigaan Cronyism dalam Penunjukkan Baroness Dido Harding

Dalam tiga tahun yang singkat, Dido Harding telah berubah dari wanita yang gagal menghentikan serangan dunia maya besar-besaran terhadap raksasa telekomunikasi, menjadi kepala sementara badan perlindungan kesehatan baru Inggris. Perkembangan ini cukup mengejutkan karena Harding adalah seorang rekan Tory (partai di UK saat ini) yang menghabiskan sebagian besar masa kerjanya di perusahaan besar termasuk Tesco, Sainsbury's, dan TalkTalk.

 Pakar kesehatan khawatir bahwa sebenarnya ia tidak cocok untuk memimpin penggantian negara itu setelah dibubarkannya PHE karena pengalamannya yang terbatas dalam perawatan kesehatan, di mana yang pertama adalah sebagai ketua pengawas layanan kesehatan NHS Improvement dan baru-baru ini menjalankan tes, sistem pelacakan dan pelacakan virus korona Inggris. Karena itulah banyak yang kemudian berpendapat bahwa mengingat kontak politiknya yang dekat, pengangkatan tersebut seperti suatu bentuk cronyism.[3]

BUDAYA TITIP MENITIP DALAM PROSES REKRUTMEN DI INDONESIA

 

BUDAYA TITIP MENITIP DALAM PROSES REKRUTMEN DI INDONESIA

 


1.      PENDAHULUAN

Perusahaan, dalam hal ini misalnya BUMN maupun jenis perusahaan lainnya, memainkan peran strategis dalam tata menjalankan fungsi produksi dan distribusi barang dan jasa. Di sisi lain perusahaan juga terlibat langsung dalam proses alokasi sumber daya yang bersifat ekonomis bagi masyarakat. Oleh karena itu, tumpuan harapan masyarakat atas keberadaan suatu entitas bisnis tidak dapat diabaikan. Dalam era reformasi seperti sekarang ini, visi dan misi perusahaan perlu ditinjau kembali, termasuk mempertajam tujuannya. Oleh karena itu dalam menjalankan roda organisasi, suatu perusahaan harus mampu menciptakan keseimbangan antara kepentingan pemilik atau pemegang saham dengan kepentingan stakeholder lainnya, sehingga untuk jangka panjang tidak terjadi benturan kepentingan antar stakeholder yang mencakup karyawan, pemasok, pelanggan, pesaing, pemerintah, dan berbagai kelembagaan masyarakat akan dapat berinteraksi secara sehat dalam meningkatkan kinerja perusahaan.[1]

Akan tetapi penyimpangan dalam berbagai perusahaan termasuk BUMN sejauh ini merupakan suatu gejala yang harus segera diobati, mengingat gejala tersebut berpotensi terjadi di kalangan pengelola perusahaan, jajaran manajemen, maupun dilakukan oleh pemegang saham dan karyawan. Atau bahkan mungkin sekali terjadi akibat campur tangan pihak eksternal perusahaan yang tidak dapat dicegah oleh direksi. Salah satu jenis gejala tersebut adalah masih tersisanya system KKN, misalnya berupa “titipan” dalam proses rekrutmen yang tidak sesuai dengan kebijakan uji kelayakan dan kepatutan. Tanpa adanya upaya bersama untuk menciptakan tata kelola perusahaan yang baik, penyimpangan tersebut akan menjadi suatu budaya sebagaimana yang telah berjalan selama masa Orde Baru.

 

2.      PEMBAHASAN

Budaya titip menitip yang diangkat dalam tulisan ini merupakan salah satu bentuk nepotisme dalam penyelenggaraan organisasi. Nepotisme berarti lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya. Kata ini biasanya digunakan dalam konteks derogatori. Sebagai contoh, kalau seorang manajer mengangkat atau menaikan jabatan seorang saudara, bukannya seseorang yang lebih berkualifikasi namun bukan saudara, manajer tersebut akan bersalah karena nepotisme.[2]

Sebenarnya sudah lama Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) didesak untuk mengevaluasi sistem perekrutan direksi BUMN, terutama karena ada kasus misalnya pada tahun 2019 lalu ada Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Direktur PT Angkasa Pura II. Sejak tahun 2014 Sinergi BUMN Institute bersama Federasi SP Sinergi BUMN telah menyerukan agar dilakukan evaluasi terhadap sistem perekrutan direksi BUMN karena pola rekruitmen saat ini kurang tepat dan sekedar memenuhi formalitas prosedur perekrutan karena seluruh tahapan dilakukan dengan tertutup, tidak transparan kepada publik bahkan kepada karyawan BUMN tersebut. Selain itu juga banyak terjadi fenomena di mana direksi BUMN hanya bertukar posisi dari sebelumnya sebagai direksi di sebuah BUMN A kemudian bergeser menjadi direksi di BUMN B yang bisnis intinya tidak jauh berbeda, berpotensi membentuk oligarki penguasa BUMN.[3]

Hal ini dapat dikaitkan dengan upaya pemerintah untuk memberantas korupsi. Pada masa orde lama, belum terdapat kerangka hukum yang jelas terkait produk hukum pemberantasan korupsi. Hal tersebut dikarenakan pemerintah belum menginventarisasi masalah hukum pemberantasan korupsi secara komprehensif, sehingga cenderung berubah-ubah dan disesuaikan dengan kebutuhan politik revolusi. Selanjutnya antara lembaga hukum rentan terjadi friksi dan adu kekuatan. Di masa orde baru, justru lingkaran korupsi semakin membesar, khususnya di pemerintahan dan BUMN, namun di dalam yurisprudensi kurun waktu 1971-1981 setidaknya masih dapat ditemukan beberapa perkara korupsi mulai dari yang kecil sampai yang besar, di antaranya perkara Robby Tjahjadi, Abu Kiswo, Letjen. Siswadji, dan 2 hakim senior, yaitu JZL (diadili di PN Surabaya) dan HG (diadili di PN Jakarta Pusat).

Peluang Industri Keuangan Syariah pada Era Milenial

 

Peluang Industri Keuangan Syariah pada Era Milenial


 

A.    Pendahuluan

Sekarang ini, zaman telah berubah. Zaman sekarang sudah sangat jauh berbeda dengan beberapa dekade lalu. Perubahan memang senantiasa terjadi, baik perubahan yang terlihat jelas, maupun yang tidak. Perubahan yang terjadi ini, pada dasarnya terjadi karena manusia dengan kebutuhannya yang semakin komplek, dan bersamaan dengan itu juga memengaruhi kehidupan manusia itu sendiri.

Saat ini, dunia telah memasuki era baru, yang dinamakan sebagai era milenial. Era milenial merupakan era digital di mana masyarakat sangat tergantung dengan media sosial dan derasnya informasi berbasis online (Mucharomah, 2017). Era milenial juga diartikan sebagai eranya perkembangan teknologi yang begitu pesat, era ketika informasi bisa dengan mudah kita serap. Era milenial cederung identik dengan era perkembangan teknologi yang berkembang pesat, dan bagaimana manusia sangat bergantung dengan keberadaan teknologi tersebut. bersamaan dengan hal ini, era milenial juga sama dengan era dimana para generasi milenial hidup. Era milenial merupakan satu terma untuk menunjukkan kelompok demografis yang lahir antara 1980-an sampai 2000-an. Mereka adalah generasi muda masa kini dengan kisaran usia 15-34 tahun (Adnan, 2018).

Era milenial, pada dasarnya telah memengaruhi segala aspek kehidupan manusia sekarang ini. Banyak manusia yang mulai memanfaatkan teknologi untuk segara urusan, baik kepentingan pribadi, sosial, politik, ekonomi, budaya dan lain sebagainya. Di bidang ekonomi, era melenial telah memengaruhi bagaimana suatu industri bisnis berjalan. Mengenai hal ini, maka dalam makalah ini akan dibahas tentang seperti apa dampak era milenial ini memengaruhi salah satu bisnis keuangan, yaitu industri keuangan syariah.

B.     Pembahasan

1.      Peluang Industri Keuangan Syariah di Era Milenial

Pada bagian pembahasan ini, sebelum menilik seperti apa peluang industri keuangan syariah di era milenial seperti yang saat ini terjadi, akan dibahas terlebih dahulu tentang apa yang dimaksud sebagai keuangan syariah dan arti dari syariah itu sendiri. Syariah, kata ini berasal dari kata syara’a yang berarti nahaja (menempuh), awdhaha (menjelaskan), dan bayyan-al masalik (menunjukkan jalan). Selain itu, syari’ah artinya adalah agama yang ditetapkan oleh Allah SWT untuk hamba-hambaNya yang terdiri dari berbagai hukum dan ketentuan. Hukum dan ketentuan Allah itu disebut syariat. Syari’at merupakan norma hukum dasar yang ditetapkan Allah, yangwajib diikuti oleh orang Islam bedasarkan iman yang berkaitan dengan akhlak, baik dlam hubungannya denganAllah maupun dengan sesama manusia dan benda dalam masyaraka (Nurhayati, 2018).

Terkait dengan seperti apa peluang industri keuanan syariah ini di tengah era melenial, diketahui bahwa industri ini memeiliki peluang yang cukup baik untuk kepentingan perkembangan masa depan. Berikut ini merupakan beberap ahal yang kemungkinan dapat memberikan peluang yang baik dalam dalam kemajuan keuangan syariah di masa depan, diantaranya adalah:

a.       Jumlah populasi umat muslim

Penerapan konsep syariah, termasuk dalam sektor keuangan, tentunya bergantung pada umat Muslim yang menganutnya, mengingat bahwa penerapannya berdasarkan nilai-nilai islam. Jumlah populasi islam di dunia cukup banyak. Secara global, penganut islam di dunia tumbuh paling cepat, sehingga umatnya juga cukup banyak. Jumlah penduduk muslim di dunia pada 2010 mencapai 1,6 miliar jiwa atau sekitar 23% dari total populasi yang mencapai 6,9 miliar pada 2010 (Kusnandar & Widowati, 2019), dan populasi muslim di dunia akan tumbuh 32 persen pada 2060 (Habibi & Nashrullah, 2019).

Sementara itu, di Indonesia sendiri, agama islam merupakan agama yang mendominasi. Mengingat bahwa berdasarkan BPS jumlahnya telah mencapai 87,19% dari 237 juta orang di tahun 2010 (OJK, 2017), sekitar 209,12 juta jiwa  (Kusnandar & Widowati, 2019). Dan jumlah ini tentu sudah bertambah selama 10 tahun terakhir. Oleh sebab itulah, dengan jumlah penduduk muslim yang cukup banyak ini, maka ada kemungkinan besar bahwa mereka ini akan semakin tertarik untuk lebih memilih konsep syariah untuk masalah keuangan mereka, sehingga memungkinkan isnustri keungan syariah dapat berkembang dengan baik kedepannya.

b.      Keberadaan kaum milenial sebagai penggerak keuangan syariah

Kunci utama era milenial adalah kaum milenial itu sendiri. Diketahui bahwa era yang berlangsung saat ini di dominasi oleh para generas milenial sebagai kelompok produktif. Dalam hal ini, peran dari generasi milenial diharapkan dalam merealisasikan potensi sebuah negara, termasuk Indonesia, menjadi pusat ekonomi dan keuangan syariah dunia. Karakteristik generasi millenial yang kreatif, innovative dan menguasai teknologi akan menjadikan halal product and services sebagai life style yang merupakan katalisator berharga bagi pengembangan ekonomi dan keuangan syariah. Selain itu, peran millennial ini bisa menjadi enterprener muda industri halal maupun menjadi investor/nasabah/konsumen produk-produk halal dan keuangan syariah. Apalagi berdasarkan statistik Indonesia, jumlah generasi milenial lebih dari 100 juta orang (Sandy, 2019).