RESUME JURNAL - THE BRAND PERCEPTIONS OF FORMER USERS



Persepsi Merk oleh Mantan Pengguna
(THE BRAND PERCEPTIONS OF FORMER USERS)
Jenny Romaniuk

Ini adalah perluasan penelitian citra merk kunci yang dilakukan oleh Bird, Channon dan Ehrenberg. Mereka menemukan bahwa ‘mantan pengguna’ lebih cenderung mengaitkan mereka dengan atribut citra positif daripada mereka yang belum pernah mencoba merk itu. Makalah ini memperluas penemuan penelitian mereka pada metode berbeda yang (1) mengelompokkan ‘mantan pengguna’ dan (2) mengukur asosiasi dengan atribut citra. Hasilnya meniru yang ditemukan di penelitian aslinya, memperkuat penegasan bahwa respon citra dipengaruhi oleh penggunaan di masa lalu. Penemuan ini membuat mendeteksi hubungan apapun antara citra merk dan perilaku mendatang menjadi tugas yang lebih sulit, karena pengaruh penggunaan masa lalu perlu untuk diperhitungkan dalam analisis.

Kata kunci: penelitian citra merk, persepsi mantan pengguna

Pendahuluan
Penelitian ini melibatkan dua perluasan penelitian pengukuran citra merk kunci yang dilakukan oleh Bird, Channon dan Ehrenberg di akhir era 60an dan 70an, dan mencoba untuk lebih jauh membangun pada karya yang mungkin berkembang di masa depan itu. Ia menguji sejauh mana penemuan mereka merupakan artefak dari teknik kategorisasi dan pengukuran yang digunakan.
Citra merk adalah area penelitian yang populer, sering berdasarkan pada kepercayaan bahwa citra merk yang dipegang konsumen mempengaruhi perilaku membeli mereka setelahnya. Tetapi, hanya sedikit yang diketahui mengenai hubungan antara citra merk dan perilaku mendatang. Penelitian yang dilakukan oleh Bird dkk. menggunakan teknik umum di mana responden didorong pada atribut citra merk (misalnya ‘nilai yang baik untuk uang’) dan ditanyai mengenai merk mana dalam kategori produk yang mereka kaitkan dengan masing-masing atribut. Bird dkk. menemukan bahwa ‘pengguna sekarang’ lebih mungkin untuk mengaitkan sebuah merk dengan atribut citra positif (yaitu diinginkan) daripada non-pengguna, dan secara mengejutkan, ‘mantan pengguna’ lebih mungkin untuk melakukan ini daripada mereka yang belum pernah mencoba merk itu. Proporsi rata-rata mengenai merk untuk sebuah atribut adalah 50% ‘pengguna sekarang’, 20% ‘mantan pengguna’ dan 10% mereka yang belum pernah mencoba merk itu. Hasil ini menyatakan bahwa sebutan sebuah merk untuk atribut citra positif terkait dengan perilaku sekarang/masa lalu, daripada masa depan.

Mengkategorisasi Mantan Pengguna
Bird dkk. mengkategorisasi responden yang telah membeli sebuah merk pada empat minggu sebelum survey sebagai ‘pengguna sekarang’. ‘Mantan pengguna’ adalah responden yang menyatakan mereka telah membeli merk itu sebelumnya tetapi tidak pada 4 minggu sebelum wawancara. Ada beberapa alasan potensial mengapa, pada poin wawancara, pelanggan mungkin belum membeli merk di 4 minggu terakhir. Yang pertama adalah mereka mungkin pembeli ringan kategori dan belum membeli merk manapun pada periode itu. Yang kedua adalah karena peredaran melewati daftar, di mana pada saat wawancara responden mungkin telah membeli dari merk lain dalam daftar mereka. Dalam dua skenario ini, tak ada alasan mengapa responden sebaiknya tidak mengaitkan merk dengan atribut positif ketika ditanya. Satu-satunya penghalang adalah responden hanya tidak memikirkan merk itu sama sekali, atau yang lebih baru dibeli, sehingga merknya lebih menonjol. Untuk responden-responden ini diharapkan bahwa asosiasi atribut positif akan ditimbulkan, tetapi kurang sering daripada untuk ‘pengguna sekarang’ yang telah membeli merk baru-baru ini. Ini adalah penemuan empiris Bird dkk.
Tetapi kelompok ketiga ‘mantan pengguna’ di kategorisasi Bird dkk. adalah mereka yang telah menolak merk karena ada merk alternatif. Masuk akal untuk menghipotesiskan bahwa kelompok ini memiliki kemungkinan lebih kecil untuk menyebutkan merk dengan atribut citra positif daripada pengguna lain. Tetapi karena penolakan merk di masa lalu, kelompok ini sebaiknya juga memiliki kemungkinan lebih kecil daripada mereka yang belum pernah mencoba merk itu, yang berkebalikan dengan penemuan Bird dkk. Oleh karena itu, menggunakan kelompok ‘mantan pengguna’ yang hanya terdiri dari mereka yang telah menolak merk seharusnya berarti bahwa penemuan kunci Bird dkk. tidak akan bisa digeneralisasi. Hal ini diperinci di Hipotesis 1.
H1: ‘Mantan pengguna’ yang telah menolak merk akan memiliki kemungkinan lebih kecil untuk menyebutkan merk dengan atribut citra positif daripada mereka yang belum pernah mencoba merk itu.

Atribut Citra Positif
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, responden diberi atribut citra dan ditanyai merk mana yang terkait dengan masing-masing atribut. Ketentuan atribut citra dalam cara Bird dkk. mengasumsikan bahwa semua atribut sama pentingnya untuk semua pelanggan. Konsumen mungkin mengaitkan merk dengan atribut yang telah dikembangkan karena penggunaan sebelumnya, yaitu hubungan antara respon citra dan penggunaan masa lalu. Tetapi, atribut-atribut yang diperoleh setelah penggunan mungkin bukanlah atribut yang penting untuk perilaku membeli. Berdasarkan penolakan merk di masa lalu, mantan pengguna seharusnya memiliki kemungkinan lebih kecil daripada ‘belum pernah mencoba’ untuk menggunakan merk di masa depan. Oleh karena itu, saat hanya atribut merk penting yang dimasukkan, mantan pengguna seharusnya memiliki kemungkinan lebih kecil untuk menyebutkan merk yang mereka tolak daripada mereka yang belum pernah mencoba merk itu. Ini akan berarti bahwa hasil Bird dkk. tidak akan bisa digeneralisasi pada konteks ini. Hipotesis yang diuji adalah sebagai berikut:
H2: Mantan pengguna akan memiliki kemungkinan lebih kecil untuk menimbulkan atribut positif penting mengenai merk daripada mereka yang belum pernah mencoba merknya

Metode
Total 1300 kuesioner dikirim via pos pada penjual di industri spesifik. Penjual dikirimi survey awal dan kemudian surat pengingat 10 hari kemudian. Imbalan untuk penarikan $500 juga disediakan untuk meningkatkan angka respon. Secara total, 302 survey yang dilengkapi dikembalikan, dengan angka respon 23%. Angka respon yang relatif rendah ini tidak menyatakan kemungkinan bias non-respon. Tetapi penetrasi merk dianggap cukup akurat oleh salah satu manajer pemasaran. Selain subjek tidak tahu mengenai tujuan penelitan, dan perbandingannya antara kelompok dalam sampel, tidak diharapkan bahwa bias non-respon akan mempengaruhi penelitian.
Dua metode digunakan untuk mengumpulkan data pada atribut citra yang dikaitkan dengan merk. Yang pertama adalah sebuah tabel berisi 5 merk utama di pasar dan 14 atribut pasar. Penjual diminta untuk melingkari merk mana yang mereka kaitkan dengan masing-masing atribut. Metode pengumpulan data hampir sama dengan Bird dkk., dengan satu-satunya perbedaan adalah penggunaan booklet isi-sendiri daripada kuesioner yang dilakukan secara tatap muka. Untuk menguji Hipotesis 2, metode kedua untuk mengumpulkan respon atribut citra adalah untuk menyediakan responden dengan nama merk dan meminta mereka untuk menyatakan tiga keunggulan untuk masing-masing merk. Atribut citra spesifik diidentifikasi melalui rangkaian wawancara mendalam. Mereka adalah sebagai berikut:
Rangkaian produk yang luas
Segel efektif
Kepercayaan
Mudah dirangkai
Urutan kualitas
Bahan kualitas
Mudah di-install
Kuat
Reputasi baik
Akan merekomendasikan
Garansi yang bagus
Murah
Nilai yang baik
Pasokan yang berlanjut
Untuk mengenali ‘mantan pengguna’. Penjual diminta untuk menyebutkan apakah mereka baru memiliki stok, tidak pernah memiliki stok, atau selalu memiliki stok masing-masing merk. Proses ini memastikan ada perbedaan yang jelas antara mereka yang belum pernah mencoba merk dan mereka yang memiliki sejarah masa lalu dalam menggunakan merk itu. Penggunaan penjual juga bermanfaat, karena mereka memiliki stok merk secara berlanjut sehaingga tidak ada mantan pengguna yang merupakan pembeli ringan atau memutari daftar.

Hasil
Seperti statistika deskriptif, penetrasi merk untuk masing-masing kelompok penggunaan ditunjukkan pada Tabel 1. Mereka yang tidak menspesifikkan status penggunaan mereka diletakkan dalam kategori ‘tidak pernah’ mencoba.
Dalam Bird dkk., mantan pengguna adalah suk-kelompok penggunaan terbesar (dilaporkan secara umum setidaknya 50%). Di sini, rata-rata kelompok mantan pengguna adalah 10%.
Hasil di Tabel 2 adalah untuk empat merk terbesar di pasar. Merk terkecil memiliki terlalu sedikit mantan pengguna dan pengguna sekarang untuk membuat perbandingan sub-kelompok yang valid. Angka di Tabel 2 adalah proporsi untuk masing-masing kelompok pengguna yang, pada rata-rata, mengaitkan merk dengan atribut yang diberikan ke responden. Ini dihitung dengan cara yang sama dengan Bird dkk. Misalnya, pada rata-rata 83% pengguna sekarang dari Merk 1 mengaitkannya dengan atribut citra yang disediakan.
Mengacu ke Tabel 2, ‘mantan pengguna’ lebih mungkin untuk mengaitkan merk dengan atribut citra daripada mereka yang belum pernah mencoba merk itu. Oleh karena itu, Hipotesis 1 tidak didukung. Memiliki metode untuk mengkategorikan ‘mantan pengguna’ yang fokus pada mereka yang telah menolak merk tidak mengubah pola yang ditemukan oleh Bird dkk. Dalam semua kategori, proporsi rata-ratanya lebih tinggi dari Bird dkk. Hal ini mungkin merupakan fungsi mewawancara penjual, yang akan lebih tahu mengenai merk daripada pengguna akhir. Bird dkk. juga mencatat kecenderungan bagi pemimpin merk untuk memiliki proporsi yang diatas normal dari respon baik ‘mantan pengguna’. Pola ini tidak terlihat dalam penelitian ini. Tetapi kurangnya perbedaan antara ‘belum pernah mencoba’ dengan ‘mantan pengguna’ untuk Merk 1 menyatakan bahwa proporsi “di atas normal” untuk pemimpin merk ini mungkin terwujud di kelompok ‘belum pernah mencoba’ daripada kelompok ‘mantan pengguna’.
Hasil untuk menguji Hipotesis 2 ditunjukkan di Tabel 3. Ada tren yang konsisten untuk ‘mantan pengguna’ untuk lebih mungkin menyebutkan pernyataan positif mengenai merk daripada yang ‘belum pernah mencoba’. Ini mendukung penemuan Birds dkk. tetapi tidak Hipotesis 2.
Jumlah atribut penting yang disebutkan oleh pengguna sekarang tidak berbeda menurut merk. Tetapi, ini tampaknya menjadi tren penggunaan untuk kelompok yang ‘belum pernah mencoba’, dan untuk luas tertentu, ‘mantan pengguna’. Makin banyak pengguna yang dimiliki merk, makin tinggi jumlah atribut penting yang disebutkan oleh kedua kelompok non-pengguna.

Diskusi
Penelitian ini menguji kemampuan untuk menggeneralisasi penemuan dari Bird dkk. bahwa ‘mantan pengguna’ lebih mungkin untuk mengaitkan merk dengan atribut citra positif daripada mereka yang belum pernah mencoba merk itu. Perluasan pertama adalah metode yang digunakan untuk mengenali ‘mantan pengguna’. Di sini, ‘mantan pengguna’ hanyalah mereka yang memiliki pengalaman masa lalu dengan merk tetapi telah menolak merk itu. Yang kedua adalah metode mengumpulkan asosiasi dengan atribut citra, yang diubah untuk fokus pada atribut citra penting. Di kedua kasus, hasil utama penelitian asli digandakan.
Sementara fokus makalah ini adalah memeriksa respon citra yang diberikan oleh ‘mantan pengguna’ dibandingkan dengan mereka yang belum pernah mencoba merk itu, perbedaan positif besar pada level respon citra yang diberikan oleh ‘pengguna sekarang’ dibandingkan dengan non-sekarang/non-pengguna sebaiknya tidak diabaikan. Teori pemasaran tradisional secara umum menegaskan bahwa mereka adalah pengguna karena kepercayaan mereka mengenai merk. Tetapi, juga mungkin bahwa sebagian besar kepercayaan merk mereka dibentuk pasca-pemakaian dan sehingga mengikuti, bukan mendahului perilaku. Dalam kejadian apapun, penemuan ini menyatakan bahwa pemakaian merk adalah faktor kontekstual kunci dalam memahami dan menafsirkan respon citra merk.

Implikasi, Batasan dan Penelitian Mendatang
Implikasi kunci penelitian ini adalah pentingnya memahami sejarah penggunaan responden ketika menafsirkan penelitian citra merk. Hubungan dnegan perilaku masa depan lebih sulit untuk ditentukan kecuali pengaruh perilaku masa lalu dapat dikontrol untuk analisis. Kurangnya pemahaman mengenai hubungan dengan penggunaan masa lalu mungkin adalah mengapa para peneliti citra merk belum menemukan hubungan solid antara persepsi pelanggan mengenai merk dan perilaku membeli mendatang.
Batasan penelitian ini adalah ketidakmampuan untuk menyelidiki efek kekinian penggunaan. Fokus penelitian ini adalah pada kelompok non-pengguna, yang dikategorikan berdasarkan perilaku masa lalu. Sebua area penelitian mendatang adalah untuk meneliti apakah, pada pengguna sekarang, ada perbedaan dalam kecenderungan untuk memberi respon citra berdasarkan kekinian penggunaan. Hasil Bird dkk. menyatakan bahwa pengguna yang lebih baru lebih mungkin untuk mengaitkan merk dengan atribut citra daripada pengguna yang kurang baru.
Penelitian mendatang di area ini seharusnya menyelidiki lebih dalam ke dalam alasan untuk status mantan pengguna untuk melihat apakah ini memiliki efek pada hasil. Mungkin mantan pengguna yang menolak merk karena kegagalan bagiannya mungkin memiliki kemungkinan lebih kecil untuk menunjukkan respon positif mengenai merk daripada mereka yang meninggalkan merk itu karena tawaran dari pesaing. Juga peran persepsi negatif seharusnya dieksplorasi. Mungkin bahwa sementara merk dirasa positif pada kebanyakan atribut, kehadiran persepsi negatif sudah cukup untuk beralih merk. Oleh karena itu ‘mantan pengguna’ tidak jelas dengan ketiadaan atribut positif, tetapi kehadiran atribut negatif. Penelitian citra mnendatang secara umum sebaiknya fokus pada melihat apakah, ketika penggunaan masa lalu responden dikontrol, ada hubungan yang terdeteksi antara respon citra dan perilaku pelanggan di masa depan. Jika tidak, sulit untuk melihat adanya nilai dalam pengukuran citra merk, kecuali sebagai sebuah cara yang sulit untuk mengukur penggunaan di masa lalu.

Sekian Dulu Yaa...
Kalo butuh versi lengkap reviewnya ato
Butuh j urnal aslinya (bahasa inggris)
Request Aja...
Diana - o85868o39oo9
Thanks

MAKALAH - UPAH MINIMUM DALAM PEMENUHAN STANDAR KEHIDUPAN PEKERJA DI INDONESIA

LATAR BELAKANG
Penetapan upah minimum kabupaten/kota (UMK) maupun upah minimum provinsi (UMP) menjadi ritual tahunan. Tidak mengherankan jika terjadi tarik ulur antarpihak yang berkepentingan, baik buruh maupun asosiasi pengusaha. Di satu pihak, para pengusaha berupaya mempertahankan hak penguasaan atas wilayah otoritas bisnis, yaitu kelayakan biaya dan keuntungan produksi. Di pihak lain, para buruh berusaha mendapatkan hak atas kelayakan hidup sebagai manusia, yaitu upah yang secara normatif layak bagi diri dan keluarganya.
Bagi kalangan buruh, kenaikan upah minimum tiap tahun amat dinantikan. Meskipun kenaikan yang diterima jauh dari harapan, setidaknya sedikit meringankan kesulitan hidup buruh di tengah tekanan hidup yang tinggi; sekalipun upah riil yang diterima buruh justru turun dan makin jauh dari standar hidup layak.
Rendahnya upah buruh di Indonesia memang bukan isapan jempol belaka. Penelitian TURC menyebutkan pada 1997 upah minimum buruh mampu membeli 350 kg beras (dengan harga beras Rp700 rupiah per kilogram pada tahun itu), sedangkan upah minimum buruh 2008 hanya mampu untuk membeli beras sebanyak 160 kilogram beras (dengan asumsi harga berasRp 5.000 per kg di tahun 2008). Ini bermakna upah riil buruh berkurang hampir 50 persen. Penelitian INDOC juga menyatakan upah buruh Indonesia kini sangat rendah, hanya berkisar 5% sampai 6% dari biaya produksi. Data yang diperoleh dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi menyatakan upah buruh hanya menghabiskan 25 persen dari total komponen pengeluaran perusahaan. Yang 60 persen adalah biaya produksi, 15 persen lain uang siluman yang terus-menerus dilakukan oknum aparat pemerintah (Ihsan Prasodjo: 2006).
Kebijakan peningkatan upah minimum yang cukup besar ini dilaksanakan ketika Indonesia sedang berjuang keras untuk memulihkan perekonomiannya dari krisis ekonomi yang parah. Setelah terjadi kontraksi ekonomi besar-besaran sekitar 13,7%  pada tahun 1998 dan laju pertumbuhan ekonomi kurang dari satu persen pada tahun 1999, perekonomian Indonesia mengalami pertumbuhan sekitar 5% pada tahun 2000. Berbagai pihak memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi pada tahun 2001 akan mencapai sekitar 3% hingga 3,5%. Dalam iklim pertumbuhan ekonomi yang rendah seperti ini, kenaikan upah minimum lebih lanjut memicu keprihatinan bahwa hal tersebut mungkin akan menghambat upaya pemulihan ekonomi, memperlambat pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang, dan mengurangi pertumbuhan penyerapan tenaga kerja di sektor industri modern.
Disamping itu, mulai bulan Januari 2001 Indonesia telah menerapkankan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Dengan adanya kebijakan ini, wewenang untuk menetapkan tingkat upah minimum dialihkan dari pemerintah pusat ke pemerintah
daerah di tingkat propinsi, kabupaten, dan kota. Terdapat tanda-tanda awal bahwa pengalihan wewenang ini mungkin akan semakin meningkatkan kenaikan upah minimum di beberapa daerah. Selain kenaikan upah minimum yang cukup besar pada tahun 2001, frekuensi perubahan upah minimum juga telah meningkat selama setahun terakhir ini. Hal ini menimbulkan keprihatinan bahwa pemerintah daerah mungkin lebih mudah menyerah terhadap tekanan-tekanan agar memberlakukan pendekatan  yang lebih populis dalam kebijakan sosial. Akibatnya, ada bahaya bahwa pertumbuhan ekonomi jangka panjang mungkin akan dikorbankan demi kepentingan-kepentingan jangka pendek yang tidak berkesinambungan.
Jika dinalar lewat aturan baru, yakni SKB empat menteri, kenaikan upah minimum yang dinantikan buruh sesungguhnya tidak signifikan. Bagaimana mungkin kenaikan upah minimum tidak boleh melebihi angka pertumbuhan ekonomi, sedangkan angka pertumbuhan ekonomi nasional kini jauh di bawah angka inflasi apalagi angka KHL. Bandingkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional 2008 yang diprediksikan hanya sekitar enam persen sementara angka inflasi berkisar 12 persen. Bisa dibayangkan betapa menderitanya kehidupan buruh ketika upah riil makin lama makin berkurang.

PERUMUSAN MASALAH
Apakah penetapan upah minimum telah mencukupi standar kehidupan minimum pekerja?

PEMBAHASAN
Konsepsi Upah Minimum
Dalam hubungan industrial, kedudukan upah minimum merupakan persoalan prinsipil. Upah minimum harus dilihat sebagai bagian sistem pengupahan secara menyeluruh.  ILO dalam Report of the Meeting of Experts of 1967 menyatakan hal serupa. Upah minimum didefinisikan sebagai upah yang memperhitungkan kecukupan pemenuhan kebutuhan makan, pakaian, tempat tinggal, pendidikan, dan hiburan bagi pekerja serta keluarganya sesuai dengan perkembangan ekonomi dan budaya tiap negara.
Pada prinsipnya, sistem penetapan upah minimum dilakukan untuk mengurangi eksploitasi atas buruh. Ini sesungguhnya berisi kewajiban pemerintah memproteksi buruh. Intervensi dan peran pemerintah dalam hubungan industrial adalah bentuk penguatan terhadap posisi tawar yang memang tidak seimbang antara buruh ketika berhadapan dengan pengusaha.
Setiap pekerja berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan diri secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. Upah minimum dipandang sebagai sumber penghasilan bersih (take home pay) sebagai jaring pengaman (safety net) KHL. Sebab itu, upah minimum diharapkan dapat memenuhi kebutuhan seorang buruh terhadap pendidikan, kesehatan, transportasi, dan rekreasi. Bahkan, bila dimungkinkan dapat disisihkan untuk menabung. Dalam tataran normatif, KHL merupakan standar kebutuhan yang harus dipenuhi seorang buruh lajang untuk dapat hidup layak, baik secara fisik maupun nonfisik dalam kurun waktu satu bulan.
Terbitnya UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Permenaker No. 1/1999 jo Kepmenakertrans No. 226/2000 tentang Upah Minimum, Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 17 2005 tentang tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak dan Keppres 107/2004 tentang Dewan Pengupahan tentunya diharapkan menjadi payung hukum bagi buruh agar mendapatkan keadilan dan menghindari eksploitasi terhadap buruh yang seringkali tidak berdaya karena berbagai keterbatasan.
 
Standar Kebutuhan Minimum Pekerja
Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) merupakan faktor utama sebagai bahan kajian serta pertimbangan dalam menetapkan upah minimum. Survey KHM yang dilakukan di tiap kabupaten / kota akan memberi gambaran dengan jelas berapa kebutuhan minimum utuk buruh baik yang masih lajang, menikah, maupun yang telah berkeluarga dengan satu anak dan dua anak. Survey KHM dihitung untuk kebutuhan buruh denga 3000 kalori / hari untuk jenis makanan / minuman yang dikonsumsi buruh. Kebutuhan lainnya mencakup perumahan dan fasilitasnya, sandang, serta aneka kebutuhan seperti transport, sarana kesehatan, pendidikan, rekreasi, dan lain sebagainya. 


Implikasi Upah Minimum terhadap Pemenuhan Kebutuhan
Upaya pemerintah melindungi buruh dari suatu situasi yang kurang kondusif dalam hubungan kerja dilakukan dengan menerbitkan berbagai kebijaksanaan yang mencakup perbaikan syarat kerja antara lain melalui penerapan upah minimum. Pertimbangan yang paling mendasar dengan menetapkan upah minimum adalah agar pendapatan buruh tidak terus merosot, karena faktor – faktor yang tidak dapat diperbuat oleh buruh, misalnya karena posisi tawar buruh yang lemah.
Faktor dominan yang  menetapkan upah minimum sebagai bahan pertimbangan adalah standar Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) buruh yang sebelumnya telah dilakukan survey serta penelitian di masing – masing daerah. Kebutuhan hidup minimum merupakan sebuah kalkulasi yang menstandarkan pada kebutuhan hidup minimum seseorang maupun telah berkeluarga dengan asumsi dapat dipenuhi oleh setiap orang.
Perhitungan kebutuhan hidup minimum setiap tahun terus berkembang sesuai dengan kebutuhan dan keadaan yang dimulai tahun 1956 – 1966 dengan nama Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) dan sejak tahun 1997 lebih meningkat dengan perhitungan yang lebih representatif dengan istilah kebutuhan hidup minimum (KHM).
Sesuai Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 81 / 1995 tentang Penetapan Komponen Kebutuhan Hidup Minimum telah distandarkan 4 komponen pokok dalam perhitungan KHM meliputi komponen makanan dan minuman, komponen perumahan dan fasilitasnya, komponen sandang dan komponen aneka kebutuhan untuk kurun waktu satu bulan dengan 3.000 kalori per hari.
Melalui survey yang dilakukan oleh serikat – serikat buruh, organisasi pengusaha, serta pemerintah di tiap daerah maka hasil survey KHM tersebut di atas ditabulasi serta diolah sebagai bahan pertimbangan penetapan upah minimum. Hasil penetapan upah minimum sampai saat ini belum pernah mencapai KHM karena dalam proses penetapan upah minimum tidak mendasarkan perhitungan ekonomis semata atau hanya mendasarkan data – data atau angka – angka yang telah diperoleh di lapangan, tetapi pengambilan keputusan lebih cenderung menggunakan pendekatan kompromis agar kepentingan buruh dan kepentingan pengusaha tidak benturan, sehingga hasil akhir penetapan upah minimum apapun hasilnya harus diterima semua pihak.
Data KHM yang ada di Kabupaten / Kotamadya tetap diperlukan serta tetap menjadi salah satu bahan dalam pembahasan penetapan upah minimum, namun data tersebut sering tidak dapat dipergunakan sebagai patokan baku karena adanya penafsiran antara satu daerah dengan daerah lainnya. Khususnya perbedaan penafsiran materi komponen khususnya yang berstandar kualitas sedang. Di lapangan banyak barang yang justru tidak ada di pasaran atau tidak banyak digunakan oleh pekerja dalam keseharian, demikian halnya terhadap produk – produk tertentu sudah agak sulit ditemukan.

SOLUSI
Penetapan upah minimum merupakan langkah pemerintah dalam upaya meningkatkan pendapatan upah buruh yang secara realistis dapat meningkatkan pendapatan buruh. Namun karena upah minimum tersebut hanya satu dari sekian banyak produk kebijaksanaan pemerintah maka ada kecenderungan kurang efektif untuk mencapai sasaran. Agar produk kebijaksanaan pemerintah bisa dapat lebih efektif hendaknya perlu dilakukan :
1.      Sinkronisasi
Kebijaksanaan yang terkait satu dengan lainnya, tidak sebagaimana saat ini walaupun upah buruh telah dinaikkan namun pada saat yang tidak berbeda atau bersamaan pemerintah menaikkan harga-  harga kebutuhan barang yang masih menjadi tanggung jawab pemerintah, seperti BBM, listrik, biaya transportasi, dan lain sebagainya, sehingga kenaikan upah tenaga kerja secara riil tidak dapat dinikmati.
2.      Jamsostek
Merubah sistem jaminan sosial ketenagakerjaan, sehingga buruh korban PHK dan buruh pensiunan akan mendapat tunjangan layak dari Jamsostek. Pemerintah dilarang mengambil keuntungan apapun dari Jamsostek, bahkan sebaliknya.

 REFERENSI
Dahrendof, Rafi, Konflik dalam Masyarakat Industri, Rajawali Pers, Jakarta. 1986.

Departemen Tenaga  Kerja RI, Profil Ketenagakerjaan di Indonesia, Jakarta, 1999.

Hasibuan, Sayuti, Ekonomi Sumber Daya Manusia, Teori dan Kebijakan, LP3ES, Jakarta, 2000.

James, Philip dan Cowling, Alan. The Essence of Personnel Management and Industrial Relations (Manajemen Personalia dalam Hubungan Industrial), Andi Yogyakarta, 1996.

Kertonegoro, Pengupahan (Wages), Yayasan Tenaga Kerja Indonesia, Jakarta, 1999.

Sentanoe Kartonegoro, Pengupahan Teori, Hukum, dan Manajemen, Yayasan Tenaga Kerja Indonesia, Jakarta, 2010, H. 31-32.

Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 81 / 1995 tentang Penetapan Komponen Kebutuhan Hidup Minimum

Makalah ini cuma versi sampel aja
Jadi belum lengkap isinya
Untuk versi lengkap atau
mau bikin makalah judul lain
Request aja
Diana -o85868o39oo9
Dijamin beres dan ga pake repot
Thanks