Tampilkan postingan dengan label ASEAN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ASEAN. Tampilkan semua postingan

PENGARUH COVID-19 TERHADAP EKONOMI INDONESIA DAN ASEAN

 

PENGARUH COVID-19 TERHADAP EKONOMI INDONESIA DAN ASEAN

 

1.      PENDAHULUAN

Dunia saat ini terkena dampak penyakit virus korona baru (COVID-19) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengoordinasikan upaya global untuk mengelola dampak dan menyatakan COVID-19 sebagai pandemi global pada 11 Maret 2020. Skala dampak dari pandemi ini belum pernah terjadi sebelumnya, dan penelitian menunjukkan bahwa mungkin perlu lebih dari satu dekade bagi dunia untuk pulih, baik secara sosial maupun ekonomi dan mungkin secara signifikan pandemic ini juga akan mengganggu kemajuan Agenda Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030. Pada 27 Maret, negara-negara G20 menjanjikan $5 triliun untuk mempertahankan ekonomi global melawan COVID-19, sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meluncurkan Rencana Respons Kemanusiaan Global untuk COVID-19.[1]

Negara berkembang hampir di mana-mana membutuhkan bantuan. Di Asia, Indonesia menghadapi salah satu situasi yang paling sulit. Kemampuannya untuk menahan virus korona masih belum pasti dan ekonominya telah diguncang oleh episode besar arus keluar modal. Akan tetapi risiko ekonomi utamanya bukanlahseperti yang dulu berupa pembalikan arus modal yang memicu krisis mata uang, seperti dalam Krisis Keuangan Asia pada akhir 1990-an. Masalah utamanya pada dasarnya adalah masalah domestic, yaitu upaya untuk membiayai defisit anggaran yang cukup besar untuk menyediakan belanja kesehatan yang memadai, serta dukungan fiskal untuk meredam kemerosotan ekonomi global paling parah sejak Depresi Hebat.[2]

Padahal ekonomi Indonesia tengah berjalan cukup baik sebelum pandemi, terus berkembang sekitar 5 persen per tahun selama beberapa waktu dan dengan prospek yang bagus untuk terus berlanjut. Namun ketergantungannya pada aliran masuk modal asing telah lama menjadi titik lemahnya, sehingga di pandemi ini Indonesia adalah salah satu yang terparah karena terkena dampak eksodus besar-besaran modal asing dari pasar negara berkembang akibat COVID-19 menjadi pandemi global pada Maret tahun ini. Lebih dari US$10 miliar ditarik dari pasar modal Indonesia dan rupiah sempat anjlok hampir 20 persen. Dalam tulisan ini, akan dianalisis dampak dari pandemi COVID-19 terhadap perekonomian Indonesia dan juga di Asia Tenggara.

 

2.      PEMBAHASAN

2.1.   Kondisi Ekonomi Indonesia

Badan Pusat Statistik (BPS) melalui video conference di awal bulan Agustus 2020 mengumumkan bahwa pertumbuhan ekonomi kuartal II-2020 mengalami kontraksi minus 5,32% (year on year). Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia berdasarkan harga konstan pada kuartal II-2020 sebesar Rp2.589,6 triliun. Jika dibandingkan kuartal I-2020, ekonomi kuartal II tetap minus 4,19 persen. Menurutnya Pemerintah terus meningkatkan ekonomi tetap berjalan. Pandemik Covid-19 ini telah menciptakan efek domino dari masalah kesehatan menjadi masalah sosial, masalah ekonomi yang dampaknya menghantam seluruh lapisan masyarakat.[3]


Dari sisi produksi, terdapat sepuluh dari tujuh belas lapangan usaha yang mengalami kontraksi pertumbuhan. Kontraksi paling dalam dialami oleh Lapangan Usaha Transportasi dan Pergudangan sebesar 30,84 persen. Dari sisi pengeluaran, pertumbuhan ekonomi Indonesia (y-on-y) mengalami kontraksi pada semua komponen. Kontraksi terdalam terjadi pada Komponen Ekspor Barang dan Jasa sebesar 11,66 persen. Sementara itu, Komponen Impor Barang dan Jasa (sebagai komponen pengurang) terkontraksi sebesar 16,96 persen.

Ekonomi Indonesia triwulan II-2020 dibanding triwulan I-2020 mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar 4,19 persen (q-to-q). Dari sisi produksi, hampir seluruh lapangan usaha mengalami kontraksi pertumbuhan dimana kontraksi terdalam dialami oleh Lapangan Usaha Transportasi dan Pergudangan sebesar 29,22 persen. Ditinjau dari sisi pengeluaran, kontraksi pertumbuhan ekonomi terjadi pada semua komponen kecuali Komponen Pengeluaran Konsumsi Pemerintah yang tumbuh sebesar 22,32 persen.


2.2.   Kondisi Ekonomi ASEAN

ASEAN adalah negara adidaya ekonomi terbesar ketujuh di dunia dan ketiga di Asia dengan PDB gabungan sebesar US$2,6 triliun. Di antara negara-negara ASEAN, ASEAN-5 merupakan negara yang memiliki pertumbuhan PDB terkuat dan dipandang memiliki aktivitas ekonomi yang lebih kuat (Singapura, Indonesia, Malaysia, Thailand dan Brunei). Dampak COVID-19 di wilayah tersebut berdampak langsung pada perekonomiannya. Keberagaman negara-negara ASEAN telah menimbulkan masalah serius tentang keamanan manusia dalam skala besar, yang mengakibatkan kondisi ekonomi yang terus naik turun dengan tidak stabil yang agak mengkhawatirkan saat ini, dan jika tidak ada tindakan tegas yang diambil untuk memerangi penularan, seluruh kawasan dapat runtuh.

COVID-19 telah membawa gangguan pada perekonomian karena bisnis dan aktivitas sehari-hari terhenti. Orang-orang diperintahkan untuk tetap di dalam rumah dan mempraktikkan social distancing ketika pergi keluar untuk mendapatkan kebutuhan pokok mereka. Dalam hal biaya hidup dan upah, ada perbedaan yang mencolok antara Laos dan Singapura yang masing-masing berkisar antara US $ 119 hingga US $ 3.547 per bulan. Hal ini saja menunjukkan bahwa perbedaan sosial ekonomi di antara warga negara ASEAN memerlukan langkah fiskal yang cermat dalam menanggulangi penyakit tersebut karena penerimaan masyarakat terhadap gangguan ekonomi sangat bergantung pada aspek sosial dan ekonomi di dalam anggota ASEAN.[1]

Strategi Bisnis Internasional Go-Jek Indonesia Memasuki Pasar Asean: (Studi Kasus Go-Viet dan GET!)



Strategi Bisnis Internasional Go-Jek Indonesia Memasuki Pasar Asean:
(Studi Kasus Go-Viet dan GET!)



I.                   Latar Belakang
Gojek merupakan sarana transportasi di Indonesia yang menyediakan jasa ojek secara online. Perusahaan ini berada di bawah PT Aplikasi Karya Anak Bangsa yang didirikan oleh Nadiem Makarim. Perusahaan ini didirikan pada tahun 2010 atas ide pendirinya yang terinspirasi dari pengalamannya ketika menggunakan transportasi umum ojek di Jakarta yang sedang dalam keadaan macet. Dari hal tersebut, kemudian terbentuk sebuah ide untuk menciptakan suatu teknologi yang dapat menghubungkan tukang ojek dengan calon-calon pelanggannya sehingga waktu tukang ojek tidak hanya habis untuk menunggu pelanggan di pangkalan (Nasution, 2018).
Gojek berupaya menjadi penyedia sarana transportasi yang dapat memberikan kenyaman dan kemudahan bagi penggunanya. Gojek sudah menyediakan layanannya di hampir seluruh Indonesia tidak hanya transportasi, tetapi juga berbagai layanan baru seperti layanan pesan antar makanan (Go-Food), layanan pengiriman barang atau dokumen (Go-Send), layanan pindah barang (Go-Box) dan bahkan layanan salon kecantikan (Go-Glam). Pengguna dapat memesan layana tersebut secara online melalui aplikasi yang dapat diunduh melalui telepon genggam.
Kesuksesan Gojek untuk memberikan layanan di Indonesia ini kemudian mendorong Gojek untuk melakukan ekspansi ke luar negeri. Pada pertengahan tahun 2018 lalu, Gojek mengumumkan ekspansi perusahaan tersebut ke Vietnam dan Thailand. Ekspansi ini merupakan gelombang pertama dari rencana ekspansi internasional Gojek yang ditujukan pada negara-negara di Asia Tenggara. Ekspansi di regional Asia Tenggara ini rencananya akan diikuti dengan ekspansi ke Filipina dan Singapura (Agung, 2018).
Rencana ekspansi ke luar negeri ini di dorong oleh berbagai investor yang menanamkan investasinya ke bisnis ini, diantara investor prestisius yang menginvestasikan dananya ke Gojek adalah Astra International, Warburg Pincus, KKR, Meituan, Tencent, Google, Temasek, dan lain sebagainya. Dari penggalangan dana investasi ini didapatkan sebanyak US$500 juta untuk ekspansi Gojek ke luar negeri (GoJek, 2018). Dengan rencana tersebut, gojek memulai bisnisnya di kancah internasional dan menyebabkan Gojek menghadapi persaingan dengan Grab yang memiliki jenis bisnis yang sama. Agar ekspansi bisnis Gojek secara internasional ini dapat berjalan dengan lancar, maka diperlukan strategi yang tepat. Oleh karena itu, tulisan ini akan membahas tentang bagaimana strategi bisnis Gojek dalam melakukan ekspansi bisnis internasional.
II.                Ekspansi ke Vietnam dan Thailand
Pada ekspansi bisnis internasional tahap pertamanya, Gojek melakukan ekspansi ke negara Vietnam dan Thailand. Gojek di Vietnam memiliki nama Go-Viet yang mulai beroperasi di dua kota yaitu Hanoi dan Ho Chi Minh. Layanan yang disediakan oleh Go-Viet untuk sementara ini adalah Go-Bike dan Go-Send dengan 25 ribu mitra pengemudi yang sudah bergabung bersama Go-Viet. Layanan yang disediakan akan berkembang sesuai dengan kebutuhan negara ini.
Vietnam dipilih sebagai salah satu negara yang pertama diekspansi oleh Gojek karena dianggap memiliki medan yang sama dengan Jakarta, Indonesia ketika pertama kali beroperasi. Sepeda motor merupakan alat transportasi yang memiliki peranan penting di kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia dan Vietnam. Bahkan keberadaan sepeda motor di kedua negara sudah melebihi jumlah kendaraan roda empat (Triwijanarko, 2018).



Selain hal tersebut, Vietnam dianggap negara yang paling optimal untuk jenis teknologi atau layanan yang ada di platform Gojek. Hal ini dilihat oleh tim Gojek dari jumlah penduduk Vietnam yaitu sebanyak hampir 107 juta orang dengan penetrasi telepon genggam yang sangat tinggi. Hal ini menyebabkan konsumen di negara Vietnam sangat atraktif dan terbuka dengan produk baru terutama teknologi (Rahman, 2018).
Selain hal tersebut, disebutkan pula bahwa rasio perkapita penggunaan motor roda dua Vietnam merupakan nomor satu di Asia Tenggara. Hal ini sangat mendukung pengembangan Gojek karena platform ini memang berdasarkan pada penggunaan sepeda motor untuk memberikan layanan kepada pelanggan. Di sisi lain, regulasi dan pemerintah di Vietnam sangat mendukung. Hal itulah yang menjadikan alasan mengapa Vietnam bisa menjadi pasar sempurna untuk untuk mulai ekspansi bisnis Gojek ke ranah regional Asia Tenggara.
Sedangkan ekspansi yang dilakukan Gojek di Thailand adalah dengan membentuk sebuah anak perusahaan yang diberinama dengan Get. Get telah beroperasi di 14 wilayah di Bangkok, Thailand. Empat belas wilayah tersebut meliputi Chatuchak, Lad Prao, Wang Thong Lang, Sathorn, Bang Rak, Klongtoey, Yannawa, Bangkapi, Ratchathewi, Pathumwan, Phyathai, Beung Kum, Bang Kho Laem dan Rat Burana (Suryanto, 2019). Terdapat dua layanan yang ditawarkan oleh Get, yaitu Get Win dan Get Delivery. Get Win merupakan layanan ride-hailing dan sedangkan Get Delivery merupakan kurir pengiriman.

Thailand merupakan negara kedua tujuan ekspansi bisnis Gojek di Asia Tenggara. Salah satu penyebab pemilihan negara ini adalah jumlah penggunaan transportasi dengan mode ride-sharing yang sangat tinggi. Hal ini dibuktikan dengan pendapatan Thailand di segmen ride hailing berjumlah US $ 1.037 juta pada tahun 2019. Pendapatan ini diperkirakan akan menunjukkan tingkat pertumbuhan tahunan sebesar 24,1%, sehingga menghasilkan volume pasar sebanyak US $ 2.461 juta pada tahun 2023 (Statista, 2019). Hal ini tentu sangat menarik bagi perusahaan Gojek itu sendiri.
Secara umum, ekspansi yang dilakukan ke wilayah regional Asia Tenggara ini dilakukan oleh Gojek adalah dilatarbelakangi oleh rasa ingin tahu yang sangat tinggi dari tim yang bekerja di Gojek. Nadiem Makarim sebagai pendiri Gojek, menyatakan bahwa tim Gojek ingin mengetahui apakah model jasa Gojek yang sudah berhasil di Indonesia juga dapat diterapkan di pasar dengan kebudayaan yang berbeda, atau hanya dapat diterima di Indonesia saja (CNN, 2018).

III.             Mode Ekspansi Bisnis Internasional Gojek

IV.             Hambatan

V.                Cara Gojek Menangani Masalah

VI.             Rekomendasi 

VII.          Kesimpulan 

Ini hanya versi sampel saja yaa..

Untuk versi komplit atau dibuatkan analisis kasusnya,
silahkan contact 085868o39oo9 (Diana)
Ditunggu ordernyaa.. 

 
Daftar Pustaka
Agung, B. (2018). Gojek Bakal Lebarkan Sayap ke 4 Negara Asia Tenggara. Retrieved from CNN: https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20180328150359-185-286553/gojek-bakal-lebarkan-sayap-ke-4-negara-asia-tenggara
Bilgies, A. F. (2017). Keunggulan Kompetitif Yang Dalam Menciptakan Inovasi Untuk Kewirausahaan Strategis. IAIN Tulungagung Research Collections, 3(2), 321-343.
CNN. (2018). Alasan Nadiem Makarim Ekspansi Gojek Ke Asia Tenggara. Retrieved from CNN Indonesia : https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20180704150530-185-311544/alasan-nadiem-makarim-ekspansi-gojek-ke-asia-tenggara
CNN. (2019, Januari 9). Gojek Dijegal di Filipina. Retrieved from CNN Indonesia: https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20190109105701-185-359495/gojek-dijegal-di-filipina
GoJek. (2018). GO-JEK Umumkan Peluncuran Perusahaan di Vietnam (GO-VIET) dan Thailand (GET) Sebagai Bagian dari Ekspansi Internasional Tahap Pertama . Retrieved from go-jek.com: https://www.go-jek.com/blog/ekspansi-internasional-go-jek-di-vietnam-dan-thailand-tahap-pertama/
Kimberley, T. (2012). Rebranding to redefine international brand identity–A case study to evaluate the success of Sonera’s rebranding. Bachelor’s Thesis Degree Programme in International Business Haaga Helia University of Applied Science.
Murdaningsih, D. (2018). Gojek Ekspansi ke 4 Negara Ini. Retrieved from republika: https://www.republika.co.id/berita/ekonomi/korporasi/18/07/13/pbrgv8368-gojek-ekspansi-ke-4-negara-ini
Nasution, D. M. (2018). Tinjauan Hukum Terhadap Layanan Transaksi Dan Transportasi Berbasis Aplikasi Online. RESAM Jurnal Hukum, 4(1), 17-30.
Ngazis, A. N. (2018, Agustus 20). Blak-blakan Tantangan Gojek Mengaspal di Thailand. Retrieved from Viva: https://www.viva.co.id/digital/startup/1069291-blak-blakan-tantangan-gojek-mengaspal-di-thailand
Putra, D. A. (2018). Ini strategi Go-Jek ekspansi bisnis ke 4 negara. Retrieved from merdeka.com: https://www.merdeka.com/uang/ini-strategi-go-jek-ekspansi-bisnis-ke-4-negara.html
Rahman, A. F. (2018). Alasan Go-Jek Ekspansi ke Vietnam dan Pakai Nama Go-Viet. Retrieved from detiknet: https://inet.detik.com/business/d-4208800/alasan-go-jek-ekspansi-ke-vietnam-dan-pakai-nama-go-viet
Statista. (2019). Ride Hailing: Thailand. Retrieved from statista.com: https://www.statista.com/outlook/368/126/ride-hailing/thailand
Suryanto, V. (2019, Januari 15). Anak usaha Gojek di Thailand GET perluas layanan ke 14 wilayah di Bangkok. Retrieved from kontan id: https://industri.kontan.co.id/news/aanak-usaha-gojek-di-thailand-get-perluas-layanan-ke-14-wilayah-di-bangkok
Triwijanarko, R. (2018). Kenapa Go-Jek Memilih Vietnam dan Warna Merah? Retrieved from marketeers.com: http://marketeers.com/kenapa-go-jek-memilih-vietnam-dan-warna-merah/
Zaenudin, A. (2018, Agustus 30). Get, Cara Go-Jek Menaklukkan Thailand. Retrieved from tirto.id: https://tirto.id/get-cara-go-jek-menaklukkan-thailand-cVLo

 

Hubungan Internasional Negara China dan Filipina Studi Kasus Konflik Laut China Selatan



Hubungan Internasional Negara China dan Filipina
Studi Kasus Konflik Laut China Selatan
Abstrak
Sengketa Spartly adalah awal dari konflik China dan Filipina yang sama-sama mengklaim wilayahnya di kawasan Laut China Selatan. Konflik Laut China Selatan yang melibatkan China dan Filipina ini menempuh perjalanan yang panjang sebelum tahun 2015. Pada akhirnya, di tahun 2015, kasus arbitrase UNCLOS Filipina v. China berlangsung. Perselisihan teritorial China Laut Selatan mereka tetap merupakan faktor penting dalam hubungan bilateral antara China dan Filipina. Meskipun mereka telah sepakat untuk bekerja dalam kerangka mekanisme resolusi konflik Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara untuk menyelesaikan masalah ini dengan ramah, kedua negara terus melakukan persaingan regional. Klaim di daerah Sejak saat itu, kedua negara telah dengan cepat menormalisasi hubungan bilateral mereka, meningkatkan hubungan investasi, dan saat ini merenungkan pengetatan hubungan pertahanan.

A.    Pendahuluan
Laut Cina Selatan adalah laut semi tertutup di Samudera Pasifik barat "yang luasnya hampir 3,5 juta kilometer persegi". Laut ini merupakan jalur pengiriman penting, tempat memancing yang kaya, dan diyakini memiliki sumber minyak dan gas yang cukup besar. Laut Cina Selatan menawarkan tempat memancing yang kaya dan kekayaan potensial dari deposit minyak, gas dan mineral bawah laut. Sebelas juta barel minyak dan 190 triliun kaki kubik gas alam mungkin ada di sana, menurut laporan tahun 2013 dari Administrasi Informasi Energi A.S (News 2017). Ini berbatasan dengan beberapa negara. Itu terletak pada "selatan Cina dan pulau-pulau Hainan dan Taiwan; Di sebelah barat Filipina; Di sebelah timur Vietnam; dan di sebelah utara Malaysia, Brunei, Singapura dan Indonesia ".2 Ini mencakup ratusan fitur geografis, baik di atas maupun di bawah air (Pemmaraju 2016).
Mengingat sifat geografi Laut Cina Selatan yang kompleks, sejumlah negara yang berbatasan dengan laut China terlibat secara hukum dan mengklaim wilayahnya masing-masing. Perselisihan tersebut merupakan salah satu masalah penting yang menimpa China dan empat negara penggugat Asia Tenggara - Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei. Bagian dari modernisasi pertahanan yang dilakukan oleh negara-negara Asia Tenggara terkait dengan masalah ini. Keseriusan masalah ini ditunjukkan pada bulan Februari 1995, ketika China merambah di Semenanjung Mischief yang diklaim Filipina di Spratlys. Kemudian Sekretaris Pertahanan Filipina Orlando S. Marcado kemudian menggambarkan pendudukan China atas Mischief Reef dan benteng bangunannya pada akhir 1998 sebagai indikasi kuat "invasi merayap" China terhadap "rantai Laut China Selatan yang disengketakan" (Emmers 2007).
Konflik Laut China Selatan yang melibatkan China dan Filipina ini menempuh perjalanan yang panjang sebelum tahun 2015. Pada akhirnya, di tahun 2015, kasus arbitrase UNCLOS Filipina v. China berlangsung. Yang pertama meminta pengadilan untuk membatalkan klaim "sembilan dash line" nanti (GAU 2015). Kemudian pada bulan Juli 2016, sebuah pengadilan arbitrasi di bawah Lampiran VII Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) memutuskan untuk menolak klaim maritim dalam kasus Filipina v. Republik Rakyat Cina. Keputusan ini tidak menunjukkan efek apapun, karena China tidak mengakui pengadilan tersebut dan juga tidak mematuhi keputusannya, sehingga keputusan tersebut tidak dapat dilaksanakan. Keputusan yang diharapkan beberapa mungkin akhirnya menyelesaikan sebagian konflik yang saling terkait mengenai zona ekonomi eksklusif, hidrokarbon berharga dan gas alam, belum lagi total perdagangan senilai 5,3 triliun yang melewati Laut Cina Selatan setiap tahun (Ronen and Němeček 2017).

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka paper ini merumuskan permasalahan, yaitu:
1.      Bagaimana proses penyelesaian konflik China – Filipina dalam sengkeka Laut China Selatan?
2.      Bagaimana bentuk hubungan international China – Filipina pasca keputusan Arbitrase UNICLOS terkait dengan sengketa Laut China Selatan?

C.    Pembahasan
1.      Proses penyelesaian konflik China – Filipina dalam sengkeka Laut China Selatan
Sengketa Spartly adalah awal dari konflik China dan Filipina yang sama-sama mengklaim wilayahnya di kawasan Laut China Selatan. Kepulauan Spratly diklaim oleh China, Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei. Perselisihan teritorial kedua di Laut Cina Selatan menyangkut kepulauan Paracel, yang diklaim oleh Vietnam dan Taiwan. Makalah ini hanya berfokus pada isu Spratly. Klaim yang dibuat oleh pihak-pihak yang terlibat dalam perselisihan Spratly dapat dipisahkan menjadi klaim historis penemuan dan pendudukan, dan klaim bahwa beristirahat pada perpanjangan yurisdiksi yang berdaulat di bawah interpretasi ketentuan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS). Beijing memandang Laut Cina Selatan sebagai laut Cina eksklusif dan mengklaim hampir seluruh wilayahnya. Klaim historisnya didasarkan pada penemuan dan pendudukan wilayah tersebut (Emmers 2007). Anggota ASEAN yang asli yang terlibat dalam perselisihan tersebut mengajukan klaim yang bertentangan yang berbeda dari yang dibahas di atas. Di antara negara-negara anggota, Filipina mengklaim wilayah terbesar Spratly, sebuah zona yang disebut sebagai Kalayaan. Pertama secara resmi diproklamasikan pada tahun 1971, sebuah keputusan presiden 1978 mendeklarasikan Kalayaan sebagai bagian dari wilayah nasionalnya.
Arbitrase Laut Cina Selatan antara Filipina dan China memprihatinkan aplikasi oleh Filipina untuk keputusan terkait empat hal mengenai hubungan antara Filipina dan China di Laut Cina Selatan. Pertama, Filipina meminta sebuah keputusan mengenai hak dan kewajiban para Pihak di Laut Cina Selatan dan dampak dari Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut ("Konvensi") mengenai klaim China terhadap hak-hak bersejarah di dalam wilayahnya yang disebut juga nine-dash-line. Kedua, Filipina mencari sebuah keputusan mengenai apakah beberapa fitur maritim tertentu yang diklaim oleh China dan Filipina benar-benar ditandai sebagai pulau, bebatuan, dataran rendah atau bank yang terendam di bawah Konvensi. Status fitur-fitur ini di bawah Konvensi menentukan zona maritim yang mampu mereka hasilkan. Ketiga, Filipina mencari keputusan mengenai apakah tindakan China tertentu di Laut Cina Selatan telah melanggar Konvensi, dengan mencampuri pelaksanaan hak dan kebebasan kedaulatan Filipina di bawah Konvensi atau melalui kegiatan konstruksi dan penangkapan ikan yang telah merusak lingkungan laut. Akhirnya, Filipina meminta sebuah keputusan bahwa tindakan-tindakan tertentu yang dilakukan oleh China, khususnya reklamasi tanah skala besar dan pembangunan pulau-pulau buatan di Kepulauan Spratly sejak arbitrase ini dimulai, secara tidak sah memperburuk dan memperpanjang perselisihan para Pihak (Il Sore 24 ore 2016).
Keputusan dari Arbritase Laut China Selatan tahun 2016 menghasilkan The Tribunal Award di bawah the United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Dalam Penghargaannya pada tanggal 12 Juli 2016, Pengadilan tersebut mempertimbangkan implikasi dari garis sembilan-dash 'China dan apakah China memiliki hak historis atas sumber daya di Laut Cina Selatan melampaui batas zona maritim yang berhak berdasarkan Konvensi. Oleh karena itu, Tribunal menyimpulkan bahwa, antara Filipina dan China, tidak ada dasar hukum bagi China untuk mengklaim hak historis atas sumber daya, melebihi hak yang diatur oleh Konvensi, di dalam wilayah laut yang berada dalam 'sembilan dasbor garis'. Pada tanggal 12 Juli 2016, Tribunal mempertimbangkan status fitur di Laut Cina Selatan dan hak-hak ke area maritim yang dapat diklaim China sesuai dengan Konvensi.

2.      Bentuk hubungan international China – Filipina pasca keputusan Arbitrase UNICLOS terkait dengan sengketa Laut China Selatan
"Titik terendah" dalam hubungan kedua negara didramatisasi dengan mengajukan sebuah petisi untuk arbitrase oleh pemerintah Filipina melawan China sebelum Pengadilan Internasional mengenai Hukum Laut (ITLOS) pada bulan Maret 2014 untuk menyelesaikan perselisihan teritorial di China Selatan. Laut. Kementerian luar negeri China mengeluarkan sebuah demonstrasi diplomatik atas pengarsipan yang disebutnya sebagai tindakan melawan negara yang bersahabat; Ini menegaskan kembali juga bahwa klaim berdaulat harus diselesaikan melalui negosiasi. Inti pertengkaran tersebut adalah bagaimana menyelesaikan ketegangan teritorial di laut China Selatan yang tidak hanya melibatkan China dan Filipina tetapi juga negara-negara lain di Asia: bilateral atau multilateral seperti melalui ASEAN. Perselisihan teritorial telah dibuat lebih rumit dengan masuknya Filipina ke dalam Perjanjian Kerjasama Pertahanan yang Diperluas (OPCA Defence Cooperation Agreement / EDCA) dengan AS pada bulan April 2014 yang percaya bahwa kemitraan pertahanan baru akan menjadi penghalang terhadap "ketegasan" China di Laut China Selatan. Apalagi, pemerintah Filipina memperkuat kemitraan pertahanannya dengan Jepang yang memiliki klaim teritorial sendiri atas pulau Diaoyu (Senkaku) melawan China (Tuazon 2014).
Tiga tahun setelah Filipina memulai proses persidangan melawan China di bawah Lampiran VII Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS), lima hakim di Pengadilan Arbitrasi akhirnya memberikan penilaian mereka yang telah lama dinanti dalam "Penghargaan Tanpa Suara" pada tanggal 12 Juli 2016. Intinya, klaim Filipina di Laut Cina Selatan (SCS ) Telah diperkuat dengan mengorbankan klaim hak-hak bersejarah China di belakang nine-dash-line Laut China Selatan, dan berimplikasi jangka panjang terhadap keamanan regional, hubungan Sino-AS yang penting, dan pada kredibilitas dan sentralitas ASEAN sebagai promotor utama stabilitas, keamanan, dan kemakmuran regional.
Sengketa Laut Cina Selatan yang telah berlangsung lama antara China dan negara-negara tetangga maritim lainnya, terutama antara China dan Filipina, semakin menarik perhatian dunia daripada sebelumnya melalui proses arbitrase antarnegara yang dibawa oleh Filipina sehubungan dengan perselisihan mengenai " Hak maritim "dan keabsahan kegiatan Tionghoa di Laut Cina Selatan. Sejak inisiasi arbitrase Filipina, ketegangan politik dan keamanan Laut Cina Selatan belum berkurang, namun telah meningkat menjadi titik nyala konflik yang potensial. Salah satu contoh nyata adalah bahwa China telah melakukan kegiatan reklamasi lahan secara besar-besaran di pulau-pulau dan terumbu karang yang disengketakan di Laut Cina Selatan (Yu 2016).
Filipina dan China dan Filipina telah kembali ke "jalur yang benar" untuk menyelesaikan perselisihan Laut China Selatan setahun setelah putusan arbitrase. Sejak tahun lalu, dengan usaha bersama kedua belah pihak, China dan Filipina telah kembali ke jalur yang benar untuk menyelesaikan perselisihan secara damai melalui dialog dan negosiasi, dan hubungan China-Filipina telah meningkat secara menyeluruh (Viray 2017). Dalam rangka menegakkan ketetapan hukum maritim internasional, Filipina tetap berpegang teguh pada resolusi sengketa maritim yang damai. Mengingat bahwa hukum internasional dan opini publik sekarang sepenuhnya mendukungnya, penting bahwa pemerintahan Filipina memainkan kartunya dengan baik dalam hubungan bilateralnya dengan China dan juga keterlibatan multilateral dengan sesama negara anggota ASEAN dan kekuatan ekstra-regional lainnya yang berbagi kepentingan bersama dalam pelestarian lingkungan dan stabilitas regional secara keseluruhan (Manhit 2016). Meskipun dengan tegas menjunjung tinggi kedaulatan teritorial dan kepentingan maritim dan kepentingannya di Laut Cina Selatan, China juga telah berkomitmen untuk menyelesaikan perselisihan yang relevan melalui negosiasi dan konsultasi dengan negara-negara yang secara langsung berkepentingan dan bekerja sama dengan negara-negara ASEAN untuk bersama-sama menjunjung tinggi perdamaian dan stabilitas di Laut China Selatan (Viray 2017).
Perselisihan teritorial China Laut Selatan mereka tetap merupakan faktor penting dalam hubungan bilateral antara China dan Filipina. Meskipun kedua negara telah sepakat untuk bekerja dalam kerangka mekanisme resolusi konflik Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara untuk menyelesaikan masalah ini dengan ramah, kedua negara terus melakukan persaingan regional. Klaim di daerah Sejak saat itu, kedua negara telah dengan cepat menormalisasi hubungan bilateral mereka, meningkatkan hubungan investasi, dan saat ini merenungkan pengetatan hubungan pertahanan. Mengenai hubungan bilateral, Filipina harus menjunjung tinggi ketentuan putusan tersebut sebagai dasar untuk dimulainya kembali kembali pembicaraan pemerintah-ke-pemerintah tingkat tinggi dan kemungkinan pengejaran investasi asing di bawah usaha patungan dengan China.
Menurut teori IR liberal, negara-negara yang terlibat dalam perdagangan memiliki lebih sedikit konflik internasional satu sama lain, karena mereka ingin mempertahankan perdagangan semacam itu dan dengan demikian hubungan baik (Russett and Oneal 2001)  Dari perspektif ini, banyak ilmuwan berpendapat bahwa karena China mendapat keuntungan dari berdagang dengan negara lain, China ingin mempertahankan sistem saat ini agar dapat terus menerima manfaat tersebut (Brandt, Rawskl and Zhu 2007). Namun, bukan karena keinginan China untuk mempertahankan perdagangan dengan Filipina yang menjelaskan peningkatan hubungan bilateral. Dengan kata lain, penekanan liberalisme pada aktor negara yang bertujuan untuk memaksimalkan perdagangan negara mereka dengan negara-negara lain tidak didukung dalam kasus ini.
China tetap berkomitmen untuk melakukan negosiasi dengan Filipina untuk penyelesaian perselisihan dan peningkatan hubungan bilateral. Ini belum diubah oleh arbitrase. Arbitrase yang diprakarsai secara sepihak oleh mantan pemerintah Filipina telah menyebabkan kerusakan pada hubungan China-Filipina. Mempertimbangkan bahwa Filipina adalah salah satu tetangga dekat China sehingga sangat penting bagi Filipina untuk menyediakan waktu yang masuk akal bagi China untuk mengelola risiko nasionalisme yang berkembang di dalam negeri saat bekerja untuk menyempurnakan undang-undang maritimnya sendiri sesuai dengan ketentuan UNCLOS.
Mengenai hubungan multilateral, Filipina harus secara aktif mempresentasikan kasusnya sebagai preseden hukum bagi negara-negara anggota ASEAN untuk lebih memperjelas hak dan batasan maritim masing-masing serta menyesuaikan kebijakan domestik masing-masing mengenai hak penangkapan ikan dan eksplorasi mineral / minyak dan gas dengan UNCLOS ketentuan. Hal ini pada akhirnya akan menjadi dasar hukum untuk pengaturan delimitasi maritim dan pembagian sumber daya di antara negara-negara anggota ASEAN dan antara negara-negara penuntut ASEAN dan China, sehingga mengurangi risiko terjadinya kekerasan di laut.
Momentum kerja sama antara China dan Filipina akan menjadi kesempatan untuk menggariskan strategi kerjasama di masa depan untuk persatuan yang lebih erat dan keuntungan yang lebih besar bagi masyarakat kedua belah pihak. Berkaitan dengan masalah Laut Cina Selatan, China selalu siap untuk terlibat dalam komunikasi yang ramah dan jujur dengan negara-negara ASEAN. China akan menerapkan eclaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (DOC) secara komprehensif dan efektif dan terus memajukan konsultasi Kode Etik di Laut Cina Selatan. China akan mengikuti "dual track approach". Ini berarti perselisihan yang relevan harus diselesaikan dengan benar oleh negara-negara yang secara langsung terlibat dalam konsultasi dan negosiasi yang bersahabat, sementara perdamaian dan stabilitas Laut Cina Selatan dipelihara bersama oleh China dan negara-negara ASEAN.

3.      Kesimpulamn
Mengingat sifat geografi Laut Cina Selatan yang kompleks, sejumlah negara yang berbatasan dengan laut China terlibat secara hukum dan mengklaim wilayahnya masing-masing. Perselisihan tersebut merupakan salah satu masalah penting yang menimpa China dan empat negara penggugat Asia Tenggara - Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei. Konflik Laut China Selatan yang melibatkan China dan Filipina ini menempuh perjalanan yang panjang sebelum tahun 2015. Pada akhirnya, di tahun 2015, kasus arbitrase UNCLOS Filipina v. China berlangsung.
Perselisihan teritorial China Laut Selatan mereka tetap merupakan faktor penting dalam hubungan bilateral antara China dan Filipina. Meskipun mereka telah sepakat untuk bekerja dalam kerangka mekanisme resolusi konflik Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara untuk menyelesaikan masalah ini dengan ramah, kedua negara terus melakukan persaingan regional. Klaim di daerah Sejak saat itu, kedua negara telah dengan cepat menormalisasi hubungan bilateral mereka, meningkatkan hubungan investasi, dan saat ini merenungkan pengetatan hubungan pertahanan.
Makalah ini juga berpendapat bahwa hubungan diplomatik dan ekonomi harus dipromosikan dengan saling pengertian. Filipina a di China berbagi akar sejarah, perdagangan, dan budaya yang umum sehingga membantu komunikasi ramah dan interaksi yang ramah. Tapi kontradiksi tetap tidak hanya mengenai perbedaan teritorial dan historis, namun juga mengenai bagaimana kebijakan luar negeri dilakukan

Daftar Pustaka
Brandt, Loren, Thomas G. Rawskl, and Xiaodong Zhu. "International Dimensions of China’s Long Boom." In China’s Rise and the Balance of Influence in Asia, by William W. Keller and Thomas G. Rawski, 14-46. Pittsburgh : The University of Pittsburgh Pres, 2007.
Emmers, Ralf. "The De-escalation of the Spratly Dispute in Sino-Southeast Asian Relations." Conference on "The South China Sea: Towards a Cooperative Management Regime”. Singapore: S. Rajaratnam School of International Studies: Maritime Security Programme, 2007. 1-30.
GAU, Michael Sheng-ti. "The Sino-Philippine Arbitration on the South China Sea Disputes: Ineffectiveness of the Award, Inadmissibility of the Claims, and Lack of Jurisdiction, with Special Reference to the Legal Arguments Made by the Philippines in the Hearing on 7-13 July 2015." China Oceans Law Review 2015, no. 2 (2015): 90-207.
Il Sore 24 ore. "Summary of the tribunal’s decisions on its jurisdiction and on the merits of the Philippines’ claim." Il Sore 24 ore. 2016. http://www.ilsole24ore.com/pdf2010/Editrice/ILSOLE24ORE/ILSOLE24ORE/Online/_Oggetti_Embedded/Documenti/2016/07/12/Decisione-Aja-filippine-cina.pdf (accessed Agustus 2017, 2017).
Manhit, Dindo. Keeping the peace in post-arbitration . Juli 19, 2016. http://www.philstar.com/headlines/2016/07/19/1604482/keeping-peace-post-arbitration (accessed Agustus 28, 2017).
News, Fox. South China Sea dispute: What to know. Mei 25, 2017. http://www.foxnews.com/world/2017/05/25/south-china-sea-dispute-what-to-know.html (accessed Agustus 28, 2017).
Pemmaraju, Sreenivasa Rao. "The South China Sea Arbitration (The Philippines v. China): Assessment of the Award on Jurisdiction and Admissibility." Chinese Journal of International Law Advance, 2016: 1-43.
Ronen, Daniel, and David Němeček. "Settling the South China Sea Dispute." Security Council Research Paper, 2017: 1-35.
Russett, Bruce, and John Oneal. Triangulating Peace: Democracy, Interdependence, and International Organizations. New York: W.W. Norton and Company, 2001.
Tuazon, Bobby M. "The Highs And Lows Of Philippines-China Relations: Current Situation and Prospects." Lecture for the Guangxi Academy of Social Sciences, Institute of Southeast Asian Studies, April 18, 2014, Nanning. Nanning: Institute of Southeast Asian Studies, 2014. 1-10.
Viray, Patricia Lourdes. China: Philippines came back to right track a year after Hague ruling . Juli 13, 2017. http://www.philstar.com/headlines/2017/07/13/1719200/china-philippines-came-back-right-track-year-after-hague-ruling (accessed Agustus 2017, 2017).
Yu, Mincai. The South China Sea Dispute and the Philippines Arbitration Tribunal: China's Policy Options. Mei 11, 2016. http://www.internationalaffairs.org.au/australianoutlook/the-south-china-sea-dispute-and-the-philippines-arbitration-tribunal-chinas-policy-options/ (accessed Agustus 2017, 2017).

Mau dibuatkan paper HI seperti ini?
Atau tugas-tugas custom lainnya?
Silahkan contact ke WA 085868039009 (Diana)
Happy Order :)