Tampilkan postingan dengan label tenaga kerja. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tenaga kerja. Tampilkan semua postingan

Komunikasi Antar Budaya dalam Bisnis Studi Kasus: Konflik PT Drydocks World Graha

Komunikasi Antar Budaya dalam Bisnis
Studi Kasus: Konflik PT Drydocks World Graha

I.                   Pendahuluan
Sekarang ini dalam era globalisasi, membina hubungan dengan pihak luar negeri akan membuka peluang tenaga kerja dari luar Indonesia yang secara tidak langsung akan memiliki potensi untuk menimbulkan suatu persoalan adaptasi budaya dan komunikasi. Globalisasi menciptakan tantangan bagi organisasi dan staf organisasi mengatasi keberagaman budaya dalam lingkungan kerja sebagai tren global yang terus berlanjut bahkan terus tumbuh cepat.
Saat ini di Indonesia, terdapat berbagai perusahaan multinasional diantaranya korporasi Jepang (contohnya: Sumitomo, Marubeni, Toyota), korporasi Korea (contohnya: Hankook, KIA, Hyundai, Samsung), korporasi Amerika Serikat (contohnya Freeport, ExxonMobil, Goodyear, General Motors), korporasi India (Tata,Reliance, TVS, Bajaj), korporasi China (Lenovo, Huawei, ZTE), dan negara-negara lainnya. Komposisi staf korporasi nasional tidak hanya berasal dari negara asal tetapi juga staf dari sejumlah negara lain non negara asal.
Diversifikasi staf yang berasal dari berbagai negara ini membutuhkan komunikasi yang efektif agar tidak menimbulkan konflik. Namun, pada dasarnya melakukan komunikasi yang efektif dengan budaya yang bervariasi dalam lingkungan kerja merupakan tantangan tersendiri. Kesulitan berkomunikasi dengan orang lain, khususnya yang berbeda budaya, bukan saja merupakan kesulitan memahami bahasa yang tidak kita kuasai, melainkan juga sistem nilai mereka dan bahasa nonverbal mereka (Deddy, 2005).
Pola berpikir suatu budaya mempengaruhi bagaimana individuindividu dalam budaya itu berkomunikasi, yang ada pada gilirannya akan mempengaruhi bagaimana setiap orang merespon individu-individu dari budaya lain (Mulyana & Rahmat, 2003). Oleh karena itu, komunikasi antar budaya akan melibatkan perbedaan budaya antar komunikator dengan komunikan, maka integrasi sosial merupakan tujuan utama komunikasi yang dilakukan antara dua pihak.
Perbedaan budaya dalam organisasi yang tidak dibarengi dengan komunikasi antar budaya yang baik dapat menimbulkan permasalahan baik bagi individu atau organisasi, salah satunya adalah dengan timbulnya kesalahpahaman. Salah satu contohnya adalah kasus pada PT Drydock World Graha Batam, dimana salah satu pekerja internasional memberikan umpatan terhadap pekerja Indonesia (Salim, 2019). Umpatan tersebut kemudian menyulut kemarahan para pekerja Indonesia yang bekerja di perusahaan tersebut. Perkelahian antara pekerja asing yang berasal dari India dengan pekerja Indonesia tidak dapat dihindari. Dampak dari umpatan ini adalah demonstrasi buruh dan aksi pembakaran terhadap berbagai fasilitas perusahaan. Puluhan tenaga kerja asing terpaksa dievakuasi dari Batam. Berdasarkan hal tersebut, tampak bahwa perbedaan budaya dapat menyebabkan krisis yang besar bagi perusahaan. Tulisan ini akan melakukan analisa terhadap komunikasi budaya dalam bisnis mengenai kasus PT Drydock World Graha tersebut.

II.                Kasus
PT Drydock World Graha merupakan perusahaan galangan kapal yang beroperasi di Batam. Ribuan pekerja PT. Drydocks World Graha melakukan aksi pembakaran yang dipicu oleh umpatan tenaga kerja asing asal India pada saat breefing pagi dengan kata-kata bernada penghinaan kepada sejumlah tenaga kerja Indonesia. Hanya berselang 30 menit, kejadian tersebut akhirnya menyebar ke semua pekerja dan memicu emosi sekitar 15.000 pekerja PT. Drydocks hingga berakhir rusuh.
Kerusuhan yang terjadi itu mengakibatkan sedikitnya 25 mobil terbakar (Slay, 2010), bangunan kantor terbakar habis dan 1 gudang inventory juga ikut dibakar massa, serta sejumlah karyawan perusahaan mengalami luka-luka cukup serius. Kerusuhan itupun terus berlanjut, hingga massa pun melakukan aksi penyisiran dan mengejar sejumlah pekerja WNA asal India di lokasi kejadian.


Ini hanya versi sampelnya saja ya...

Untuk file lengkap atau mau dibuatkan custom, silahkan PM kami ke

WA 
0882-9980-0026
(Diana)

Happy order kakak ^^

UPAH MINIMUM DAN STANDAR HIDUP MINIMUM TENAGA KERJA INDONESIA

UPAH MINIMUM DAN HIDUP MINIMUM PEKERJA DI INDONESIA

LATAR BELAKANG
Penetapan upah minimum kabupaten/kota (UMK) maupun upah minimum provinsi (UMP) menjadi ritual tahunan. Tidak mengherankan jika terjadi tarik ulur antarpihak yang berkepentingan, baik buruh maupun asosiasi pengusaha. Di satu pihak, para pengusaha berupaya mempertahankan hak penguasaan atas wilayah otoritas bisnis, yaitu kelayakan biaya dan keuntungan produksi. Di pihak lain, para buruh berusaha mendapatkan hak atas kelayakan hidup sebagai manusia, yaitu upah yang secara normatif layak bagi diri dan keluarganya.
Bagi kalangan buruh, kenaikan upah minimum tiap tahun amat dinantikan. Meskipun kenaikan yang diterima jauh dari harapan, setidaknya sedikit meringankan kesulitan hidup buruh di tengah tekanan hidup yang tinggi; sekalipun upah riil yang diterima buruh justru turun dan makin jauh dari standar hidup layak.
Rendahnya upah buruh di Indonesia memang bukan isapan jempol belaka. Penelitian TURC menyebutkan pada 1997 upah minimum buruh mampu membeli 350 kg beras (dengan harga beras Rp700 rupiah per kilogram pada tahun itu), sedangkan upah minimum buruh 2008 hanya mampu untuk membeli beras sebanyak 160 kilogram beras (dengan asumsi harga berasRp 5.000 per kg di tahun 2008). Ini bermakna upah riil buruh berkurang hampir 50 persen.
Penelitian INDOC juga menyatakan upah buruh Indonesia kini sangat rendah, hanya berkisar 5% sampai 6% dari biaya produksi. Data yang diperoleh dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi menyatakan upah buruh hanya menghabiskan 25 persen dari total komponen pengeluaran perusahaan. Yang 60 persen adalah biaya produksi, 15 persen lain uang siluman yang terus-menerus dilakukan oknum aparat pemerintah (Ihsan Prasodjo: 2006).

PERUMUSAN MASALAH
Apakah penetapan upah minimum telah mencukupi standar kehidupan minimum pekerja?

PEMBAHASAN
Konsepsi Upah Minimun
Pada prinsipnya, sistem penetapan upah minimum dilakukan untuk mengurangi eksploitasi atas buruh. Ini sesungguhnya berisi kewajiban pemerintah memproteksi buruh. Intervensi dan peran pemerintah dalam hubungan industrial adalah bentuk penguatan terhadap posisi tawar yang memang tidak seimbang antara buruh ketika berhadapan dengan pengusaha.

Implikasi Upah Minimum terhadap Pemenuhan Kebutuhan
Faktor dominan yang  menetapkan upah minimum sebagai bahan pertimbangan adalah standar Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) buruh yang sebelumnya telah dilakukan survey serta penelitian di masing – masing daerah. Kebutuhan hidup minimum merupakan sebuah kalkulasi yang menstandarkan pada kebutuhan hidup minimum seseorang maupun telah berkeluarga dengan asumsi dapat dipenuhi oleh setiap orang.
Sesuai Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 81 / 1995 tentang Penetapan Komponen Kebutuhan Hidup Minimum telah distandarkan 4 komponen pokok dalam perhitungan KHM meliputi komponen makanan dan minuman, komponen perumahan dan fasilitasnya, komponen sandang dan komponen aneka kebutuhan untuk kurun waktu satu bulan dengan 3.000 kalori per hari.
Data KHM yang ada di Kabupaten / Kotamadya tetap diperlukan serta tetap menjadi salah satu bahan dalam pembahasan penetapan upah minimum, namun data tersebut sering tidak dapat dipergunakan sebagai patokan baku karena adanya penafsiran antara satu daerah dengan daerah lainnya. Khususnya perbedaan penafsiran materi komponen khususnya yang berstandar kualitas sedang. Di lapangan banyak barang yang justru tidak ada di pasaran atau tidak banyak digunakan oleh pekerja dalam keseharian, demikian halnya terhadap produk – produk tertentu sudah agak sulit ditemukan.

PENUTUP
Oleh karena itu, penetapan upah minimum sebagai produk keputusan kebijaksanaan (policy decision) juga berpengaruh terhadap pelaksanaan di lapangan karena ada pihak yang merasa diuntungkan maupun dirugikan.  Para pekerja yang dapat mempertahankan pekerjaannya di pabrik-pabrik jelas mendapat keuntungan dari peningkatan upah minimum. Pekerja kerah putih jelas merasakan manfaat besar dari penegakan kebijakan upah minimum. Namun, mereka yang kehilangan pekerjaan sebagai akibat meningkatnya upah minimum adalah mereka yang dirugikan oleh kebijakan upah minimum. Mereka ini khususnya terdiri dari para pekerja yang rentan terhadap perubahan kondisi pasar tenaga kerja, seperti pekerja perempuan, muda usia, dan mereka yang berpendidikan rendah.

MAKALAH - KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA



PENDAHULUAN
Masalah ketenagakerjaan adalah salah satu masalah pokok yang harus dihadapi oleh negara-negara berkembang seperti halnya Indonesia. Jumlah penduduk yang terus meningkat tanpa diikuti pertambahan lapangan pekerjaan selalu menjadi pemicu menjamurnya pengangguran.
Sedangkan asas ketenagakerjaan yang digunakan menurut Abdussalam adalah asas keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah, sedangkan asas pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai dengan asas pembangunan naional, khususnya asas demokrasi Pancasila serta asas adil dan merata. Asas tersebut dapat dikatakan pembangunan ketenagakerjaan dilakukan secara menyeluruh mulai dari daerah hingga pusat dengan tujuan untuk pencapaian pembangunan nasional yang adil dan merata.
Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan dengan berbagai pihak yaitu antara pemerintah, pengusaha dan pekerja atau buruh, oleh sebab itu pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan secara terpadu dalam bentuk kerjasama yang saling mendukung. Hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2003 pasal 3 tentang ketenagakerjaan. Dalam Undang-Undang tersebut memuat adanya pelaksanaan pembangunan ketenagakerjaan dapat terwujud dengan melibatkan peranan pemerintah, pengusaha dan pekerja atau buruh.
Pembangunan ketenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa sehingga terpenuhi hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan pekerja/buruh serta pada saat yang bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan dunia usaha.  

RUMUSAN MASALAH
Masalah ketenagakerjaan di Indonesia sekarang ini sudah mencapai kondisi yang cukup memprihatinkan ditandai dengan jumlah penganggur dan setengah penganggur yang besar, pendapatan yang relatif rendah dan kurang merata. Sebaliknya pengangguran dan setengah pengangguran yang tinggi merupakan pemborosan sumber daya dan potensi yang ada, menjadi beban keluarga dan masyarakat. Oleh karena itu, makalah ini mencoba memamhami bagaimana sistem dan hukum ketenagakerjaan di Indonesia?

PEMBAHASAN
Tenaga kerja adalah modal bagi geraknya roda pembangunan. Jumlah dan kompisisi tenaga kerja akan terus mengalami perubahan seiring dengan berlangsungnya proses demografi. Investor yang datang ke sektor ini adalah investor yang berbisnis dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam kita, bukan karena sumber yang melimpah. Industri ini tidak mengenal relokasi. Karena tidak semua tempat tersedia sumber daya alam yang melimpah. Mengandalkan terus-menerus industri ke sektor padat karya manufaktur hanya membuat buruh Indonesia merasa seperti duduk diatas ancaman bom waktu.
Menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, yang dimaksud dengan ketenagakerjaan itu sendiri adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja. Jadi hukum ketenagakerjaan dapat diartikan sebagai peraturan-peraturan yang mengatur tenaga kerja pada waktu sebelum selama dan sesudah masa kerja. Sedangkan Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
Untuk keperluan analisis ketenagakerjaan, secara garis besar penduduk suatu negara dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu tenaga kerja dan bukan tenaga kerja. Tenaga kerja adalah setiap orang laki-laki atau wanita yang sedang dalam dan/atau akan melakukan pekerjaan, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Minimnya perlindungan hukum dan rendahnya upah merupakan salah satu masalah dalam ketenagakerjaan kita. Melalui undang-undang ketenagakerjaan seharusnya para pekerja akan terlindungi secara hukum, mulai dari jaminan negara memberikan pekerjaan yang layak, melindunginya di tempat kerja (kesehatan dan keselamatan kerja dan upah layak) sampai dengan pemberian jaminan sosial setelah pensiun. Selain itu pekerja dapat juga mendirikan Serikat Buruh. Sekalipun undang-undang ketenagakerjaan bagus, tetapi buruh tetap memerlukan kehadiran serikat buruh untuk pembuatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB). PKB adalah sebuah dokumen perjanjian bersama antara majikan dan buruh yang berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak. Hanya melalui serikat buruhlah bukan melalui LSM ataupun partai politik bisa berunding untuk mendapatkan hak-hak tambahan (di luar ketentuan UU) untuk menambah kesejahteraan mereka. Pemerintah harus merubah sistem jaminan sosial ketenagakerjaan, sehingga buruh korban PHK dan buruh pensiunan akan mendapat tunjangan layak dari Jamsostek. Pemerintah dilarang mengambil keuntungan apapun dari Jamsostek, bahkan sebaliknya. Pemerintah yang bertanggung jawab, harus memberikan kontribusi setiap tahun, sehingga buruh bisa hidup layak. Dengan sistem Jaminan sosial ketenagakerjaan yang baik akan mengurangi kriminalitas sosial.
Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan. Keterkaitan itu tidak hanya dengan kepentingan tenaga kerja selama, sebelum dan sesudah masa kerja tetapi juga keterkaitan dengan kepentingan pengusaha, pemerintah, dan masyarakat. Untuk itu, diperlukan pengaturan yang menyeluruh dan komprehensif, antara lain mencakup pengembangan sumber daya manusia, peningkatan produktivitas dan daya saing tenaga kerja Indonesia, upaya perluasan kesempatan kerja, pelayanan penempatan tenaga kerja, dan pembinaan hubungan industrial.
Pembinaan hubungan industrial sebagai bagian dari pembangunan ketenagakerjaan harus diarahkan untuk terus mewujudkan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan. Untuk itu, pengakuan dan penghargaan terhadap hak asasi manusia sebagaimana yang dituangkan dalam TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 harus diwujudkan. Dalam bidang ketenagakerjaan, Ketetapan MPR ini merupakan tonggak utama dalam menegakkan demokrasi di tempat kerja. Penegakkan demokrasi di tempat kerja diharapkan dapat mendorong partisipasi yang optimal dari seluruh tenaga kerja dan pekerja/buruh Indonesia untuk membangun negara Indonesia yang dicita-citakan. Beberapa peraturan perundang-undangan tentang ketenagakerjaan yang berlaku selama ini, termasuk sebagian yang merupakan produk kolonial, menempatkan pekerja pada posisi yang kurang menguntungkan dalam pelayanan penempatan tenaga kerja dan sistem hubungan industrial yang menonjolkan perbedaan kedudukan dan kepentingan sehingga dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masa kini dan tuntutan masa yang akan datang.
Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan untuk:
1)      Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi.
2)      Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah.
3)      Memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan.
4)      Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.
Pemberdayaan dan pendayagunaan tenaga kerja merupakan suatu kegiatan yang terpadu untuk dapat memberikan kesempatan kerja seluas-luasnya bagi tenaga kerja Indonesia. Menurut Agus Dwiyanto manajemen dalam keorganisasian pemerintah ini berarti adanya suatu pengendalian manusia itu sendiri dengan mengadakan fungsi manajemen itu sendiri yaitu perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan, pengkoordinasian dan pelaporan.
Masalah ketenagakerjaan Indonesia saat ini berangkat dari 4 soal besar, yaitu:
1)      Tingginya jumlah pengangguran masal
2)      Rendahnya tingkat pendidikan buruh
3)      Minimnya perlindungan hukum
4)      Upah kurang layak

STUDI KASUS

Seorang HR di sebuah perusahaan garment bercerita bahwa ia merekrut beberapa orang karyawan harian lepas untuk menyelesaikan order dari luar, sistem pembayaran harian tetapi dibayar seminggu sekali, suatu saat ordernya berhenti entah apa sebabnya, akhirnya semua pekerja harian lepas tersebut diberhentikan, namun tidak disangka orang-orang tersebut menolak dan minta uang jasa. Kebetulan salah seorang yang memiliki sifat agak memberontak dan sedikit mengerti hukum ketenagakerjaan -karena pernah ikut serikat pekerja- melakukan protes dan berasumsi bahwa dimata hukum mereka sama dengan permanen dan dia melaporkan hal ini ke Departemen Tenaga Kerja (depnaker) setempat, akhirnya dilakukan mediasi, dalam mediasi tersebut dipertanyakan mana perjanjian kerja harian lepasnya? Mana bukti bahwa dia dibayar secara harian?
Ujung-ujungnya ketika diberikan bukti pembayaran ditanya lagi mana pembayaran jamsosteknya? Bukti potongan dan setoran pajaknya mana? Beberapa terdapat exceeding working hours diatas 3 jam melanggar dan tidak dibayar, dst. Akhirnya Depnaker memberikan anjuran kepada pekerja untuk menerima tapi juga menganjurkan kepada pengusaha untuk memberi sedikit “uang jasa” karena alasannya karyawan tertipu dijanjikan sebagai kayawan normal nyatanya hanya pekerja harian lepas (itupun tidak ada bukti tertulis), selain itu juga ada kabar burung bahwa merekapun meminta uang ala kadarnya.
Dari kasus diatas dapat dilihat bahwa tanpa perjanjian kerja sangat riskan sekali karena hubungan antara pekerja dan pengusah menjadi terbuka, kedua belah pihak bisa saling memanfaatkan. Dalam regulasi tenaga kerja kita memiliki beberapa hak harian lepas yang harus dipenuhi semacam THR/jamsostek/kesehatan yang jarang dipenuhi pengusaha, selain itu kadang juga pengusaha membiarkan harian lepas bekerja lebih dari 3 bulan dan tanpa benefit apapun. Hal ini akan sangat melemhakan posisi pengusaha dalam kasus menajdi memkan waktu dan tenaga yagn seharusnya berjalan sesuai rencana.


PENUTUP
Efek domino dari masalah ketenagakerjaan adalah pengangguran akan menimbulkan dampak yang negatif bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Dampak negatif dari pengangguran adalah kian beragamnya tindakan kriminal, makin banyaknya jumlah anak jalanan, pengemis, pengamen perdagangan anak dan sebagainya sudah menjadi patologi sosial atau kuman penyakit sosial yang menyebar bagaikan virus yang sulit di berantas.
Oleh karena itu perlu dilakukannya sebuah langkah-langkah serius baik dari sisi pemerintah maupun tenaga kerja itu sendiri dan tentunya kesediaan pihak perusahaan. Pihak pemerintah berfungsi sebagai pengawas dan regulator sekaligus fasilitator kedua pihak perusahaan dan pekerja untuk tidak saling merugikan. Pihak pekerja seharusnya untuk berusaha terus meningkatkan kompetensi dirinya sehingga lebih memiliki daya tawar yang lebih tinggi terhadap perusahaan dan bukannya hanya bergantung pada perlindungan pemerintah. Dan terakhir itikad baik dari perusahaan supaya tidak melihat pekerja sebagai faktor biaya melainkan sebuah asset penting perusahaan, sehingga perusahaan dapat memaksimalkan nilai perusahaan itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
-. 2012. Proyeksi Laju Partisipasi Angkatan Kerja di Propinsi Sumatera Utara pada Tahun 2012. Sumatera Utara
Prof. Dr. H. R. Abdussalam, SIK, SIK, S.H., M. H. 2008. Hukum Ketenagakerjaan (Hukum Perburuhan). Jakarta: Restu Agung
Dwiyanto, Agus, dkk. 2006. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Gadjah Mada University Press
Panjaitan, Krismena Natalina. 2010. Pembinaan Karier Ketenagakerjaan dalam Perbankan (Studi Kasus di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Karangayu Semarang). Semarang: Universitas Diponegoro

Makalah ini cuma sampel aja
Untuk versi lengkap atau 
Makalah judul lain
Silakan Request aja
Diana - o85868o39oo9
Ditunggu ordernya yaa?
Thanks

MAKALAH - UPAH MINIMUM DALAM PEMENUHAN STANDAR KEHIDUPAN PEKERJA DI INDONESIA

LATAR BELAKANG
Penetapan upah minimum kabupaten/kota (UMK) maupun upah minimum provinsi (UMP) menjadi ritual tahunan. Tidak mengherankan jika terjadi tarik ulur antarpihak yang berkepentingan, baik buruh maupun asosiasi pengusaha. Di satu pihak, para pengusaha berupaya mempertahankan hak penguasaan atas wilayah otoritas bisnis, yaitu kelayakan biaya dan keuntungan produksi. Di pihak lain, para buruh berusaha mendapatkan hak atas kelayakan hidup sebagai manusia, yaitu upah yang secara normatif layak bagi diri dan keluarganya.
Bagi kalangan buruh, kenaikan upah minimum tiap tahun amat dinantikan. Meskipun kenaikan yang diterima jauh dari harapan, setidaknya sedikit meringankan kesulitan hidup buruh di tengah tekanan hidup yang tinggi; sekalipun upah riil yang diterima buruh justru turun dan makin jauh dari standar hidup layak.
Rendahnya upah buruh di Indonesia memang bukan isapan jempol belaka. Penelitian TURC menyebutkan pada 1997 upah minimum buruh mampu membeli 350 kg beras (dengan harga beras Rp700 rupiah per kilogram pada tahun itu), sedangkan upah minimum buruh 2008 hanya mampu untuk membeli beras sebanyak 160 kilogram beras (dengan asumsi harga berasRp 5.000 per kg di tahun 2008). Ini bermakna upah riil buruh berkurang hampir 50 persen. Penelitian INDOC juga menyatakan upah buruh Indonesia kini sangat rendah, hanya berkisar 5% sampai 6% dari biaya produksi. Data yang diperoleh dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi menyatakan upah buruh hanya menghabiskan 25 persen dari total komponen pengeluaran perusahaan. Yang 60 persen adalah biaya produksi, 15 persen lain uang siluman yang terus-menerus dilakukan oknum aparat pemerintah (Ihsan Prasodjo: 2006).
Kebijakan peningkatan upah minimum yang cukup besar ini dilaksanakan ketika Indonesia sedang berjuang keras untuk memulihkan perekonomiannya dari krisis ekonomi yang parah. Setelah terjadi kontraksi ekonomi besar-besaran sekitar 13,7%  pada tahun 1998 dan laju pertumbuhan ekonomi kurang dari satu persen pada tahun 1999, perekonomian Indonesia mengalami pertumbuhan sekitar 5% pada tahun 2000. Berbagai pihak memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi pada tahun 2001 akan mencapai sekitar 3% hingga 3,5%. Dalam iklim pertumbuhan ekonomi yang rendah seperti ini, kenaikan upah minimum lebih lanjut memicu keprihatinan bahwa hal tersebut mungkin akan menghambat upaya pemulihan ekonomi, memperlambat pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang, dan mengurangi pertumbuhan penyerapan tenaga kerja di sektor industri modern.
Disamping itu, mulai bulan Januari 2001 Indonesia telah menerapkankan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Dengan adanya kebijakan ini, wewenang untuk menetapkan tingkat upah minimum dialihkan dari pemerintah pusat ke pemerintah
daerah di tingkat propinsi, kabupaten, dan kota. Terdapat tanda-tanda awal bahwa pengalihan wewenang ini mungkin akan semakin meningkatkan kenaikan upah minimum di beberapa daerah. Selain kenaikan upah minimum yang cukup besar pada tahun 2001, frekuensi perubahan upah minimum juga telah meningkat selama setahun terakhir ini. Hal ini menimbulkan keprihatinan bahwa pemerintah daerah mungkin lebih mudah menyerah terhadap tekanan-tekanan agar memberlakukan pendekatan  yang lebih populis dalam kebijakan sosial. Akibatnya, ada bahaya bahwa pertumbuhan ekonomi jangka panjang mungkin akan dikorbankan demi kepentingan-kepentingan jangka pendek yang tidak berkesinambungan.
Jika dinalar lewat aturan baru, yakni SKB empat menteri, kenaikan upah minimum yang dinantikan buruh sesungguhnya tidak signifikan. Bagaimana mungkin kenaikan upah minimum tidak boleh melebihi angka pertumbuhan ekonomi, sedangkan angka pertumbuhan ekonomi nasional kini jauh di bawah angka inflasi apalagi angka KHL. Bandingkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional 2008 yang diprediksikan hanya sekitar enam persen sementara angka inflasi berkisar 12 persen. Bisa dibayangkan betapa menderitanya kehidupan buruh ketika upah riil makin lama makin berkurang.

PERUMUSAN MASALAH
Apakah penetapan upah minimum telah mencukupi standar kehidupan minimum pekerja?

PEMBAHASAN
Konsepsi Upah Minimum
Dalam hubungan industrial, kedudukan upah minimum merupakan persoalan prinsipil. Upah minimum harus dilihat sebagai bagian sistem pengupahan secara menyeluruh.  ILO dalam Report of the Meeting of Experts of 1967 menyatakan hal serupa. Upah minimum didefinisikan sebagai upah yang memperhitungkan kecukupan pemenuhan kebutuhan makan, pakaian, tempat tinggal, pendidikan, dan hiburan bagi pekerja serta keluarganya sesuai dengan perkembangan ekonomi dan budaya tiap negara.
Pada prinsipnya, sistem penetapan upah minimum dilakukan untuk mengurangi eksploitasi atas buruh. Ini sesungguhnya berisi kewajiban pemerintah memproteksi buruh. Intervensi dan peran pemerintah dalam hubungan industrial adalah bentuk penguatan terhadap posisi tawar yang memang tidak seimbang antara buruh ketika berhadapan dengan pengusaha.
Setiap pekerja berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan diri secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. Upah minimum dipandang sebagai sumber penghasilan bersih (take home pay) sebagai jaring pengaman (safety net) KHL. Sebab itu, upah minimum diharapkan dapat memenuhi kebutuhan seorang buruh terhadap pendidikan, kesehatan, transportasi, dan rekreasi. Bahkan, bila dimungkinkan dapat disisihkan untuk menabung. Dalam tataran normatif, KHL merupakan standar kebutuhan yang harus dipenuhi seorang buruh lajang untuk dapat hidup layak, baik secara fisik maupun nonfisik dalam kurun waktu satu bulan.
Terbitnya UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Permenaker No. 1/1999 jo Kepmenakertrans No. 226/2000 tentang Upah Minimum, Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 17 2005 tentang tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak dan Keppres 107/2004 tentang Dewan Pengupahan tentunya diharapkan menjadi payung hukum bagi buruh agar mendapatkan keadilan dan menghindari eksploitasi terhadap buruh yang seringkali tidak berdaya karena berbagai keterbatasan.
 
Standar Kebutuhan Minimum Pekerja
Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) merupakan faktor utama sebagai bahan kajian serta pertimbangan dalam menetapkan upah minimum. Survey KHM yang dilakukan di tiap kabupaten / kota akan memberi gambaran dengan jelas berapa kebutuhan minimum utuk buruh baik yang masih lajang, menikah, maupun yang telah berkeluarga dengan satu anak dan dua anak. Survey KHM dihitung untuk kebutuhan buruh denga 3000 kalori / hari untuk jenis makanan / minuman yang dikonsumsi buruh. Kebutuhan lainnya mencakup perumahan dan fasilitasnya, sandang, serta aneka kebutuhan seperti transport, sarana kesehatan, pendidikan, rekreasi, dan lain sebagainya. 


Implikasi Upah Minimum terhadap Pemenuhan Kebutuhan
Upaya pemerintah melindungi buruh dari suatu situasi yang kurang kondusif dalam hubungan kerja dilakukan dengan menerbitkan berbagai kebijaksanaan yang mencakup perbaikan syarat kerja antara lain melalui penerapan upah minimum. Pertimbangan yang paling mendasar dengan menetapkan upah minimum adalah agar pendapatan buruh tidak terus merosot, karena faktor – faktor yang tidak dapat diperbuat oleh buruh, misalnya karena posisi tawar buruh yang lemah.
Faktor dominan yang  menetapkan upah minimum sebagai bahan pertimbangan adalah standar Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) buruh yang sebelumnya telah dilakukan survey serta penelitian di masing – masing daerah. Kebutuhan hidup minimum merupakan sebuah kalkulasi yang menstandarkan pada kebutuhan hidup minimum seseorang maupun telah berkeluarga dengan asumsi dapat dipenuhi oleh setiap orang.
Perhitungan kebutuhan hidup minimum setiap tahun terus berkembang sesuai dengan kebutuhan dan keadaan yang dimulai tahun 1956 – 1966 dengan nama Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) dan sejak tahun 1997 lebih meningkat dengan perhitungan yang lebih representatif dengan istilah kebutuhan hidup minimum (KHM).
Sesuai Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 81 / 1995 tentang Penetapan Komponen Kebutuhan Hidup Minimum telah distandarkan 4 komponen pokok dalam perhitungan KHM meliputi komponen makanan dan minuman, komponen perumahan dan fasilitasnya, komponen sandang dan komponen aneka kebutuhan untuk kurun waktu satu bulan dengan 3.000 kalori per hari.
Melalui survey yang dilakukan oleh serikat – serikat buruh, organisasi pengusaha, serta pemerintah di tiap daerah maka hasil survey KHM tersebut di atas ditabulasi serta diolah sebagai bahan pertimbangan penetapan upah minimum. Hasil penetapan upah minimum sampai saat ini belum pernah mencapai KHM karena dalam proses penetapan upah minimum tidak mendasarkan perhitungan ekonomis semata atau hanya mendasarkan data – data atau angka – angka yang telah diperoleh di lapangan, tetapi pengambilan keputusan lebih cenderung menggunakan pendekatan kompromis agar kepentingan buruh dan kepentingan pengusaha tidak benturan, sehingga hasil akhir penetapan upah minimum apapun hasilnya harus diterima semua pihak.
Data KHM yang ada di Kabupaten / Kotamadya tetap diperlukan serta tetap menjadi salah satu bahan dalam pembahasan penetapan upah minimum, namun data tersebut sering tidak dapat dipergunakan sebagai patokan baku karena adanya penafsiran antara satu daerah dengan daerah lainnya. Khususnya perbedaan penafsiran materi komponen khususnya yang berstandar kualitas sedang. Di lapangan banyak barang yang justru tidak ada di pasaran atau tidak banyak digunakan oleh pekerja dalam keseharian, demikian halnya terhadap produk – produk tertentu sudah agak sulit ditemukan.

SOLUSI
Penetapan upah minimum merupakan langkah pemerintah dalam upaya meningkatkan pendapatan upah buruh yang secara realistis dapat meningkatkan pendapatan buruh. Namun karena upah minimum tersebut hanya satu dari sekian banyak produk kebijaksanaan pemerintah maka ada kecenderungan kurang efektif untuk mencapai sasaran. Agar produk kebijaksanaan pemerintah bisa dapat lebih efektif hendaknya perlu dilakukan :
1.      Sinkronisasi
Kebijaksanaan yang terkait satu dengan lainnya, tidak sebagaimana saat ini walaupun upah buruh telah dinaikkan namun pada saat yang tidak berbeda atau bersamaan pemerintah menaikkan harga-  harga kebutuhan barang yang masih menjadi tanggung jawab pemerintah, seperti BBM, listrik, biaya transportasi, dan lain sebagainya, sehingga kenaikan upah tenaga kerja secara riil tidak dapat dinikmati.
2.      Jamsostek
Merubah sistem jaminan sosial ketenagakerjaan, sehingga buruh korban PHK dan buruh pensiunan akan mendapat tunjangan layak dari Jamsostek. Pemerintah dilarang mengambil keuntungan apapun dari Jamsostek, bahkan sebaliknya.

 REFERENSI
Dahrendof, Rafi, Konflik dalam Masyarakat Industri, Rajawali Pers, Jakarta. 1986.

Departemen Tenaga  Kerja RI, Profil Ketenagakerjaan di Indonesia, Jakarta, 1999.

Hasibuan, Sayuti, Ekonomi Sumber Daya Manusia, Teori dan Kebijakan, LP3ES, Jakarta, 2000.

James, Philip dan Cowling, Alan. The Essence of Personnel Management and Industrial Relations (Manajemen Personalia dalam Hubungan Industrial), Andi Yogyakarta, 1996.

Kertonegoro, Pengupahan (Wages), Yayasan Tenaga Kerja Indonesia, Jakarta, 1999.

Sentanoe Kartonegoro, Pengupahan Teori, Hukum, dan Manajemen, Yayasan Tenaga Kerja Indonesia, Jakarta, 2010, H. 31-32.

Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 81 / 1995 tentang Penetapan Komponen Kebutuhan Hidup Minimum

Makalah ini cuma versi sampel aja
Jadi belum lengkap isinya
Untuk versi lengkap atau
mau bikin makalah judul lain
Request aja
Diana -o85868o39oo9
Dijamin beres dan ga pake repot
Thanks