Tampilkan postingan dengan label BUMN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label BUMN. Tampilkan semua postingan

BUDAYA TITIP MENITIP DALAM PROSES REKRUTMEN DI INDONESIA

 

BUDAYA TITIP MENITIP DALAM PROSES REKRUTMEN DI INDONESIA

 


1.      PENDAHULUAN

Perusahaan, dalam hal ini misalnya BUMN maupun jenis perusahaan lainnya, memainkan peran strategis dalam tata menjalankan fungsi produksi dan distribusi barang dan jasa. Di sisi lain perusahaan juga terlibat langsung dalam proses alokasi sumber daya yang bersifat ekonomis bagi masyarakat. Oleh karena itu, tumpuan harapan masyarakat atas keberadaan suatu entitas bisnis tidak dapat diabaikan. Dalam era reformasi seperti sekarang ini, visi dan misi perusahaan perlu ditinjau kembali, termasuk mempertajam tujuannya. Oleh karena itu dalam menjalankan roda organisasi, suatu perusahaan harus mampu menciptakan keseimbangan antara kepentingan pemilik atau pemegang saham dengan kepentingan stakeholder lainnya, sehingga untuk jangka panjang tidak terjadi benturan kepentingan antar stakeholder yang mencakup karyawan, pemasok, pelanggan, pesaing, pemerintah, dan berbagai kelembagaan masyarakat akan dapat berinteraksi secara sehat dalam meningkatkan kinerja perusahaan.[1]

Akan tetapi penyimpangan dalam berbagai perusahaan termasuk BUMN sejauh ini merupakan suatu gejala yang harus segera diobati, mengingat gejala tersebut berpotensi terjadi di kalangan pengelola perusahaan, jajaran manajemen, maupun dilakukan oleh pemegang saham dan karyawan. Atau bahkan mungkin sekali terjadi akibat campur tangan pihak eksternal perusahaan yang tidak dapat dicegah oleh direksi. Salah satu jenis gejala tersebut adalah masih tersisanya system KKN, misalnya berupa “titipan” dalam proses rekrutmen yang tidak sesuai dengan kebijakan uji kelayakan dan kepatutan. Tanpa adanya upaya bersama untuk menciptakan tata kelola perusahaan yang baik, penyimpangan tersebut akan menjadi suatu budaya sebagaimana yang telah berjalan selama masa Orde Baru.

 

2.      PEMBAHASAN

Budaya titip menitip yang diangkat dalam tulisan ini merupakan salah satu bentuk nepotisme dalam penyelenggaraan organisasi. Nepotisme berarti lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya. Kata ini biasanya digunakan dalam konteks derogatori. Sebagai contoh, kalau seorang manajer mengangkat atau menaikan jabatan seorang saudara, bukannya seseorang yang lebih berkualifikasi namun bukan saudara, manajer tersebut akan bersalah karena nepotisme.[2]

Sebenarnya sudah lama Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) didesak untuk mengevaluasi sistem perekrutan direksi BUMN, terutama karena ada kasus misalnya pada tahun 2019 lalu ada Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Direktur PT Angkasa Pura II. Sejak tahun 2014 Sinergi BUMN Institute bersama Federasi SP Sinergi BUMN telah menyerukan agar dilakukan evaluasi terhadap sistem perekrutan direksi BUMN karena pola rekruitmen saat ini kurang tepat dan sekedar memenuhi formalitas prosedur perekrutan karena seluruh tahapan dilakukan dengan tertutup, tidak transparan kepada publik bahkan kepada karyawan BUMN tersebut. Selain itu juga banyak terjadi fenomena di mana direksi BUMN hanya bertukar posisi dari sebelumnya sebagai direksi di sebuah BUMN A kemudian bergeser menjadi direksi di BUMN B yang bisnis intinya tidak jauh berbeda, berpotensi membentuk oligarki penguasa BUMN.[3]

Hal ini dapat dikaitkan dengan upaya pemerintah untuk memberantas korupsi. Pada masa orde lama, belum terdapat kerangka hukum yang jelas terkait produk hukum pemberantasan korupsi. Hal tersebut dikarenakan pemerintah belum menginventarisasi masalah hukum pemberantasan korupsi secara komprehensif, sehingga cenderung berubah-ubah dan disesuaikan dengan kebutuhan politik revolusi. Selanjutnya antara lembaga hukum rentan terjadi friksi dan adu kekuatan. Di masa orde baru, justru lingkaran korupsi semakin membesar, khususnya di pemerintahan dan BUMN, namun di dalam yurisprudensi kurun waktu 1971-1981 setidaknya masih dapat ditemukan beberapa perkara korupsi mulai dari yang kecil sampai yang besar, di antaranya perkara Robby Tjahjadi, Abu Kiswo, Letjen. Siswadji, dan 2 hakim senior, yaitu JZL (diadili di PN Surabaya) dan HG (diadili di PN Jakarta Pusat).

Pengambilan Keputusan Strategis: Kasus Keputusan Strategis Yang Dibuat BUMN Dalam Konsep Bisnis

 

Pengambilan Keputusan Strategis:

Kasus Keputusan Strategis Yang Dibuat BUMN Dalam Konsep Bisnis

A.    Pendahuluan

Dalam pengambilan keputusan, keputusan sendiri mengandung arti sebagai hasil pemecahan dalam suatu masalah yang harus dihadapi dengan tegas. Pengambilan keputusan (decision making) didefinisikan sebagai pemilihan keputusan atau kebijakan yang didasarkan atas kriteria tertentu. Proses ini meliputi dua alternatif atau lebih karena seandainya hanya terdapat satu alternatif tidak akan ada satu keputusan yang akan diambil (Dagun, 2006). Sementara menurut J.Reason, Pengambilan keputusan dapat dianggap sebagai suatu hasil atau keluaran dari proses mental atau kognitifyang membawa pada pemilihan suatu jalur tindakan di antara beberapa alternatif yang tersedia (Reason, 1990).

Tentang pengambilan keputusan ini tentunya juga menjadi bagian penting dalam menjalani bisnis, khususnya dalam lingkungan bisnis yang sangat kompetitif, para manajer dan para pemimpin dalam suatu organisasi bisnis harus memiliki kekuatan besar dalam menghasilkan kinerja yang baik untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya. Seiring dengan kondisi yang demikian, para manajer maupun para pimpinan lainnya akan dihadapkan pada berbagai pilihan yang harus diambil dalam menentukan langkah-langkah bagi penjalanan organisasinya (Usman, 2014). Oleh karena mereka harus pandai-pandai dalam melakukan pengambilan keputusan, sebab ini akan mementukan keberlangsungan organisasinya di masa depan.

Dalam perkembangan tentang pengambilan keputusan ini, ada yang dinamakan sebagai teori pengambilan keputusan strategis. Dalam makalah ini akan membahas tentang konsep dari teori pengambilan keputusan strategis, yang mana kemudian akan dikaitkan dengan sebuah kasus yang terjadi, dalam makalah ini kasus yang diambil adalah tentang kasus keputusan startegis yang dibuat BUMN dalam konsep bisnis. BUMN adalah singkatan dari Badan Usaha Milik Negara. Ini adalah adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan (Pasal 1 ayat 1, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara). Sama halnya dengan perusahaan atau organisasi lainnya, BUMN dalam menjalankan bisnis dan sebagai suatu badan usaha juga diharuskan melakukan pengambilan keputusan yang strategis, khususnya dalam konsep berbisnis. 

B.     Pembahasan

Dalam pengambilan keputusan strategis di bidang Bisnis, BUMN sering mendapat kendala. Direksi BUMN dalam melakukan investasi atau transaksi guna memperoleh pendapatan (revenue) dan pertumbuhan (growth) perseroan dihadapkan pada situasi yang dilematis yang menimbulkan keraguan-keraguan dalam pengambilan keputusan. Hal ini disebabkan karena adanya direksi BUMN yang dipidana karena keputusan bisnisnya dianggap merugikan keuangan negara. Padahal jika merujuk pada Undang-Undang Perseroan Terbatas, direksi dilindungi oleh prinsip Business Judgment Rule (BJR)  (Pramagitha & Sukranatha, 2019).

Prinsip BJR diatur dalam Pasal 97 ayat (5) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Berdasarkan prinsip ini, direksi BUMN pembuat keputusan bisnis yang mengakibatkan kerugian bagi BUMN tidak dapat bertanggung jawab secara pribadi dengan syarat keputusan bisnis tersebut diambil berdasarkan itikad baik dan kehati-hatian (Pramagitha & Sukranatha, 2019). Selain melindungi para pimpinan ketika mengambil keputusan dan berdampak buruk terhadap BUMN, prinsip ini pada dasarnya juga mengharuskan para pimpinan pengambil keputusan berhati-hati dalam memutuskan sesuatu termasuk harus selalu mmerhatikan tugas-tugas utamnya (Affandhi, 2016).

Gaya Kepemimpinan Ahok pada Pertamina

 

Gaya Kepemimpinan Ahok pada Pertamina

            Pendahuluan

Pemimpin merupakan figur penting dalam menggerakkan suatu organisasi atau perusahaan. Sebab pemimpin tersebut layaknya seorang pengemudi dalam sebuah kendaraan, yang mana kemana kendaraan tersebut berhenti atau mencapai tujuannya akan ditentukan oleh siapa yang membawanya. Begitu pula dengan pemimpin dalam suatu organisasi atau perusahaan, yang mana keberhasilan dan kesuksesan perusahaan dalam mencapai tujuannya akan ditentukan oleh cara pemimpin dalam mengoperasikan dan menggerakkan kehidupan perusahaannya. Terlebih pemimpin tersebut juga adalah salah satu hal yang dapat mempengaruhi perilaku para pengikutnya agar dapat berhasil dalam mencapai tujuan perusahaannya, seperti misalnya dengan dengan cara menciptakan sistem dan proses organisasi yang sesuai kebutuhan, baik kebutuhan individu, kebutuhan kelompok maupun kebutuhan organisasi. Oleh karenanya, setiap organisasi atau perusahaan membutuhkan pemimpin yang dapat menjadi motor penggerak yang baik dan dapat mendorong pertumbuhan organisasi atau perusahaan(Prasetyo, 2014).

Dengan kata lain, kepemimpinan tersebut secara signifikan berkontribusi dalam keberhasilan dan kegagalan suatu organisasi atau perusahaan. Hal ini disebabkan karena pemimpin berperan sebagai panutan dalam organisasi, sehingga untuk dapat mencapai tujuan organisasi atau perusahaan, perubahan yang harus dilakukan juga harus dimulai dari tingkat yang paling atas, yaitu pemimpin itu sendiri. Salah satu pemimpin yang dikenal oleh masyarakat Indonesia adalah Basuki Tjahaja Purnama atau yang sering dikenal dengan nama Ahok, yaitu mantan seorang Gubernur DKI Jakarta periode 2014-2017, menggantikan Joko Widodo yang pada saat itu terpilih menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Kepemimpinan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta dalam upayanya membenahi wilayah Jakarta agar layak dan nyaman bagi semua masyarakat Jakarta seringkali menuai kontrovesi karena cenderung dinilai menggunakan langkah-langkah yang tidak lazim untuk tradisi Indonesia. Hingga dirinya tertimpa kasus tuduhan atas penistaan agama yang dilakukannya, menghancurkan karier politiknya saat itu. Kemudian pada November 2019 lalu, Ahok resmi ditunjuk sebagai Komisaris Utama PT Pertamina(Friana, 2019).

Bergabungnya Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok di Pertamina menuai pertentangan dari beberapa pihak. Secara umum, penolakan terhadap Ahok tersebut disebabkan karena dirinya pernah menghebohkan Indonesia dengan tuduhan kasus penistaan agama hingga membuat dirinya menjadi seorang mantan narapidana. Selain itu, mereka juga menilai bahwa gaya komunikasi yang digunakan Ahok sangat frontal, cenderung kasar dan dapat menimbulkan kegaduhan, sehingga tidak tepat untuk berada di tempatkan pada jabatan di salah satu Badan Usaha Milik Negara tersebut(Sayekti, 2019). Meskipun demikian, ada juga yang menilai bahwa gaya kepemimpinan Ahok sama dengan pada saat ia menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta sebelumnya, yang mana mereka menganggap bahwa kepemimpinan Ahok pada saat menjabat sebagai DKI tersebut sangat berintegritas dan transparan. Hal ini juga dapat dilihat pada saat menjabat sebagai komisaris di Pertamina, dimana masyarakat saat ini dapat ikut memantau langsung data impor bahan bakar minyak yang dilakukan oleh Pertamina (Novika, 2020). Berdasarkan hal tersebut, tulisan ini akan membahas mengenai gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh Ahok saat menjabat di Pertamina.

Pembahasan

Kesuksesan suatu organisasi atau perusahaan tidak terlepas dari peran kepemimpinan. Kepemimpinan ini memiliki peran yang sangat strategis dan penting keberhasilan organisasi atau perusahaan dalam pencapaian misi, visi, dan tujuannya. Selain itu, kepemimpinan tersebut juga berperan dalam mempengaruhi kinerja dan kepuasan para anggota organisasinya. Dengan kata lain, inti dari kepemimpinan adalah membawa mereka yang dipimpin menuju ke tujuan dan cita-cita bersama. Maka secara operasional dalam menjalankan tugasnya sebagai pemimpin, seorang pemimpin menghadapi dua kewajiban pokok. Pertama, berusaha mencapai tujuan dan cita-cita bersama. Kedua, memperhatikan hal-hal yang mendukung suksesnya usaha mencapa tujuan dan cita-cita itu (Mangunhardjana, 1979).

...........

Kasus Hukum Bisnis Pada Perusahaan BUMN (PLN dan Kasus Mati Listrik Massal di Sejumlah Lokasi Di Jawa)


Kasus Hukum Bisnis Pada Perusahaan BUMN
(PLN dan Kasus Mati Listrik Massal di Sejumlah Lokasi Di Jawa)

A.    Latar Belakang
Bisnis sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Bersamaan dengan itu, bisnis juga telah menjadi salah satu aktifitas usaha utama yang dapat menunjang perkembangan ekonomi. Selanjutnya, dalam suatu sistem perekonomian yang sehat seringkali bergantung pada sistem perdagangan/bisnis/usaha yang sehat sehingga masyarakat membutuhkan seperangkat aturan yang dengan pasti dapat diberlakukan untuk menjamin terjadinya sistem perdagangan/bisnis tersebut. Dalam hal ini, pada dasarnya aturan-aturan dibuat berdasarkan hukum, dan ini dibutuhkan dengan alasan bahwa: 1) Para pihak terlibat dalam persetujuan bisnis itu membutuhkan sesuatu yang lebih daripada sekedar janji serta iktikad baik saja; dan 2) Adanya kebutuhan untuk menciptakan upaya-upaya hukum yang dapat digunakan seandainya salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya, tidak memenuhi janjinya. Dari kedua alasan tersebutlah suatu hukum bisnis diperlukan (Rasyidi, 2018).
Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa, yang dinamakan sebagai hukum bisnis adalah seperangkat kaidah-kaidah hukum yang diadakan untuk mengatur serta menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul dalam aktivitas antar manusia khususnya dalam bidang perdagangan (Ibrahim & Lindawaty, 2007). Hukum bisnis juga dapat dikatakan sebagai adalah perangkat kaidah, azas-azas, dan ketentuan hukum, termasuk institusi dan mekanismenya, yang digunakan sebagai dasar untuk mengatur kegiatan bisnis, baik persiapan, pelaksanaan, maupun penyelesaian sengketa-sengketa yang timbul dari akibat kegiatan tersebut. Hukum bisnis, berdasarkan pembentuk dan obyek yang diatur, dapat diklasifikasi atas dua jenis, yaitu yang bersifat publik dan yang bersifat privat. Hukum bisnis yang bersifat publik adalah seluruh perangkat ketentuan, termasuk institusi dan mekanismenya, yang dibuat oleh negara-negara, bilateral, regional, maupun universal, untuk mengatur kegiatan bisnis yang bersifat lintas batas negara. Sedangkan hukum bisnis yang bersifat privat adalah; 1) perangkat ketentuan yang dibuat suatu negara untuk mengatur hubungan bisnis antar pribadi, domestik maupun internasional; dan 2) kontrak bisnis yang dibuat oleh para pihak untuk mengatur bentuk hubungan, dan kegiatan bisnis di antara mereka (Putra & dkk, 2003).