Tampilkan postingan dengan label nelayan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label nelayan. Tampilkan semua postingan

Hubungan Diplomasi Indonesia Malaysia Pasca Penangkapan Nelayan Indonesia oleh Aparat Malaysia

 

Hubungan Diplomasi  Indonesia-Malaysia Pasca Penangkapan Nelayan Indonesia oleh Aparat Malaysia


Pendahuluan

Beberapa saat yang lalu, kondisi perbatasan Indonesia Malaysia kembali memanas akibat adanya masalah mengenai penangkapan ikan di wilayah perairan Malaysia. Pada tanggal 5 Januari 2020 beberapa anak buah kapal (ABK) KM Abadi Indah ditangkap oleh Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia (APMM). Kapal tersebut merupakan kapal yang engoperasikan alat penangkapan ikan jala jatuh berkapal (cast net). Penangkapan kapal Indonesia di wilayah perairan Malaysia tersebut disebabkan karena dugaan telah  melakukan penangkapan sotong secara ilegal (Rastika, 2020).

Masalah tersebut kemudian diselesaikan oleh pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). KKP menindaklanjuti masalah tersebut dengan memulangkan 15 orang ABK KM Abadi Indah. Pembebasan para nelayan tersebut ditempuh dengan persuasi dan tanpa melalui upaya hukum meskipun pihak Malaysia menduga adanya upaya penangkapan ikan secara ilegal. Hal ini dilakukan berdasarkan pada MoU on Common Guidelines antara kedua negara yang berisi tentang kesepakatan aparat penegak hukum di bidang maritim antara RI-Malaysia. Pengaturan tersebut juga mengatur mengenai penangkapan ikan di wilayah unresolved maritime boundaries atau batas maritim yang belum terselesaikan(Ulya, 2020).

Permasalahan mengenai penangkapan ikan secara ilegal merupakan suatu kekhawatiran yang diperhatikan oleh negara dengan wilayah maritim yang luas seperti Indonesia dan Malaysia. Hal ini disebabkan karena penangkapan ikan berhubungan dengan sumber daya alam yang dimiliki oleh negara yang bersangkutan yang pada dasarnya digunakan untuk kesejahteraan rakyatnya. Pentingnya penanganan ikan secara ilegal bahkan menempatkannya sebagai kejahatan transnasional. Berbagai upaya kemudian dilakukan oleh pemerintah kedua negara untuk menyelesaikan masalah ini, termasuk salah satunya melalui upaya diplomasi. Diplomasi bukan merupakan hal baru bagi hubungan antarnegara, karena diplomasi merupakan salah satu cara yang dilakukan untuk membela kepentingan negara di dunia internasional (Yanti, 2013). Berhubungan dengan penangkapan dan pembebasan kapal Indonesia yang melakukan penangkapan ikan di wilyah Malaysia kemudian dapat menyebabkan suatu pergeseran kondisi diplomasi kedua negara. Tulisan ini akan menganalisa hubungan diplomasi Indonesia-Malaysia pasca penangkapan nelayan Indonesia oleh aparat Malaysia.

Pembahasan

Diplomasi merupakan penerapan kecerdasan dan kebijaksanaan untuk pelaksanaan hubungan resmi antarpemerintah negara merdeka, juga untuk memperluas hubungan mereka dengan wilayah territorial, dan antara pemerintah dengan internasional kelembagaan, atau, lebih singkat, pelaksanaan bisnis antarnegara-negara dengan cara-cara damai (Satow, 2009). Upaya diplomasi yang dilaksanakan untuk menangani masalah kepentingan maritim adalah diplomasi maritim. Diplomasi maritim merupakan strategi pendayagunaan kapabilitas nasional yang diarahkan dan ditujukan pada isu keamanan maritim secara domestik dan global (Nugraha & Sudirman, 2016). Diplomasi maritim diterapkan melalui usulan peningkatan kerja sama di bidang maritim dan upaya menangani sumber konflik, seperti pencurian ikan, pelanggaran kedaulatan, sengketa wilayah, perompakan, dan pencemaran laut dengan penekanan bahwa laut harus menyatukan berbagai bangsa dan negara dan bukan memisahkan(Riska, 2017).

Penanganan mengenai masalah penangkapan ikan secara ilegal di wilayah perairan Indonesia-Malaysia pada dasarnya sudah dilakukan melalui berbagai upaya, termasuk secara diplomasi melalui penandatanganan Memorandum of Understanding Common Guidelines Concerning Treatment of Fishermen by Maritime Law Enforcement Agencies pada tanggal 27 Januari 2012 di Nusa Dua, Bali. Kebijakan hukum atau rezim yang akan diberlakukan di wilayah perairan kedua negara bukan merupakan inti dari pedoman umum (common guidelines) ini tetapi lebih kepada penanganan dan taktis operasional baru di lapangan atau oleh aparat keamanan laut antara kedua belah pihak sekiranya terjadi kasus lintas batas wilayah laut negara seperti yang sering terjadi sebelumnya (Lerian & Pahlawan, 2017).