Tampilkan postingan dengan label sejarah Indonesia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sejarah Indonesia. Tampilkan semua postingan

Sejarah Peraturan Penyiaran Indonesia Sejak Era Kemerdekan

Sejarah Peraturan Penyiaran Indonesia Sejak Era Kemerdekan


Penyiaran sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia di selueuh dunia, termausk didalamnya di Indonesia. Penyiaran berasal dari kata dasar siar, yang memiliki arti sebagai meratakan ke mana-mana atau memberitahukan kepada umum (melalui radio, surat kabar, dan sebagainya); mengumumkan (berita). Siar juga memiliki art sebagai menyebarkan atau mempropagandakan (pendapat, paham, agama) atau mengirimkan (lagu-lagu, musik, pidato, dan sebagainya) melalui media. Sementara penyiaran sendiri memiliki arti sebagai proses, cara, perbuatan menyiarkan (KBBI, 2012-2020).

Mengenai penyiaran, sejarah kemuculannya telah terjadi sejak lama, lebih tepatnya ketika media penyiaran pertama kali ditemukan oleh seorang ahli fisika Jerman bernama Heinrich Hertz pada tahun 1887, dimana ia berhasil menciptakan media yang bsrhasil mengirim dan menerima gelombang radio. Hasil penelitian ini kemudian terus dikembangkan hingga tercipta media radio yang dapat digunakan sebagai media penyiaran seperti saat ini. Di Indonesia sendiri, cikal bakal kemunculan penyiaran sudah terjadi sejak sebelum Indonesia memasuki era kemerdekaan. Hal terjadi pada tahun 1925, atau masih pada masa pemerintahan Hindia-Belanda. Peristiwa cikal bakal kemunculan ini ditandai dengan keberhasilan Prof Komnas dan Dr. De Groot melakukan komunikasi radioa dengan menggunakan stasiun relai di Malabar, Jawa Barat. Kejadian ini kemudian diikuti dengan berdirinya Batavia Radio Vereniging dan NIROM. Sejak saat itu, perkembangan dunia penyiaran mulai berkembang, termasuk terbentuknnya organisasi persatuan radio amatir. Bahkan organisasi penyiaran memiliki peranan yang penting dalam proses kemerdekaan Indonesia (Morissan, 2018).

Dalam hal ini, penyiaran melalui radio merupakan penyiaran yang cara baru. Sebelum radio ditemukan, konsep-konsep penyiaran sebenarnya juga sudah mulai terjadi, dimana ini leboh digunakan dengan media cetak. Namun dengan ditemukannya radio, proses penyiaran jadi semakin cepat dilakukan. Dan ini menjadi cikal bakal terjadinya proses penyiaran modern seperti saat ini, termasuk penggunan televisi, hingga peranan komputer dan internet yang menciptalan konsep penyiaran digital seperti sekarang ini.Berkaitan dengan hal ini, maka dalam tulisan ini akan membahas tentang peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah Indonesia dalam masalah penyiaran dalam negeri, khususnya setelah mamasuki era kemerdekaan di tahun 1945.

Setelah masa kemerdekaan, media radio semakin banyak bermunculan, khusunya untuk radio amatir. Proses penyiaran mulai banyak dilakukan. Namun dengan semakin banyaknya radio amatir yang bermunculan (1950-1952), pada akhirnya pada tahun 1952 pemerintah mulai represif dengan mengeluaran ketentuan bahwa pemancar radioa matir dilarang mengucara, kecuali pemancar radio milik pemerintah, dan bagi yang melanggar akan dikenakan sanksi subversif. Kegiatan amatir radio terpaksa dibekukan pada tahun 1952-1965. Pembekuan ini diperkuat dengan UU no. 5 tahun 1964, yang menyebutkan adanya penghukuman bagi siapapun yang memilikiradio pemancar tanpa seizin pihak berwenang. Namun setelah runtuhnya era Orde Lama, kemunculan radio amatir ini tidak bisa dibendung lagi. Disisi lain setelah kemerdekaan, pada tahun 11 September 1945, RRI (Radio Republik Indonsia), resmi milik pemerintah, didirikan di eman kota (Morissan, 2018).

            Terlepas dari ini, berikut ini merupakan sejumlah perkembangan peraturan penyiaran yang terjadi di Indonesia semenjak memasuki masa kemerdekaan. Lahirnya UU Penyiaran merupakanamanah daripada UUD 1945, khususnya Pasal5 ayat (1), Pasal 28, Pasal 31 ayat (1), Pasal 32,Pasal 33 dan Pasal 36. Itu bererti bahawa UUPenyiaran merupakan pelaksanaan dari UUD1945, khususnya amanat bidang kebebasanbersyarikat dan berkumpul serta mengeluarkanpikiran, pendidikan, kebudayaan, ekonomi danbahasa (Harmonis, 2013).