Tampilkan postingan dengan label diskriminasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label diskriminasi. Tampilkan semua postingan

Diskriminasi dan Kekerasan Karena Konstruksi Identitas

 Diskriminasi dan Kekerasan Karena Konstruksi Identitas

Identitas merupakan ciri khas yang terdapat dalam diri individu. Identitas ini ada yang bersifat alami dan ada yang dikonstruksi. Identitas yang dikonstruksi sering dikaitkan dengan atribut atau label yang disematkan kepada seseorang yang sesungguhnya sudah memiliki identitas alami. Contohnya identitas gender yang hadir secara alami pada diri seseorang bisa bersamaan dengan identitas lainnya yang tidak bisa ditolak kehadirannya, karena sejak lahir telah disandangnya, seperti identitas yang berkaitan dengan agama, suku, ras, maupun kebangsaan. Selain identitas yang bersifat kodrati, ada juga identitas akibat dari usaha seseorang yang bersifat nonkodrati, tidak tetap dan dapat berubah, seperti identitas yang diperoleh dari pendidikan, status sosial, dan tindakan berulang yang dilakukan. Identitas yang diperoleh akibat dari tindakan berulang yang dilakukan dapat disebut sebagai julukan atau label yang diberikan kelompok atau masyarakat kepada individu tertentu. Lingkungan berpengaruh kuat terhadap identitas individu, karena melalui interaksi dengan lingkungan, orang senantiasa dapat mengkonstruksi dan dikonstruksi identitasnya. Dalam kenyataan sehari-hari identitas dapat berupa pengakuan subjektif yang diberikan kelompok kepada pihak lain di luar kelompoknya atau dapat juga merupakan pernyataan orang dalam yang disematkan kepada kelompoknya sendiri, terkadang menimbulkan diskriminasi antara kelompok dominan terhadap kelompok minoritas (Mutmainnah, Latjuba, & Hasbullah, 2022).

Sikap dan pandangan diskriminatif yang muncul dapat dilihat sebagai dorongan dan kebutuhan yang tidak dapat dimunculkan secara terbuka dalam interaksi sosial sehari-hari di tengah masyarakat karena bertentangan dengan standar moral, norma, kaidah dan nilai yang diidealkan secara sosial. Sikap dan pandangan diskriminatif semacam inilah yang sedianya akan disasar dengan KUHP anti diksriminasi. Persoalannya, sikap dan pandangan diskriminatif semacam ini seringkali sangat sulit untuk dibuktikan secara legal formal karena sikap dan pandangan semacam ini lebih banyak muncul dalam ruang-ruang percakapan dan interaksi sehari-hari. Disinilah terletak tantangan persoalan yaitu di satu sisi ada individu yang merasa dilanggar hak asasinya akibat sikap dan perlakuan diskriminatif berdasar identitas sosial budayanya, namun di sisi lain sangat sulit untuk membuktikan dasar-dasar sikap dan perlakuan diskriminatif tersebut secara legal formal (Madyaningrum, 2010).

Rasisme terhadap Warga China Selama Pandemi COVID-19

 

Rasisme terhadap Warga China Selama Pandemi COVID-19

A.    Pendahuluan

Wabah virus corona 2019 (COVID-19) di Wuhan, China telah memicu pandemi global. Hingga saat ini, dilaporkan lebih dari 132.000 kasus COVID-19 di 123 negara dengan 5.000 orang telah meninggal karena penyakit tersebut, dan jumlah tersebut diperkirakan masih akan meningkat dalam beberapa hari dan bulan. Pada 31 Januari 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan COVID-19 sebagai darurat kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian internasional (Zheng, Goh, & Wen, 2020). Pandemi COVID-19 telah menyebar dengan cepat sejak infeksi pertama terdeteksi di China tengah pada akhir 2019. Pandemi COVID-19 telah mengubah masyarakat dan  memiliki dampak negatif terhadap kondisi perekonomian di seluruh dunia. Masyarakat di seluruh dunia telah dianjurkan atau diwajibkan untuk meminimalkan pertemuan sosial dan membatasi kontak orang-ke-orang. Bersamaan dengan situasi yang tidak biasa ini, rasa takut dan ketidakpastian yang kuat terus meningkat di antara banyak populasi mengingat pandemi ini dapatmenyebar dengan pesat. Terdapat peningkatan eksponensial terhadap jumlah penduduk di dunia yang terinfeksi, meninggal, dan menganggur (Roberto, Johnson, & Rauhaus, 2020)

Prasangka dan diskriminasi yang terjadi selama penyebaran COVID-19 dapat menyebabkan situasi yang semakin tidak stabil karena negara-negara mulai mencabut pembatasan pergerakan yang meningkatkan interaksi, dan jumlah penyebaran virus yang terus mengalami peningkatan. Karena banyak dari masyarakat yang terinfeksi menunjukkan gejala sedikit atau bahkan tidak ada gejala, dan potensi stigmatisasi pun juga meningkat. Hal ini dikarenakan masyarkat menggunakan karakteristik seperti ras, selain gejala yang terlihat untuk menentukan siapa yang mungkin terinfeksi. Berdasarkan kondisi tersebut, Jacobson (dalam Roberto et al., 2020) mengungkapkan bahwa pandemi COVID-19 telah menyoroti potensi dalam memperburuk ketidakadilan sosial yang secara tidak proporsional memiliki dampak pada pada komunitas kulit berwarna berpenghasilan rendah serta penduduk asli dan imigran. Diskriminasi yang ditujukan kepada orang Asia mengalami peningkatan selama pandemiCOVID-19. Pada akhir April 2020, Komisi Hak Asasi Manusia Kota New York menerima 248 laporan pelecehan dan diskriminasi, dengan lebih dari separuh korbannya adalah keturunan Asia. Klaim tersebut termasuk diskriminasi berdasarkan ras dan asal kebangsaan di beberapa bidang kebijakan termasuk perumahan, akomodasi hotel, dan pekerjaan. Contohtersebutmenunjukkan bagaimana ras dan etnis digunakan secara sewenang-wenang untuk mengidentifikasi dan menyalahkan kelompokmasyarakattertentu yang dianggap sebagai pembawa wabah (Roberto, Johnson, & Rauhaus, 2020). Berdasarkan latar belakang tersebut, tulisan ini bertujuan untuk membahas bagaimana bentuk rasisme terhadap warga China selama pandemi COVID-19.

B.     Pembahasan

1.      Bentuk Rasisme terhadap Warga China Selama Pandemi COVID-19

Diskriminasi individu dari berbagai latar belakang, asal kebangsaan, atau ras menyoroti konsep “otherness”. Di masa krisis, wajar bagi individu untuk memandang satu sama lain sebagai bagian dari kelompok yang tidak jelas. Hal ini dapat menciptakan identitas untuk kelompok yang membutuhkan dukungan versus kelompok lain yang tidak sesuai dengan citra kepentingan publik. Kelompok “others” dapat melambangkan kelompok yang distigmatisasi. Kelompok-kelompok ini memiliki karakteristik atau sifat yang tidak diinginkan yang berada di luar ekspektasi normal masyarakat. Atribut yang dipersepsikan secara negatif ini merendahkan nilai individu dan mengidentifikasinya sebagai kelompok yang tidak diinginkan atau inferior dalam masyarakat. Konsekuensi dari stigmatisasi adalah kemungkinan seseorang akan menjadi sasaran prasangka, perlakuan yang tidak menyenangkan, dan diskriminasi di berbagai situasi (Roberto, Johnson, & Rauhaus, 2020).

Laporan dari berbagai negara juga menunjukkan kecenderungan agresif terhadap orang-orang China yang tinggal di luar China dari prasangka dan diskriminasi. Contohnya di  Australia, seperempat dari keluhan diskriminasi rasial baru-baru ini datang dari orang Asia yang menjadi sasaran karena virus tersebut. Warga China diludahi, diserang secara fisik, dan mendapatkan penolakan akses bisnis. Di Selandia Baru dan Kanada, beberapa orang tua berusaha mencegah anak-anak China untuk bersekolah di sekolah lokal. Di Kanada, xenofobia telah memengaruhi orang-orang yang bukan keturunan China, di mana sebuah pusat kebudayaan Vietnam dirusak, warga Korea menjadi korban penikamanan, dan orang Inuit telah diludahi dan disuruh kembali ke negara asal (Roberto, Johnson, & Rauhaus, 2020).

Gambar 1. Persentase Bentuk Diskriminasi terhadap Warga Asia selama Pandemi COVID-19

Sumber: Cheung et al. (2020)

Konstruksi Image Gender dan Seksualitas dalam Media Massa Studi kasus: Pemberitaan LGBT di Media Massa Indonesia



Konstruksi Image Gender dan Seksualitas dalam Media Massa
Studi kasus: Pemberitaan LGBT di Media Massa Indonesia

A.     Latar Belakang
Diskursus mengenai Lesbian Gay Biseksual dan Transgender (LGBT) di Indonesia belum diterima oleh masyarakat secara luas. Bahwa orang Indonesia yang mengidentifikasi sebagai gay tidak selalu nyaman berada dalam kehidupan sehari-hari mereka mungkin terkait dengan stigma negatif seputar gender dan seksualitas alternatif di nusantara. Sebuah survei dari tahun 2012, oleh surveyor swasta dan badan konsultasi politik Lingkaran Survei Indonesia, yang menginginkan Indonesia yang lebih baik, mengungkapkan bahwa mayoritas warga negara Indonesia (80,6%) tidak ingin memiliki tetangga yang aneh. Salah satu mindstream yang berkembang dalam masyarakat Indonesia dan dunia adalah mengenai kaum LGBT yang dianggap menyimpang dari norma.
Fakta sebaliknya, perkiraan para ahli dan Badan PBB, dengan memperhitungkan jumlah penduduk lelaki dewasa, jumlah lelaki berhubungan seks dengan lelaki (LSL) di Indonesia pada 2011 diperkirakan lebih dari tiga juga orang, padahal pada 2009 angkanya 800 ribu orang. Sehingga da;a, kurun waktu dua tahun, jumlah LSL meningkat lebih dari 300 persen. Bahkan, diperkirakan pada 2013 jumlahnya lebih besar lagi. Khususnya di Ibukota Jakarta, jumlah LSL diperkirakan telah melampaui angka seratus ribu orang.[1] Tingginya angka kaum LGBT ini belum mampu mengubah stigma negative masyarakat yang selama ini melihat LGBT sesbagai rang yang berpenyakitan, dan mindsteram.  Bahkan fenomena LGBT di Indonesia menjadi kontroversial karena rumor yang mengatakan bahwa LGBT itu menular dan harus dijauhi.
Persepsi masyarakat terhadap LGBT tidak lepas dari peran media massa dalam membangun pencitraan kaum LGBT. Media Massa merupakan agen sosial yang mudah menpengaruhi masyarakat, dan media massa dampak penyebaranya paling luas. Dampak media massa mungkin tidak secara langsung terjadi dan dirasakan oleh masyarakat, namun media cukup berperan sangat besar dalam mempengaruhi seseorang. 

B.     Landasan Teori
Komunikasi Massa dan Konstruksi Media Massa
Konstruksi media massa berkaitan dengan teori konstruksi realitas social yang dipaparkan oleh Peter Berger bersama Thomas Luckmann dalam bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality.[2] Literatur tentang konstruksi realitas sosial berpendapat bahwa realitas yang dibangun didasarkan pada empat asumsi dasar: (1) Realitas "tidak hadir secara obyektif" kepada pemirsa, hal ini dipahami melalui pengalaman manusia; (2) kategori bahasa ditentukan oleh "interaksi sosial" yang berlaku pada waktu tertentu; (3) bagaimana realitas didefinisikan ditentukan oleh "konvensi komunikasi"; (4) Perilaku komunikasi merupakan konstruksi realitas sosial (Gergen, 1985 dalam Galbin, 2014).[3]
Ada tiga tahap peristiwa. Pertama, eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Kedua, objektivasi, yaitu hasil yang telah dicapai baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Hasil itu menghasilkan realitas objektif yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisitas yang berada diluar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya. Ketiga, internlisasi. Proses internalisasi lebih merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. 

C.     Pembahasan
1.      Bentuk media untuk konstruksi media massa terhadap LGBT di Indonesia
Berita dianggap sebagai bentuk konstruksi sosial. Menurut Gitlin (1980),[4] bingkai media, "sebagian besar tidak terucapkan dan tidak diketahui, mengatur dunia baik untuk wartawan yang melaporkannya dan, dalam beberapa hal penting, agar kita bergantung pada laporan mereka. Pemberitaan LGBT di media massa Indonesia sejak dua tahun ini menguatkan stigma negative masyarakat Indonesia terhadap keberadaan LGBT. Gelombang penggerebekan polisi yang belum pernah terjadi sebelumnya, serangan main hakim sendiri, dan seruan untuk mengkriminalisasi seks homoseksual telah membuat banyak orang di komunitas LGBT di negara itu takut akan keselamatan mereka.
Terdapat empat jenis informasi yang bias dalam berita: "personalisasi," dramatisasi, "" fragmentasi, "dan" bias gangguan otoritas” (Bennett &  Entman2001)[5]. Dengan demikian, bias dapat dipertimbangkan sebagai bentuk konstruksi sosial. Pemberitaan LGBT di media massa di Indonesia termasuk bias konstruksi social. Menurut laporan Komisi Hak Asasi Manusia Gay dan Lesbian Internasional (2007), orang LGBT Indonesia sering menjadi sasaran pelanggaran hak asasi manusia karena orientasi seksual, identitas gender dan ekspresi gender mereka. Contoh langsung bagaimana LGBTIQ Indonesia didiskriminasikan adalah ketika "Queer Film Festival" diadakan di Jakarta pada tahun 2011 bekerja sama dengan sejumlah Pusat Kebudayaan Eropa.
Kaum LGBT adalah kaum minoritas di Indonesia. Kelompok minoritas merujuk pada kebanyakan adalah kelompok masyarakat yang jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah kelompok masyarakat lain yang dominan.
Pada media massa menggambarkan kaum LGBT sebagai kaum yang menyimpang. Penyampain informasi dilakukan oleh media terhadap kaum LGBT sengaja atau tidak sengaja telah melakukan diskriminasi terhadap kaum LGBT. Sehingga masyarakat yang menonton atau memperoleh informasi tentang LGBT dari media membuat LGBT semakin terpojokkan dan kaum LGBT kehilangan haknya untuk mengekspresikan diri melalui media atau tidak.
Media massa mengarahkan opini khalayak lewat proses framing dan sekaligus menanamkan stereotipe kepada mereka bahwa homoseksual kerap identik dengan kekerasan. Hal ini kemudian menimbulkan kekhawatiran dari masyarakat untuk berhubungan atau bersosialisasi dengan kaum LGBT. Ketika akses untuk bersosialisasi semakin terhambat, kaum LGBT akan memiliki self-esteem yang rendah dan perasaan bersalah yang terus menerus karena ditekan oleh masyarakat (Kirnandita, 2010)[6]

2.      Faktor - faktor kaum LGBT menjadi objek konstruksi media massa dilihat dari konteks marginalisasi, labelisasi dan kekerasan
Penggambaran media positif yang jarang terjadi tentang homoseksualitas juga dapat mempengaruhi kepercayaan heteroseksual. Budidaya teori (Gerbner, Gross, Morgan, Signorielli, & Shanahan, 2002)[7] menunjukkan bahwa menonton televisi mempengaruhi sikap dan keyakinan pemirsa melalui suatu proses dimana dunia seperti yang digambarkan oleh media datang untuk dirasakan oleh pemirsa-khususnya volume tinggi viewers-
Selama ini, peran media massa di Indonesia  yang dianggap belum memiliki keberpihakan pada kelompok LGBT  (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) sehingga ikut melanggengkan diskriminasi  lewat pemberitaan-pemberitaan yang bias.[8]
 
Solusi alternatif yang bisa diterapkan untuk menyelesaikan persoalan diskriminasi LGBT
Media massa, termasuk media online dalam praktiknya tentu tak pernah lepas dari tugas mulianya untuk memberikan informasi sekaligus memberikan edukasi. Media massa bukanlah wadah untuk mempertarungkan kelompok-kelompok di dalam masyrakat. Media massa seharusnya tidak menciptakan jurang dikotomi dan mengadili kaum yang termarginalisasi. Menurut UNDP, ada tiga kategori media konvensional, yang muncul secara cetak dan elektronik, dalam hal bagaimana mereka meliput isu LGBT, yaitu:[9]


Ini hanya sampel saja…
Mau tau versi lengkapnya?
Atau mau order (custom) sesuai request juga bisa


Silahkan WA/ Call ke o85868o39oo9 (Diana)
Ditunggu yaa.. Happy Order 


[1] Jakarta Darurat Gay!. Diakses melalui www.republika.co.id pada tanggal 9 Juli 2017

[2] Peter L. Berger and Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality, A Treatise in the Sociological of Knowledge (Terj.) Hasan Basari (Jakarta: LP3ES, 1990), h. 75.
[3] Galbin, A., (2014). An Introduction To Social Constructionism. Social Research Reports, 26, pp. 82-92, retrieved 10 Juli 2017 from: http://www.researchreports.ro/images/researchreports/social/srr_2014_vol026_004.pdf
[4] Gitlin, T. (1980). The whole world is watching: Mass media in the making & unmaking of the new left. Berkeley: University of California Press.
[5] Bennett, W. L, Entman, R. M., (2001). Mediated Politics in Mediated Politics: Communications in the Future of Democracy. Cambridge:  Cambridge University Press.

[6] Kirnandita, P., (2010). Tanggung Jawab Media dalam Pemberitaan Kaum Lesbi, Gay, Biseks dan TransGender. Makalah perkuliahan Etika dan FIlsafat Komunikasi Universitas Indonesia

[7] Gerbner G, Gross L, Morgan M, Signorielli N, Shanahan J. Growing up with television: Cultivation processes. In: Bryant J, Zillman D, editors. Media effects: Advances in theory and research. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates; 2002. pp. 43–67.

[8] “Media dinilai ikut langgengkan diskriminasi terhadap kaum LGBT”, diakses 10 Juli 2017 dari: http://indonesia.ucanews.com/2014/05/23/media-dinilai-ikut-langgengkan-diskriminasi-terhadap-kaum-lgbt/

[9] UNDP, USAID (2014). Being LGBT in Asia: Indonesia Country Report. Bangkok. Retrieved 10 Juli 2017 from: http://www.asia-pacific.undp.org/content/dam/rbap/docs/Research%20&%20Publications/hiv_aids/rbap-hhd-2014-blia-indonesia-country-report-english.pdf