Diskriminasi dan Kekerasan Karena Konstruksi Identitas
Identitas
merupakan ciri khas yang terdapat dalam diri individu. Identitas ini ada yang
bersifat alami dan ada yang dikonstruksi. Identitas yang dikonstruksi sering
dikaitkan dengan atribut atau label yang disematkan kepada seseorang yang
sesungguhnya sudah memiliki identitas alami. Contohnya identitas gender yang
hadir secara alami pada diri seseorang bisa bersamaan dengan identitas lainnya
yang tidak bisa ditolak kehadirannya, karena sejak lahir telah disandangnya,
seperti identitas yang berkaitan dengan agama, suku, ras, maupun kebangsaan.
Selain identitas yang bersifat kodrati, ada juga identitas akibat dari usaha
seseorang yang bersifat nonkodrati, tidak tetap dan dapat berubah, seperti identitas
yang diperoleh dari pendidikan, status sosial, dan tindakan berulang yang
dilakukan. Identitas yang diperoleh akibat dari tindakan berulang yang
dilakukan dapat disebut sebagai julukan atau label yang diberikan kelompok atau
masyarakat kepada individu tertentu. Lingkungan berpengaruh kuat terhadap
identitas individu, karena melalui interaksi dengan lingkungan, orang
senantiasa dapat mengkonstruksi dan dikonstruksi identitasnya. Dalam kenyataan
sehari-hari identitas dapat berupa pengakuan subjektif yang diberikan kelompok
kepada pihak lain di luar kelompoknya atau dapat juga merupakan pernyataan
orang dalam yang disematkan kepada kelompoknya sendiri, terkadang menimbulkan
diskriminasi antara kelompok dominan terhadap kelompok minoritas
Sikap dan
pandangan diskriminatif yang muncul dapat dilihat sebagai dorongan dan
kebutuhan yang tidak dapat dimunculkan secara terbuka dalam interaksi sosial
sehari-hari di tengah masyarakat karena bertentangan dengan standar moral,
norma, kaidah dan nilai yang diidealkan secara sosial. Sikap dan pandangan
diskriminatif semacam inilah yang sedianya akan disasar dengan KUHP anti
diksriminasi. Persoalannya, sikap dan pandangan diskriminatif semacam ini seringkali
sangat sulit untuk dibuktikan secara legal formal karena sikap dan pandangan
semacam ini lebih banyak muncul dalam ruang-ruang percakapan dan interaksi
sehari-hari. Disinilah terletak tantangan persoalan yaitu di satu sisi ada
individu yang merasa dilanggar hak asasinya akibat sikap dan perlakuan
diskriminatif berdasar identitas sosial budayanya, namun di sisi lain sangat
sulit untuk membuktikan dasar-dasar sikap dan perlakuan diskriminatif tersebut
secara legal formal