Tampilkan postingan dengan label cybercrime. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cybercrime. Tampilkan semua postingan

CYBER-PANDEMIC: MASALAH HUKUM SIBER DI MASA PANDEMI COVID-19

 

CYBER-PANDEMIC: MASALAH HUKUM SIBER DI MASA PANDEMI COVID-19

 

1.      PENDAHULUAN

Organisasi Kesehatan Dunia menyatakan COVID-19 sebagai pandemi setelah terjadinya breakout di kota Wuhan, Cina. Penyakit ini telah berdampak negatif terhadap ekonomi global dan kehidupan sehari-hari. Sebagian besar negara di dunia telah memberlakukan pembatasan perjalanan, lockdown, dan langkah-langkah jarak sosial. Dalam situasi saat ini, Teknologi Informasi dan Komunikasi memainkan peran penting dalam menghubungkan orang karena kontak fisik harus sangat dibatasi. Mayoritas organisasi pendidikan telah mengadopsi platform online, siswa dan guru sama-sama bekerja dari rumah. Selain itu, bisnis jual beli, sistem e-kesehatan, pengiriman makanan, dan belanja bahan makanan online juga mengalami permintaan yang sangat tinggi.

Karena meningkatnya kontak antar manusia secara online ini, penyerang siber menganggap COVID-19 sebagai kesempatan untuk meluncurkan serangan demi keuntungan finansial dan untuk melaksanakan niat jahat mereka. Sistem perawatan kesehatan diserang dengan ransomware dan sumber daya seperti kerahasiaan catatan pasien, dan integritas menjadi berisiko untuk bocor ke tangan pelaku kejahatan tersebut. Orang-orang menjadi mangsa serangan phishing melalui konten terkait COVID-19.[1]

Sejakpandemi COVID-19, fokus pada perlindungan data pribadi yang ketat atau menjaga privasi individu menjadi lebih rumit dengan kebutuhan untuk mendukung upaya kesehatan masyarakat yang memerlukan beberapa tingkat pengawasan global yang dibantu dengan teknologi digital baru. Hal ini menarik perhatian terhadap teknologi Internet of Things (IoT) karena kemampuannyauntuk beroperasi secara mandiri untuk mengumpulkan, menganalisis, dan berbagi data tentang lingkungan fisik, yang menjadikannya elemen penting dalam digitalisasi manajemen pandemi. Akan tetapi, mengamankan perangkat IOT dan memastikan tingkat pemeliharaan setara dengan sistem kritis lainnya, seperti khas industri telekomunikasi, misalnya, akan memerlukan peningkatan biaya awal untuk produksi.[2]Kerentanan digital tersebut berpotensi memunculkan masalah hukum siber. Dalam tulisan ini, potensi masalah beserta landasan hukum yang mengaturnya akan didiskusikan secara lebih rinci.

 

2.      PEMBAHASAN

2.1.   Masalah Hukum yang Timbul dari Cyber-Pandemic

Hukum siber digunakan untuk menggambarkan masalah hukum terkait penggunaan teknologi komunikasi, khususnya “cyberspace” yang dikenal sebagai Internet. Hukum siber berbeda dari hukum lain tetapi mencakup kejahatan dunia maya termasuk kekayaan intelektual, privasi, kebebasan berekspresi, dan yurisdiksi. Hukum siber adalah upaya untuk menerapkan hukum yang dirancang untuk dunia fisik, untuk aktivitas manusia di Internet. Berikut ini adalah beberapa kegiatan yang berada di bawah kejahatan dunia maya yaitu[3]:

1.      

2.2.   Konsep Cyber-Pandemic

Cyberpandemic adalah gangguan besar pada layanan komputasi yang dapat memicu kegagalan orde kedua dan ketiga dalam sistem komputasi dan non-komputasi di seluruh dunia. Cyberpandemicdapat dikenali melalui kegagalan yang meluas atau tidak berfungsinya sistem-sistem infrastruktur yang kritis dengan sejumlah besar kerusakan yang terkait dengan masyarakat (seperti fisik, psikologis, atau finansial). Karakteristik daricyberpandemicadalah sebagai berikut[5]:

·  

2.3.   Contoh Kasus

Check Point, sebuah perusahaan cybersecurity, melaporkan bahwa, sejak Januari 2020, lebih dari 4.000 domain internet baru yang terkait dengan COVID-19 telah terdaftar, dan domain-domain tersebut kemungkinan 50 persen lebih berbahaya daripada domain lain.Sebagian besar serangan siber terkait COVID-19 datang dalam bentuk phishing, upaya penipuan untuk mencuri informasi pribadi. Baru-baru ini, ada email yang terlihat dikirim oleh Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO dengan lampiran e-book yang diklaim berisi penelitian ekstensif tentang COVID-19. Alih-alih, dokumen tersebut justru memuat trojan yang mencuri kata sandi, detail kartu kredit, atau informasi karyawan, lalu mengirimkan informasi ini kepada pelaku.

Pandemi COVID-19 lebih berbahaya bagi generasi yang lebih tua dan tampaknya cyberpandemic pun juga akan hampir sama. Generasi pekerja yang lebih tua, lebih cenderung menjadi "imigran digital" yang masih membiasakan diri dengan keterampilan dan digitalisasi TIK selama kerja jarak jauh. Mereka akan menjadi kelompok yang lebih rentan untuk menjadi korban dari pandemi siber tersebut.

Sektor kesehatan juga akan rentan karena memiliki banyak data yang berharga dan sensitif. Sebagai contoh, rumah sakit terbesar kedua di Republik Ceko yang bertanggung jawab untuk menjalankan tes COVID-19 mengalami serangan, yang memaksa rumah sakit untuk sementara waktu mematikan jaringan IT. Dalam sistem kesehatan yang kewalahan oleh wabah COVID-19, serangan ransomware yang melumpuhkan jaringan rumah sakit dapat menyebabkan sistem berhenti bekerja. Sistem kesehatan Indonesia seharusnya tidak meremehkan biaya ketidakamanan cyber. Hal ini karena beberapa tahun lalu, ransomware WannaCry global membuat informasi online pasien tidak dapat diakses di rumah sakit Dharmais dan Harapan Kita di Jakarta pada tahun 2017.[6]

 

2.4.   Hukum Positif di Indonesia

Cyberpandemicdapat dikategorikan sebagai tindak pidana penggelapan (Pasal 372 dan 374 KUHP). Ketika berhadapan dengan tindak pidana penyebaran malware menimbulkan masalah baru yang akan muncul, karena dalam hukum acara pidana yang berlaku tidak diatur mengenai alat bukti elektronik. Namun demikian, saat ini telah berlaku Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE) yang didalamnya mengatur berbagai aktifitas yang dilakukan dan terjadi di dunia maya, termasuk pelanggaran hukum yang terjadi. Salah satu pelanggaran hukum tersebut adalah penyebaran malware atau ransomware.


2.5.   Perbandingan Pengaturan Hukum

2.5.1.      Singapura

Singapura secara aktif mendukung upaya global dalam memberantas kejahatan dunia maya dengan berpartisipasi dalam berbagai skema, seperti Perjanjian Wassenaar yang mempromosikan perang melawan terorisme, dan menjadi anggota organisasi seperti Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia yang mempromosikan hak kekayaan intelektual. Singapura juga telah menyelaraskan diri dengan persyaratan hukum Konvensi Budapest, meskipun bukan merupakan negara penandatanganan.

Secara lebih khusus, Singapura telah meloloskan undang-undang untuk memberikan yurisdiksi teritorial yang luas, untuk memungkinkan penegakan hukum baik pada kasus di mana pelanggaran terjadi di Singapura, pelaku berada di Singapura saat pelanggaran dilakukan, atau fasilitasi pelanggaran dilakukan oleh komputer di Singapura. Dimaksudkan sebagai pencegah, aturan tersebut berupaya untuk mencegah kejahatan global siber dunia dari Singapura, meskipun sebenarnya jarang dilakukan.[8]

Analisis Kasus ‘IDI kacung WHO’ Oleh Jerinx ‘Superman is Dead’ dan Reaksi Sang Istri Dalam Teori Agenda Setting

 

Analisis Kasus ‘IDI kacung WHO’ Oleh Jerinx ‘Superman is Dead’ dan Reaksi Sang Istri Dalam Teori Agenda Setting


A.    Pendahuluan

Saat ini, banyak peristiwa-peristiwa yang terjadi seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan yang mengarah pada kasus pelanggaran hukum sekalipun. Melalui media dan internet, setiap saat seseorang bisa saja melakukan pelanggaran hukum,  baik dalam kasus besar maupun kecil sekalipun. Salah satu kasus yang belakangan sering  terjadi dan harus berurusan dengan pihak kepolisian adalah tentang kasus pencemaran nama baik dan ujaran kebencian. Kasus ini merupakan salah satu contoh kasus cybercrime yang semakim meningkat.

Tercatat, sepanjang tahun 2017 lalu, Polri telah menangani 3.325 kasus kejahatan hate speech atau ujaran kebencian. Angka tersebut naik 44,99% dari tahun sebelumnya, yang berjumlah 1.829 kasus. Sedangkan hate speech dengan kasus pencemaran nama baik sebanyak 444 kasus (Medistiara, 2017). Sementara pada tahun 2018, ada sekitar 1.271 kasus untuk pencemaran nama baik, dan kasus ujaran kebencian mencapai 255 kasus. Untuk tahun 2019, dari periode Januari-Juni, kasus pencemaran nama baik mencapai 657 kasus, sedangkan untuk kasus ujaran kebencian ada 101 kasus  (Arnaz, 2019).

Belakangan ini, salah satu kasus pencemaran nama baik dan ujaran kebencian yang menjadi pembicaraan publik di dunia maya adalah tentang kasus yang melibatkan drummer salah satu band yang cukup terkenal di Indonesia, yaitu JerinxSuperman is Dead (SID)’ atay yang memiliki nama asli I Gede Ari Astina. Kasus yang akhirnya menyeret dirinya ke penjara adalah tentang bagaimana Jerinx dianggap telah malakukan pencemaran nama baik dan melakukan ujaran kebencian terhadap IDI (Ikaran Dokter Indonesia), pada kasus “IDI Kacung WHO”.  Pada makalah ini akan dibahas mengenai seperti apa analisis kasus “IDI Kacung WHO”, khususnya jika dilihat berdasarkan beori agenda setting. 

 

B.     Pembahasan

1.      Kasus ‘IDI kacung WHO’ Oleh Jerinx

Personel salah satu band musik terkenal di Indonesia, Superman is Dead (SID), beberapa saat lalu harus berurusan dengan kepolisian Indonesia. Pasalnya, dummer SID yang bernama I Gede Ari Astina, atau yang lenih dikenal dengan Jerinx, dilaporkan telah mencemarkan nama baik organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Kasus ini lebih dikenal dengan sebutan kasus “IDI Kacung WHO”. Kasus tersebut bermula ketikan Jerinx mengunggah sebuah gambar tulisan pada akun instagramnya, @jrxsid, Sabtu, 13 Juni 2020 lalu. Tulisan dalam gambar itu berbunyi, "Gara-gara bangga jadi kacung WHO, IDI dan RS seenaknya mewajibkan semua orang yang akan melahirkan dites CV19. Sudah banyak bukti jika hasil tes sering ngawur kenapa dipaksakan? Kalau hasil tes-nya bikin stress dan menyebabkan kematian pada bayi/ibunya, siapa yang tanggung jawab?". Tidak sampai disitu, pada unggahan yang sama, Jerinx juga menuliskan caption dalam yang berbunyi, "BUBARKAN IDI! Saya gak akan berhenti menyerang kalian @ikatandokterindonesia sampai ada penjelasan perihal ini!. Rakyat sedang diadu domba dengan IDI/RS? TIDAK, IDI & RS yg mengadu diri mereka sendiri dgn hak-hak rakyat."  (CNN Indonesia, 2020).

Inti pokok yang diungkapkan oleh Jerinx dalah terkait dengan ketidakpuasannya terhadap para Dokter dan Rumah Sakit atas kebijakan yang diberlakukannya selama masa pandemi COVID-19 yang mulai muncul sejak akhir 2019 dan menyebar sejak awal tahun 2020 lalu. COVID-19 adalah adalah virus baru yang terkait dengan keluarga virus yang sama dengan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) dan beberapa jenis virus flu biasa (WHO, 2020). Pada beberapa kesempatan, COVID-19 juga disebut sebagai Severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Sementara coronavirus yang menyebabkan virus ini pada dasarnya adalah kumpulan virus yang bisa menginfeksi sistem pernapasan. Pada banyak kasus, virus ini hanya menyebabkan infeksi pernapasan ringan, seperti flu. Namun, virus ini juga bisa menyebabkan infeksi pernapasan berat, seperti infeksi paru-paru (pneumonia), bahkan dapat menyebabkan kematian. Sementara itu, kasus COVID-19 diketahui lewat penyakit misterius yang melumpuhkan Kota Wuhan, China. Tragedi yang terjadi pada akhir 2019 tersebut terus berlanjut hingga penyebaran virus Corona mewabah ke seluruh dunia (Fadli, 2020).


2.      Analisis kasus ‘IDI kacung WHO’ Oleh Jerinx ‘SID’ Berdasarkan Teori Agenda Setting

Mengenai kasus IDI kacung WHO Oleh Jerinx ‘SID’, jika dikaitkan dengan teori agenda setting, maka berikut ini merupakan beberapa indikasi bahwa apa yang terjadi di pemberitaan merupakan bagian dari agenda setting, apa yang diagendakan oleh media massa dan apa yang menjadi agenda publik. Penyusunan agenda setting menjelaskan tiga proses yaitu pertama, berita diseleksi, diolah, dan disajikan yang dikenal dengan proses gatekeeping (Juditha, 2019), yaitu para wartawan, pimpinan redaksi, penyunting gambar dan sebagainya (Kurniasari, 2015). Kedua, menghasilkan agenda media. Ketiga, agenda media memengaruhi pendapat publik tentang isu yang ditonjolkan (Juditha, 2019).

Dalam hal ini, pada tahap pertama adalah bagaimana media menyelaksi berita untuk ditayangkan sehingga ini menjadi agenda media. Agenda media menurut Merheim (1986), diartikan sebagai daftar isu dan peristiwa pada suatu waktu tertentu yang disusun sesuai dengan urutan kepentingannya. Agenda media terdiri dari pokok persoalan, aktor, peristiwa, anggapan, dan pandangan yang memanfaatkan waktu dan ruang dalam publikasi yang tersedia untuk disampaikan pada publik  (Juditha, 2019). Dalam hal ini, sejumlah agenda media yang ditonjolkan adalah 1) tentang keterlibatan drummer SID, salah satu band terkenal di Indonesia pada suatu kasus yang mengharuskannya berususan dengan polisi; 2) tentang pencemaran nama baik IDI yang disebut sebagai ‘kacung’ WHO; 3) pelanggaran UU ITE; 4) artis yang melakukan pelanggaran hukum; 5) artis terkenal yang menjadi tersangka dan harus dipenjara.


Ini hanya versi sampelnya saja ya...
Untuk file lengkap atau mau dibuatkan custom, silahkan PM kami ke
WA : 
0882-9980-0026
(Diana)