Tampilkan postingan dengan label undang-undang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label undang-undang. Tampilkan semua postingan

Polemik RUU Cipta Kerja Berdasarkan Perspektif Ketenagakerjaan

 

Polemik RUU Cipta Kerja Berdasarkan Perspektif Ketenagakerjaan


A.    Pendahuluan

Sumber daya manusia merupakan aspek penting bagi perkembangan suatu negara. Dalam hal ini, jika keberadaan sumber daya alam sudah melimpah, namun tidak ada sumber daya manusia sebagai pengelolanya, maka hal tersebut tidak akan berarti. Begitu juga sebaliknya, adanya sumber daya manusia harus didukung oleh ketersediaan sumber daya alam. Oleh karena itu diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi dalam upaya meningkatkan daya saing suatu negara. Selain itu, perkembangan kehidupan dunia ekonomi dan bisnis saat ini juga mengalami pergeseran paradigma, yang semula dari ekonomi berbasis sumber daya menuju ke paradigma ekonomi berbasis pengetahuan dan kreativitas. Hal ini menunjukkan bahwa sumber daya manusia saat ini memiliki peran penting dalam kehidupan dunia ekonomi dan bisnis. Oleh karena itu, pembangunan nasional saat ini, terutama di bidang ketenagakerjaan, ekonomi dan bisnis, diarahkan kepada pengembangan sumber daya manusia untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan manusia itu sendiri(Widiastuti, 2013).

Sayangnya peningkatan sumber daya manusia saat ini justru malah membawa ancaman tersendiri bagi kelestarian sumber daya alam dan pembangunan nasional. Hal ini disebabkan karena semakin banyak jumlah SDM maka semakin banyak pula kebutuhan yang harus dipenuhi. Pertumbuhan jumlah SDM yang tinggi inilah yang kemudian menimbulkan berbagai masalah dan hambatan bagi upaya-upaya pembangunan di negara berkembang, termasuk Indonesia. Hal ini dikarenakan pertumbuhan penduduk yang tinggi akan menyebabkan cepatnya pertambahan jumlah tenaga kerja, sedangkan kemampuan negara berkembang dalam menciptakan kesempatan kerja baru sangat terbatas (Arsyad, 2004). Akibatnya masalah pengangguran semakin banyak dan meluas. Sama halnya yang terjadi di Indonesia, meskipun selama 10 tahun terakhir tingkat pengangguran di Indonesia menurun cukup tinggi,namun masalah pengangguran dan ketenagakerjaan sampai saat ini masih menjadi perhatian utama pemerintah Indonesia. Hal ini disebabkan karena masih terdapat beberapa permasalahan yang menyebabkan penyerapan tenaga kerja di Indonesia belum maksimal, salah satunya adalah tersedianya lapangan pekerjaan dan kurangnya sumber daya manusia yang berkualitas(Soleh, 2017).

Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya pembangunan sektor ketenagakerjaan yang merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang selama ini dilaksanakan. Tenaga kerja merupakan faktor penting dan potensial dalam menggerakkan roda pembangunan, khususnya di bidang ekonomi. Tenaga kerja potensial akan mempengaruhi produktivitas nasional dan pendapatan nasional.Semakin besar produktivitas dan pendapatan nasional berarti pertumbuhan ekonomi semakin baik. Disinilah posisi tenaga kerja sangat strategis dalam rangka mencapai pertumbuhan ekonomi nasional sebagaimana yang diharapkan. Selain itu, peraturan perundang-undangan mengenai ketenagakerjaan juga turut dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman untuk mewujudkan keadilan bagi semua pihak, agar semua tenaga kerja Indonesia dapat terlindungi, merasa aman, tentram, dan sejahtera. Salah satunya peraturan perundang-undangan terkait dengan masalah ketenagakerjaan yaitu Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja, yang mana RUU tersebut baru dipersiapkan awal tahun 2020 lalu.


B.     Pembahasan

Pada dasarnya, tenaga kerja adalah semua penduduk yang berada dalam usia kerja. Menurut UU No. 13 tahun 2003 Bab I pasal 1 ayat 2 disebutkan bahwa tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. UU ketenagakerjaan ini tidak memberikan batasan umur dalam definisi tenaga kerja, namun pada undangundang tersebut melarang mempekerjakan anak – anak. Sedangkan menurut UU No. 25 tahun 1997, tenaga kerja adalah penduduk yang berusia 15 tahun atau lebih. Sehingga anak-anak menurut No. 25 tahun 1997 ini adalah penduduk yang berusia kurang dari 15 tahun. Dalam hal ini, tenaga kerja terdiri dari angkata kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja atau labor force adalah bagian tenaga kerja yang ingin dan yang benar-benar menghasilkan barang dan jasa, yang terdiri dari golongan yang bekerja dan golongan yang menganggur dan mencari pekerjaan. Kelompok bukan angkatan kerja terdiri dari golongan yang bersekolah, golongan yang mengurus rumah tangga, dan golongan lain – lain atau penerima pendapatan. Selain itu, ada juga golongan dalam kelompok bukan angkatan kerja sewaktu – waktu dapat menawarkan jasanya untuk bekerja. Oleh sebab itu, kelompok ini sering dinamakan potensial labor force (Simanjuntak, 1985).

Sejarah Peraturan Penyiaran Indonesia Sejak Era Kemerdekan

Sejarah Peraturan Penyiaran Indonesia Sejak Era Kemerdekan


Penyiaran sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia di selueuh dunia, termausk didalamnya di Indonesia. Penyiaran berasal dari kata dasar siar, yang memiliki arti sebagai meratakan ke mana-mana atau memberitahukan kepada umum (melalui radio, surat kabar, dan sebagainya); mengumumkan (berita). Siar juga memiliki art sebagai menyebarkan atau mempropagandakan (pendapat, paham, agama) atau mengirimkan (lagu-lagu, musik, pidato, dan sebagainya) melalui media. Sementara penyiaran sendiri memiliki arti sebagai proses, cara, perbuatan menyiarkan (KBBI, 2012-2020).

Mengenai penyiaran, sejarah kemuculannya telah terjadi sejak lama, lebih tepatnya ketika media penyiaran pertama kali ditemukan oleh seorang ahli fisika Jerman bernama Heinrich Hertz pada tahun 1887, dimana ia berhasil menciptakan media yang bsrhasil mengirim dan menerima gelombang radio. Hasil penelitian ini kemudian terus dikembangkan hingga tercipta media radio yang dapat digunakan sebagai media penyiaran seperti saat ini. Di Indonesia sendiri, cikal bakal kemunculan penyiaran sudah terjadi sejak sebelum Indonesia memasuki era kemerdekaan. Hal terjadi pada tahun 1925, atau masih pada masa pemerintahan Hindia-Belanda. Peristiwa cikal bakal kemunculan ini ditandai dengan keberhasilan Prof Komnas dan Dr. De Groot melakukan komunikasi radioa dengan menggunakan stasiun relai di Malabar, Jawa Barat. Kejadian ini kemudian diikuti dengan berdirinya Batavia Radio Vereniging dan NIROM. Sejak saat itu, perkembangan dunia penyiaran mulai berkembang, termasuk terbentuknnya organisasi persatuan radio amatir. Bahkan organisasi penyiaran memiliki peranan yang penting dalam proses kemerdekaan Indonesia (Morissan, 2018).

Dalam hal ini, penyiaran melalui radio merupakan penyiaran yang cara baru. Sebelum radio ditemukan, konsep-konsep penyiaran sebenarnya juga sudah mulai terjadi, dimana ini leboh digunakan dengan media cetak. Namun dengan ditemukannya radio, proses penyiaran jadi semakin cepat dilakukan. Dan ini menjadi cikal bakal terjadinya proses penyiaran modern seperti saat ini, termasuk penggunan televisi, hingga peranan komputer dan internet yang menciptalan konsep penyiaran digital seperti sekarang ini.Berkaitan dengan hal ini, maka dalam tulisan ini akan membahas tentang peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah Indonesia dalam masalah penyiaran dalam negeri, khususnya setelah mamasuki era kemerdekaan di tahun 1945.

Setelah masa kemerdekaan, media radio semakin banyak bermunculan, khusunya untuk radio amatir. Proses penyiaran mulai banyak dilakukan. Namun dengan semakin banyaknya radio amatir yang bermunculan (1950-1952), pada akhirnya pada tahun 1952 pemerintah mulai represif dengan mengeluaran ketentuan bahwa pemancar radioa matir dilarang mengucara, kecuali pemancar radio milik pemerintah, dan bagi yang melanggar akan dikenakan sanksi subversif. Kegiatan amatir radio terpaksa dibekukan pada tahun 1952-1965. Pembekuan ini diperkuat dengan UU no. 5 tahun 1964, yang menyebutkan adanya penghukuman bagi siapapun yang memilikiradio pemancar tanpa seizin pihak berwenang. Namun setelah runtuhnya era Orde Lama, kemunculan radio amatir ini tidak bisa dibendung lagi. Disisi lain setelah kemerdekaan, pada tahun 11 September 1945, RRI (Radio Republik Indonsia), resmi milik pemerintah, didirikan di eman kota (Morissan, 2018).

            Terlepas dari ini, berikut ini merupakan sejumlah perkembangan peraturan penyiaran yang terjadi di Indonesia semenjak memasuki masa kemerdekaan. Lahirnya UU Penyiaran merupakanamanah daripada UUD 1945, khususnya Pasal5 ayat (1), Pasal 28, Pasal 31 ayat (1), Pasal 32,Pasal 33 dan Pasal 36. Itu bererti bahawa UUPenyiaran merupakan pelaksanaan dari UUD1945, khususnya amanat bidang kebebasanbersyarikat dan berkumpul serta mengeluarkanpikiran, pendidikan, kebudayaan, ekonomi danbahasa (Harmonis, 2013). 

Ultimum Remedium dalam Ketentuan Perpajakan di Indonesia

Ultimum Remedium dalam Ketentuan Perpajakan di Indonesia


A.    Pendahuluan

Pajak adalah bagian penting dalam suatu negara, termasuk didalamnya di Indonesia. Sebab, sumber pendapatan negara Indonesia yang terbesar diantaranya berasal dari sectorpajak yang di bayar masyarakat kepada negara (Hantoyo, Kertahadi, & Handayani, 2016). Selain itu, pajak juga memiliki peranan yang sangat penting dalam perekonomian Indonesia sebagai bagian dari sumber utama bagi Negara Indonesia untuk mendanai Anggaran Pendapatan dan BelanjaNegara (APBN) (Wardani & Wati, 2018).  Dalam hal ini, yang dinamakan sebagai pajak sendiri adalah kewajiban dalambentuk transfer pendapatan dari warganegara (Wajib Pajak) kepada negara berdasarundang-undang yang dipaksakan dandigunakan untuk kepentingan Negara(publik)(Simanjuntak & Mukhlis, 2012).

Sehubungan dengan hal ini, pajak ada banyak, dimana pendapatan dari sektor pajak dalamnegeri diantaranya di dapat dari Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai(PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), BeaPerolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan(BPHTB), Cukai, dan pajak lainnya. Pendapatan pajak ini sangat berperan penting guna kepentinganpembangunan Indonesia(Hantoyo, Kertahadi, & Handayani, 2016). Setiap jenis pajak pada dasarnya memiliki dua fungsi yang sama, yaitu fungsi budgetair yang digunakanuntuk membiayai seluruh pengeluaran rutinmaupun pembangunan negara dan fungsireguleren yang digunakan untuk mengaturkebijakan pemerintah dalam bidang sosialdan ekonomi (Wulandari & Suyanto., 2014).

Meskipun pajak merupakan salah atu sumber pendapatan negara terpenting, namun pada saat yang sama negara sering mendapatkan permsalahan dalam pengumpulannya, dimana setiap tahunnya, pendapatan pajak yang diperoleh pemerntah tidak selalu maksimal. Misalnya saja pada tahun 2019 lalu, pihak penerimaan pajak berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan di tahun 2019 kembali tidak mencapai target. Penerimaan pajak hingga 31 Desember 2019 hanya mampu terkumpul Rp 1.332,1 triliun atau hanya 84,4% dari target di APBN 2019 sebesar Rp 1.577,6 triliun.Dengan realisasi ini maka penerimaan pajak hanya tumbuh 1,4% dibandingkan periode yang sama tahun 2018. Selain itu, ada kekurangan penerimaan (shortfall) pajak sebesar Rp 245,5 triliun di 2019 (Julita S, 2020). Selain itu, mamasuki tahun 2020, pihak Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatatkan penerimaan pajak pada periode Januari hingga Maret 2020 sebesar Rp 241,61 triliun. Angka ini setara 14,71 persen dari target APBN 2020 yang mencapai Rp 1.642,57 tirliun (Fauzia & Setiawan, 2020).

Selain pendapatan pajak yang kurang maksimal, masalah lain yang sering dihadapi pemerintah dalam urusan perpajakan adalah tentang terjadinya sejumlah pelanggaran-penlanggaran yang dilakukam oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab, yang pada akhirnya ini menganggu bidang perpajakan di Indonesia. Biasanya pelanggaran di bidang perpajakan akan diberikan sejumlah sanksi kepada sang pelanggar. Dalam hal ini dalam pemberian sanksi ini ada yang disebut sebagai  Ulmimatum Rimidium. Mengenai istilah ini, maka dalam makalah ini akan dibahas tentang apa yang dimaksud sebagai Ultimum Remedium, khususnya dalam ketentuan perpajakan di Indonesia.

B.     Pembahasan

Pelangaran pajak bukanlah yang yang baru terjadi di Indonesia. Dalam masalah perpajakan peanggaran memang bisa terjadi. Pelanggaran pajak atau tax evasionadalah cara-cara wajib pajak untuk meminimalisasi pajak yang masih harus dibayar dengan cara yang tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan(atau action by out of the law) (Brooks, 2001). Mereka menggunakan berbagai cara supaya tidak membayarkan bajak yang wajib dibayarkan. Mengenai terjadinya pelanggaran pajak ini, yang cukup sering terjadi adalah tentang jasa titipan (jastip), ini menjadi cara favorit bagi masyarakat Indonesia untuk membeli barang tanpa harus berpergian ke luar negeri. Namun metode ini kerapdisalahgunakan para pelaku jastip dengan membawa barang melebihi ketentuan. Pihak Bea dan Cukai Indonesia mengungkapkan di tahun 2019, hingga 25 September 2019, total hak pajak negara yang berhasil diselamatkan dari transaksi jastip sekitar Rp 4 miliar.Jumlah tersebut berasal dari penindakan 422 kasus pelanggaran jastip (Victoria & Fajrian, 2019). Jenis pelanggaran lain yang juga sering dilakukan oleh para wajib pajak diantaranya adalah:

Ketentuan Berlakunya Restitusi Pajak di Indonesia


Ketentuan Berlakunya Restitusi Pajak di Indonesia
A.    Pendahuluan
Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (DJ Pajak, n.d.). Pajak merupakan salah satu instrumen ekonomi suatu negara. Dengan demikian, maka dapat dikethaui bahwa pajak merupakan sumber pendapatan negara yang sangat penting bagi penyelengaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan nasional. Berkaitan dengan hal ini, seperti yang diketahui bahwa di Indonesia sistem pemungutan pajak yang berlaku adalah sistem “self assessment”, artinya bahwa Wajib Pajak diwajibkan menghitung, memperhitungkan dan membayar sendiri jumlah pajak yang seharusnya terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, sehingga penentuan besarnya pajak yang terhutang berada pada Wajib Pajak sendiri. Bersamaan dengan itu, terkadang dalam pembayaran pajak, seorang wajib pajak dapat mengalami kelebihan pembayaran. Oleh sebab itulah, di Indonesia, ditetapkan suatu kententuan. Berkaitan dengan hal ini, dalam makalah ini akan membahas tentang seperti apa ketentuan restitusi pajak yang belaku di Indonesia.
B.     Pembahasan
1.      Restritusi Pajak
Djuanda dan Lubis (2011) menyatakan bahwa restitusi merupakan kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai terjadi karena jumlah Pajak Masukan yang dibayar lebih besar daripada jumlah Pajak Keluaran yang dipungut dalam suatu Masa Pajak (Supit, Saerang, & Sabijono, 2014). Restitusi pajak adalah permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang dilakukan oleh wajib pajak kepada negara. Kelebihan pembayaran pajak ini merupakan hak bagi wajib pajak. UU KUP secara umum menyebut restitusi sebagai pengembalian kelebihan pembayaran pajak. Artinya, negara membayar kembali atau mengembalikan pajak yang telah dibayar. pajak. Artinya, negara membayar kembali atau mengembalikan pajak yang telah dibayar.

2.      Ketentuan Restitusi Pajak di Indonesia
a.      Kentuan Peratutan Perundang-undangan
Indonesia merupakan Negara hukum, oleh sebab itulah, untuk segala urusan kehidupan masyrakatnya, semua ditentukan oleh hukum, termasuk menganai masalah pajak, khususnya restitusi pajak. Dalam hal ini, dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak dan memberikan kepastian hukum dalam rangka penghitungan dan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, pemerintah menetapkan beberapa peraturan perundang-undangan dalam mengurus masalah restitusi pajak ini, dua diantaranya adalah diantaranya yaitu:
·         Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP)
·         Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2011 Tentang Tata Cara Penghitungan Dan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak

b.      Ketentuan jenis pajak yang dapat dimintakan pengembaliannya
Dalam hal ini, restitusi dapat diajukan terhadap semua jenis pajak (Supit, Saerang, & Sabijono, 2014). Termasuk didalamnya adalah:
·         Pajak Penghasilan
·         Pajak Pertambahan Nilai
·         Pajak Penjualan atas Barang Mewah,
·         Pajak Bumi dan Bangunan

c.       Ketentuan kondisi pengajuan pengembalian
Pengajuan pengembalian pada dasarnya dapat dilakukan oleh siapapun yang termasuk sebagai Wajib Pajak, yaitu orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (Pasal 1 ayat 2 UU KUP). Hal ini karena restitusi atau pengembalian pajak yang lebih dibayarkan, merupakan hak dari setiap wajib pajak. Namun demikian, untuk mengajukan pengembalian pembayaran ini, setidaknya harus sesuai dalam kondisi, seperti (DJ Pajak, 2019):
·         Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang (kondisi ini terjadi dimana Wajib Pajak membayar pajak padahal seharusnya tidak terutang pajak)
·         Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak PPh, PPN, dan/atau PPnBM (kondisi in terjadi dimana Wajib Pajak membayar pajak lebih besar dari yang semestinya).
d.      Ketentuan tata cara pengembalian kelebihan pembayaran pajak
Sebelum pembayaran pajak yang berlebih dikembalikan, ada beberapa tata cara yang harus dipenuhi. Hal ini tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2011 Tentang Tata Cara Penghitungan Dan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak.
e.       Ketentuan jangka waktu pengembalian
Secara garis besar ketentuan jangka waktu pengembalian kelebihan pembayaran PPh, PPN, dan PPnBM, maka setelah diperhitungkan dengan Utang Pajak akan dikembalikan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan setelah semua syarat dan ketentuan pengembalian terpenuhi, hal ini tercantum dalan Pasal 12 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2011.
C.    Kesimpulan
Sehubungan dengan restitusi pajak di Indonesia, beberapa paraturan perundang-undangan yang belaku di Indonesia dalam pengaturan restitusi pajak adalah tercantun dalam: 1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP); dan 2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2011 Tentang Tata Cara Penghitungan Dan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak. Namun demikian, ketentuan lebih jelas dalam urusan restitusi diatur dalam ketentuan-ketentuan yang ada dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2011. Termasuk mengenai kondisi, syarat, tata cara, hingga ketentuan jangka waktu pengembalian, dan lain sebagainya. Lebih lanjut untuk tata cara pengembalian diatur dalam Pasal 5 sampai 11, sementara jangka waktu pengembalian diatur dalam Pasal 12.

Ini hanya versi sampelnya saja ya...

Untuk file lengkap atau mau dibuatkan custom, silahkan PM kami ke

WA 0882-9980-0026
(Diana)

Happy order kakak ^^