Tampilkan postingan dengan label pajak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pajak. Tampilkan semua postingan

Ultimum Remedium dalam Ketentuan Perpajakan di Indonesia

Ultimum Remedium dalam Ketentuan Perpajakan di Indonesia


A.    Pendahuluan

Pajak adalah bagian penting dalam suatu negara, termasuk didalamnya di Indonesia. Sebab, sumber pendapatan negara Indonesia yang terbesar diantaranya berasal dari sectorpajak yang di bayar masyarakat kepada negara (Hantoyo, Kertahadi, & Handayani, 2016). Selain itu, pajak juga memiliki peranan yang sangat penting dalam perekonomian Indonesia sebagai bagian dari sumber utama bagi Negara Indonesia untuk mendanai Anggaran Pendapatan dan BelanjaNegara (APBN) (Wardani & Wati, 2018).  Dalam hal ini, yang dinamakan sebagai pajak sendiri adalah kewajiban dalambentuk transfer pendapatan dari warganegara (Wajib Pajak) kepada negara berdasarundang-undang yang dipaksakan dandigunakan untuk kepentingan Negara(publik)(Simanjuntak & Mukhlis, 2012).

Sehubungan dengan hal ini, pajak ada banyak, dimana pendapatan dari sektor pajak dalamnegeri diantaranya di dapat dari Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai(PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), BeaPerolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan(BPHTB), Cukai, dan pajak lainnya. Pendapatan pajak ini sangat berperan penting guna kepentinganpembangunan Indonesia(Hantoyo, Kertahadi, & Handayani, 2016). Setiap jenis pajak pada dasarnya memiliki dua fungsi yang sama, yaitu fungsi budgetair yang digunakanuntuk membiayai seluruh pengeluaran rutinmaupun pembangunan negara dan fungsireguleren yang digunakan untuk mengaturkebijakan pemerintah dalam bidang sosialdan ekonomi (Wulandari & Suyanto., 2014).

Meskipun pajak merupakan salah atu sumber pendapatan negara terpenting, namun pada saat yang sama negara sering mendapatkan permsalahan dalam pengumpulannya, dimana setiap tahunnya, pendapatan pajak yang diperoleh pemerntah tidak selalu maksimal. Misalnya saja pada tahun 2019 lalu, pihak penerimaan pajak berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan di tahun 2019 kembali tidak mencapai target. Penerimaan pajak hingga 31 Desember 2019 hanya mampu terkumpul Rp 1.332,1 triliun atau hanya 84,4% dari target di APBN 2019 sebesar Rp 1.577,6 triliun.Dengan realisasi ini maka penerimaan pajak hanya tumbuh 1,4% dibandingkan periode yang sama tahun 2018. Selain itu, ada kekurangan penerimaan (shortfall) pajak sebesar Rp 245,5 triliun di 2019 (Julita S, 2020). Selain itu, mamasuki tahun 2020, pihak Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatatkan penerimaan pajak pada periode Januari hingga Maret 2020 sebesar Rp 241,61 triliun. Angka ini setara 14,71 persen dari target APBN 2020 yang mencapai Rp 1.642,57 tirliun (Fauzia & Setiawan, 2020).

Selain pendapatan pajak yang kurang maksimal, masalah lain yang sering dihadapi pemerintah dalam urusan perpajakan adalah tentang terjadinya sejumlah pelanggaran-penlanggaran yang dilakukam oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab, yang pada akhirnya ini menganggu bidang perpajakan di Indonesia. Biasanya pelanggaran di bidang perpajakan akan diberikan sejumlah sanksi kepada sang pelanggar. Dalam hal ini dalam pemberian sanksi ini ada yang disebut sebagai  Ulmimatum Rimidium. Mengenai istilah ini, maka dalam makalah ini akan dibahas tentang apa yang dimaksud sebagai Ultimum Remedium, khususnya dalam ketentuan perpajakan di Indonesia.

B.     Pembahasan

Pelangaran pajak bukanlah yang yang baru terjadi di Indonesia. Dalam masalah perpajakan peanggaran memang bisa terjadi. Pelanggaran pajak atau tax evasionadalah cara-cara wajib pajak untuk meminimalisasi pajak yang masih harus dibayar dengan cara yang tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan(atau action by out of the law) (Brooks, 2001). Mereka menggunakan berbagai cara supaya tidak membayarkan bajak yang wajib dibayarkan. Mengenai terjadinya pelanggaran pajak ini, yang cukup sering terjadi adalah tentang jasa titipan (jastip), ini menjadi cara favorit bagi masyarakat Indonesia untuk membeli barang tanpa harus berpergian ke luar negeri. Namun metode ini kerapdisalahgunakan para pelaku jastip dengan membawa barang melebihi ketentuan. Pihak Bea dan Cukai Indonesia mengungkapkan di tahun 2019, hingga 25 September 2019, total hak pajak negara yang berhasil diselamatkan dari transaksi jastip sekitar Rp 4 miliar.Jumlah tersebut berasal dari penindakan 422 kasus pelanggaran jastip (Victoria & Fajrian, 2019). Jenis pelanggaran lain yang juga sering dilakukan oleh para wajib pajak diantaranya adalah:

PPN tentang Kawasan Berikat: Ekspor Fiktif Perusahaan Tekstil

 

PPN tentang Kawasan Berikat: Ekspor Fiktif Perusahaan Tekstil


A.    Pendahuluan

Pajak sendiri adalah kewajiban dalambentuk transfer pendapatan dari warga negara (Wajib Pajak) kepada negara berdasarundang-undang yang dipaksakan dan digunakan untuk kepentingan Negara(publik) (Simanjuntak & Mukhlis, 2012). Pajak adalah bagian penting dalam suatu negara, termasuk didalamnya di Indonesia. Sebab, sumber pendapatan negara Indonesiayang terbesar diantaranya berasal dari sektor pajak yang di bayar masyarakat kepada negara (Hantoyo, Kertahadi, & Handayani, 2016). Oleh sebab itulah penerimaan pajak merupakan hal yang sangat penting bagi keberlangsungan negara.

Jenis pajak ada banyak, dimana pendapatan dari sektor pajak dalamnegeri diantaranya di dapat dari PajakPenghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai(PPn), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), BeaPerolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan(BPHTB), Cukai, dan pajak lainnya. (Hantoyo, Kertahadi, & Handayani, 2016). Sementara itu, salah satu bagian penting lainnya dalam penerimaan pajak adalah subyek pajak. Subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk dikenakan pajak. Namun, perlu diketahui bahwa hak dan kewajiban subjek pajak berbeda-beda. Bahkan, tidak semua subjek pajak memiliki kewajiban perpajakan seperti membayar dan melaporkan pajak ini tergantung dari masing-masing jenisnya (Online Pajak, 2018). Jenis subyek pajak ada panyak, seperti orang pribadi, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak, badan, dan Bentuk Usaha Tetap (Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 36 Tahun 2008).

Berdasarkan penjelasan diatas, maka dalam makalah ini akan dfofokuskan pada pembahasan tentang salah satu jenis pajak, Pajak Pertambahan Nilai(PPn), khusunya yang bersangkutan dengan Kawasan Berikat. Nantinya, pembahasan akan disertai dengan salah satu kasus yang pernah terjadi yang berakitan dengan PPn da kasawasan berikat tersebut.

B.     Pembahasan

............


Mengenai hal ini, kawasan berikat pada dasarnya merupakan tempat khusus untuk menyimpan/menimbun barang impor/barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean untuk diolah dan digabungkan. Disini, hasil pengolahannya paling banyak digunakan sebagai barang eskpor. Sementara itu, untuk mendapatkan fasilitas PPN, pengusaha kawasan berikat harus membuat faktur pajak yang nantinya dilampirkan dalam SPT Masa. Selain itu, penerapan kebijakan kawasan berikat ini juga dilakukan untuk meredam pelemahan ekspor akibat penguatan nilai tukar dollar Amerika terhadap seluruh mata uag dunia termasuk rupiah. Kebijakan kawasan berikat yang juga bertujuan untuk mendorong ekspor (Rafinska, 2018).

.........



Ini hanya versi sampelnya saja ya...


Untuk file lengkap atau mau dibuatkan custom, silahkan PM kami ke


WA : 

0882-9980-0026

(Diana)

Ketentuan Berlakunya Restitusi Pajak di Indonesia


Ketentuan Berlakunya Restitusi Pajak di Indonesia
A.    Pendahuluan
Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (DJ Pajak, n.d.). Pajak merupakan salah satu instrumen ekonomi suatu negara. Dengan demikian, maka dapat dikethaui bahwa pajak merupakan sumber pendapatan negara yang sangat penting bagi penyelengaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan nasional. Berkaitan dengan hal ini, seperti yang diketahui bahwa di Indonesia sistem pemungutan pajak yang berlaku adalah sistem “self assessment”, artinya bahwa Wajib Pajak diwajibkan menghitung, memperhitungkan dan membayar sendiri jumlah pajak yang seharusnya terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, sehingga penentuan besarnya pajak yang terhutang berada pada Wajib Pajak sendiri. Bersamaan dengan itu, terkadang dalam pembayaran pajak, seorang wajib pajak dapat mengalami kelebihan pembayaran. Oleh sebab itulah, di Indonesia, ditetapkan suatu kententuan. Berkaitan dengan hal ini, dalam makalah ini akan membahas tentang seperti apa ketentuan restitusi pajak yang belaku di Indonesia.
B.     Pembahasan
1.      Restritusi Pajak
Djuanda dan Lubis (2011) menyatakan bahwa restitusi merupakan kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai terjadi karena jumlah Pajak Masukan yang dibayar lebih besar daripada jumlah Pajak Keluaran yang dipungut dalam suatu Masa Pajak (Supit, Saerang, & Sabijono, 2014). Restitusi pajak adalah permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang dilakukan oleh wajib pajak kepada negara. Kelebihan pembayaran pajak ini merupakan hak bagi wajib pajak. UU KUP secara umum menyebut restitusi sebagai pengembalian kelebihan pembayaran pajak. Artinya, negara membayar kembali atau mengembalikan pajak yang telah dibayar. pajak. Artinya, negara membayar kembali atau mengembalikan pajak yang telah dibayar.

2.      Ketentuan Restitusi Pajak di Indonesia
a.      Kentuan Peratutan Perundang-undangan
Indonesia merupakan Negara hukum, oleh sebab itulah, untuk segala urusan kehidupan masyrakatnya, semua ditentukan oleh hukum, termasuk menganai masalah pajak, khususnya restitusi pajak. Dalam hal ini, dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak dan memberikan kepastian hukum dalam rangka penghitungan dan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, pemerintah menetapkan beberapa peraturan perundang-undangan dalam mengurus masalah restitusi pajak ini, dua diantaranya adalah diantaranya yaitu:
·         Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP)
·         Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2011 Tentang Tata Cara Penghitungan Dan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak

b.      Ketentuan jenis pajak yang dapat dimintakan pengembaliannya
Dalam hal ini, restitusi dapat diajukan terhadap semua jenis pajak (Supit, Saerang, & Sabijono, 2014). Termasuk didalamnya adalah:
·         Pajak Penghasilan
·         Pajak Pertambahan Nilai
·         Pajak Penjualan atas Barang Mewah,
·         Pajak Bumi dan Bangunan

c.       Ketentuan kondisi pengajuan pengembalian
Pengajuan pengembalian pada dasarnya dapat dilakukan oleh siapapun yang termasuk sebagai Wajib Pajak, yaitu orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (Pasal 1 ayat 2 UU KUP). Hal ini karena restitusi atau pengembalian pajak yang lebih dibayarkan, merupakan hak dari setiap wajib pajak. Namun demikian, untuk mengajukan pengembalian pembayaran ini, setidaknya harus sesuai dalam kondisi, seperti (DJ Pajak, 2019):
·         Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang (kondisi ini terjadi dimana Wajib Pajak membayar pajak padahal seharusnya tidak terutang pajak)
·         Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak PPh, PPN, dan/atau PPnBM (kondisi in terjadi dimana Wajib Pajak membayar pajak lebih besar dari yang semestinya).
d.      Ketentuan tata cara pengembalian kelebihan pembayaran pajak
Sebelum pembayaran pajak yang berlebih dikembalikan, ada beberapa tata cara yang harus dipenuhi. Hal ini tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2011 Tentang Tata Cara Penghitungan Dan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak.
e.       Ketentuan jangka waktu pengembalian
Secara garis besar ketentuan jangka waktu pengembalian kelebihan pembayaran PPh, PPN, dan PPnBM, maka setelah diperhitungkan dengan Utang Pajak akan dikembalikan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan setelah semua syarat dan ketentuan pengembalian terpenuhi, hal ini tercantum dalan Pasal 12 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2011.
C.    Kesimpulan
Sehubungan dengan restitusi pajak di Indonesia, beberapa paraturan perundang-undangan yang belaku di Indonesia dalam pengaturan restitusi pajak adalah tercantun dalam: 1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP); dan 2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2011 Tentang Tata Cara Penghitungan Dan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak. Namun demikian, ketentuan lebih jelas dalam urusan restitusi diatur dalam ketentuan-ketentuan yang ada dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2011. Termasuk mengenai kondisi, syarat, tata cara, hingga ketentuan jangka waktu pengembalian, dan lain sebagainya. Lebih lanjut untuk tata cara pengembalian diatur dalam Pasal 5 sampai 11, sementara jangka waktu pengembalian diatur dalam Pasal 12.

Ini hanya versi sampelnya saja ya...

Untuk file lengkap atau mau dibuatkan custom, silahkan PM kami ke

WA 0882-9980-0026
(Diana)

Happy order kakak ^^

STUDI KASUS PELANGGARAN ETIKA BISNIS - SUAP PAJAK PT EASMAN CHRISTENSEN


 PENDAHULUAN
September Tahun 2001, KPMG-Siddharta Siddharta & Harsono terbukti menyuap aparat pajak di Indonesia sebesar US$ 75 ribu. Untuk menyiasati pengeluaran ini, diterbitkan faktur palsu untuk biaya jasa profesional KPMG yang harus dibayar kliennya PT Easman Christensen, anak perusahaan Baker Hughes Inc. yang tercatat di bursa New York.
Kasus penyuapan pajak ini terkuak dari, Penasihat Anti Suap Baker ternyata yang khawatir dengan perilaku anak perusahaannya. Maka, untuk mengantisipasi resiko risiko lebih besar, Baker melaporkan secara suka rela kasus ini dan memecat para eksekutifnya.
Badan pengawas pasar modal AS, Securities & Exchange Commission, menjeratnya dengan Foreign Corrupt Practices Act, undang-undang anti korupsi buat perusahaan Amerika di luar negeri. Akibatnya, hampir saja Baker dan KPMG terseret ke pengadilan distrik Texas. Namun, oleh karena permohonan aker dan itikad baiknya telah melaporkan kasus ini secara sukarela, kasus ini akhirnya diselesaikan di luar pengadilan.

LANDASAN TEORI
Auditing adalah proses pengumpulan dan pengevaluasian bahan bukti tentang informasi yang dapat di ukur mengenai suatu entitas ekonomi yang dilakukan seorang yang kompeten dan independen untuk dapat menentukan dan melaporkan kesesuaian informasi termasuk dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan menurut Arens Loebbecke (1996:1).
Secara umum pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa audit adalah proses secara sistematis yang dilakukan oleh orang berkompeten dan independen dengan mengumpulkan dan mengevaluasi bahan bukti dan bertujuan memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut.
Dalam melaksanakan audit faktor-faktor yang harus diperhatikan adalah:
  1. Dibutuhkan informasi yang dapat diukur dan sejumlah kriteria (standar) yang dapat digunakan sebagai panduan untuk mengevaluasi informasi tersebut.
  2. Penetapan intetitas ekonomi dan periode waktu yang di audit harus jelas untuk menentukan lingkup tanggung jawab auditor.
  3. Bahan bukti harus diperoleh dalam jumlah dan kualitas yang cukup untuk memenuhi tujuan audit.
  4. Kemampuan auditor memahami kriteria yang di gunakan serta sikap independen dalam mengumpulkan bahan bukti yang diperlukan untuk mendukung kesimpulan yang akan diambilnya.

PEMBAHASAN
Kasus suap pajak ini seharusnya tidak boleh terjadi, apabila setiap akuntan mempunyai pengetahuan, pemahaman dan menerapkan etika secara mendalam dalam pelaksanaan pekerjaan profesionalnya. Pekerjaan seorang profesional harus dikerjakan dengan sikap profesional pula, dengan sepenuhnya melandaskan pada standar moral dan etika tertentu. Kemampuan seorang profesional untuk dapat mengerti dan peka terhadap persoalan etika juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan dimana dia berada. Sebuah kasus ironis, oleh karena pengungkapannya justru dilakukan oleh pemegang otoritas pasar modal Amerika Serikat (SEC).
Kasus KPMG-Siddharta Siddharta & Harsono juga melibatkan kantor akuntan publik yang dinilai terlalu memihak kepada kliennya. Pada kasus ini, prinsip- prinsip yang dilanggar yaitu antara lain:
  1. Prinsip integritas. Akuntan yang telah berusaha menyuap untuk kepentingan klien seperti pada kasus di atas dapat dikatakan tidak jujur dan tidak adil dalam melaksanakan tugasnya. Selain prinsip tersebut, akuntan juga telah melanggar prinsip obyektivitas hingga ia bersedia melakukan kecurangan. Di sini terihat bahwa ia telah mengabaikan integritasnya sebagai akuntan publik.
  2. Prinsip Obyektifitas. Dalam hal ini KPMG-Siddharta Siddharta & Harsono bersikap tidak objektif, karena cenderung berat sebelah untuk membela kepentingan kliennya, PT Easman Christensen agar mendapatkan keringanan pembayaran pajak, dan kemudian akuntan mengusulkan pada PT Easman Christensen untuk menyuap pejabat pajak Indonesia. Hasilnya adalah kewajiban pajak yang seharusnya $3,2 juta menyusut menjadi hanya $270 ribu saja.
  3. Prinsip Kompetensi serta Sikap Kecermatan dan Kehati-hatian Profesional. Dalam hal ini, KPMG-Siddharta Siddharta & Harsono tidak berlaku dengan hati-hati karena tidak mempertimbangkan efek buruk yang terjadi atas tindakan yang dilakukannya, yaitu kerugian yang harus ditanggung oleh negara demi keuntungan kliennya dan kelangsungan jasa akuntannya agar digunakan terus oleh kliennya, PT Easman Christensen. Kemahiran profesionalnya tidak digunakan untuk tindakan yang positif, tetapi mengarah ke perbuatan negatif, yaitu mengelabuhi, mengakali, dan menyuap petugas pajak, sehingga hal tersebut jelas dinilai sangat tidak professional.
  4. Prinsip Perilaku Profesional. Dalam hal ini, KPMG-Siddharta Siddharta & Harsono jelas-jelas melanggar prinsip-prinsip profesional, karena:
  • Menyarankan hal yang tidak seharusnya dilakukan kepada kliennya, yaitu melakukan penyuapan demi mendapatkan keringanan pembayaran pajak.
  • Bersekongkol dengan pihak ketiga (petugas pajak) untuk kepentingan klien dan organisasinya, yang berakibat pada kerugian negara dari sektor pajak.
  • Tindakan yang dilakukan KPMG-Siddharta Siddharta & Harsono berkaitan dengan hal-hal benturan kepentingan.

KESIMPULAN
Kasus yang dilakukan oleh KPMG-Siddharta Siriddharta & Harsono terhadap kliennya PT. Easman Christensen telah melanggar prinsip-prinsip etika yang digariskan dalam kode etik akuntansi, yaitu prinsip integritas, objektivitas, Kompetensi serta Sikap Kecermatan dan Kehati-hatian Profesional, dan prinsip perilaku profesional. Tindakan menyarankan klien untuk menyuap petugas pajak merupakan tindakan yang tidak etis bagi seorang akuntan, dimana seorang akuntan seharusnya bertindak jujur dan mengikuti kaidah-kaidah yang ada, termasuk mengatur kewajiban tentang pajak. Akan kesalahannya itu, KPMG-Siddharta Siriddharta & Harsono dan Baker nyaris terseret ke pengadilan distrik Texas.

DAFTAR PUSTAKA
Arens, A. A., dan Loebbecke, J. K. (1996). Auditing, buku-1. Diterjemahkan oleh Amir. Abadi Jusuf. Penerbit Salemba Empat, Jakarta.

Bayles, Michael D. 1981. Professional Ethics, California: Wadsworth Publishing Company.

Behrman, J.N. 1988. Essays on Ethics in Business and the Professions. Prentice Hall.

Jusup, Al Haryono, 2001, Auditing (Pengauditan), Yogyakarta : STIE YKPN.

Sihwahjoeni dan M.Gudono, 2000, Persepsi Akuntan terhadap Kode Etik Akuntan. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol.3, No.2, Juli : 168-184. 

Makalah ini cuma versi sampel aja
Untuk versi lengkap atau
butuh makalah judul lain.
Langsung request aja..
Diana - o85868o39oo9
Dijamin Beresss
Thanks...
Ditunggu ordernya yaa....