Tampilkan postingan dengan label perubahan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label perubahan. Tampilkan semua postingan

Perubahan Sosial dalam New Normal

 

Perubahan Sosial dalam New Normal


A.    Pendahuluan

Sudah lebih dari empat bulan pemerintah Indonesia berfokus dalam upaya mencegah dan menangani penyebaran virus Covid-19. Upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah tersebut telah menimbulkan dampak yang sangat besar dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat, terutama dalam sektor perekonomian. Hal ini disebabkan karena negara-negara di seluruh dunia diminta untuk melakukan pembatasan aktivitas di luar rumah sehingga banyak perusahaan, industri, dan bisnis-bisnis lainnya yang menghentikan sementara aktivitasnya yang semakin lama justru menurunkan pendapatan dan mematikan ekonomi di negara tersebut, termasuk Indonesia. ILO memperkirakan bahwa Covid-19 akan merampas kehidupan dari 195 juta pekerja penuh waktu di seluruh dunia. Selain itu, data ILO juga menunjukkan bahwa sekitar 81% atau empat dari 5 pekerja di seluruh dunia mengalami dampak dari penutupan tempat kerja baik secara parsial maupun penuh, serta sebanyak 2 miliar penduduk dunia yang bergerak di bidang ekonomi informal menjadi pihak yang paling terdampak dari adanya pandemi virus ini. Sebab tidak ada jaring pengamanan sosial yang dapat menyelamatkan bisnis mereka. Oleh karena itu, kondisi dan dampak akibat dari pandemi Covid-19 ini dinilai dapat melebihi dampak dari Krisis Ekonomi Global yang terjadi pada tahun 2018 lalu (Satya, 2020).

Terlebih WHO juga menyatakan bahwa pandemi virus ini kemungkinan tidak ada musnah sepenuhnya dan vaksin dari virus ini kemungkinan baru akan siap pada akhir tahun 2021. Mendengar pernyataan tersebut dalam kondisi yang seperti tentunya pemerintah Indonesia tidak bisa diam saja, sebab jika kondisi ini terus berlangsung, maka akan menimbulkan permasalahan dan konflik sosial baru lainnya. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia berencana untuk hidup berdamai dengan Covid-19 agar dapat memutar kembali roda perekonomiannya. Hal ini kemudian diterjemahkan lebih lanjut menjadi suatu kebijakan ‘new normal’ dan telah diterapkan mulai awal Juni lalu di beberapa wilayah di Indonesia. Dengan kata lain, saat ini masyarakat telah menjalani kehidupan normal baru atau new normal di tengah situasi pandemi virus corona. Dengan adanya new normal, berbagai kegiatan diharapkan bisa berjalan kembali meski vaksin virus corona belum ditemukan(Kurniadi, 2020).

Meskipun dalam new era ini masyarakat diperbolehkan kembali untuk beraktivitas, namun kondisi tersebut tentunya tetap akan berbeda dan tidak akan pernah sama dengan keadaan seperti sebelumnya. Hal ini disebabkan dalam era new normal ini, dalam melaksanakan aktivitasnya di luar rumah, masyarakat diwajibkan untuk tetap menerapkan protokol kesehatan, yaitu menjaga jarak sosial dan mengurangi kontak fisik dengan orang lain, guna mencegah terjadinya penularan dan penyebaran virus Covid-19. Oleh karena itu, dalam new normal ini, akan terjadi banyak perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat, yang mana pada masa sebelumnya, hal tersebut belum atau tidak pernah dilakukan. Berdasarkan latar belakang tersebut, makalah ini akan membahas mengenai perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat selama era new normal.

B.     Pembahasan

Setiap manusia selama masa hidupnya pasti mengalami berbagai perubahan. Perubahan ini ada yang pengaruhnya terbatas maupun luas, perubahan yang lambat dan ada perubahan yang berjalan dengan cepat.Dalam hal ini, manusia memiliki peran sangat penting terhadap terjadinya perubahan masyarakat. Perubahan itu terjadi disebabkan karena hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin melakukan perubahan, karena manusia memiliki sifat selalu tidak puas terhadap apa yang telah dicapainya (Djazifah, 2012). Oleh karenanya, perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat merupakan gejala yang normal dan wajar. Bahkan perubahan tersebut akan selalu terjadidan tidak akan pernah berhenti.
    Perubahan dalam masyarakat tersebut sering disebut juga sebagai suatu perubahan sosial. Kingsley Davis mengartikan perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat. Disisi lain, MacIver mengatakan bahwa perubahan-perubahan sosial merupakan perubahan dalam hubungan sosial atau sebagai perubahan terhadap keseimbangan hubungan sosial(Djazifah, 2012). Sedangkan Soerjono Soekanto (2009) mendefiniskan perubahan sosial sebagai segala perubahan-perubahan dalam masyarakat yang dapat mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk didalamnya menyangkut nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola perilaku organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan lain sebagainya. Perubahan sosial dalam masyarakat ini biasanya bukan merupakan hasil atau produk namun suatu proses, yang mana perubahan tersebut merupakan suatu keputusan bersama yang diambil oleh anggota masyarakat(Baharuddin, 2015).

STUDI KASUS MANAJEMEN PERUBAHAN JAPAN AIRLINES

 

PROFIL PERUSAHAAN 

Japan Airlines adalah salah satu maskapai penerbangan dunia yang sudah dikenal reputasinya yang baik. Baik dalam hal pelayaann di darat maupun di udara. Itulah mengapa, maskapai yang berdiri sejak 1 Agustus 1951 sering menjadi barometer pelayanan maskapai lain di dunia. Untuk penerbangan internasional pertamanya, Japan Airlines menempuh Tokyo – San Fransisco menggunakan pesawat Douglas DC 6. Penerbangan ini dilakukan pada tanggal 2 Februari 1954. 

Dengan kekuatan armada mereka yang cukup kuat, Japan Airlines tidak mengalami kesulitan manakala pada tahun 1970an, pemerintah Jepang menerapkan deregulasi penerbangan. Di antaranya melakukan privatisasi Japan Airlines dan membuka kran persaingan di transportasi udara. Akhirnya dengan kondisi ini masuklah dua pesaing baru, yaitu All Nipon Airways dan juga Japan Air System. 

Perkembangan selanjutnya yang terjadi, antara Japan Airlines dan Japan Air System kemudian mengikat kerjasama. Proses kerjasama ini adalah kesepakatan kedua maskapai untuk melakukan merger. Bergabungnya dua perusahaan ini terjadi pada tahun 2001 dan selesai pada tahun 2004. Untuk menjaga potensi pasar yang sudah terbentuk, dan proses merger tersebut disepakati bahwa nama Japan Airlines akan dipertahankan sebagai identitas perusahaan tersebut. 


PENDAHULUAN 

Setelah melakukan merger dengan nama Japan Air System, terjadi sedikit perubahan dalam manajemen Japan Airlines. Salah satu yang dilakukan adalah masuk ke dalam aliansi Oneworld sejak 1 April 2007. Sayangnya, keputusan ini justru tidak diikuti dengan perkembangan positif dalam transaksi keuangan Japan Airlines. 


Salah satu dampak yang terasa adalah kerugian besar yang menimpa Japan Airline pada tahun transaksi 2009. Perusahaan ini mengalami goncangan yang sangat dahsyat dan mengancam stabilitas. JAPAN AIRLINES Tak kuasa menanggung beban utang korporat sekitar US$25,6 miliar. JAPAN AIRLINES mengajukan perlindungan pailit kepada Pengadilan Distrik di Tokyo. Maskapai itu juga dibebani dengan pembayaran gaji dan pensiun yang terus membengkak dan rute domestik nirlaba yang secara politis wajib dipertahankan. 

Untuk menyelamatkan perusahaan dari ancaman kebangkrutan, akhirnya pemerintah memberikan dana talangan sebesar 100 juta yen. Selain itu dibentuk pula kepanitiaan yang bertugas menangani penyelesaian masalah keuangan maskapai ini. 

Beberapa program pun dirancang demi menghindarkan Japan Airlines dari kebangkrutan. Salah satunya dilakukan dengan menjual saham mayoritas kepada American Airlines yang juga anggota Oneworld. Selain kepada American Airlines, Japan Airlines sempat menjajaki kemungkinan menjual saham mereka kepada Delta Airlines. 

Namun demikian, proses penjualan saham kepada Delta Airlines mengalami hambatan. Hal ini disebabkan Delta Airlines merupakan anggota Sky team, aliansi penerbangan seperti Oneworld. Dengan kondisi ini, Japan Airlines memutuskan tidak melanjutkan proses transaksi dengan Delta, maka keanggotaan Japan Airlines akan berada di bawah aliansi SkyTeam serta keluar dari Oneworld. 

Jika ini terjadi dikhawatirkan akan terjadi kebingungan di kalangan konsumen. Selain itu, Japan Airlines akan kehilangan kesempatan perlindungan antimonopoli dari agen Amerika Serikat. Hal ini merupakan salah satu kesepakatan yang didapat dari perjanjian ruang terbuka Jepang dan Amerika Serikat. 

Akhirnya American Airlines menjadi salah satu maskapai yang memiliki kesempatan untuk membeli saham mayoritas dari Japan Airlines. Meski pada saat yang bersamaan ada beberapa maskapai besar lain yang sebenarnya juga berminat untuk memiliki saham dari Japan Airlines seperti dari Prancis melalui Air France KLM, British Airways dari Inggris dan juga Qantas dari Australia, namun Japan Airlines menolak semua tawaran tersebut. 

Namun, meski sudah menjual saham mayoritas mereka masalah keuangan yang melanda Japan Airlines belum juga selesai. Akhirnya sejak 19 Januari 2010, maskapai dimasukkan ke dalam program Perlindungan Kebangkrutan Jepang. Dampak dari kondisi ini adalah terjadinya restrukturisasi atau pengurangan jumlah karyawan mereka. Sebelum mengalami masalah keuangan, Japan Airlines memiliki 47ribu karyawan. Namun dengan kesulitan finansial yang melanda, mereka harus menghentikan 15 ribu karyawan. Selain itu, armada yang dimiliki pun dikurangi jumlahnya disamping juga mengadakan pembaruan pesawat. Sementara untuk masalah rute penerbangan internasional, Japan Airline mengadakan penjadwalan ulang guna mendapatkan efisiensi. 


PERMASALAHAN 

Japan Airline mengalami kebangkrutan akibat manajemen buruk selama bertahun-tahun, biaya tinggi, serta tekanan pemerintah untuk melayani rute tidak menguntungkan di bandara kecil. Selain itu, Japan Airlines terpuruk akibat krisis ekonomi global. 

Operasi JAPAN AIRLINES yang merugi, hutang yang membengkak, kebijakan penerbangan yang tidak efisien, dan birokrasi yang lambat, membuat kebijakan bail out bagai menebar garam di air laut. Masalah mendasar dari JAPAN AIRLINES adalah “permainan’ dari segi tiga besi (iron triangle) antara pengusaha, penguasa, dan politisi dalam operasional JAPAN AIRLINES selama ini. JAPAN AIRLINES dianggap sebagai sebuah perusahaan besar kebanggaan negeri yang tak boleh bangkrut (too big to fail). Oleh karena itu suntikan likuiditas secara massif diberikan terus menerus kepada JAPAN AIRLINES. Namun di sisi lain, operasi JAPAN AIRLINES tidak dibenahi secara serius. Tekanan dari kekuatan politik dan pemerintah pada eksekutif JAPAN AIRLINES untuk melayani ambisi mereka membuka route-route yang tidak menguntungkan, telah menambah beban operasional JAPAN AIRLINES. Hal ini ditambah lagi dengan berbagai masalah birokrasi dan remunerasi yang tidak efisien. 

Sejak merugi di tahun 2001, lonceng kematian bagi JAPAN AIRLINES memang seolah hanya menunggu waktu. Tragedi 9/11, wabah virus SARS, Flu Burung, ancaman teroris, di samping resesi ekonomi, telah memukul JAPAN AIRLINES secara bertubi-tubi. Meski melayani lebih dari 217 airport dan 35 negara, JAPAN AIRLINES menjadi perusahaan penerbangan yang gemuk dan tidak efisien. Hutangpun membengkak hingga mencapai sekitar Rp 200 triliun. 

Bangkrutnya JAPAN AIRLINES semakin memperkuat adanya masalah serius yang dihadapi oleh perekonomian Jepang. Meski masih memegang gelar sebagai negara dengan perekonomian terkuat nomor dua di dunia, Jepang bagai macan yang terluka. Ekonominya melesu, pengangguran dan kemiskinan meningkat, dan perusahaan besar berguguran. Bangkrutnya JAPAN AIRLINES adalah kebangkrutan terbesar perusahaan di luar sektor keuangan sejak Perang Dunia ke-II. Oleh karena itu, upaya serius untuk bangkit dari krisis sedang ditempuh oleh pemerintah Jepang. 



PEMBAHASAN 

Upaya bangkit yang dilakukan oleh Japan Arilines tentu menyakitkan. Dalam kasus JAPAN AIRLINES misalnya, program restrukturisasi akan memakan banyak korban. JAPAN AIRLINES harus mem-PHK lebih dari 15.000 karyawannya, memotong fasilitas pensiun, dan menutup route-route domestik yang tidak menguntungkan. Lebih parah lagi, JAPAN AIRLINES juga harus memotong banyak kontrak dengan biro perjalanan, hotel, dan berbagai jaringan pariwisata yang telah ada selama ini. Hal itu bisa merugikan kalangan pengusaha, penguasa, dan tentu politisi yang punya kepentingan selama ini. 

Dari JAPAN AIRLINES kita belajar, bahwa intervensi yang berlebihan dari pemerintah dan kekuatan politik, akan merugikan sebuah perusahaan atau lembaga. Baik itu perusahaan penerbangan, perbankan, bahkan lembaga negara yang independen, memerlukan ruang bagi professional untuk bekerja. Politisi, penguasa, dan pengusaha (the iron triangle), kadang memiliki tendensi untuk ikut campur dalam kegiatan usaha ataupun lembaga atas nama rakyat. 


SOLUSI 

Solusi yang dapat diberikan untuk kasus Japan Airlines adalah pembaharuan perusahaan. Platt (2001) membedakan perubahan strategis suatu perusahaan ke dalam tiga kategori, yaitu : Transformasi manajemen, Manajemen Turn around, dan Manajemen Krisis. 

Untuk aplikasi pada Japan Airlines, maka yang dilakukan adalah dengan Manajemen Krisis, dimana Japan Airlines sudah memasuki masa krisis, yaitu saat perusahaan sudah mulai kehabisan dana (cash flow), bahkan menimbun banyak hutang dan energi (reputasi, motivasi). Langkah penyelamatan yang diambil adalah langkah penyelamatan strategi (stop the bleeding) / hentikan pendarahan dapat berupa cash flow (aliran dana segar). Aplikasi dalam kasus Japan Airlines adalah dengan : 

Mencari investor yang tepat 

Cara untuk menyelamatkan JAPAN AIRLINES mungkin dengan cara mencari investor yang tepat. Contohnya dengan menawarkan investasi kepada Delta Airlines atau American Airlines yang merupakan raksasa industri penerbangan di Amerika. Dengan investor semacam ini JAPAN AIRLINES dapat melunasi hutang-hutangnya dan mendapatkan "perubahan" yang diperlukannya agar menjadikan JAPAN AIRLINES kompetitif dan profitable lagi. JAPAN AIRLINES yang memiliki 279 pesawat (kebanyakan dari Boeing) dan mempunyai rute penerbangan di 220 bandara di 35 negara merupakan investasi yang menggiurkan bagi perusahaan-perusahaan seperti Delta Airlines atau American Airlines yang tentunya akan mendapatkan akses bisnis ke Asia melalui akuisisi atau investasi tersebut.. 

Restrukturisasi dan revitalisasi 

Selain itu berbagai upaya perampingan seharusnya dilakukan JAPAN AIRLINES agar tidak mengeluarkan biaya terlalu banyak, terutama biaya operasional. karena itu sudah seharusnya JAPAN AIRLINES melakukan restrukturisasi karyawan dan pengurangan armada. Setelah tercipta restrukturisasi, maka Japan Airlines di bawah bendera manajemen yang baru harus dapat melakukan revitalisasi dan perbaikan manajemen dengan konsep baru, seperti yang dilakukan Garuda Indonesia agar dapat kembali bersaing dalam industri maskapai dunia. 


Studi Kasus ini hanya sampel saja
Untuk versi lengkap atau butuh bantuan
untuk studi kasus tema lain..
Silakan Request Aja..
Diana - o85868o39oo9
Dijamin Beress
Anti Plagiat - Privasi OK
Ditunggu Ordernya Yaa?
Thanks

MAKALAH - PERUBAHAN DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA



TINJAUAN UMUM
Sistem perekonomian Indonesia menurut pendapat berbagai macam pakar memiliki banyak kekurangan, antara lain seperti birokrasi yang korup, lemahnya penegakan hukum, terjadinya korupsi di setiap aspek, berkembangnya sistem kapitalisme semu, strutur perbankan yang manipulatif, sektor riil yang kurang mendapatkan perhatian, dan sebagainya. Akan tetapi, di atas semua kelemahan – kelemahan tersebut, ternyata telah terdapat sebuah fakta baru yang telah merombak struktur ekonomi Indonesia sehingga menimbulkan masalah yang baru.

Apabila dilihat dari Gross Domestic Bruto (GDP / PDB), perekonomian Indonesia selalu mencatat adanya pertumbuhan dan menunjukkan kecenderungan tingkat pertumbuhan yang semakin tinggi, sebelum terjadinya krisis finansial global pada paruh kedua tahun 2008. Demikian pula apabila dilihat dari indikator data – data makro / ekonomi Indonesia yang seringkali menyiratkan perekonomian Indonesia telah pulih kembali. Indikator penting lainnya yang dijadikan pertimbangan adalah nilai ekspor yang terus meningkat melebihi impor sehingga neraca perdagangan Indonesia mendapatkan surplus. Cadangan devisa internasional yang menopang nilai tukar rupiah dan merupakan jangkar pembayaran internasional Indonesia jumlahnya terus meningkat. Dengan demikian, data – data yang dipaparkan oleh pemerintah Indonesia bahwa tiga – empat tahun belakangan ini Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang menggembirakan.

Akan tetapi, tidak semua indikator ekonomi menunjukkan hal yang positif. Dari analisis yang mendetail, terdapat beberapa masalah baru yang terjadi pasca krisis, yang berkaitan antara satu dengan lainnya dan memiliki potensi untuk membebani perekonomian Indonesia.

Masalah – masalah tersebut, yaitu :
- Kemerosotan ditingkat investasi riil/ langsung
- Perubahan saldo dan komposisi neraca transaksi berjalan
- Kemerosotan daya saing internasional
- Penurunan kualitas pertumbuhan ekonomi


EMPAT PERUBAHAN MENDASAR

1. Penurunan Investasi Riil 
Penurunan investasi riil berakibat pada penurunan kegiatan – kegiatan produksi secara nasional. Jika kegiatan produksi mengalami penurunan, maka output otomatis akan merosot, sehingga laju pertumbuhan ekonomi akan tersendat. Penurunan kualitas laju pertumbuhan ekonomi telah lama terjadi di Indonesia, dan sayangnya tidak banyak orang yang menyadari resiko dari penurunan kualitas laju pertumbuhan ekonomi tersebut.

Investasi tetap di Indonesia sampai pada tahun 2008 masih terus berada di bawah tingkatan yang ada pada masa sebelum krisis. Padahal, investasi tetap ini secara langsung menentukan investasi riil (real investment) atau investasi langsung (direct investment), yakni investasi yang secara langsung berkaitan dengan produksi dari investor domestik maupun asing.

Dari analisis Bank Dunia, keberadaan FDI di berbagai negara memiliki keterkaitan langsung dengan pertumbuhan ekspor, dan akhirnya pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan di negara atau kawasan yang bersangkutan. Menurut ramalan majalah ekonomi The Economist, Indonesia hanya akan mendapatkan US$ 6,6 miliar per tahun. Taksiran tersebut tidak terlalu melenceng, karena investasi riil yang diterima Indonesia dalam kenyataannya lebih rendah karena selain menerima investasi dari luar negeri, Indonesiat ternyata juga melakukan investasi ke negara lain, dan nilainya sudah mencapai miliaran dollar. Investasi langsung ke luar negeri lebih menyerupai portofolio kraena yang diterima Indonesia hanya laba, sementara penambahan output, fasilitas produksi termasuk infrastruktur, penciptaan lapangan kerja dan stimulus kegiatan perekonomian dinikmati oleh negara penerima investasi. Keseluruhan faktor menjadikan porsi total akumulasi (stok) investasi di Indonesia sangatlah rendah. Pesatnya pertumbuhan ekonomi China setelah dikaji juga menunjukkan betapa pentingnya peranan investas, khususnya FDI dalam memacu ekspor. Sebelumnya, peran ekspor di China dilakukan oleh BUMN dan perusahaan lokal China, akan tetapi sekarang hampir setengah lebih dilakukan oleh perusahaan internasional yang beroperasi di China.

Konsumsi dan belanja pemerintah sangat mempengaruhi investasi. Karena konsumsi dan belanja pemerintah tidak berkaitan langsung dengan output atau produksi, maka pertumbuhan ekonomi yang dibuahkannya juga tidak mencerminkan kenaikan kapasitas atay produksi riil dari ekonomi yang bersangkutan.

Kelebihan dana masyarakat Indonesia mengalir dalam investasi portofolio dan investasi finansial dalam bentuk pembelian saham, obligasi, dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Akan tetapi, banyaknya dana yang tersalurkan tidak membuat bank - bank longgar dalam memberikan kredit atau pinjaman, sebaliknya, mereka masih selektif dengan alasan situasi perekonomian nasional yang tidak begitu kondusif bagi peningkatan kredit secara signifikan.

Sektor keuangan Indonesia mencatat perkembangan yang pesat. Akan tetapi, karena begitu cepat maka lama kelamaan sektor keuangan mulai meninggalkan sektor riil. Akibatnya, masyarakat pengusaha domestik (terutama UKM) tetap sulit mendapatkan sumber dana dalam jumlah yang mencukupi untuk menunjang berbagai kegiatan produktifnya kendati dana di perbankan sebenarnya mengalami kelimpahan.

Pada sisi lain, pemerintah menawarkan investasi finansial semakin menarik dengan suku bunga yang kompetitif dan jaminan keamanan sehingga secara tidak langsung dana masyarakat mengarah pada investasi finansial dan mengesampingkan sektor riil. Efeknya lebih lanjut dari investasi produktif yang tumpul adalah meningkatnya jumlah pengangguran karena pertumbuhan sektor riil terhambat.


2. Perubahan Saldo dan Komposisi Neraca Transaksi Berjalan
Sebelum masa krisis, negara- negara mengalami defisit neraca berjalan (current account). Sebaliknya, setelah krisis negara – negara ini mengalami surplus. Akibatnya, jumlah cadangan internasional semua negara, termasuk Indonesia meningkat. Ini merupakan perubahan atau transformasi kedua dalam perekonomian Indonesia pasca krisis, yang juga mengandung konsekuensi dan memiliki dampak yang luas.

Perubahan tersebut diikuti oleh perubahan dalam perhitungan dan metode penanggulangan defisit pada tiga neraca utama yang menjadi penjabaran dari neraca pembayaran, yaitu :
- Neraca anggaran
- Neraca transaksi berjalan
- Neraca modal.

Sebelum krisis, ada dua macam cara yang biasa digunakan oleh pemerintah untuk menutup defisit, yaitu :
1. Menarik pinjaman dari luar negeri à baik dari pemerintah, lembaga internasional atau swasta
2. Menggalakkan investasi à investai langsung dan investasi tidak langsung atau investasi portofolio.

Pada saat pasca krisis, rumus yang digunakan lebih banyak memperhitungkan sisi pendapatan, dimana defisit pada salah satu neraca yang lain. Dari tiga macam neraca, yang paling diandalkan untuk menutup defisit adalah neraca transaksi berjalan yang dengan sendirinya diprioritaskan untuk mencetak surplus.

Upaya untuk menutup defisit APBN mengalami perbedaan pada tiap – tiap era, yaitu :
- Era Soekarno cara primitif dengan cara  menambah pencetakan ulang, sehingga terjadi inflasi

- Era Orde Baru àmenambah hutang luar negeri akibarnya akumulasi utang luar negeri yang luar biasa, sampai US$ 150 miliar
- Era Reformasi, khususnya pemerintahan SBY – JK arus masuk modal jangka pendek à didukung dengan strategi bertahap pencabutan subsidi agar tidak membebani anggaran, khususnya subsidi BBM.

Pendekatan surplus neraca transaksi berjalan untuk menutup defisit APBN memiliki masalah, yaitu :
o Sinyalemen perekonomian bubble dinilai terlalu keras, padahal dalam kenyataannya pasar modal di Indonesia selama ini memag sangat didominasi oleh pihak asing.
o Apabila dana – dana asing pindah ke tempat lain, maka bursa pasar modal Indonesia akan menjadi guncang.
o APBN menjadi semakin rentan terhadap berbagai perkembangan internasional
o Daya saing ekonomi Indonesia menjadi semakin buruk.

Penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) adalah langkah yang lebih baik daripada menarik utang luar negeri yang umumnya lebih meningkat. Dalam menjual SBN, kita tidak dapat menolak pembeli asing. Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarno Putri memfokuskan pada usaha penekanan – penekanan defisit anggaran untuk menghentikan defisit APBN. Oleh karena itu, pemerintahan SBY menilai kondisi APBN sudah mulai aman dan dapat digunakan untuk merangsang kegiatan perekonomian.

Realisasi PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak) sangat tinggi, disebabkan oleh realisasi harga dan lifting minyak tanah mentah Indonesia ketimbang asumsi APBN-P. Bisa jadi alasan pemerintah untuk tidak menurunkan harga BBM sesuai harga dasar dunia adalah karena pemerintah di tahun 2008 tidak begitu berhasil menjual obligasi resmi yang diandalkan sebagai instrumen utama penutup defisit.

Pada masa pemerintahan SBY-JK, pengelolaan utang luar negeri Indonesia diakui memang lebih baik. Secara keseluruhan, peran utang luar negeri berkurang karena pemerintah dapat mengandalkan pinjaman dalam negeri melalui penjualan berbagai macam SBN. Jika dikaitkan dengan prinsip nasionalisme ekonomi, langkah ini patut dipuji karena Indonesia kini tidak lagi mengemis – ngemis IMF, Bank Dunia, atau lembaga donor mana saja setiap kali memerlukan dana baru. Kemandirian dalam soal utang justru memperbaiki citra Indonesia, yang setiap kali memerlukannya tidak menghadapi kesulitan yang berarti untuk memintanya dari lembaga – lembaga donor internasional.

3. Penurunan Daya Saing
Dalam survey rutin yang diadakan oleh International Institute for Management Development, dari tahun ke tahun Indonesia secara terus – menerus berada di urutan bawah, dan lebih memprihatinkan lagi, kian lama kedudukannya terus semakin merosot. Pada tahun 1997-an, Indonesia masih lebih tinggi minat perekonomiannya daripada negara – negara ASEAN. Namun, pada periode pasca krisis, kedudukan Indonesia semakin menurun dan sejak tahun 2003 justru sudah tertinggal dari Vietnam dan sejak tahun 2005 Indonesia sudah ditinggalkan oleh semua negara – negara ASEAN.

Berdasarkan kualifikasi yang ditetapkan oleh Badan PBB urusan Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD), Indonesia sebagai tujuan investasi lagi – lagi masuk dalam kelompok terbawah, yakni kelompok negara yang kinerja maupun potensi investasinya sama – sama rendah.

Proses globalisasi menjadikan kompetisi di antara perusahaan – perusahaan internasional juga meningkat. Demi menjaga kelangsungan usahanya, kini perusahaan lebih mementingkan penghematan biaya tetap (fixed cost) seperti kemapanan aturan usaha atau aturan perburuhan, daripada biaya yang berubah – ubah (variable cost), seperti harga bahan baku dan biaya tenaga kerja.

4. Pertumbuhan Ekonomi yang Tidak Seimbang
Pada masa pasca krisis, Indonesia mengalami laju pertumbuhan ekonomi yang cukup baik dalam soal besaran angka pertumbuhannya. Masalahnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia itu sendiri tidak berjalan sebagai mana seharusnya, karena ternyata sangat tidak seimbang dan belakangan bahkan kian tidak seimbang. Yang dimaksudkan dengan pertumbuhan tidak seimbang adalah pertumbuhan ekonomi Indonesia yang bertumpu pada perkembangan sektor – sektor jasa yang tidak dapat diperdagangkan secara internasional dengan leluasa (non-tradable) ; sedangkan sektor barang yang erat kaitannya dengan produksi dan perdagangan dalam pengertian konvensional (tradable) mengalami pertumbuhan yang sangat terbatas, bahkan cenderung melemah.

Indonesia memang bukan satu – satunya negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi timpang, namun ketimpangan di Indonesia lebih mencolok dibandingkan dengan negara- negara lain. Dalam mengatasi pertumbuhan ekonomi yang tidak seimbang itu, ternyata bukan dengan menekan atau menghalangi pertumbuhan sektor non-tradable, melainkan harus mengupayakan agar sektor tradable dapat bertumbuh dengan baik dan cepat agar tidak terlalu tertinggal dari sektor non-tradable.

Sekian dulu pembahasannya yaa..
untuk versi lengkapnya
atau mau judul makalah lain
silakan request aja
Diana - o85868o39oo9
Ditunggu ordernya Yaa
Thanks