Tampilkan postingan dengan label reuni 212. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label reuni 212. Tampilkan semua postingan

REUNI 212 DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI MEDIA DAN KOMUNIKASI



REUNI 212 DALAM PERSPEKTIF

SOSIOLOGI MEDIA DAN KOMUNIKASI



PENDAHULUAN

Aksi 212 merupakan aksi bela agama Islam yang berlangsung pada tanggal 2 Desember 2017 yang telah berhasil menyedot jutaan masa (Najib, 2018). Aksi tersebut dihadiri oleh jutaan kaum muslim dari penjuru Indonesia. Masyarakat berbondong-bondong ke Jakarta untuk bisa berpartisipasi dalam aksi tersebut. Dilihat dari latar belakangnya, aksi tersebut merupakan respon kaum Muslim Indonesia atas dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta Ahok.
Satu tahun berlalu, “alumni” dari aksi 212 berkumpul kembali pada 2 Desember 2018 untuk memperingati satu tahun aksi 212. Peristiwa Reuni Akbar 212 tersebut kabarnya dihadiri oleh 7,5 juta orang serta dihadiri oleh banyak politisi dan artis seperti Gubernur terpilih Anies Basweda, Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah dan tokoh- tokoh politik lain yang hadir menjadi sorotan. Berbagai media baik, media online, cetak dan elektronik menyoroti peristiwa tersebut. Bagaimana media menyoroti peristiwa tersebut juga banyak mendapat sorotan dari berbagai pihak. Dalam tulisan ini, akan dilakukan penyelidikan terhadap reuni 212 dipandang dari perspektif sosiologi media dan komunikasi serta terhadap posisi media sebagai suatu institusi sosial.

PEMBAHASAN

Posisi Media Sebagai Institusi Sosial

Pada prinsipnya, media merupakan institusi yang difungsikan untuk mengembangkan kebebasan berpendapat dan menyebarkan informasi ke segala arah, yakni kepada publik dan institusi lainnya termasuk pemerintah. Sebagai suatu institusi, suatu media harus memiliki tenaga profesional, manajemen, dan infrastruktur. Untuk memenuhi fungsinya, media menjalin hubungan dengan sumber berita, pembaca, klien, pemilik modal, distributor, dan pihak-pihak lain. Dengan demikian, juga terlihat bahwa keberadaan media sebagai institusi sosial berkaitan dengan institusi lainnya, seperti ekonomi, politik, hukum ataupun khalayak luas (Kasijanto, 2008).
Ruang-ruang sosial hasil garapan media itu memiliki kecenderungan menjadi ruang-ruang konsumsi, baik konsumsi informasi maupun konsumsi wacana bagi publik. Singkat kata, media dan ragam kepentingannya secara langsung atau tidak langsung mampu melubangi ruang-ruang sosial bahkan ruang-ruang privat menjadi ruang yang seolah-olah publik. Hal ini dapat disebut sebagai  privat semu dan pseudo public.
Aksi 212 merupakan aksi bela agama Islam yang berlangsung pada tanggal 2 Desember 2017 yang telah berhasil menyedot jutaan masa (Najib, 2018). Satu tahun berlalu, “alumni” dari aksi 212 berkumpul kembali pada 2 Desember 2018 untuk memperingati satu tahun aksi 212. Peristiwa Reuni Akbar 212 tersebut kabarnya dihadiri oleh 7,5 juta orang serta dihadiri oleh banyak politisi dan artis. Berbagai media baik, media online, cetak dan elektronik menyoroti peristiwa tersebut.
Terkait dengan pemberitaan mengenai reuni 212, sempat terjadi pergolakan karena berbagai media tidak memberitakan mengenai aksi reuni tersebut. Panitia Reuni 212 saat itu bahkan berencana mendatangi kantor Komisi Penyiaran Indonesia untuk menyampaikan keberatan terkait sejumlah media yang tidak memberitakan Reuni 212 (Siddiq, 2018). Mereka ingin mendatangi KPI untuk berdikusi dan menyampaikan surat keberatan terhadap sejumlah media. Surat keberatan tersebut merupakan upaya untuk mengingatkan media terkait fakta sejarah besar yang terjadi dalam Reuni 212, bahwa peserta reuni mempunyai hak publik untuk disiarkan oleh media.

Reuni 212 dalam Sosiologi Media dan Komunikasi

Ditinjau dari perspektif sosiologi media, dapat dikatakan bahwa media mempunyai lingkar-lingkar kepentingan, yaitu awak media pada level individu yang berbicara tentang aspek profesionalisme pekerja media, faktor rutinitas media yang banyak mengolah bagaimana media berproduksi dan mempunyai standar tertentu, faktor organisasi media yang membentuk struktur media, faktor ekstra media yang banyak bicara tentang faktor lingkungan di luar media seperti narasumber, pengiklan dan lainnya, dan faktor ideologi media (Rahmitasari, 2017).
Pemberitaan mengenai aksi 212 di media selama ini ikut mewarnai gerakan sosial di masyarakat. Hal ini dipicu dengan gelombang aksi sosial, massa dari berbagai daerah di Indonesia berkumpul di Monumen Nasional untuk menuntut keadilan terkait dengan penistaan agama. Media pun kembali menyoroti isu Aksi 212, pada tanggal dan bulan yang sama di tahun 2017 diadakan Reuni Aksi 212. Berbagai media massa baik cetak, elektronik dan media online kembali memberitakan Aksi 212 lagi. Proses pemberitaan Aksi 212 ini tentu berbeda-beda sudut pandang. Hal ini dikarenakan kebijakan redaksi dan ideologi perusahaan media yang diterapkan di dalam perusahaannya.

Dari sisi komunikasi, pengalaman komunikasi yang dimiliki peserta aksi 212 di Jakarta dikategorisasi menjadi jenis-jenis pengalaman tertentu yang meliputi pengalaman positif (menyenangkan) dan pengalaman negatif (tidak menyenangkan). Penjelasan mengenai pengalaman komunikasi yang menyenangkan dan tidak menyenangkan dapat diawali dengan pernyataan, komunikasi memiliki dimensi isi dan dimensi hubungan (Masithoh & Firdaus, 2017). Hal ini berarti pengalaman komunikasi yang menyenangkan (positif) dapat ditinjau, antara lain melalui suatu hubungan yang menunjukan adanya kehangatan sikap, penerimaan dan perhatian satu sama lain. Sedangkan pengalaman komunikasi yang tidak menyenangkan (negatif) berarti sebaliknya. Suatu peristiwa yang mengandung unsur komunikasi akan menjadi pengalaman komunikasi tersendiri bagi individu dan pengalaman komunikasi yang dianggap penting akan menjadi pengalaman yang paling diingat dan memiliki dampak khusus bagi individu tersebut.


KESIMPULAN


DAFTAR PUSTAKA

 

Ini hanya versi sampel saja yaa..
Untuk versi komplit atau dibuatkan analisis kasusnya,
silahkan contact 085868o39oo9 (Diana)
Ditunggu ordernyaa..