Tampilkan postingan dengan label makalah hukum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label makalah hukum. Tampilkan semua postingan

Perkembangan Ilmu Kepolisian dalam Menghadapi Kejahatan di Era Digital

 Perkembangan Ilmu Kepolisian dalam Menghadapi Kejahatan di Era Digital


A.    Pendahuluan

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi di era digital berdampak pada individu yang kini tidak lepas dari ketergantungan terhadap teknologi. Perangkat dan teknologi dalam perkembangan teknologi informasi dan komunikasi tersebut memberikan pengaruh pada sikap dan perilaku individu. Perangkat teknologi yang digunakan oleh individu tersebut dapat mengubah pengalaman dan persepsi manusia terhadap dunia dan kehidupan. Keberadaan alat teknologi tersebut juga membantu memudahkan manusia dalam melakukan kegiatannya, termasuk membantu instansi pemerintah seperti Polri dalam melaksanakan tugas-tugasnya, baik dalam tugas penegakan hukum maupun tugas pembinaan keamanan dan ketertiban masyarakat. Akan tetapi, selain membantu lembaga pemerintahan dalam melaksanakan tugas-tugasnya, perkembangan teknologi juga memberikan dampak pada timbulnya kejahatan baru dalam dunia digital itu sendiri, diantaranya kejahatan manipulasi data, spionase, sabotase, provokasi, hacking, pencurian software, penipuan online dan berbagai macamnya (Suseno, 2016; Pasaribu, 2017).

Pemerintah pun dinilai masih belum memiliki kemampuan yang cukup dalam menghadapi dan mengatasi permasalhaan kejahatan melalui internet tersebut, sehingga pengendalian kejahatan di era digital ini dinilai masih. Kemunculan sejumlah kasus kejahatan siber di Indonesia dinilai menjadi ancaman stabilitas keamanan dan ketertiban nasional dengan pertumbuhan yang dinilai cukup tinggi. Perangkat intitusi pemerintah dinilai belum mampu mengimbangi kejahatan yang dilakukan dengan teknologi komputer dalam jaringan internet (internetwork). Tindakan kejahatan siber tidak mudah diatasi hanya dengan menggunakan hukum positif konvensional, karena terkait dengan tindak kejahatan, tidak dapat lepas dari lima faktor yang saling berhubungan, yaitu pelaku kejahatan, korban kejahatan, reaksi sosial atas kejahatan dan hukum. Hukum merupakan instrumen penting dalam mencegah dan menanggulangi tindak kejahatan, tetapi untuk membuat ketentuan hukum pada bidang hukum yang dapat berubah dengan cepat seperti teknologi informasi, bukan hal yang mudah (Pasaribu, 2017).

.......

Analisis Kasus Korupsi Proyek Revitalisasi Pasar

 

Analisis Kasus Korupsi Proyek Revitalisasi Pasar


A.    Pendahuluan

Pasar tradisional merupakan salah satu media kegiatan ekonomi masyarakat yang mempunyai nilai strategis untuk mendukung perkembangan dunia usaha dan mendorong kemajuan ekonomi masyarakat serta meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pasar tradisional adalah pasar yang memiliki peran penting untuk memajukan pertumbuhan ekonomi di Indonesia dan mempunyai keunggulan bersaing alamiah. Keberadaan pasar tradisional sangat membantu, tidak hanya untuk pemerintah daerah dan pemerintah pusat, tetapi juga masyarakat yang kebutuhan ekonominya dari kegiatan berdagang, karena dalam pasar tradisional mencakupsejumlah aktor yang mempunyai arti penting dan berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan baik pedagang, pembelidan sebagainya(Rosyidi, 2016).


B.     Tinjauan Umum Tindak Pidana Korupsi

Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin yaitu corruptio yang artinya adalah rusak, busuk, memutarbalik, dan menyogok. Dalam pengertianharfiah, korupsi merupakan perilaku pejabat publik, baik politisi dan pegawai negeri, yang dilakukan dengan cara yang tidak wajar dan tidak legal dengan tujuan untuk memperkaya diri atau memperkaya individu yang dekat dengan mereka, yang dilakukan dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan pada mereka.Dalam pengertian yang luas, korupsi atau korupsi politis merupakan bentuk dari tindakan penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Segalabentuk  praktikpemerintahan dinilai rentan terhadap tindakan korupsi(Paramastri, Setiyono, & Martini, 2013).


C.    Landasan Hukum dalam Pidana Korupsi

Berdasarkan pada kajian hukum pidana, Tindak Pidana Korupsiadalah objek hukum yang termasuk dalam salah satu delik khusus di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yangtelah diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Revisi atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Dalam pasal 2 ayat (1) UU Tindak Pidana Korupsitersebut juga mengkhendaki agar istilah korupsi diartikan sebagai setiap pihak baik pejabat pemerintah maupun swasta yang melawan hukum perbuatan memperkaya diri sendiri atau korporasi yang merugikan keuangan atau perekonomian negara. Dengan demikian, unsur perbuatan tindak pidana korupsi dalam pasal ini adalah adanya perbuatan yang melawan hukum; tujuannya adalah untukmemperkaya diri sendiri, orang lain, atau perusahaan; serta memiliki dampak yang merugikan keuangan atau perekonomian negara(Parawangsyah, 2017).


D.    Tindakan Korupsi dalam Proyek Revitalisasi Pasar di Indonesia

Pembiayaan negara dalam proyek revitalisasi pasar tradisional telah diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 61/M-DAG/PER/8/2015 tentang Pedoman Pembangunan dan Pengelolaan Sarana Perdagangan. Peraturan tersebut mengatur tentang bagaimana daerah meminta pendanaan yang ditujukan untuk revitalisasi pasar tradisional. Berdasarkan pada pasal 7, pasar rakyat tipe A dan tipe B yang bersumber dari APBN dilakukan menggunakan dana tugas pembantuan, sedangkan pasar rakyat tipe C dan tipe D menggunakan dana alokasi khusus. Untuk mendapatkan dana tersebut, pemerintah daerah mengajukan proposal ke Dirjen Perdagangan dalam Negeri Kemendag. Proposal tersebut mencakup latar belakang permintaan revitalisasi, maksud dan tujuan, titik koordinat lokasi pasar, jumlah dan daftar pedagang, serta komoditas perdaganan pasar. Proposal tersebut diteliti lagi oleh tim independen sebelum disetujui oleh menteri perdagangan(Mustofa, 2020).


E.     Implementasi Penerapan Hukum Pidana Korupsi di Proyek Revitalisasi Pasar

Salah satu contoh korupsi proyek revitalisasi pasar adalah pada revitalisasi Pasar Tanjung Bungin, Karawang, Jawa Barat pada tahun 2017. Dalam kasus korupsi ini terdapat penyimpangan dana revitalisasi pasar tradisional sebesar Rp 900 juta yang mencakup keterlibatan Ketua Koperasi, Sekretaris, dan Bendahara Koperasi Tanjung Bungin (Siahaan, Ronald, & Husin, 2020). Tiga tersangka telah melakukan penyalahgunaan wewenang sebagai pengurus koperasi dalam mengelola dana revitalisasi Pasar Tanjung Bungin. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan administrasi, terdapat kejanggalan pelaksanaan revitalisasi pasar yang dampaknya merugikan negara sebesar Rp 200 juta. Pelaksanaan revitalisasi pasar merupakan tanggung jawab tiga tersangka. Dan atas perbuatannya tersebut, tersangkan dijerat pasal 2 atau pasal 3 UU Tipikor Jo pasal 5 KUHPidana. Bantuan dana revitalisasi pasar tradisional tersebut diberikan melalui koperasi pasar sebesar Rp 900 jutauntuk membangun ulang bangunan pasar yang rusak dan tidak layak pakai. Bukti menunjukkan adanya perbuatan pelanggaran hukum, di mana berdasarkan bukti di lapangan, fisik bangunan yang telah selesai dikerjakan dinilai tidak sesuai dengan spesifikasi(Rihanto, 2017). Keterangan tersebut menunjukkan bahwa apa yang dilakukan oleh ketiga tersangka merupakan bentuk dari perbuatan pelanggaran hukum di mana mereka menyalahgunakan kewenangan yang dimilikiserta tindakan tersebut merugikan keuangan atau perekonomian negara.

Perlindungan Konsumen Pemegang Polis Asuransi Jiwasraya

 

Perlindungan Konsumen Pemegang Polis Asuransi Jiwasraya

Pendahuluan

Belakangan ini, ramai diperbincangkan kasus skandal yang melibatkan perusahaan asuransi milik Negara, PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Pada tanggal 24 Juni 2020, telah dimulai persidangan yang membahas kasus ini. Pada persidangan tersebut, Kejaksaan Agung menetapkan lima tersangka pada kasus ini, yaitu Benny Tjokro yang merupakan Dirut PT Hanson International Tbk (MYRX), Heru Hidayat adalah Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM), Hary Prasetyo merupakan Direktur Keuangan Jiwasraya Jiwasraya periode Januari 2013-2018, Hendrisman Rahim, Direktur Utama Jiwasraya periode 2008-2018, dan Syahmirwan, mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Jiwasraya(Sandi, 2020). Keterlibatan banyak pihak dalam kasus ini kemudian menjadikannya sebagai sebuah megaskandal.

Gambar 1. Tersangka megaskandal Jiwasraya (Sumber: CNBC)

Kasus megaskandal Jiwasraya ini sesungguhnya telah muncul sejak dua tahun yang lalu yang disebabkan karena terdapatnya krisis keuangan Jiwasraya. Setelahnya, ketika Erick Thohir menjabat sebagai menteri BUMN, secara perlahan megaskandal ini kemudian semakin terbuka ke publik. Kasus ini awalnya merupakan masalah mengenai manajemen Jiwasraya yang tidak dapat membayar polis nasabah dengan total kerugian senilai Rp 12 triliun, yang kemudian menyebabkan sejumlah pemegang polis Jiwasraya mendatangi kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk meminta kepastian soal nasib uang yang telah mereka asuransikan ke perusahaan asuransi milik negara tersebut(Hasiman, 2020). Kasus ini kemudian juga memberikan kerugian kepada negara yaitu sebesar Rp 16,81 triliun(Hamdani, 2020 )

Mencuatnya megaskandal ini kemudian menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana perlindungan konsumen terhadap kasus kerugian yang mereka dapatkan akibat perusahaan asuransi yang tidak dapat membayarkan polisnya. Hal ini menjadi suatu yang tak terbantahkan karena pada dasarnya konsumen merupakan pihak yang mendapatkan kerugian akibat hal ini. Nasabah asuransi yang mengalami kerugian harus mendapatkan perlindungan hukum sehingga dapat kembali mendapatkan haknya. Perlindungan hukum merupakan suatu perlindungan yang diberikan terhadap subjek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun represif, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis(Sidharta, 2006). Oleh karena itu, tulisan ini akan melakukan analisa terhadap perlindungan hukum terhadap konsumen pemegang polis asuransi Jiwasraya yang mengalami kerugian akibat perusahaan tersebut gagal membayarkan polis yang seharusnya menjadi milik nasabah asuransi.

Pembahasan

Asuransi merupakan lembaga yang digunakan oleh nasabah untuk mengalihkan risiko. Asuransi merupakan lembaga keuangan non bank yaitu bergerak dalam bidang layanan jasa yang diberikan kepada masyarakat dalam mengatasi risiko apabila terjadi sewaktu-waktu(Setiawati, 2018). Berdasarkan hal tersebut, maka sudah seharusnya nasabah yang memiliki perjanjian asuransi untuk merasa aman karena berdasarkan perjanjian tersebut, ia diberikan jaminan perlindungan dari kemungkinan yang yang tidak terduga sebelumnnya atau tertimpa suatu kerugian.

Oleh karena itu, ketika yang terjadi adalah sebaliknya yaitu nasabah mendapatkan kerugian akibat perusahaan asuransi yang gagal bayar terhadap polis yang dijanjikan, maka dibutuhkan suatu mekanisme perlindungan konsumen. Hal ini merupakan tanggung jawab Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pada dasarnya, OJK merupakan lembaga yang bertanggung jawab untuk mengawasi seluruh industri jasa keuangan di Indonesia, termasuk jasa asuransi. Pengawasan oleh OJK ini dilakukan secara mikroprudensial yang terdiri dari pengaturan terhadap seluruh industri jasa keuangan, pengawasanterhadap seluruh industri jasa keuangan, dan perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan(Otoritas Jasa Keuangan, 2016).


Ini hanya versi sampelnya saja ya...


Untuk file lengkap atau mau dibuatkan custom, silahkan PM kami ke


WA : 

0882-9980-0026

(Diana)


Kejahatan Carding(Penggunaan Ilegal Kartu Kredit) Sebagai Bentuk Kejahatan Transnasional

 

Kejahatan Carding (Penggunaan Ilegal Kartu Kredit) Sebagai Bentuk Kejahatan Transnasional

A.    Pendahuluan

Di era global ini, pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi memberikan manfaat terhadap masyarakat seperti kemudahan untuk mengakses informasi. Teknologi informasi dan komunikasi mempunyai peranan penting yang mendorong kemajuan negara dengan memberikan pengaruh yang besar bagi negara terutama dalam pertumbuhan ekonomi dunia, dan hal ini yang mendorong semua negara untuk terus mendorong perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.Selain memberikan manfaat, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi juga memberikan dampak negatif bagi masyarakat di seluruh dunia. Hal ini dikarenakan perkembangan teknologi mendorong terjadinya perubahan perilaku manusia dan berdampak pada perubahann sosia(Widayatil, Normasari, & Laili, 2020). Revolusi di bidang teknologi informasi dan komunikasi yang sangat pesat ini juga memiliki dampak pada kecepatan perubahan dalam kejahatan, terutama dalam kejahatan lintas negara atau transnational crime. Dengan demikian, salah satu tantangan utama di era global ini adalah tuntutan untuk mampu secara terus-menerus beradaptasi dengan perkembangan kejahatan transnasional (Naseh, Ikhwanuddin, Ramadhani, Kusprabandaru, & Bathara, 2019).


.............

B.     Pembahasan

1.      Kejahatan Carding (Penggunaan Ilegal Kartu Kredit) Sebagai Kejahatan Transnasional

Cardingmerupakan suatu tindakan penipuan kartu kredit di mana pelaku kejahatan mengetahui nomor kartu kredit seseorang yang masih berlaku, dan menggunakan informasi tersebut untuk melakukan transaksi jual beli barnag secara onlinedi mana pembayaran akan ditagihkan ke pemilik asli kartu kredit. Tindakan kejahatan ini juga disebut sebagai cyberfraudatau penipuan di dunia maya. Terdapat dua lingkup dalam kejahatan cardingyaitu kejahatan nasional dan transnasional. Dalam kejahatan nasional, pelaku carding melakukan tindak kejahatan tersebut dalam lingkup satu negara. Sedangkan dalam kejahatan transnasional, pelaku carding melakukan tindak kejahatan tersebut melewati batas negara. Terdapat dua cara penyalahgunaan kartu kredit, yaitu: a)kartu kredit sah tetapi tidak digunakan sesuai peraturan yang ditentukan dalam perjanjian yang disepakati oleh pemegang kartu dengan bank pengelola kartu kredit; dan b) kartu kredit tidak sah atau kartu palsu digunakan dengan cara ilegal (Zuraida, 2015).

...........

2.      Landasan Hukum Mencegah Kejahatan Carding Sebagai Kejahatan Transnasional

Dengan adanya unsur internasional dari kejahatan carding akan menimbulkan masalah tersendiri terutama yang berkaitan dengan masalah yurisdiksi. Yurisdiksi merupakankekuasaan atau kompetensi hukum negara terhadap individu, benda atau peristiwa. Yuriskdiksi menunjukkan prinsip dasar kedaulatan negara, kesamaan derajat negara dan prinsip tidak campur tangan. Yurisdiksi adalah bentuk kedaulatan yang vital dan merupakan sentral untuk mengubah, menciptakan atau mengakhiri kewajiban hukum.Berdasarkan asas umum dalam hukum internasional, negara mempunyai kekuasaan tertinggi atau kedaulatan atas masyarakat dan benda di wilayahnya sendiri. Oleh karena itu, suatu negara tidak boleh melakukan tindakan yangbersifat melampui kedaulatan negara dalam wilayah negara lain, kecuali telah mendapatkan persetujuan negara terkait (Kurniawan, 2014).

..........


Ini hanya versi sampelnya saja ya...

Untuk file lengkap atau mau dibuatkan custom, silahkan PM kami ke

WA : 

0882-9980-0026

(Diana)

Prinsip Subsidiaritas dan Prinsip Berkelanjutan dalam Penataan Ruang




Prinsip Subsidiaritas dan Prinsip Berkelanjutan dalam Penataan Ruang

·         Prinsip Subsidiaritas (the Subsidiarity Principle), ini merupakan prinsip yang menekankan bahwa proses pengambilan keputusan seharusnya digerakkan oleh kebutuhan setempat. Walaupun demikian, pengambilan keputusan sebaiknya dilakukan pada tingkatan yang lebih tinggi. Hal ini untuk menjamin eksternalitas juga mendapat perhatian (Mungkasa, 2014). Dalam hal ini, Prinsip ini juga sering dikaitkan dengan konsep otonomi daerah, diamna prinsip subsidiaritas merupakan prinsip pelimpahan tugas dan kewenagan pemerintah dalam system federal (Hendratno, 2009). Kriteria dalam pembagian kompetensi dan tugas-tugas pemerintah, maka prinsip subsidiaritas ini akan memberiakn bingkai dan kerangka nilai bahwa kompetensi dan tugas-tugas pemerintahan yang dapat diselenggarakan oleh dan atau berhubungan langsung dengan satuan teritorial terkecil (local unit), tidak terkait dan tidak bersifat antar teritorial, harus diselenggarakan oleh satuan teritorial tersebut dan tidak boleh diselenggarakan oleh satuan teritorial yang lebih tinggi (Prasojo, 2009). Sehingga dengan demikian, dalam pelaksanaan tata ruang, jika melihat dari prinsip ini maka pengaturan dan pengambilannya di pegang oleh bagaian pemeriantah setempat yang memiliki kebutuhan. 

·         Prinsip Berkelanjutan: atau sustainable secara umum berarti sebagai kemampuan untuk menjaga dan mempertahankan kesemimbangan proses atau kondisi suatu system (Whardhono, 2012). Dalam hal ini kaitennya dalam tata ruang kota setidaknya ada tiga prinsip keberlanjutan, yakni keberlanjutan lingkungan alam, keberlanjutan sosial, dan keberlanjutan ekonomi. Mulai dari tahap perencanaan, pembangunan, hingga penggunaannya, selalu diiringi oleh pertimbangan akan keberlanjutan tiga aspek tersebut (Annur & Mappaturi, 2012). Jadi dalamkaitannya dengan tata ruang, maka pelaksanaan tata ruang juga harus melihat seperti apa pengaruhnya terhadap lingkungan sehingga nantinjy atidak merusak dan masih bias dimanfaatkan dalam jangka waktu panjang yang berkelanjutan.


Daftar Pustaka
Annur, A. S., & Mappaturi, A. B. (2012). Penerapan Prinsip Sustainable Development Pada Perancangan Pondok Pesantren Enterpreneur. ournal of Islamic Architecture.
Hendratno, E. T. (2009). Negara Kesatuan,Desentralisasi dan Federalisme. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Mungkasa, O. (2014). Perencanaan Tata Ruang: Sebuah Pengantar. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta.
Prasojo, E. (2009). Reformasi Kedua Melanjutkan Estafet Reformasi. Jakarta: Salemba.

Aspek Hukum dari Penataan ruang berdasarkan UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang Sebagai Aspek Pengendalian Pemanfaatan Ruang

Aspek Hukum dari Penataan ruang berdasarkan UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang Sebagai Aspek Pengendalian Pemanfaatan Ruang




Secara umum, instrumen hukum diartikan sebagai alat/dokumen yang dipergunakan sebagai dasar dalam melaksanakan suatu kegiatan.[1] Berkaitan dnegan ini, dalam pasal 35 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Dinyatakan bahwa: “Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi”, maka dari itu secara jelas bahwa peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi merupakan bagian darinstrumen hokum yang dapat digunakan dalam oemanfaatan pengendalian ruang. Berikut ini merupakan penjelsan dari masing-masing instrument tersebut, yaitu:
·         Peraturan Zonasi
Peraturan zonasi disusun berdasarkan rencana rinci tata ruang untuk setiap zona pemanfaatan ruang. Dalam hal ini peraturan zonasi ditetapkan dengan:
-          peraturan pemerintah untuk arahan peraturan zonasi sistem nasional;
-          peraturan daerah provinsi untuk arahan peraturan zonasi sistem provinsi
-          peraturan daerah kabupaten/kota untuk peraturan zonasi
·         Perizinan
Dalam hal ini, ketentuan perizinan diatur oleh Pemerintah dan pemerintah daerah menurut kewenangan masing-masing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan bersamaan dengan itu jika pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah terkait dapat di bbatalkan oleh pemegang kewenagan setempat sesuai kewenangannya. Izin pemanfaatan ruang juga dapat di batalkan jika ketika memperoleh izin tidak sesuai dengan prosedur yang telah ada.
·         Pemberian insentif dan disinsentif
Pelaksanaan pemanfaatan ruang diharapkan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dapat diberikan insentif dan/atau disinsentif oleh Pemerintah dan pemerintah daerah. Insentif makusdnya adalah perangkat atau upaya untukmemberikan imbalan terhadap pelaksanaankegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang, berupa: 1) keringanan pajak, pemberian kompensasi, subsidi silang, imbalan, sewa ruang, dan urun saham; 2) pembangunan serta pengadaan infrastruktur; 3) kemudahan prosedur perizinan; 4) pemberian penghargaan kepada masyarakat, swasta dan/atau pemerintah daerah.
Sementara itu disinsentif, makdunya adalah merupakan perangkat untuk mencegah, membatasi pertumbuhan, atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang, yang dapat berupa pengenaan pajak yang tinggi, maupun pembatasan penyediaan infrastruktur, pengenaan kompensasi, dan penalti.
·         Pengenaan sanksi
Pengenaan sanksi merupakan tindakan penertiban yang dilakukan terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan peraturan zonasi.

Pembuktian unsur-unsur pidana dalam hal terjadinya pelanggaran terhadap rencana tata ruang wilayah (RTRW) terkait dengan perizinan pemannfaatan ruang
Dalam hal ini pembuktian unsur-unsur pidana dalam hal terjadinya pelanggaran terhadap rencana tata ruang (RTRW) dapat dilakukan dnegan cara penyidikan sesuai dengan apa yang tercantum dalam BAB X tetang PENYIDIKAN, yang dijelaskan dalam Pasal 68 UU RI Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Dimana pembuktian unsur pidana selain dapat dilakukan oleh pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia, pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang penataan ruang diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk membantu pejabat penyidik kepolisian Negara Republik Indonesia. Dimana ini dilakukan dengan:
·         melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan terkait tindak pidana
·         melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana
·         meminta keterangan dan bahan bukti dari orang sehubungan dengan peristiwa tindak pidana
·         melakukan pemeriksaan atas dokumen-dokumen terkait tindak pidana
·         melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti dan dokumen lain serta melakukan penyitaan dan penyegelan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana
·         meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana
Contoh kasus yang pernah terjadi adalah pada tahun 2015 lalu dilaporkan oleh Dinas Pekerjaan Umum Nusa Tenggara Barat yang mengindikasikan sebanyak 96 bangunan di provinsi tersebut melanggar tata ruang wilayah, dan bangunan yang melangar itu tersebar di 10 kabupaten/kota di NTB. Bentuk pelanggaran tersebut diantaranya yaiatu mendirikan bangunan di sepadan pantai dan lahan pertanian produktif, dan di sepanjang aliran sungai. Pelanggran ini banyak terjadi di kawasan wisata, seperti di wilayah Kabupaten Lombok Barat, Lombok Utara, dan kota Mataram. Padalah berdasarkan Perda RTRW Provinsi NTB Nomor 3 tahun 2010, seharusnya batas bangunan untuk di pantai harus 100 meter dari bibir pantai. Namun, kenyataannya banyak di antara bangunan, seperti hotel yang sudah maupun sedang dibangun tanpa mengikuti petunjuk sesuai aturan yang ada. (Rusyanto, 2015)

Ini hanya versi sampel saja yaa..
Untuk versi komplit atau dibuatkan analisis kasusnya,
silahkan contact 085868o39oo9 (Diana)
Ditunggu ordernyaa.. 
 


[1] Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 777 Tahun 2016 Tentang Pedoman Penyusunan Keputusan Dan Instrumen Hukum Lainnya Pada Kementerian Agama