Tampilkan postingan dengan label hukum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hukum. Tampilkan semua postingan

Tinjauan Hukum terhadap Pernikahan Dini di Indonesia

 

Tinjauan Hukum terhadap Pernikahan Dini di Indonesia


 

I.                   Pendahuluan

Diskursus mengenai pernikahan dini di Indonesia bukan merupakan hal yang baru. Hal ini sudah sering menjadi topik utama di berbagai pembahasan. Pembahasan mengenai masalah ini pun telah dilakukan dari berbagai persepektif yang sebagian besar menyetujui bahwa hal ini kurang menguntungkan terutama bagi anak yang terlibat di dalamnya. Meskipun begitu, pembahasan mengenai masalah ini, masih sering dilakukan secara terus menerus. Hal ini disebabkan karena kasus yang berkaitan dengan masalah ini juga selalu muncul dan menimbulkan perbincangan.

Kasus pernikahan dini, sebagian besar terjadi di daerah, contohnya adalah yang terjadi di Kecamatan Halong, Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan. Salah satu kasusnya pernikahan dini tersebut terjadi antara D (15 tahun) dan DA (14 tahun). Keduanya masih bersekolah, D masih duduk di bangku SMP dan suaminya, DA, masih tercatat sebagai siswa kelas 5 sekolah dasar. Keduanya dinikahkan karena alasan untuk mencegah perbuatan zina yang dilarang agama (Intisari Online, 2019). Menilik pada usia disaat kedua orang tersebut menikah, hal ini tentu tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur pemerintah berdasarkan UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang menjelaskan bahwa batas minimal usia perkawinan bagi perempuan adalah 16 tahun dan 19 tahun bagi pria.

Pengaturan yang dilakukan pemerintah tersebut bukan tanpa alasan. Pernikahan dibawah umur pada waktu seseorang belum siap mental maupun kedewasaan jiwa kerap kali mengakibatkan terjadinya permasalahan dikemudian hari bahkan tidak jarang yang berantakan dan berakhir dengan perceraian, beda halnya jika pernikahan tersebut dilakukan oleh pasangan yang sudah sama-sama dewasa mayoritas memberikan dampak positif untuk kehidupan rumah tangganya baik itu kedewasaan jiwa maupun kesiapan mental (Khairillah, Jazari, & Faisol, 2019). Tinjauan mengenai dampak sosial yang ditimbulkan mengenai pernikahan dibawah umur seperti itu telah banyak dilakukan, namun masih jarang adanya tinjauan hukum terhadap masalah ini. Tulisan ini akan melakukan tinjauan hukum mengenai masalah pernikahan dini terutama mengenai sahnya pernikahan dibawah umur yang tidak dilakukan sesuai undang-undang serta status hukum anak yang dihasilkan dari pernikahan dini tersebut.

II.                Pembahasan

2.1.Tinjuan hukum terhadap sahnya pernikahan dibawah umur berdasarkan ketentuan undang-undang

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan menjelaskan bahwa Pernikahan merupakan suatu ikatan lahir maupun batin antara seorang laki-laki dengan perempuan sebagai suami istri yang sah dalam rangka untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum yang mempunyai akibat-akibat hukum. Sah atau tidaknya suatu perbuatan hukum ditentukan oleh hukum positif yang berlaku di suatu negara.

Berdasarkan hal tersebut, maka sah atau tidaknya suatu perkawinan atau pernikahan didasarkan pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan. Syarat-syarat sahnya perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 meliputi syarat-syarat materiil maupun formil. Syarat-syarat materil, yaitu syarat-syarat yang mengenai diri pribadi calon mempelai, sedangkan syarat-syarat formil menyangkut formalitas-formalitas atau tata cara yang harus dipenuhi sebelum dan pada saat dilangsungkannya perkawinan. Syarat materiil itu sendiri ada yang berlaku untuk semua perkawinan (umum) dan berlaku hanya untuk perkawinan tertentu saja (Purwaningsih & Muslicha, 2014).


2.2.Status hukum anak yang lahir dari pernikahan di bawah umur

Pria dan wanita melakukan perkawinan mempunyai tujuan yang sangat diharapkan oleh keduanya yaitu keturunan. Anak merupakan buah hati, oleh karena itu kehadirannya sangat dinantikan oleh keluarga. Kelahiran anak juga merupakan hal yang harus disyukuri dalam sebuah hubungan keluarga. Karena anak adalah sesuatu yang sangat berpengaruh demi kelangsungan hidup keluarga. Definisi anak adalah seorang lelaki atau perempuan yang belum dewasa atau belum mengalami masa pubertas (Tanmaela, 2013).

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pernikahan merupakan suatu perbuatan hukum. Oleh karena itu, hal ini akan menimbulkan suatu konsekuensi hukum. Hal ini termasuk akibat hukum yang akan didapatkan oleh suami dan istri setelah pernikahan dilaksanakan. Pernikahan dibawah umur merupakan pernikahan yang sah setelah mendapatkan dispensasi usia menikah, meskipun usianya masih di bawah umur. Hal ini kemudian mewujudkan suatu konsekuensi hukum bahwa anak tersebut telah dianggap dewasa dan dianggap cakap dalam melakukan suatu perbuatan hukum atau ia tidak berada di bawah pengampuan orangtuanya lagi. Oleh karena itu, ketika anak tersebut mengandung dan melahirkan seorang anak, maka anak tersebut menjadi anak sah sebagai akibat mereka dinikahkan. Dan apabila anak itu dinikahkan kemudian anak itu lahir sebagai anak sah, maka timbullah suatu hubungan perdata antara orang tua dan anak terhadap harta perkawinan. Anak sah dalam hal ini berarti anak tersebut lahir dari pasangan ayah dan ibu dari hasil pernikahan yang sah pula. 

Hukum Adat dan Agraria: Status Hukum Atas Kepemilikan Terhadap Rumah Susun Sederhana Milik Pemerintah

 

Hukum Adat dan Agraria: Status Hukum Atas Kepemilikan Terhadap Rumah Susun Sederhana Milik Pemerintah


Dalam satu Hukum Adat dan Agraria ada yang dikenal dengan status hak atas tanah. Status hak atas tanah ini ada bermacam-macam, khususnya dalam kepemilikan atas rumah tapak atau rumah susun. Rumah susun  atau Rusun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama (Pasal 1 ayat 1 UU no 20 tahun 2011).

Meskipun demikian, dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) tidak disebutkan secara khusus mengenai rumah susun. Dalam UUPA tersebut hanya menyebutkan sejumlah jenis hak atas tanah sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 16 Ayat 1 UUPA, yaitu: hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, hak-hak lain yang tidak termasuk hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53 (Syahmardan, n.d.).

Oleh sebab itulah, di Indonesia saat ini pengaturan tentang rumah susun diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, mengantukan peraturan sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun (JDIH, 2011). Mengenai hal ini, akan dibahas mengenai status kepemilikan tanah atas rumah rusun. Pengetahuan tentang status kepemilikan tanah atas rumah rusun perlu diketahui bagi mereka yang ingin membeli rumah susun. Berikut ini merupakan beberapa hal yang perlu dipahami, diantaranya:

 

 

1.      Asas Hukum Tanah Nasional Mengenai Rumah Susun

Seperti yang telah dikeahui sebelumnya, bahwa saat ini pengaturan hukum tanah nasional tentang rumah susun di Indonesia ditetapkan berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun. Dalam UU tersebut, terdapat suatu asas yang harus terpenuhi dalam hal penyelenggaraan umah susun. Asas ini tercantum dalam ketentuan Pasal 2 UU no 20 tahun 2011, yaitu: Kesejahteraan; Keadilan dan pemerataan; Kenasionalan; Keterjangkauan dan kemudahan; Keefisienan dan kemanfaatan; Kemandirian dan kebersamaan; Kemitraan; Keserasian dan keseimbangan; Keterpaduan; Kesehatan; Kelestarian dan berkelanjutan; Keselamatan, kenyamanan, dan kemudahan; Keamanan, ketertiban, dan keteraturan.

2.      Hak Atas Tanah untuk Pembangunan dan Hak Kepemilikan Rusun

a.      Hak Atas Tanah yang Dapat Digunakan untuk Pembangunan Rumah Susun

Pada dasarnya, tanah untuk membangun rumah rusun bukanlah tanah sembarangan, melainkan tanah dengn kriteria tertentu, khususnya dalam hal hak atas tanah untuk pembangunan rusun. Disebutkan dalam Pasal 17 UU no 20 tahun 2011, yang menyebutkan bahwa rumah susun dapat dibangun di atas tanah hak milik, hak guna bangunan atau hak pakai atas tanah Negara, dan hak guna bangunan atau hak pakai di atas hak pengelolaan. Ketentuan ini dilanjutkan berdasarkan Pasla 18, yang menyebutkan bahwa selain dibangun di atas tanah tersebut, rumah susun umum dan/atau rumah susun khusus dapat dibangun dengan pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa tanah (dilakukan dengan cara sewa atau kerja sama pemanfaatan), atau pendayagunaan tanah wakaf (dilakukan dengan cara sewa atau kerja sama pemanfaatan sesuai dengan ikrar wakaf).

b.      Status Hak Atas Tanah Bagi Pemilik Rumah Susun

Sementara itu, untuk status hak atas tanah bagi pemilik rumah susun atau hak kepemilikan atas sarusun (satuan rumah rusun) merupakan hak milik atas sarusun yang bersifat perseorangan yang terpisah dengan hak bersama atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama. Lebih lanjut, hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama tersebut dihitung berdasarkan atas NPP—nilai perbandingan proporsional, angka yang menunjukkan perbandingan antara sarusun terhadap hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang dihitung berdasarkan nilai sarusun yang bersangkutan terhadap jumlah nilai rumah susun secara keseluruhan pada waktu pelaku pembangunan pertama kali memperhitungkan biaya pembangunannya secara keseluruhan untuk menentukan harga jualnya. Ketentuan ini sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 46 ayat 1 dan 2, UU no 20 tahun 2011. 

 

 Ini hanya versi sampelnya saja ya...

Untuk file lengkap atau mau dibuatkan custom, silahkan PM kami ke

WA :
0882-9980-0026
(Diana)

Analisis Kasus Korupsi Proyek Revitalisasi Pasar

 

Analisis Kasus Korupsi Proyek Revitalisasi Pasar


A.    Pendahuluan

Pasar tradisional merupakan salah satu media kegiatan ekonomi masyarakat yang mempunyai nilai strategis untuk mendukung perkembangan dunia usaha dan mendorong kemajuan ekonomi masyarakat serta meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pasar tradisional adalah pasar yang memiliki peran penting untuk memajukan pertumbuhan ekonomi di Indonesia dan mempunyai keunggulan bersaing alamiah. Keberadaan pasar tradisional sangat membantu, tidak hanya untuk pemerintah daerah dan pemerintah pusat, tetapi juga masyarakat yang kebutuhan ekonominya dari kegiatan berdagang, karena dalam pasar tradisional mencakupsejumlah aktor yang mempunyai arti penting dan berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan baik pedagang, pembelidan sebagainya(Rosyidi, 2016).


B.     Tinjauan Umum Tindak Pidana Korupsi

Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin yaitu corruptio yang artinya adalah rusak, busuk, memutarbalik, dan menyogok. Dalam pengertianharfiah, korupsi merupakan perilaku pejabat publik, baik politisi dan pegawai negeri, yang dilakukan dengan cara yang tidak wajar dan tidak legal dengan tujuan untuk memperkaya diri atau memperkaya individu yang dekat dengan mereka, yang dilakukan dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan pada mereka.Dalam pengertian yang luas, korupsi atau korupsi politis merupakan bentuk dari tindakan penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Segalabentuk  praktikpemerintahan dinilai rentan terhadap tindakan korupsi(Paramastri, Setiyono, & Martini, 2013).


C.    Landasan Hukum dalam Pidana Korupsi

Berdasarkan pada kajian hukum pidana, Tindak Pidana Korupsiadalah objek hukum yang termasuk dalam salah satu delik khusus di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yangtelah diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Revisi atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Dalam pasal 2 ayat (1) UU Tindak Pidana Korupsitersebut juga mengkhendaki agar istilah korupsi diartikan sebagai setiap pihak baik pejabat pemerintah maupun swasta yang melawan hukum perbuatan memperkaya diri sendiri atau korporasi yang merugikan keuangan atau perekonomian negara. Dengan demikian, unsur perbuatan tindak pidana korupsi dalam pasal ini adalah adanya perbuatan yang melawan hukum; tujuannya adalah untukmemperkaya diri sendiri, orang lain, atau perusahaan; serta memiliki dampak yang merugikan keuangan atau perekonomian negara(Parawangsyah, 2017).


D.    Tindakan Korupsi dalam Proyek Revitalisasi Pasar di Indonesia

Pembiayaan negara dalam proyek revitalisasi pasar tradisional telah diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 61/M-DAG/PER/8/2015 tentang Pedoman Pembangunan dan Pengelolaan Sarana Perdagangan. Peraturan tersebut mengatur tentang bagaimana daerah meminta pendanaan yang ditujukan untuk revitalisasi pasar tradisional. Berdasarkan pada pasal 7, pasar rakyat tipe A dan tipe B yang bersumber dari APBN dilakukan menggunakan dana tugas pembantuan, sedangkan pasar rakyat tipe C dan tipe D menggunakan dana alokasi khusus. Untuk mendapatkan dana tersebut, pemerintah daerah mengajukan proposal ke Dirjen Perdagangan dalam Negeri Kemendag. Proposal tersebut mencakup latar belakang permintaan revitalisasi, maksud dan tujuan, titik koordinat lokasi pasar, jumlah dan daftar pedagang, serta komoditas perdaganan pasar. Proposal tersebut diteliti lagi oleh tim independen sebelum disetujui oleh menteri perdagangan(Mustofa, 2020).


E.     Implementasi Penerapan Hukum Pidana Korupsi di Proyek Revitalisasi Pasar

Salah satu contoh korupsi proyek revitalisasi pasar adalah pada revitalisasi Pasar Tanjung Bungin, Karawang, Jawa Barat pada tahun 2017. Dalam kasus korupsi ini terdapat penyimpangan dana revitalisasi pasar tradisional sebesar Rp 900 juta yang mencakup keterlibatan Ketua Koperasi, Sekretaris, dan Bendahara Koperasi Tanjung Bungin (Siahaan, Ronald, & Husin, 2020). Tiga tersangka telah melakukan penyalahgunaan wewenang sebagai pengurus koperasi dalam mengelola dana revitalisasi Pasar Tanjung Bungin. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan administrasi, terdapat kejanggalan pelaksanaan revitalisasi pasar yang dampaknya merugikan negara sebesar Rp 200 juta. Pelaksanaan revitalisasi pasar merupakan tanggung jawab tiga tersangka. Dan atas perbuatannya tersebut, tersangkan dijerat pasal 2 atau pasal 3 UU Tipikor Jo pasal 5 KUHPidana. Bantuan dana revitalisasi pasar tradisional tersebut diberikan melalui koperasi pasar sebesar Rp 900 jutauntuk membangun ulang bangunan pasar yang rusak dan tidak layak pakai. Bukti menunjukkan adanya perbuatan pelanggaran hukum, di mana berdasarkan bukti di lapangan, fisik bangunan yang telah selesai dikerjakan dinilai tidak sesuai dengan spesifikasi(Rihanto, 2017). Keterangan tersebut menunjukkan bahwa apa yang dilakukan oleh ketiga tersangka merupakan bentuk dari perbuatan pelanggaran hukum di mana mereka menyalahgunakan kewenangan yang dimilikiserta tindakan tersebut merugikan keuangan atau perekonomian negara.

CYBER-PANDEMIC: MASALAH HUKUM SIBER DI MASA PANDEMI COVID-19

 

CYBER-PANDEMIC: MASALAH HUKUM SIBER DI MASA PANDEMI COVID-19

 

1.      PENDAHULUAN

Organisasi Kesehatan Dunia menyatakan COVID-19 sebagai pandemi setelah terjadinya breakout di kota Wuhan, Cina. Penyakit ini telah berdampak negatif terhadap ekonomi global dan kehidupan sehari-hari. Sebagian besar negara di dunia telah memberlakukan pembatasan perjalanan, lockdown, dan langkah-langkah jarak sosial. Dalam situasi saat ini, Teknologi Informasi dan Komunikasi memainkan peran penting dalam menghubungkan orang karena kontak fisik harus sangat dibatasi. Mayoritas organisasi pendidikan telah mengadopsi platform online, siswa dan guru sama-sama bekerja dari rumah. Selain itu, bisnis jual beli, sistem e-kesehatan, pengiriman makanan, dan belanja bahan makanan online juga mengalami permintaan yang sangat tinggi.

Karena meningkatnya kontak antar manusia secara online ini, penyerang siber menganggap COVID-19 sebagai kesempatan untuk meluncurkan serangan demi keuntungan finansial dan untuk melaksanakan niat jahat mereka. Sistem perawatan kesehatan diserang dengan ransomware dan sumber daya seperti kerahasiaan catatan pasien, dan integritas menjadi berisiko untuk bocor ke tangan pelaku kejahatan tersebut. Orang-orang menjadi mangsa serangan phishing melalui konten terkait COVID-19.[1]

Sejakpandemi COVID-19, fokus pada perlindungan data pribadi yang ketat atau menjaga privasi individu menjadi lebih rumit dengan kebutuhan untuk mendukung upaya kesehatan masyarakat yang memerlukan beberapa tingkat pengawasan global yang dibantu dengan teknologi digital baru. Hal ini menarik perhatian terhadap teknologi Internet of Things (IoT) karena kemampuannyauntuk beroperasi secara mandiri untuk mengumpulkan, menganalisis, dan berbagi data tentang lingkungan fisik, yang menjadikannya elemen penting dalam digitalisasi manajemen pandemi. Akan tetapi, mengamankan perangkat IOT dan memastikan tingkat pemeliharaan setara dengan sistem kritis lainnya, seperti khas industri telekomunikasi, misalnya, akan memerlukan peningkatan biaya awal untuk produksi.[2]Kerentanan digital tersebut berpotensi memunculkan masalah hukum siber. Dalam tulisan ini, potensi masalah beserta landasan hukum yang mengaturnya akan didiskusikan secara lebih rinci.

 

2.      PEMBAHASAN

2.1.   Masalah Hukum yang Timbul dari Cyber-Pandemic

Hukum siber digunakan untuk menggambarkan masalah hukum terkait penggunaan teknologi komunikasi, khususnya “cyberspace” yang dikenal sebagai Internet. Hukum siber berbeda dari hukum lain tetapi mencakup kejahatan dunia maya termasuk kekayaan intelektual, privasi, kebebasan berekspresi, dan yurisdiksi. Hukum siber adalah upaya untuk menerapkan hukum yang dirancang untuk dunia fisik, untuk aktivitas manusia di Internet. Berikut ini adalah beberapa kegiatan yang berada di bawah kejahatan dunia maya yaitu[3]:

1.      

2.2.   Konsep Cyber-Pandemic

Cyberpandemic adalah gangguan besar pada layanan komputasi yang dapat memicu kegagalan orde kedua dan ketiga dalam sistem komputasi dan non-komputasi di seluruh dunia. Cyberpandemicdapat dikenali melalui kegagalan yang meluas atau tidak berfungsinya sistem-sistem infrastruktur yang kritis dengan sejumlah besar kerusakan yang terkait dengan masyarakat (seperti fisik, psikologis, atau finansial). Karakteristik daricyberpandemicadalah sebagai berikut[5]:

·  

2.3.   Contoh Kasus

Check Point, sebuah perusahaan cybersecurity, melaporkan bahwa, sejak Januari 2020, lebih dari 4.000 domain internet baru yang terkait dengan COVID-19 telah terdaftar, dan domain-domain tersebut kemungkinan 50 persen lebih berbahaya daripada domain lain.Sebagian besar serangan siber terkait COVID-19 datang dalam bentuk phishing, upaya penipuan untuk mencuri informasi pribadi. Baru-baru ini, ada email yang terlihat dikirim oleh Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO dengan lampiran e-book yang diklaim berisi penelitian ekstensif tentang COVID-19. Alih-alih, dokumen tersebut justru memuat trojan yang mencuri kata sandi, detail kartu kredit, atau informasi karyawan, lalu mengirimkan informasi ini kepada pelaku.

Pandemi COVID-19 lebih berbahaya bagi generasi yang lebih tua dan tampaknya cyberpandemic pun juga akan hampir sama. Generasi pekerja yang lebih tua, lebih cenderung menjadi "imigran digital" yang masih membiasakan diri dengan keterampilan dan digitalisasi TIK selama kerja jarak jauh. Mereka akan menjadi kelompok yang lebih rentan untuk menjadi korban dari pandemi siber tersebut.

Sektor kesehatan juga akan rentan karena memiliki banyak data yang berharga dan sensitif. Sebagai contoh, rumah sakit terbesar kedua di Republik Ceko yang bertanggung jawab untuk menjalankan tes COVID-19 mengalami serangan, yang memaksa rumah sakit untuk sementara waktu mematikan jaringan IT. Dalam sistem kesehatan yang kewalahan oleh wabah COVID-19, serangan ransomware yang melumpuhkan jaringan rumah sakit dapat menyebabkan sistem berhenti bekerja. Sistem kesehatan Indonesia seharusnya tidak meremehkan biaya ketidakamanan cyber. Hal ini karena beberapa tahun lalu, ransomware WannaCry global membuat informasi online pasien tidak dapat diakses di rumah sakit Dharmais dan Harapan Kita di Jakarta pada tahun 2017.[6]

 

2.4.   Hukum Positif di Indonesia

Cyberpandemicdapat dikategorikan sebagai tindak pidana penggelapan (Pasal 372 dan 374 KUHP). Ketika berhadapan dengan tindak pidana penyebaran malware menimbulkan masalah baru yang akan muncul, karena dalam hukum acara pidana yang berlaku tidak diatur mengenai alat bukti elektronik. Namun demikian, saat ini telah berlaku Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE) yang didalamnya mengatur berbagai aktifitas yang dilakukan dan terjadi di dunia maya, termasuk pelanggaran hukum yang terjadi. Salah satu pelanggaran hukum tersebut adalah penyebaran malware atau ransomware.


2.5.   Perbandingan Pengaturan Hukum

2.5.1.      Singapura

Singapura secara aktif mendukung upaya global dalam memberantas kejahatan dunia maya dengan berpartisipasi dalam berbagai skema, seperti Perjanjian Wassenaar yang mempromosikan perang melawan terorisme, dan menjadi anggota organisasi seperti Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia yang mempromosikan hak kekayaan intelektual. Singapura juga telah menyelaraskan diri dengan persyaratan hukum Konvensi Budapest, meskipun bukan merupakan negara penandatanganan.

Secara lebih khusus, Singapura telah meloloskan undang-undang untuk memberikan yurisdiksi teritorial yang luas, untuk memungkinkan penegakan hukum baik pada kasus di mana pelanggaran terjadi di Singapura, pelaku berada di Singapura saat pelanggaran dilakukan, atau fasilitasi pelanggaran dilakukan oleh komputer di Singapura. Dimaksudkan sebagai pencegah, aturan tersebut berupaya untuk mencegah kejahatan global siber dunia dari Singapura, meskipun sebenarnya jarang dilakukan.[8]

Prinsip Hukum Perdata Internasional Dalam Perjanjian Dan Tort

Prinsip Hukum Perdata Internasional Dalam Perjanjian Dan Tort


A.    Pendahuluan

Hukum sudah menjadi bagian dari tatanan kehidupan manusia sejak lama. Manusia dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial (zoon politicon) tidak bisberbuat sekehendak hatinya karena terikat norma dan peraturan perundang-undangan yang ada dan berlaku di mana dia berada. Hal ini mengandung konsekuensi bahwa setiap bertindak manusia harus mengacu dan berdasarkan diri pada norma dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik norma agama, norma kesusilaan, norma adat maupun norma hukum.[1]

Dalam hal ini, yang dinamakan sebagai hukum adalah peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah. Hukum juga dapat diartikan sebagai suatu undang-undang, peraturan, yang digunakan untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat.[2] Hukum ada sangat beraneka ragam jenisnya, seperti hukum yang masuk dalam kelompok hukum pidana dan hukum perdata. Selain itu, jika dilihat dari skala berlakunya hukum, ini ada hukum yang bertaraf nasional maupun internasional. Hukum di tingkat nasional artinya hukum yang hanya berlaku di suatu negara tertentu. Sementara hukum internasional jangkauannya jauh lebih luas.

Dalam makalah ini akan dibahas tentang hukum perdata internsional dan beberapa prinsip didalamnya. Hukum perdata mengandung arti sebagai hukum yang mengatur hubungan antar perseorangan yang memilki karakter mengatur dengan tujuan melindungi kepentingan individu (individual interest).[3] Ini juga dapat diartikan seabgai ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan antaraindividu-individu dalam masyarakat.[4] Sementara itu, yang dinamakan sebagai hukum perdata internasional adalah keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan stelsel hukum manakah yang berlaku dan apakah yang merupakan hukum, jika hubungan dan peristiwa antarwarga (warganegara) pada suatu waktu tertentu memperlihatkan titik-titik pertalian dengan stelsel dan kaidah hukum dari dua atau lebih negara, yang berbeda dalam lingkungan kuasa setempat.[5] Mengenai penjelasan tersebut, maka dalam makalah ini akan dibahas tentang apa yang disebut sebagai hukum perdata Internasional, khususnya dalam prinsipnya yang menyangkut tentan Perjanjian dan Tort.


B.     Pembahasan

1.      Konsep Hukum Perdata Internasional

Hukum Perdata Internasional(HPI) dapat juga disebut sebagai Private International Law atau International Private Law. hukum perdata internasional adalah keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan stelsel hukum manakah yang berlaku dan apakah yang merupakan hukum, jika hubungan dan peristiwa antarwarga (warganegara) pada suatu waktu tertentu memperlihatkan titik-titik pertalian dengan stelsel dan kaidah hukum dari dua atau lebih negara, yang berbeda dalam lingkungan kuasa setempat.[6] Disisi lain, hukum perdata internasional juga diartikan sebagai keseluruhan kaidah dan asas hukum yangmengatur hubungan perdata yang melintasi batas negara, dengan perkataan lain, hukum yangmengatur hubungan hukum perdata antara para pelaku hukum yang masing-masing tunduk padahukum perdata yang berbeda.[7]


2.      Prinsip Hukum Perdata Internasional

Dalam pelaksanaan hukum perdata Internasional, ada prinsp prinsip tertentu yang harus ditaati. Misalny saja, prinsip dalam: a) prinsip hukum perdata internasional dalam hukum subjek, keluarga dan properti; b) prinsip hukum perdata internasional dalam perjanjian dan tort; c) hal pengakuan dan pelaksanaan atas putusan pengadilan asing, dan lain sebagainya.  dalam makalah ini, akan dibahas tentang prinsip hukum perdata internasional dalam perjanjian dan tort. Sebelum mengarah lebh jauh, akan dijelaskan terlebih dulu apa yang dimaksud sebagai perjanjian dan tort.

Mengani hal ini, perjanjian dan tort sama sama berhubungan dengan suatu hukum perdata. Mengani hal ini, maka dalam makalah ini akan dibahas mengenai prinsip hukum perdata internasional dalam perjanjian adan tort tersebut, yaitu:

a.      PrinsipHukum Perdata Internasional dalam Perjanjian

Penjanjian adalah suatu persetujuan (tertulis atau dengan lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu.[19] Perjanjian memiliki peran yang sangat penting dalam hubungankeperdataan. Sebab dengan adanya perjanjian tersebut akan menjadijaminan hukum para pihak dan menjadi bukti bahwa telah benar-benardiadakan perjanjian.[20]

Dalam hal ini, perjanjian dapat hukum perikatan ataupun kontrak.[21]Kontrak dalam bahasa Indonesia sering disebut sebagai “perjanjian”.Meskipun demikian, apa yang dalam bahasa Indonesia disebut perjanjian,dalam bahasa Inggris tidak selalu sepadan dengan contract.Istilahcontract digunakan dalam kerangka hukum nasional atau internasionalyang bersifat perdata. Dalam kerangka hukum internasional publik, yangkita sebut “perjanjian”, dalam bahasa Inggris seringkali disebut treatyatau kadang-kadang juga covenant. Contract sendiri dalam Black’s Law Dictionarydiartikan sebagai  Perjanjian antara dua orang atau lebih yang menciptakan suatu kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan hal yang buruk.[22]

b.      Prinsip Hukum Perdata Internasional Tort

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, tort adalahtindakanyang salah, bukan termasuk pelanggaran kontrak atau kepercayaan, dan ini akanmengakibatkan cedera pada orang lain, milik, reputasi, atau sejenisnya. Tort merupakan suatu perbuatan salah dalam hukum dan merupakansalah satu bidang dari hukum perdata seperti halnya hukum kontrakdan hukum harta kekayaan. Berbeda dengan hukum pidana, di manapengugatnya selalu negara dan tergugatnya jika dinyatakan bersalahmenerima hukuman pidana, namun pada sengketa dalam hukum perdatabiasanya antar pihak-pihak privat (meskipun pemerintah juga menuntutdan dituntut).Dalam kasus tort penggugat sebagai korban yang kemudian dimintakanganti kerugian kepada pengadilan agar pelakunya membayar gantikerugian atau lainnya untuk berhenti melakukan perbuatan yang salah(apa yang disebut injunctive legal).[26]


Principle of Private International Law in Agreement and Tort

 

Principle of Private International Law in Agreement and Tort


A.    Pendahuluan

Di era globalisasi ini, kontrak internasional merupakan bidang hukum yang sangat penting untuk mendukung kegiatan perdagangan dan transaksi bisnis internasional. Terlebih saat ini semua negara di dunia dihadapkan dengan perkembangan perekonomian global yang bergerak semakin ketat dan kompetitif, sehingga masing-masing negara saling bekerja sama untuk dapat bertahan dan memenangkan persaingan tersebut. Dalam hal ini, perkembangan kerjasama ekonomi internasional tersebut juga mengakibatkan semakin aktivitas atau transaksi internasional dimana hal tersebut tentu melibatkan berbagai pihak asing, seperti misalnya pihak terkait ekspor-impor, investasi, perkreditan atau pembiayaan perusahaan, dan sebagainya, yang mana kemudian menyebabkan hubungan antara negara-negara yang bekerja sama akan semakin erat.Hal inilah yang menyebabkan tatanan dan ketentuan hukum dan kontrak yang mengatur transaksi bisnis internasional juga semakin berkembang. Yang mana hukum tersebut tidak lagi dapat ditentukan oleh aturan hukum masing-masing negara, namun mengarah kepada aturan yang bersifat internasional sebagai wujud dari hasil upaya unifikasi, penyeragaman ataupun harmonisasi. Akitbat, saat ini banyak prinsip-prinsip dan norma-norma hukum yang berkembang bagi kegiatan transaksi bisnis internasional, baik dalam bentuk hard laws, soft laws maupun yang bersumber dari kebiasaan perdagangan internasional.[1]

Sehubungan dengan hal tersebut, kontrak atau perjanjian adalah salah satu hal yang penting dalam transaksi bisnis internasional. Dimana kontrak atau perjanjian tersebut seringkali dijadikan rujukan utama oleh para pihak dalam pelaksanaan suatu hal yang diperjanjikan hingga penentuan bagaimana cara penyelesaian yang akan ditempuh jika di kemudian hari pelaksanaan kontrak tersebut tidak dapat direalisasikan sebagaimana mestinya. Dalam hal ini, kontrak atau perjanjian adalah suatu kesepakatan yang dilakukan antara dua orang atau lebih mengenai suatu hal tertentu yang disetujui oleh keduanya. Dalam ruang lingkup yang mengikatnya, kontrak terbagi menjadi dua macam, yaitu kontrak nasional dan kontrak internasional. Kontrak internasional inilah yang sering dipakai dalam perdagangan internasional, yang mana di dalamnya mencakup sistem hukum dari salah satu pihak yang terlibat dalam kegiatan kontrak tersebut sebagaimana pilihan hukum yang disepakati diantara keduanya.[2]

Sayangnya, dalam pelaksanaannya, sistem hukum tersebut seringkali menjadi penghambat dalam pelaksanaan transaksi bisnis internasional yang cenderung menghendaki kecepatan dan kepastian. Hal ini dikarenakan para pelaku bisnis cenderung mengalami kesulitan untuk menyesuaikan pilihan hukumnya, sebab pada dasarnya masing-masing negara memiliki hukumnya tersendiri dan berbeda-beda, sehingga pelaksanaannya pun juga menjadi berbeda-beda.Akibatnya mereka membutuhkan hukum atau peraturan yang bersifat universal dan internasional untuk menunjang dan mendukung hal tersebut. Oleh karena itu, hingga saat ini banyak prinsip-prinsip dan norma-norma hukum yang berkembang bagi kegiatan transaksi bisnis internasional. Hal ini dilakukan untuk menciptakan suatu harmonisasi hukum dalam perdagangan internasional.[3]Karenanya, prinsip-prinsip, terminologi, dan ketentuan-ketentuan yang dikembangkan telah dirumuskan sedemikian rupa agar dapat menjadi aturan main atau landasan atau pedoman yang sangat jelas bagi para pihak yang terlibat dalam berbagai perjanjian internasional sehingga pelaksanaannya dapat berjalan lancar dan efektif. Berdasarkan hal tersebut, makalah ini akan membahas mengenai prinsip-prinsip hukum internasional swasta dalam perjanjian dan gugatan perjanjian.

B.     Pembahasan

Perjanjian merupakan salah satu sumber yang bisa menimbulkan perikatan. Adapun pengertian dari perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Meskipun bukan yang paling dominan, namun pada umumnya perikatan yang lahir dari perjanjian merupakan yang paling banyak terjadi dalam kehidupan manusia sehari – hari, dan yang juga ternyata banyak dipelajari oleh ahli hukum, serta dikembangkan secara luas oleh legislator, para praktisi hukum, serta juga pada cendekiawan hukum, menjadi aturan-aturan hukum positif yang tertulis, yurisprudensi dan doktrin – doktrin hukum yang dapat kita temui dari waktu ke waktu.



[1]Supancana, I. B. (2012). Perkembangan Hukum Kontrak Dagang Internasional. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional.

[2]Adolf, H. (2008). Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional. Bandung: PT Refika Aditama.

[3]Ibid.

POLITIK HUKUM PADA PELAKSANAAN PEMILIHAN UMUM

POLITIK HUKUM PADA PELAKSANAAN PEMILIHAN UMUM


PENDAHULUAN

Salah satu cara atau sarana untuk menentukan orang-orang yang akan mewakili rakyat dalam menjalankan pemerintahan adalah dengan melaksanakan pemilu. Pemilihan umum adalah proses memilih orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan tersebut beraneka ragam, mulai dari presiden, wakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa.Pemilu merupakan salah satu usaha untuk mempengaruhi rakyat secara persuasive (tidak memaksa) dengan melakukan kegiatan retorika, public relations, komunikasi massa, lobby, dan lain-lain.[1]

Indonesia dalam sejarahnya mengatur pemilu dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.Ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut merupakan pengaturan secara normatif penyelenggaraan pemilu sebagai sarana kedaulatan rakyat dalam negara demokrasi.Setelah Orde Baru jatuh tahun 1998, maka perubahan karakter rezim terjadi secara struktural. Maka untuk menyambut kehadiran rezim baru, tahun 1999 diselenggarakan pemilihan umum pertama pasca-Orde Baru dengan Undang-Undang Pemilu yang disusun dan dibentuk secara demokratis. Di dalam undang-undang ini dimuat definisi tentang pemilihan umum sebagai berikut:

“Pemilihan umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.”

Itulah sebabnya, politik hukum undang-undang ini menentukan bahwa pemilihan umum merupakan sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam rangka keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.Pemilihan umum bukan hanya bertujuan untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk dalam lembaga permusyawaratan/perwakilan, melainkan juga merupakan suatu sarana untuk mewujudkan penyusunan tata kehidupan negara yang dijiwai semangat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

PERMASALAHAN

Ditinjau dari politik hukumnya, ada berbagai permasalahan yang akan didiskusikan dalam tulisan ini:

1.      Perkembangan politik hukum pemilihan umum di Indonesia. Perkembangan politik hukum pemilu dari masa ke masa mengalami pergeseran yang signifikan. Pemilu dianggap sebagai bentuk nyata dari demokrasi serta wujud paling konkret dari partisipasi masyarakat dalam ikut serta dalam penyelenggaraan negara. Oleh karena itu, sistem dan penyelenggaraan pemilu hampir selalu menjadi pusat perhatian utama karena melalui penataan, sistem dan kualitas penyelenggaraan pemilu diharapkan dapat benar-benar mewujudkan pemerintahan yang demokratis.[2]

2.      Politik hukum regulasi pemilihan umum. Ada lima isu penting sesungguhnya yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Lima isu tersebut diantaranya yaitu ambang batas parlemen atau electoral threshold, ambang batas presiden atau presidential threshold, sistem pemilihan umum, daerah pemilihan magnitude, dan metode konversi suara. Lima isu tersebut jika tidak segera diklarifikasi dan dijelaskan secara gamblang kepada masyarakat luas akan menyebabkan permasalahan.[3]

3.      Politik hukum tindak pidana politik uang pemilihan umum.Politik uang tidak seirama dan senyawa dengan 3 tujuan penyelenggaraan Pemilu yakni sebagai berikut: pertama, memperkuat sistem ketatanegaraan yang demokratis. Kedua, mewujudkan Pemilu yang adil dan berintegritas. Ketiga, mewujudkan Pemilu yang efektif dan efisien. Politik uang, jelas tidak dapat memperkuat sistem ketatanegaraan karena demokrasi dibajak melalui korupsi elektoral.[4]

4. Politik hukum pasca putusan mahkamah konstitusi atas pelaksanaan pemilu dan pemilukada.Implementasi di lapangan masih menunjukkan adanya fenomena yang merusak citra pemilu dan pemilukada itu sendiri, seperti money politics, ketidaknetralan aparatur penyelenggara, kecurangan berupa pelanggaran kampanye dan penggelembungan suara, serta penyampaian pesan-pesan politik yang bernuansa sektarian berujung kepada retaknya bingkai harmonisasi kehidupan masyarakat.

 

PENYELESAIAN MASALAH

1.      Perkembangan politik hukum pemilihan umum di Indonesia

Pemilihan Umum merupakan salah satu sendi untuk tegaknya sistem politik demokrasi. Tujuan Pemilihan Umum tidak lain adalah untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip demokrasi, dengan cara memilih wakil rakyat di badan perwakilan rakyat. Kesemuanya itu dilakukan dalam rangka mengikutsertakan rakyat dalam kehidupan ketatanegaraan.

Secara sederhana politik hukum dapat diartikan sebagai kebijakan negara tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak diberlakukan di dalam negara yang bentuknya dapat berupa pembentukan hukum-hukum baru atau pencabutan dan penggantian hukum-hukum lama untuk disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Dengan kata lain kebijakan negara tentang hukum termasuk hukum pemilu dimungkinkan untuk membentuk hukum yang baru atau mengganti hukum yang lama dalam upaya menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Demikian pula dilihat dari segi daya laku norma sebuah norma hukum ada yang berlaku sekali saja selesai (einmahlig) dan norma hukum yang berlaku terus menerus (dauerhaftig).[5]