Tampilkan postingan dengan label refleksi budaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label refleksi budaya. Tampilkan semua postingan

Refleksi Budaya Jawa Dari Film Pendek TILIK (Bu Tedjo)

 

Refleksi Budaya Jawa Dari Film Pendek TILIK (Bu Tedjo)

 


Pendahuluan

Salah satu bentuk sarana hiburan yang banyak dimanfaatkan masyarakat ada dalam bentuk film. Film memiliki peran sebagai sarana hiburan yang memberikan penawaran mengenai impian kepada penonton ke dalam kejadian dan peristiwa yang terjadi. Hal ini disebabkan karena selama menonton film penonton berubah menjadi pusat segala kejadian dan peristiwa yang di suguhkan, sehingga seolah-olah khalayak penonton ikut merasakan dan menjadi bagian di dalamnya. Hal ini berarti terdapat kemungkinan film untuk dapat mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan di baliknya tanpa pernah berlaku sebaliknya (Sobur, 2003).

Belakangan ini terdapat sebuah film pendek yang mendapatkan perhatian dari masyarakat. Film berjudul “TILIK” yang dalam bahasa jawa berarti menjenguk ini, menunjukkan sebuah fenomena dimana terdapat sekelompok ibu-ibu dari pedesaan di pinggiran Yogyakarta yang ingin pergi ke rumah sakit untuk menjenguk Bu Lurah. Fokus utama film ini berada pada obrolan yang diberikan bumbu gosip oleh para ibu-ibu tersebut dan terpusat pada Bu Tejo yang membicarakan salah seorang perempuan di desa tersebut, Dian, yang disinyalir memiliki tindak tanduk yang kurang baik. Hal ini kemudian mendapat tanggapan yang beragam dari ibu-ibu lainnya ada yang setuju, ada pula yang tidak setuju seperti tokoh Yu Ning, yang menunjukkan ketidak nyamanannya dengan perkataan Bu Tejo (Efendi, 2020).

Film “TILIK” yang telah mendapatkan perhatian publik akibat plotnya yang menggelitik dan menampilkan beberapa kritik sosial ini kemudian juga mendapatkan pujian dan kritikan dari beberapa pihak. Kritik yang muncul pada umumnya berkaitan dengan bagaimana film tersebut dinilai tidak mendidik karena menampilkan gosip dan mengklarifikasi informasi yang belum tentu benar (CNN Indonesia, 2020). Namun hal ini pada dasarnya melenceng jauh dari apa yang ingin diperlihatkan sutradara film ini. Film ini sesungguhnya hanya ingin menunjukkan sebuah realitas sosial yang menunjukkan budaya orang-orang Indonesia, khususnya masyarakat jawa, mengenai gotong-royong dan tolong menolong, mengekspresikan solidaritasnya kepada satu sama lain, dalam bentuk menjenguk tetangga atau kerabat yang sakit. Hal ini bahkan tidak dapat dihalangi oleh jarak yang jauh. Tulisan ini akan melakukan analisa terhadap refleksi budaya jawa tersebut yang muncul dalam film TILIK.  

Pembahasan

Film sebagai refleksi realitas sosial

Pada dasarnya film yang dibuat memiliki dua elemen utama, yaitu: elemen narasi dan sinematik. Kedua elemen terkait satu sama lain untuk membuat sudut pandang sinematik dan estetika film (Tarmawan & Amalina, 2019). Film TILIK yang ditayangkan kepada publik melalui platform Youtube beberapa waktu yang lalu menggambarkan sebuah narasi mengenai upaya ibu-ibu di pinggiran Yogyakarta yang bersama-sama pergi untuk menjenguk Bu Lurah yang sedang sakit. Hal tersebut menggambarkan suatu realitas sosial dimana kepedulian terhadap sesama masyarakat yang mengalami musibah ditunjukkan dengan menjenguknya secara bersama-sama.

Budaya kolektif

Seperti pada budaya Timur lainnya, budaya Indonesia secara umum serta budaya Jawa cenderung kolektif. Dalam suatu budaya yang kolektif perilaku dari para anggotanya sangat ditentukan oleh keanggotaan kelompok dan kebersamaan dan harmoni (Masturi, 2015). Hal ini kemudian mendorong perilaku-perilaku yang dilakukan didasarkan pada dorongan-dorongan yang ada disekitar individu. Budaya kolektif yang ditunjukkan dalam masyarakat Jawa menggambarkan kerangka sosial yang kuat karena terdapat perbedaan antara di dalam kelompok (in-group) dan di luar kelompok (out-group) (Hofstede, 1980). Orang berharap untuk dilindungi dan diperhatikan oleh in-group mereka yang terdiri dari keluarga besar dan keluarga dekat, suku, atau bahkan desa. Perhatian utama dari individu di dalam in-group adalah mencari untuk kebaikan anggota lain terdekat. Hofstede (1980) mengindikasikan bahwa di dalam masyarakat kolektif, kualitas kehidupan yang tinggi didefinisikan lebih pada hubungan keluarga dan in-group.

Hal ini tercermin dalam film TILIK dari bagaimana para ibu-ibu tersebut secara bersama-sama mengekspresikan kepeduliannya kepada tetangga yang sakit dengan menjenguknya meskipun terdapat halangan berupa jarak yang harus mereka tempuh. Sikap kepedulian juga muncul ketika truk yang membawa mereka ke kota tersebut mogok. Sebagian besar dari ibu-ibu tersebut membantu mendorong truk yang menunjukkan suatu sikap kolektif, yaitu saling membantu dan bekerja sama.

Refleksi budaya “tilik” atau menjenguk orang sakit

Menurut Alkhajar (2013), film bukan merupakan entitas yang netral dan bebas nilai. Hal ini disebabkan karena film merupakan media yang efektif dalam membawa pesan-pesan yang memang dilekatkan dan ditanamkan padanya untuk kemudian disampaikan kepada segenap penontonnya (Karkono, Maulida, & Rahmadiyanti, 2020). Oleh karenanya, film kemudian membawa nilai yang mencerminkan diri masyarakat. Selain itu, film juga kemudian dapat digunakan sebagai penuangan nilai kepada penonton. Hal ini kemudian menyebabkan film dapat menjadi sebuah arahan dan penunjukkan nilai yang dapat mempengaruhi khalayak yang menontonnya.