Kebijakan Luar Negeri Filipina pada
Era Presiden Duterte
A.
Pendahuluan
Negara
yang merdeka dan berdaulat menjalankan kebijakan politik luar negerinya dalam
dunia internasional. Kebijakan politik luar negeri suatu negara menunjukkan
kepentingan nasional negara tersebut. Dalam hubungannya dengan kepentingan
nasional, kebijakan politik luar negeri suatu negara bertujuan untuk dapat
memperjuangkan kepentingan nasional negara dengan tepat. Hal tersebut tidak lepas
dari peran pemerintahan yang berkuasa dalam negara tersebut. Filipina sebagai
negara yang merdeka dan berdaulat juga memiliki peran aktif dalam politik
internasional melalui politik luar negerinya yang merupakan cerminan dari
kepentingan nasionalnya. Kepentingan nasional Filipina juga masih memiliki
keterkaitan dengan sejarah panjang negara Filipina sejak awal. Filipina yang
pernah berada di bawah kekuasaan Amerika Serikat, masih membawa pengaruh
nilai-nilai Amerika Serikat yang tertanam. Bahkan, kerja sama antara Amerika
Serikat dengan Filipina pun dinilai sangat baik yang ditunjukkan dengan
mengizinkan tentara Amerika Serikat untuk mempunyai pangkalan dan melakukan
pelatihan militer di wilayahnya, yaitu di Mindanao. Kecenderungan politik luar
negeri Filipina pun tidak lepas dari kolonial Amerika Serikat (Putri, 2017).
Pada
Mei 2016 Rodrigo Duterte resmi menjadi Presiden Filipina ke-16 setelah
memenangkan pemilihan umum Presiden. Di masa pemerintahan Presiden Duterte yang
masih terbilang baru, Presiden Duterte sudah banyak mengeluarkan
kebijakan-kebijakan yang dinilai sangat kontroversial, seperti kebijakan
Presiden Duterte untuk menembak mati para pengedar narkoba yang menolak untuk
ditangkap. Kebijakan Duterte yang terbilang ekstrem ini mengundang perhatian
dari berbagai pihak termasuk organisasi internasional tertinggi yaitu PBB
(Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang menilai bahwa kebijakan Presiden Duterte ini dinilai
telah melanggar hukum internasional tentang HAM (Hak Asasi Manusia). PBB dan
beberapa negara di DK-PBB (Dewan Keamanan PBB) meminta Presiden Duterte untuk menarik
kebijakan tersebut karena dinilai sebagai pelanggaran terhadap hukum
internasional (Lubis, 2017).
B.
Pembahasan
1.
Kebijakan
luar negeri Filipina terkait Laut Cina Selatan
a.
Hubungan
Filipina dengan Cina
Konflik
terkait Laut Cina Selatan mencakup kawasan Spratlys dan Scarbourogh dalam
beberapa periode sejak 1970-an seolah dinilai telah menjadi pembentuk pola
hubungan antara Filipina dengan Cina. Terkait permasalahan sengketa tersebut,
isu terbaru adalah klaim 9 dash line
oleh Cina pada tahun 2009 yang memulai memanasnya hubungan di antara kedua
negara. Dalam klaim terbaru, Cina menetapkan wilayah lautan yang dimiliki mencakup
seluruh bagian Laut Cina Selatan seperti yang tertera dalam peta resmi pada
pemerintahan Kuomintang tahun 1947 dan masa awal pemerintahan Cina tahun 1949.
Bagi Filipina dan Cina, Laut Cina Selatan memiliki nilai strategis tersendiri
yang kemudian mendasari sengketa perebutan wilayah beserta dengan negara
pengklaim lainnya. Laut Cina Selatan dianggap sebagai salah satu laut
terpenting seiring dengan peranannya sebagai penghubung perdagangan dunia serta
kekayaan alam di dalamnnya. Sejak awal permasalahan ini muncul, secara
konsisten Pemerintah Filipina melakukan perimbangan dalam mengatasi ancaman Cina
terutama melalui Amerika Serikat dan ASEAN sebagai aliansi utama (Numadi, 2018).
b.
Dasar
dan tujuan kebijakan luar negeri Filipina terkait Laut Cina Selatan di era
Presiden Duterte
Terdapat
pergeseran pendekatan strategi yang signifikan terhadap Cina pada era
pemerintahan Presiden Duterte. Secara umum, Amerika Serikat masih menjadi
sekutu terdekat Filipina, dan di sisi lain, Cina masih dipandang sebagai
ancaman. Namun di bawah pemerintahan Presiden Rodrigo Duterte, kebijakan luar
negeri Filipina mengalami pergeseran yang signifikan yang dapat dilihat dari
pernyataan Presiden Duterte yang mengatakan berpisah dengan Amerika Serikat
saat berkunjung ke Beijing bulan Oktober 2016. Kunjungan Presiden Duterte ke
Beijing tersebut menghasilkan Joint
Statement yang secara umum menggambarkan hubungan bersahabat kedua bangsa
yang sudah terjalin sejak lama. Selain itu, kedua negara sepakat untuk
meningkatkan hubungan bilateral, yang berdasar pada mutual respect, ketulusan,
persamaan derajat, serta mutual benefit. Terkait isu Laut Cina Selatan, kedua
negara sepakat bahwa sengketa di Laut Cina Selatan tidak menunjukkan hubungan
Filipina-Cina secara keseluruhan. Hubungan antara Filipina dengan Cina menjadi
erat yang dapat dilihat dari kesediaan dan keterbukaan Presiden Duterte
terhadap kerjasama militer dengan Cina di perairan Sulu. Hal itu disampaikan
Duterte setelah mengunjungi dua kapal perang Cina di pelabuhan Kota Davao untuk
keperluan kunjungan. Presiden Duterte mengatakan, tujuannya berkunjung dan
menyambut kapal perang China tersebut adalah untuk menunjukkan niat baik dari
Filipina serta meningkatkan confidence-building
di antara kedua negara. Selain China, Presiden Duterte juga membuka ruang kepada
Rusia untuk bergabung dalam latihan militer gabungan di Laut Sulu, sebagai
wujud kebijakan luar negeri Filipina yang independen (Ikanang, 2017)
2.
Kebijakan
luar negeri Filipina terkait kejahatan transnasional narkoba
a.
Permasalahan
narkoba di Filipina
Dalam
kasus peredaran narkoba, awalnya negara-negara di Asia Tenggara hanya dijadikan
negara transit narkoba yang berasal dari dan ke berbagai belahan dunia lain.
Akhirnya peredaran narkoba justru semakin meluas di negara Asia Tenggara dengan
adanya jenis-jenis narkoba yang semakin bervariasi. Pada awal tahun 1990-an
Filipina hanya menjadi titik transit utama narkoba, namun di akhir tahun
1990-an telah menjadi salah satu produsen dan eksportir terbesar narkoba jenis
sabu-sabu. Sehingga permasalahan narkoba di Filipina menjadi tantangan bagi
pemerintah untuk melakukan upaya penanganan yang serius. Filipina telah menjadi
salah satu negara dunia yang mengalami masalah perdagangan narkoba yang serius.
Menurut International Narcotics Control
Strategy Report (INCSR) perdagangan narkoba secara ilegal terus menimbulkan
ancaman nasional yang serius, terutama dalam pemilihan umum nasional di
Filipina. Hal ini dikarenakan narko-politik telah menjadi isu utama dalam
kampanye pemilihan, yang berdasarkan pada laporan departemen luar negeri
Amerika Serikat menyatakan bahwa perdagangan narkoba dapat mempengaruhi hasil
pemilu di Filipina karena banyak politisi Filipina masuk dalam dunia narkoba
berdasarkan pernyataan Drug Enforcement
Agency Filipina (Bahaduri, 2017; Maulidya, 2019).
b.
Kebijakan
luar negeri Filipina terkait kejahatan transnasional narkoba di era Presiden
Duterte
Implementasi War
on Drugs tidak lepas dari berkembangnya persoalan narkotika dan obat bius
yang dari tahun ke tahun terus menunjukkan peningkatan di Filipina. Pihak-pihak
yang terlibat dalam War on Drugs ternyata
tidak hanya dari pemerintah atau masyarakat, namun juga kelompok yang selama
ini dikategorikan dalam organisasi teroris, yaitu MLF (Moro Liberation Front) dan MILF(Moro
Islamic Liberation Front. Hal ini justru menunjukkan prestasi kemampuan
Presiden Duterte dalam membangun konsolidasi dengan berbagai pihak, termasuk
pihak lawan untuk mewujudkan kepentingan bersama, yaitu Filipina yang bebas
dari narkotika dan obat bius. Langkah Duterte dalam mengikutsertakan CPP (Communist Party of Philippines), MLF dan MILF dikarenakan dalam lembaga
pemerintah kekurangan personel dan sumber daya manusia, serta penguasaan medan,
dimana sebagian kasus-kasus peredaran narkotika dan obat bius terjadi di
wilayah pedalaman. Dan bagi organisasi terroris, dengan adanya kebijakan War on Drugs dan karena adanya
pertimbangan ideologis yang menganggap narkotika dan obat bius merupakan benda
haram yang dilarang oleh agama, serta adanya kompensasi yang diberikan oleh
pemerintah Filipina berupa uang ataupun inisiatif untuk dapat bergabung angkatan
bersanjata nasional Filipina (Bahaduri, 2017).
C.
Kesimpulan
Di
masa pemerintahan Presiden Duterte yang masih terbilang baru, Presiden Duterte
sudah banyak mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang dinilai sangat
kontroversial, seperti kebijakan Presiden Duterte untuk menembak mati para
pengedar narkoba yang menolak untuk ditangkap serta mengubah haluan kebijakan
luar negeri Filipina yang tadinya anti Cina menjadi mitra kerja sama yang baik
dengan Cina.