Tampilkan postingan dengan label kebijakan luar negeri. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kebijakan luar negeri. Tampilkan semua postingan

Kebijakan Luar Negeri Korea Utara pada Masa Kepemimpinan Kim Jong Un

 

Kebijakan Luar Negeri Korea Utara pada Masa Kepemimpinan Kim Jong Un

 

I.                   Pendahuluan

Korea Utara selama beberapa dekade telah berjalan di bawah kepemimpinan diktator yaitu Kim Il-sung dan Kim Jong-il yang menggunakan kekuatan mereka sepenuhnya untuk melakukan kepemimpinan seolah mereka adalah raja. Setelah kematian Kim Jong-il pada 17 Desember 2011, putra ketiganya, Kim Jong-un, secara resmi menggantikan ayahnya. Kim Jong-un sebelumnya telah dinyatakan sebagai penerus pada tahun 2009 (Kim, 2012, p. 119) dan diangkat sebagai wakil ketua Komite Militer Pusat, yang menempatkannya pada proses untuk suksesi kepemimpinan Korea Utara secara aktual. Hal ini juga disertai dengan adanya kampanye publisitas untuk menaikkan citra Kim Jong-un di mata orang Korea Utara.

Berbeda dengan para pendahulunya, Kim Jong-un mendapatkan pendidikan di luar negeri, tepatnya di Swiss. Selain itu, Kim Jong-un juga fasih dalam beberapa bahasa Eropa, hal ini yang kemudian menyebabkan beberapa ahli berpendapat bahwa ia mungkin akan membawa kepemimpinan Korea Utara ke arah reformasi dan membuka diri ke dunia (Park, 2013). Dua kepemimpinan sebelumnya yang sangat diktator tidak peduli terhadap peningkatan perdagangan eksternal Korea Utara maupun peningkatan daya saing internasional. Namun, latar belakang pendidikan yang dimiliki oleh Kim Jong-un tersebut diharapkan memberikan perbedaan cara pandang dengan dua pemimpin sebelumnya.Dengan perbedaan cara pandang tersebut, kemudian kebijakan luar negeri Korea Utara diperkirakan akan mengalami perubahan.

Selain itu, setelah ditunjuknya Kim Jong-un sebagai penerus pada tahun 2009, ia dilimpahi beberapa tanggung jawab kepemimpinan seperti Sekretaris Pertama Partai Buruh Korea, Ketua Komisi Militer Pusat, Ketua Pertama Komisi Pertahanan Nasional DPRK dan Panglima Tertinggi Tentara Rakyat Korea, dan juga pernah menjadi anggota presidium anggota Politbiro Sentral Partai Buruh Korea (Park, 2013). Meskipun begitu, ia dianggap masih baru dalam melakukan kepemimpinan dan memiliki pengalaman yang rendah dalam ranah politik saat menjabat pada tahun 2011 yang menyebabkan beberapa ahli berspekulasi bahwa kepemimpinannya akan benar-benar mengikuti gaya kepemimpinansebelumnya. Namun, hal yang terjadi nyatanya berlawanan karena tidak lama setelah ia memegang tampuk kekuasaan ia tampaknya membuat gerakan yang berbeda dari ayahnya (Park S.-Y. , 2015). Pergeseran ini tentu menarik untuk ditinjau karena hal ini akan mempengaruhi kebijakan luar negeri Korea Utara pada masa pemerintahan Kim Jong-un. Oleh karena itu, tulisan ini akan meninjau mengenai kebijakan luar negeri Korea Utara dibawah kepemimpinan Kim Jong-un.

II.                Pembahasan

Setelah pengangkatannya sebagai pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un disebut-sebut sebagai pewaris sah dinasti Kim dengan kualitas kepemimpinan yang luar biasa (Joo, 2012).Pada masa pemerintahannya, arah kebijakan yang ditentukan oleh Kim Jong-un memiliki beberapa karakteristik diantaranya adalah  (1) penekanan pada pengembangan rudal nuklir, bersama dengan menjamin rezim herediter sebagai prioritas tertinggi; (2) penekanan pada pembangunan ekonomi untuk memastikan stabilitas rezim dan meningkatkan loyalitas rakyat; (3) penekanan untuk menjadi “negara normal” untuk menjamin sistem dan melakukan kegiatan nasional yang normal; dan (4) penekanan pada mobilisasi kaum muda dan saina/teknologi untuk merevitalisasi iklim sosial dan industri terbelakang (Lee Dong-chan dalam Atsuhito, 2020).

Pada masa awal kenaikannya menjadi pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un kembali membuat kebijakan yang dianggap high profile. Hal ini tampak dari keputusan untuk tetap mengembangkan senjata nuklirnya meskipun telah mendapatkan sanksi dari PBB (Robertson, 2003), yang kemudian berakibat pada eskalasi konflik di semenanjung Korea pada bulan Maret 2013. Pada masa kepemimpinan Kim Jong Un, Korea Utara mengubah kebijakan luar negerinya dan kembali memutuskan untuk berkonfrontasi dengan Korea Selatan.



Ini hanya versi sampelnya saja ya...
Untuk file lengkap atau mau dibuatkan custom, silahkan PM kami ke
WA : 
0882-9980-0026
(Diana)

Kebijakan Luar Negeri Thailand Pada Masa Kepemimpinan Menteri Don Pramudwinai

 

Kebijakan Luar Negeri Thailand Pada Masa Kepemimpinan

Menteri Don Pramudwinai


A.    Pendahuluan

Kebijakan luar negeri merupakan strategi atau rencana tindakan yang dibuat oleh para pembuat keputusan negara dalam menghadapi negara lain atau unit politik internasional lainnya, dan dikendalikan untuk mencapai tujuan nasional spesifik yang dituangkan dalam terminologi kepentingan nasional (Olton, 1999). Kebijakan luar negeri yang dijalankan oleh pemerintah suatu negara bertujuan untuk mencapai kepentingan nasional masyarakat yang diperintahnya meskipun kepentingan nasional suatu bangsa pada waktu itu ditentukan oleh siapa yang berkuasa pada waktu itu (Mas’oed, 1994). Sementara itu, tujuan jangka panjang kebijakan luar negeri adalah untuk mencapai perdamaian, keamanan, kesejahteraan, dan kekuasaan suatu negara (Rudy, 2002). Dalam sebuah kebijakan luar negeri, ada pihak yang dinamakan sebagai aktor kebijakan luar negeri, mereka lembaga-lembaga pemerintah yang berdiri sendiri namun saling berhubungan (Rosyidin, 2018). Kebijakan luar negeri bisa disebut pula sebagai politik luar negeri.

Bersamaan dengan hal ini, pada dasarnya setiap negara bebas menentukan kemana arah kebijakan sesuai dengan tujuan dan haluan yang diinginkan, tapi mereka wajib menyadari akan kepentingan negara lain yang juga harus dihargai sehingga tidak adanya intervensi yang menimbulkan ancaman-ancaman maupun memicu terjadinya keresahan dalam stabilitas keamanan. Artinya, setiap negara dapat memenuhi kepentingan dalam negerinya, namun pada saat yang sama, harus menghormati negara lain yang juga memiliki kepentingannya sendiri. Setiap negara pasti memiliki kebijakan luar negeri. Dalam makalah ini, akan membahas tentang salah satu kebijakan luar negeri yang dibuat oleh negara Thailand, salah satu negara yang berada di kawasan Asia Tenggara, dengan sistem kepemerintahannya yang disebut sebagai monarki konstitusional, dengan kepala negara dan kepala pemerintahan negara berbeda.   


B.     Pembahasan

1.      Profil Negara Thailand

Thailand memiliki nama resmi Kingdom of Thailand, merupakan negar ayang beribukora Bangkok dan merupakan salah satu negara yang terletak di kawsan Asia Tenggara. Lebih tepatnya, Thailand terletak di pusat semenanjung Asia Tenggara. Negara ini berbatasan dengan Burma ada di barat, Laos di utara dan timur, Kamboja di tenggara, serta Malaysia di bagian selatan. Pantai selatan Thailand menghadap Teluk Thailand, sedangkan Tanah Genting Kra berbatasan di barat dengan Laut Andaman (bagian dari Samudra Hindia) dan di timur dengan Teluk Thailand. Thailand juga memiliki pulau-pulau pesisir di Laut Andaman dan Teluk Thailand. Yang terbesar, dengan status provinsi, adalah Phuket, di lepas pantai barat; di sisi teluk, pulau terbesar adalah Samui dan Pangan (LOC, 2007). Sementara itu, wilayah Thailand setidaknya terbagi menjadi 76 propinsi  (CIA, 2020).


2.      Kebijakan Luar Negeri Thailand

Setiap negara memiliki berbagai jenis kebutuhan yang haru dipenuhi. Seperti halnya negara lain Thailand juga perlu untuk memenuhi seluruh kebutuhan dalam negerinya. Namun dengan keterbatasan (khususnya sumber daya dalam negeri), sebuah negara perlu bantuan dari negara lain untuk membantu memenuhi kebutuhan tersebut. untuk melakukan penemuhan ini, salah satu langkah yang dapat dilakukan oleh sebuah negara, termasuk Thailand, adalah melalui kebijakan luar negerinya. Mengenai hal ini, maka dibawah ini akan dibahas mengenai sejumlah kebijakan-kebijakan yang dibuah oleh pemerintah Thailand.

Seperti yang diketahui bahwa kepemimpinan negara Thailand pada saat ini dipimpin oleh Raja Wachiralongkon (baca: Vajiralongkorn) sejak 1 Desember 2016 sebagai kepala negara. Sementara kepala pemerintahan di pimpin oleh Chan-ocha sejak 25 Agustus 2014 dan dibantu oleh sejumlah wakilnya (CIA, 2020). Disisi lain, untuk urusan luar negeri Thailand, ini ditangangi oleh sebuah Dewan Kementrian yang disebut sebagai Ministry of Foreign AffairsKementerian Urusan Luar Negeri, dimana saat ini dipegang oleh Don Pramudwinai yang menjabat sejak 23 Agustus 2015 (MFA, n.d.), dan dibantu oleh wakilnya yang saat ini, yaitu Vijavat Isarabhakdi (MFA, n.d.).



Ini hanya versi sampelnya saja ya...
Untuk file lengkap atau mau dibuatkan custom, silahkan PM kami ke
WA : 
0882-9980-0026
(Diana)


Kebijakan Luar Negeri Singapura Pada Masa Kepemimpinan Lee Hsien Loong

 

Kebijakan Luar Negeri Singapura Pada Masa Kepemimpinan Lee Hsien Loong


A.    Pendahuluan

Singapura adalah salah satu negara maju yang terletak di kawasan Asia Tenggara, sebab Singapura memiliki keunggulan di berbagai bidang. Selain itu, karena letaknya yang strategis, Singapura juga menjadi negara sebagai tempat transit untuk perdagangan sehingga saat ini Singapura menjadi salah satu pusat perdagangan terbesar di dunia. Meskipun demikian, jika dilihat dari letak geografisnya, Singapura hanya memiliki luas wilayah yang kecil sehingga sumber daya alam yang dimilikinya pun juga sangat sedikit. Bahkan Singapura lebih mengandalkan impor sumber daya alam dari negara lain untuk perindustriannya. Hal inilah yang menuntut Singapura untuk melakukan kerja sama dengan negara-negara lainnya, terutama dengan negara-negara tetangganya, baik dalam lingkup bilateral, multilateral, maupun regional(Ardilan, 2015).

Kebijakan luar negeri suatu negara tersebut sangat berkaitan erat dengan peran pemerintahan yang berkuasa dalam negara tersebut. Dalam kaitannya dengan Singapura, kepentingan nasional Singapura hingga saat ini masih memiliki keterkaitan dengan sejarah panjang negara Singapura sejak awal dan letak wilayahnya. Dalam tulisan ini, kebijakan politik luar negeri Singapura yang akan dibahas adalah kebijakan luar negeri pada masa pemerintahan Lee Hsien Loong. Lee Hsien Loong merupakan Perdana Menteri Singapura ketiga yang menjabat pada tahun 2004 hingga saat ini, setelah sebelumnya menjabat sebagai Anggota Parlemen sejak 1984 dan anggota kabinet sejak 1987. Selama masa jabatannya, gaya kepemimpinan Lee Hsien Loong dinilai arogan dan autokratis, dimana pemimpin memiliki kuasa yang besar terhadap bawahannya. Namun kebijakan politik luar negeri yang dijalankan oleh Lee Hsien Loong tersebut dilakukan demi kepentingan nasional negara Singapura itu sendiri. Berdasarkan hal tersebut, tulisan ini akan membahas mengenai kebijakan luar negeri Singapura pada masa pemerintahan Lee Hsien Loong terkait dengan pembangunan ekonomi Singapura.

B.     Pembahasan

Dalam hubungan internasional, kebijakan politik luar negeri tersebut memiliki kewajiban untuk menerangkan dan menjelaskan kehendak kolektif atau kepentingan nasional suatu negara agar dapat dimengerti dan tidak disalah artikan oleh negara lain. Leonardo Hutabarat (dalam Husna, 2012) menjelaskan bahwa elemen dalam pembuatan kebijakan luar negeri tersebut berdasarkan pada para pembuat keputusan, sehingga suatu kebijakan tidak dapat terlaksana jika tidak ada komitmen untuk mencapai tujuan dengan keseimbangan antara kemampuan yang dibutuhkan dalam pengimplementasiannya. Ia juga mengungkapkan bahwa size, status, resources dan humanfactorsmerupakan elemen kunci dalam studi kebijakan luar negeri, dan juga karena situasi geopolitik suatu negara dan tantangan yang dihadapi dalam jangka pendek. Sedangkan dalam jangka panjang kebijakan luar negeri diterminologikan dalam konteks politik umum dalam pemerintahan, seperti democracy, dictatorship (pemerintahan yang diktator), stability dan instability. Dengan demikian,sejumlah faktor yang diatas dinilai penting dalam pembuatan kebijakan luar negeri, dan dapat memberikan pengaruh pada sejumlah langkah yang akan diambil(Husna, 2012).

Sehubungan dengan hal tersebut, Singapura merupakan salah satu negara dengan luas wilayah yang kecil di Asia Tenggara, namun maju dan unggul di berbagai bidang jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara lainnya. Sebagai negara dengan wilayah yang kecil, tentunya Singapura tidak banyak memiliki sumber daya alam dan harus bekerja sama atau membutuhkan bantuan darikekuatan negara-negara lainnya untuk dapat memenuhi semua kebutuhan masyarakatnya. Hal inilah yang membuat pemerintah Singapura memiliki tekad yang kuat untuk mereformasi dan membangun negaranya serta menaikan kesejahteraan masyarakatnya. Hal tersebut ditunjukkan dengan kebijakan-kebijakan yang dibuatnya berhasil melakukan transformasi dan pembangunan yang besar hingga menjadi negara maju dan dikenal sebagai negara dengan salah satu pusat perdagangan terbesar di dunia. Keberhasilan Singapura menjadi negara maju menunjukkan bahwa kebijakan politik luar negeri yang dibuat dan diterapkan memiliki peran yang sangat penting dan vital dalam memenuhi kepentingan nasionalnya.



Ini hanya versi sampelnya saja ya...
Untuk file lengkap atau mau dibuatkan custom, silahkan PM kami ke
WA : 
0882-9980-0026
(Diana)

Kebijakan Luar Negeri Filipina pada Era Presiden Duterte


Kebijakan Luar Negeri Filipina pada Era Presiden Duterte

A.    Pendahuluan
Negara yang merdeka dan berdaulat menjalankan kebijakan politik luar negerinya dalam dunia internasional. Kebijakan politik luar negeri suatu negara menunjukkan kepentingan nasional negara tersebut. Dalam hubungannya dengan kepentingan nasional, kebijakan politik luar negeri suatu negara bertujuan untuk dapat memperjuangkan kepentingan nasional negara dengan tepat. Hal tersebut tidak lepas dari peran pemerintahan yang berkuasa dalam negara tersebut. Filipina sebagai negara yang merdeka dan berdaulat juga memiliki peran aktif dalam politik internasional melalui politik luar negerinya yang merupakan cerminan dari kepentingan nasionalnya. Kepentingan nasional Filipina juga masih memiliki keterkaitan dengan sejarah panjang negara Filipina sejak awal. Filipina yang pernah berada di bawah kekuasaan Amerika Serikat, masih membawa pengaruh nilai-nilai Amerika Serikat yang tertanam. Bahkan, kerja sama antara Amerika Serikat dengan Filipina pun dinilai sangat baik yang ditunjukkan dengan mengizinkan tentara Amerika Serikat untuk mempunyai pangkalan dan melakukan pelatihan militer di wilayahnya, yaitu di Mindanao. Kecenderungan politik luar negeri Filipina pun tidak lepas dari kolonial Amerika Serikat (Putri, 2017).  
Pada Mei 2016 Rodrigo Duterte resmi menjadi Presiden Filipina ke-16 setelah memenangkan pemilihan umum Presiden. Di masa pemerintahan Presiden Duterte yang masih terbilang baru, Presiden Duterte sudah banyak mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang dinilai sangat kontroversial, seperti kebijakan Presiden Duterte untuk menembak mati para pengedar narkoba yang menolak untuk ditangkap. Kebijakan Duterte yang terbilang ekstrem ini mengundang perhatian dari berbagai pihak termasuk organisasi internasional tertinggi yaitu PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang menilai bahwa kebijakan Presiden Duterte ini dinilai telah melanggar hukum internasional tentang HAM (Hak Asasi Manusia). PBB dan beberapa negara di DK-PBB (Dewan Keamanan PBB) meminta Presiden Duterte untuk menarik kebijakan tersebut karena dinilai sebagai pelanggaran terhadap hukum internasional (Lubis, 2017).

B.     Pembahasan
1.      Kebijakan luar negeri Filipina terkait Laut Cina Selatan
a.      Hubungan Filipina dengan Cina
Konflik terkait Laut Cina Selatan mencakup kawasan Spratlys dan Scarbourogh dalam beberapa periode sejak 1970-an seolah dinilai telah menjadi pembentuk pola hubungan antara Filipina dengan Cina. Terkait permasalahan sengketa tersebut, isu terbaru adalah klaim 9 dash line oleh Cina pada tahun 2009 yang memulai memanasnya hubungan di antara kedua negara. Dalam klaim terbaru, Cina menetapkan wilayah lautan yang dimiliki mencakup seluruh bagian Laut Cina Selatan seperti yang tertera dalam peta resmi pada pemerintahan Kuomintang tahun 1947 dan masa awal pemerintahan Cina tahun 1949. Bagi Filipina dan Cina, Laut Cina Selatan memiliki nilai strategis tersendiri yang kemudian mendasari sengketa perebutan wilayah beserta dengan negara pengklaim lainnya. Laut Cina Selatan dianggap sebagai salah satu laut terpenting seiring dengan peranannya sebagai penghubung perdagangan dunia serta kekayaan alam di dalamnnya. Sejak awal permasalahan ini muncul, secara konsisten Pemerintah Filipina melakukan perimbangan dalam mengatasi ancaman Cina terutama melalui Amerika Serikat dan ASEAN sebagai aliansi utama (Numadi, 2018).

b.      Dasar dan tujuan kebijakan luar negeri Filipina terkait Laut Cina Selatan di era Presiden Duterte
Terdapat pergeseran pendekatan strategi yang signifikan terhadap Cina pada era pemerintahan Presiden Duterte. Secara umum, Amerika Serikat masih menjadi sekutu terdekat Filipina, dan di sisi lain, Cina masih dipandang sebagai ancaman. Namun di bawah pemerintahan Presiden Rodrigo Duterte, kebijakan luar negeri Filipina mengalami pergeseran yang signifikan yang dapat dilihat dari pernyataan Presiden Duterte yang mengatakan berpisah dengan Amerika Serikat saat berkunjung ke Beijing bulan Oktober 2016. Kunjungan Presiden Duterte ke Beijing tersebut menghasilkan Joint Statement yang secara umum menggambarkan hubungan bersahabat kedua bangsa yang sudah terjalin sejak lama. Selain itu, kedua negara sepakat untuk meningkatkan hubungan bilateral, yang berdasar pada mutual respect, ketulusan, persamaan derajat, serta mutual benefit. Terkait isu Laut Cina Selatan, kedua negara sepakat bahwa sengketa di Laut Cina Selatan tidak menunjukkan hubungan Filipina-Cina secara keseluruhan. Hubungan antara Filipina dengan Cina menjadi erat yang dapat dilihat dari kesediaan dan keterbukaan Presiden Duterte terhadap kerjasama militer dengan Cina di perairan Sulu. Hal itu disampaikan Duterte setelah mengunjungi dua kapal perang Cina di pelabuhan Kota Davao untuk keperluan kunjungan. Presiden Duterte mengatakan, tujuannya berkunjung dan menyambut kapal perang China tersebut adalah untuk menunjukkan niat baik dari Filipina serta meningkatkan confidence-building di antara kedua negara. Selain China, Presiden Duterte juga membuka ruang kepada Rusia untuk bergabung dalam latihan militer gabungan di Laut Sulu, sebagai wujud kebijakan luar negeri Filipina yang independen (Ikanang, 2017)

2.      Kebijakan luar negeri Filipina terkait kejahatan transnasional narkoba
a.      Permasalahan narkoba di Filipina
Dalam kasus peredaran narkoba, awalnya negara-negara di Asia Tenggara hanya dijadikan negara transit narkoba yang berasal dari dan ke berbagai belahan dunia lain. Akhirnya peredaran narkoba justru semakin meluas di negara Asia Tenggara dengan adanya jenis-jenis narkoba yang semakin bervariasi. Pada awal tahun 1990-an Filipina hanya menjadi titik transit utama narkoba, namun di akhir tahun 1990-an telah menjadi salah satu produsen dan eksportir terbesar narkoba jenis sabu-sabu. Sehingga permasalahan narkoba di Filipina menjadi tantangan bagi pemerintah untuk melakukan upaya penanganan yang serius. Filipina telah menjadi salah satu negara dunia yang mengalami masalah perdagangan narkoba yang serius. Menurut International Narcotics Control Strategy Report (INCSR) perdagangan narkoba secara ilegal terus menimbulkan ancaman nasional yang serius, terutama dalam pemilihan umum nasional di Filipina. Hal ini dikarenakan narko-politik telah menjadi isu utama dalam kampanye pemilihan, yang berdasarkan pada laporan departemen luar negeri Amerika Serikat menyatakan bahwa perdagangan narkoba dapat mempengaruhi hasil pemilu di Filipina karena banyak politisi Filipina masuk dalam dunia narkoba berdasarkan pernyataan Drug Enforcement Agency Filipina (Bahaduri, 2017; Maulidya, 2019).

b.      Kebijakan luar negeri Filipina terkait kejahatan transnasional narkoba di era Presiden Duterte
Implementasi War on Drugs tidak lepas dari berkembangnya persoalan narkotika dan obat bius yang dari tahun ke tahun terus menunjukkan peningkatan di Filipina. Pihak-pihak yang terlibat dalam War on Drugs ternyata tidak hanya dari pemerintah atau masyarakat, namun juga kelompok yang selama ini dikategorikan dalam organisasi teroris, yaitu MLF (Moro Liberation Front) dan MILF(Moro Islamic Liberation Front. Hal ini justru menunjukkan prestasi kemampuan Presiden Duterte dalam membangun konsolidasi dengan berbagai pihak, termasuk pihak lawan untuk mewujudkan kepentingan bersama, yaitu Filipina yang bebas dari narkotika dan obat bius. Langkah Duterte dalam mengikutsertakan CPP (Communist Party of Philippines),  MLF dan MILF dikarenakan dalam lembaga pemerintah kekurangan personel dan sumber daya manusia, serta penguasaan medan, dimana sebagian kasus-kasus peredaran narkotika dan obat bius terjadi di wilayah pedalaman. Dan bagi organisasi terroris, dengan adanya kebijakan War on Drugs dan karena adanya pertimbangan ideologis yang menganggap narkotika dan obat bius merupakan benda haram yang dilarang oleh agama, serta adanya kompensasi yang diberikan oleh pemerintah Filipina berupa uang ataupun inisiatif untuk dapat bergabung angkatan bersanjata nasional Filipina (Bahaduri, 2017).

C.    Kesimpulan
Di masa pemerintahan Presiden Duterte yang masih terbilang baru, Presiden Duterte sudah banyak mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang dinilai sangat kontroversial, seperti kebijakan Presiden Duterte untuk menembak mati para pengedar narkoba yang menolak untuk ditangkap serta mengubah haluan kebijakan luar negeri Filipina yang tadinya anti Cina menjadi mitra kerja sama yang baik dengan Cina.