Tampilkan postingan dengan label makalah hukum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label makalah hukum. Tampilkan semua postingan

Urgensi Notaris dalam Pengecekan Identitas Palsu Penghadap terhadap Akta Autentik dihubungkan dengan UU No 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris



Urgensi Notaris dalam Pengecekan Identitas Palsu Penghadap terhadap Akta Autentik dihubungkan dengan UU No 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris

I.                   Pendahuluan
Tuntutan akan adanya kepastian hukum dewasa ini semakin berkembang, hal ini mengakibatkan semakin meningkatnua kebutuhan pembuktian tertulis seperti akta autentik. Akta autentik dapat dengan jelas menentukan hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum sekaligus menghindari terjadinya sengketa serta memberikan sumbangan bagi penyelesaian perkara secara mudah dan cepat.
Indonesia merupakan negara hukum yang dikuatkan melalui Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang menyatakan dengan tegas bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Prinsip negara hukum tersebut menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Hal tersebut kemudian menuntuk adanya alat bukti yang sah di masyarakat untuk menentukan secara jelas tentang hak dan kewajiban seseorang sebagai subyek hukum. Akta autentik yang dibuat oleh notaris selaku pejabat umum merupakan sebagai alat bukti yang sah terkuat dan terpenuh serta mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat.[1]
Notaris merupakan pejabat umum yang memiliki wewenang untuk membuat akta autentik sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Sesuai dengan peraturan perundang udangan akta autentik dibuat untuk menciptakan kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum. Selain akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris, bukan saja karena diharuskan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga karena dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan sekaligus bagi masyarakat secara keseluruhan.[2]
Dalam melaksanakan tugasnya membuat akta otentik, seorang notaris wajib menjalankan ketentuan dalam UUJN. Notaris diwajibkan untuk bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum. Hal ini juga terkait dengan penggunaan identitas palsu oleh penghadap. Notaris harus dapat mencegah penggunaan identitas palsu oleh penghadap, salah satu caranya adalah dengan pengecekan identitas. Oleh karena itu, tulisan ini akan membahas tentang urgensi notaris dalam pengecekan identitas palsu penghadap dalam akta autentik dihubungkan dengan Undang-Undang No 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris.
II.                Pembahasan
Terdapat tiga jenis bukti tulisan atau surat dalam hukum pembuktian yaitu surat biasa, akta autentik, dan akta dibawah tangan.[3] Suatu akta adalah otentik, bukan karena penetapan undang-undang, akan tetapi karena dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum. Akta autentik merupakan alat bukti yang sempurna sebagaimana dimaksud dalam pasal 1870 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Hal ini memberikan suatu bukti yang sempurna tentang apa yang diperbuat/dinyatakan dalam akta diantara para pihak termasuk para ahli warisnya atau orang yang mendapat hak dari para pihak itu. Hal tersebut berarti akta autentik mempunyai kekuatan bukti sedemikian rupa karena dianggap melekatnya pada akta itu sendiri sehingga tidak perlu dibuktikan lagi dan bagi hakim itu merupakan “Bukti wajib/keharusan” (Verplicht Bewijs). Dengan demikian barang siapa yang menyatakan bahwa akta otentik itu palsu maka ia harus membuktikan tentang kepalsuan akta itu, oleh karena itulah maka akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian baik lahiriah, formil maupun materiil.[4]
 
Ini hanya versi sampel saja yaa..
Untuk versi komplit atau dibuatkan analisis kasusnya,
silahkan contact 085868o39oo9 (Diana)
Ditunggu ordernyaa.. 

[1] Anshori, (2009), Lembaga Kenotariatan Indonesia Perspektif Hukum dan Etika , UII Press , Yogyakarta, hlm. 19
[2] Hendra, R. (2011). Tanggungjawab Notaris Terhadap Akta Otentik Yang Penghadapnya Mempergunakan Identitas Palsu di Kota Pekanbaru. Jurnal Ilmu Hukum Riau, 3(01).
[3] Teguh Samudra, 2004, Hukum Pembuktian D alam Perkara Perdata , Alumi, Bandung, hl m .14
[4] N.G.Yudara, Pokok-pokok Pemikiran, disekitar kedudukan dan fungsi notaris serta akta Notaris Menurut Sistem Hukum Indonesia, Renvoi , Nomor.10.34.III, Tanggal 3 Maret 2006, Hlm 74.

Perumusan Overspel (Pidana Perzinahan) Berdasarkan Ketentuan Hukum-Hukun yang Ada di Indonesia



Perumusan Overspel (Pidana Perzinahan) Berdasarkan
 Ketentuan Hukum-Hukun yang Ada di Indonesia

Pendahuluan
Berkembangnya arus modernisasi serta cepatnya perkembangan teknologi, membawa perubahan yang signifikan dalam pergaulan dan moral manusia, sehingga banyak kekerasan yang sering terjadi di dalam masyarakat. Kekerasan dapat berupa kekerasan fisik dan/atau psikis. Kekerasan yang banyak terjadi di masyarakat adalah kekerasan fisik berupa kejahatan kesusilaan. Sehubungan dnegna hal ini, moral manusia dinilai mengalami kemerosotan saat, dimana mulai hilangnya rasa kepekaan, nilai-nilai kerohanian, kejujuran, cinta kasih, kekeluargaan dan iman. Hal ini dibuktikan dengan beragam jenis fenomena kehidupan yang terjadi di masyarakat, salah satunya adalah tindak pidana kesusilaan.
Salah satu jenis kejahatan kesusilaan yang kontroversi dan mendapat banyak perhatian masyarakat adalah tentang perzinahan atau overspel. Pengertiannya perzinahan (overspel) merupakan tindak pidana kesopanan dalam hal persetubuhan dan masuk dalam jenis kejahatan (Kurniawan, 2013). Perzinahan merupakan suatu tindak pidana yang sering terjadi dalam masyarakat umum, hal ini tidak dapat lagi dipungkiri. Dalam masyarakat  yang beragam, khususnya di Indonesia perbuatan zina bukanlah sesuatu yang dibenarkan. Sebagai Negara hukum, Indonesia memiliki definisi dan ketentuan-ketentuan sendiri dalam mengatur apa itu perzinahan dan bagaimana ketentuan-ketentuannya.
Berkaitan dengan hal ini, Hukum pidana memiliki tujuan pokok yaitu melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat dari perbuatan-perbuatan yang mengancamnya bahkan merugikannya baik datang dari perseorangan maupun kelompok (Lutfianingsih, Gunadi, & Efendi, 2011). Meskipun demkian dalam konsep tindak pidana terhadap kesusilaan pada umumnya menimbulkan kekhawatiran/kecemasan khususnya orangtua terhadap anak wanita karenaselain dapat mengancam keselamatan anak-anakwanita (misalnya perkosaan, perbuatan cabul) dapatpula mempengaruhi proses ke arah kedewasaanseksual lebih dini. Tindak pidana ini paling banyak menimbulkankesulitan dalam penyelesaiannya baik pada tahap penyidikan, penuntutan, maupun pada tahap pengambilan keputusan. Selain kesulitan dalam batasan juga kesulitan pembuktian misalnya perkosaan atau pun perbuatan cabul yang pada umumnya dilakukan tanpa kehadiran orang lain (Handrawan, 2016). Maka, berdasarkan penjesan tersebut, maka dalam makalah ini akan di bahas mengenai
perumusan overspel (pidana perzinahan) berdasarkan ketentuan hukum di Indonesia.
Pemabahasan
1.      Pengaturan Overspel Berdasarkan KUHP
Hukum pidana Indonesia (baca: KUHP) yang nama aslinya Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie (WvSNI), merupakan produk  asli bangsa Belanda yang diterapkan bagi bangsa Indonesia (Bahiej, 2003). Lahirnya kodifikasi Peraturan Hukum Pidana atau KUHP Tahun 1918 menjadi jawaban penting bagi bangsa Indonesia sebagai dasar terhadap penghapusan konsep dualisme hukum pidana yang dapat mempersulit nilai-nilai kebudayaan bangsa Indonesia. Pada tahun 1946 Wetboek Van Strafrecht Voor Nederlandsch-Indie mengalami perubahan menjadi Wetboek Van Strafrecht Voor Indonesie yang dinyatakan berlaku di Indonesia sebagai salah satu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (yang selanjutnya disebut KUHP) yang berlaku secara universal di wilayah Republik Indonesia.
2.      Pengaturan Overspel Berdasarkan Hukum Islam
Berdasarkan hukum Islam, perzinaan termasuk salah satu dosa besar. Dalam agamaIslam, aktivitas-aktivitas seksual oleh lelaki atau perempuan yang telah menikah dengan lelaki atau perempuan yang bukan suami atau istri sahnya, termasuk perzinaan. Dalam Al-Quran, dikatakan bahwa semua orang Muslim percaya bahwa berzina adalah dosa besar dan dilarang oleh Allah.Tentang perzinaan di dalam Al-Qurandisebutkandi dalam ayat-ayat berikut; Al Israa'17:32, Al A'raaf 7:33, An Nuur 24:26.
3.      Overspel dan Konsepsi Masyarakat Indonesia
Ketentuan hukum pidana Indonesia (KUHP) mengenai delik perzinahan memiliki pengertian yang berbeda dengan konsepsi yang diberikan masyarakat. Menurut KUHP, zina diidentikkan dengan overspel yang pengertiannya jauh lebih sempit dari pada zina itu sendiri. Overspel hanya dapat terjadi jika salah satu pelaku atau kedua pelaku telah terikat tali perkawinan. Overspel dapat ditindak dengan hukum pidana jika ada pengaduan dari istri atau suami pelaku. Tanpa adanya pengaduan, atau tanpa diadukan oleh istri/suami, maka tindak pidana perzinahan bukan sebagai hal yang terlarang (Bahiej, 2003). Pengertian ini diperjelsan dalam Pasal 284 KUHP. Selain itu, dalam pasal tersebut juga dijelasnkan bahwa zinah dapat dihukum secara pidana hanya jika ada salah satu pihak yang merasa dirugikan sebagai korban perkosaan.
4.      Penaggulanggan Menghadapai Perbedaan Pengertian Overspel di Indonesia dan Perkiraan Dampaknya
Dalam  pemikiran  masyarakat  pada  umumnya  zina  yang  diterangkan   dalam   KUHP   hanya  menjerat   orang   melakukan   zina   jika  salah  satu nya  terikat  tali  perkawinan,  berarti  jika  orang  yang  melakukan  zina  yang   keduanya   belum   memiliki   tali  perkawinan   maka   per buatan   tersebut  tidak dipidana (Sugiyanto, Pujiyono, & Wisaksono, 2016). Sehingga dengan adanya perbedaan yang denikian, salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah dengan cara menyelaraskan kedua hukum yang berlaku, hal ini dilakukan supaya tidak terjadi adanya kesenjangan yang berkaitan dengan norma kesusilaan di masyarakat.
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa perumusan tentang peraturan perzinaan (overlap), memiliki dua pandangan yang berbeda, yaitu secara Hukum Pidana berdasarkan Pasal 284 KUHP dan Hukum Islam yang selaras dengan pandangan masyarakat pada umumnya. Perbedaan inilah yang memicu kontroversi. Meskipun telah ada usaha pengajuan untuk memperluas hukum tentang perzinahan tersebut. Damun masih dikhawatirkan akan memicu mslah baru dengan adanya pemanfaatan dari pihat-pihat tertentu. Oleh karena itulah, sampai saat ini perumusan hukum perzinahan masih mengacu pada Pasal 284 KUHP, dimana tali perkawinan menjadi fokus utama penentuan hukumnya.



Mau dibuatkan paper  seperti ini?
Atau tugas-tugas custom lainnya?
Silahkan contact ke WA 085868039009 (Diana)
Happy Order :)