PEMBAHASAN
Bentuk Hubungan Produsen dan Konsumen dari Kasus Prita
Dalam kasus Prita Mulyasari vs RS Omni Intl tampak sekali bahwa apa yang dilakukan RS Omni telah melanggar keseimbangan “Bargaining Position” atau “Posisi Tawar”. Hubungan antara Rumah Sakit dan Pasien seharusnya merupakan hubungan antara yang memberikan pelayanan dan yang dilayani. Rumah Sakit memberikan pelayanan lalu Pasien membayar sejumlah uang untuk pelayanan yang didapatnya. Jadi untuk hidup sebuah Rumah Sakit membutuhkan Pasien. Sangat jelas bahwa Pasien memegang bargaining position yang lebih tinggi daripada Rumah Sakit.
Institusi-institusi pelayanan dalam era kompetisi yang ketat sekarang ini berlomba-lomba memberikan pelayanan yang terbaik bagi pelanggannya. Sebenarnya langkah RS Omni Intl untuk menuntut Prita terlihat ganjil, sepertinya RS Omni tidak paham hubungan antara sebuah Rumah Sakit dan Pasiennya. Ketika mendapati email Prita yang tersebar luas RS Omni seharusnya segera menghubungi Prita, mendengarkan komplainnya, dan memperbaiki pelayanannya bila memang ada kesalahan yang dilakukan RS Omni. Kalau memang RS Omni merasa tidak bersalah mereka bisa dengan baik-baik menjelaskan apa yang dikeluhkan Prita. Kemudian bila keluhan bisa diatasi, RS Omni bisa meminta Prita untuk membuat email tentang bagaimana profesionalnya RS Omni dalam menanggapi komplainnya. Bila ini dilakukan maka publik akan melihat bahwa RS Omni adalah Rumah Sakit yang profesional.
Perlindungan Konsumen yang Seharusnya Diterima oleh Prita sebagai konsumen
Kasus yang dialami Prita Mulyasari adalah salah satu contoh, ketika Prita sebagai konsumen mengadu, boro-boro mendapat ucapan terima kasih, tetapi justru dikriminalisasi, dituduh melakukan kejahatan karena telah mencemarkan nama baik RS Omni International. Dan sempat mendekam di jeruji besi.
Majelis kasasi MA dalam kasus Prita gagal memahami tentang arti pentingnya pengaduan, tidak saja bagi Prita selaku konsumen, tetapi juga bagi RS Omni International selaku pelaku usaha dan juga bagi Pemeritah (Kemetrian Kesehatan ) selaku regulator di bidang layanan kesehatan.
Bagi konsumen, pengaduan adalah simbul kebangkitan hak-hak konsumen. Salah satu hak fundamental konsumen adalah hak untuk didengar suaranya dimana didalamnya ada hak untuk menyampaikan keluhan / pengaduan kepada pelaku usaha ( pasal 4 huruf d UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ).
Tidak hanya UU Perlindungan Konsumen, sebagai pasien berdasarkan UU No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit, pasien juga punya hak untuk menyampaikan keluhan, termasuk hak untuk mengutarakan pengalaman negatif sebagai pasien di media massa.
Bagi rumah sakit selaku penyedia jasa, pengaduan juga sangat dibutuhkan dalam mendapatkan feedback dari konsumen, untuk selanjutnya dapat menjadi bahan pertimbangan dalam upaya untuk selalu meng-improve kualitas layanan kepada konsumen.
Bagi Kementrian Kesehatan, pengaduan konsumen dapat dijadikan sebagai sarana kontrol atas layanan kesehatan yang ada di masyarakat. Memang sudah ada pejabat Kementrian Kesehatan, namun mata konsumen jauh lebih banyak, sehingga partisipasi konsumen dalam melakukan pengawasan melalui pengaduan jauh lebih efektif.
Peran YLKI sebagai Lembaga Perlindungan Konsumen dalam Kasus Prita
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengatakan kasus pidana pencemaran nama baik dengan tersangka Prita Mulyasari (32) merupakan bentuk pembungkaman terhadap konsumen. Menurut YLKI, penulisan yang dilakukan Prita adalah suatu bentuk informasi mengenai pelayanan publik, maka masyarakat harus mengetahui tentang hal itu. Seharusnya pihak rumah sakit Omni menerima `feed back` yang dilakukan oleh Prita dan melakukan pendekatan lebih secara kekeluargaan serta menggunakan hati nurani, bukan langsung dengan jalur hukum seperti yang telah dilakukan.
Tindakan Prita menulis keluhan melalui surat elektronik adalah legal dan dilindungi UU Perlindungan Konsumen. Apa yang dilakukan Prita adalah legal menurut UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Salah satu hak dasar konsumen adalah hak mengadukan keluhan. E-mail yang dikirim Prita merupakan bentuk keluhan konsumen yang dijamin dan dilindungi Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Akan tetapi, sangat disayangkan bahwa dalam kasus ini peran YLKI sebagai lembaga perlindungan konsumen belum menunjukkan kinerja yang optimal. Pembelaan terhadap Prita hanya sampai pada konfirmasi dan penegasan lewat kata - kata, tanpa ada tindak lanjut yang lebih jauh untuk membela Prita sebagai konsumen.
Implikasi dari Gerakan Konsumen “Koin untuk Prita”
Koin Untuk Prita atau Koin Keadilan merupakan gerakan pengumpulan koin untuk Prita yang awalnya digagas oleh komunitas blogger kini mendapatkan respons yang besar dari berbagai kalangan masyarakat. Penggalangan dana yang dinamakan dengan Koin Peduli Prita itu kini telah menyebar ke berbagai wilayah yang bukan hanya di Jabodetabek, tapi hampir keberbagai daerah.
Koin Untuk Prita ini bertujuan untuk mengumpulkan dana sebanyak Rp 204 juta untuk membayar denda atas tuduhan pencemaran nama baik RS Omni Internasional seperti vonis yang sudah dijatuhkan Pengadilan Tinggi Banten.
Seluruh lapisan masyarakat terus berduyun-duyun memberi dukungan kepada Prita Mulyasari untuk menjawab putusan Pengadilan Tinggi Banten yang mengharuskan ibu rumah tangga itu membayar denda Rp 204 juta. Tak terkecuali warga Facebook. Di situs jejaring sosial tersebut, Facebooker yang tercatat sudah tergabung dalam grup bernama 'Koin untuk Prita' itu sudah menembus angka 8.600 orang. Dalam penjelasan di halaman grup tersebut, kelompok simpatisan ini mengaku terbentuk bukan lantaran unsur politis. Grup ini semata-mata merupakan bentuk simpati terhadap Prita Mulyasari.
Kaitan Kasus Prita dengan Teori Etika
Setelah dianalisis, RS Omni International Hospital melanggar teori etika deontologi. ”Deontologi” ( Deontology ) berasal dari kata dalam Bahasa Yunani yaitu : deon yang artinya adalah kewajiban. Dalam suatu perbuatan pasti ada konsekuensinya, dalam hal ini konsekuensi perbuatan tidak boleh menjadi pertimbangan. Perbuatan menjadi baik bukan dilihat dari hasilnya melainkan karena perbuatan tersebut wajib dilakukan. Deontologi menekankan perbuatan tidak dihalalkan karena tujuannya. Tujuan yang baik tidak menjadi perbuatan itu juga baik. Di sini kita tidak boleh melakukan suatu perbuatan jahat agar sesuatu yang dihasilkan itu baik, karena dalam Teori Deontologi kewajiban itu tidak bisa ditawar lagi karena ini merupakan suatu keharusan.
Seharusnya, RS Omni sebagai lembaga kesehatan yang memberikan pelayanan kepada konsumennya memiliki kewajiban berbuat baik untuk memberikan informasi dan penjelasan yang jujur kepada pasien, menanggapi keluhannya, memberikan pelayanan yang berkualitas, memberikan pelayanan medis yang baik, dan menanggapi keluhan pasien dengan baik. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Alih – alih memberikan tanggapan atas keluhan pasien, RS Omni justru menuduh Prita telah mencemarkan nama baik dan menyeret pasiennya ini ke meja hukum. Walaupun RS Omni memiliki tujuan yang dianggapnya baik, menyelamatkan “nama baik” perusahaannya dengan menindak melalui jalur hukum, akan tetapi perbuatan yang dilakukan tidak memenuhi kewajiban sebagai perbuatan yang baik.
Solusi
Situasi yang terlanjur krisis mendalam seperti ini memang sulit diatasi. Manajemen krisis harus dibangun secara strategis dan segera dijalankan. Dalam kondisi seperti saat ini, mestinya Omni langsung mengajukan perdamaian tanpa syarat, dan untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap rumah sakit, justru ini kesempatan OMNI untuk memperbaiki manajemennya. Namun untuk jangka pendek ini saran yang dapat dilakukan adalah dengan cara mengubah pendekatan hukum menjadi pendekatan komunikasi. Tarik mundur kuasa hukum sebagai juru bicara perusahaan. Jika kuasa hukum yang selalu bicara ke publik, besar kemungkinan isinya soal benar atau salah, soal Prita melanggar hukum atau tidak, seperti yang selama ini termuat di berbagai media, baik online maupun media konvensional lain.
Padahal, opini publik bukan lagi soal salah benar, tetapi soal keadilan, kemanusiaan (ibu yang tidak dapat lagi menyusui anaknya karena dibui), soal suara konsumen yang diberangus melaui UU ITE, serta soal keangkuhan dan arogansi RS OMNI sebagai perusahaan terhadap keluhanpasiennya (pelanggan).
YLKI sebagai lembaga perlindungan konsumen di Indonesia pun seharusnya lebih dapat memperjuangkan nasib konsumen di Indonesia, bukan sekedar simbol lembaga semata agar konsumen yang telah mengeluarkan sejumlah rupiah dapat merasakan pengayoman dari lembaga yang berwenang ini.
REFERENSI
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/09/etika-bisnis-dalam-pemasaran-dan-perlindungan-konsumen/
http://www.virtual.co.id/blog/internet-marketing/saran-untuk-manajemen-rs-omni-tangerang/