Studi Keamanan Kontemporer tentang Terorisme: Studi Kasus Bom Bunuh Diri di Surabaya



Studi Keamanan Kontemporer tentang Terorisme:
Studi Kasus Bom Bunuh Diri di Surabaya



I.                   Pendahuluan
A.    Latar Belakang
Aksi terorisme akibat fanatisme terhadap agama telah banyak terjadi di dunia ini. Fanatisme tersebut identik dengan kondisi ketidaknormalan, penyimpangan dan kelainan yang mengerikan. Hal ini kembali menjadi pembahasan yang hangat pada tahun 2018 lalu ketika terjadi pengeboman di tiga tempat di daerah Surabaya dan sekitarnya yang dilakukan oleh sebuah keluarga. Hal ini tak ayal membuatnya dibahas dimanapun sehingga menyebabkan banyak pandangan bermunculan. Sebagian besar intelektual dan literatur populer mengidentifikasi fanatisme sebagai cermin dari irasionalitas dan intoleransi dan pada tahap tertentu dianggap berlawanan dengan demokrasi. Hal ini tentu menyebabkan keresahan di dalam masyarakat yang merasa adanya kerentanan dalam keamanan dalam hidupnya.
Aksi terorisme yang terjadi pada bulan Mei tahun 2018 lalu Aksi terorisme kembali terjadi di Surabaya dan sekitarnya diawali dengan bom bunuh diri yang terjadi di 3 (tiga) gereja di Surabaya, dilanjutkan dengan penyerangan di Mapolrestabes Surabaya, dan yang terakhir adalah ledakan di salah satu unit Rusunawadi Sidoarjo. Penyerangan yang terjadi di 3 gereja di Surabaya yaitu Gereja Santa Maria Tidak Bercela, Gereja Kristen Indonesia Jalan Diponegoro, dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya dilakukan oleh Dita Soepriyanto beserta keluarganya (Sanur, 2018). Serangan serangan tersebut kemudian diklaim oleh ISIS sebagai bagian dari teror yang mereka rencanakan. Keluarga yang melakukan serangan merupakan bagian dari Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) yang merupakan perpanjangan tangan dari ISIS (CNN Indonesia, 2018).
Serangan terorisme merupakan kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan manusia (crimes against peace and security of mankind) di seluruh dunia. Perkembangan dan penyebaran kelompok dengan paham radikal semakin tumbuh. Indonesia pun tidak terlepas dari rangkaian bom dari aksi terorisme ini seperti kejadian yang telah disebutkan di atas. Salah satu penyebab pertumbuhan aksi ini diduga karena adanya penyebaran paham dari ISIS yang mulai masuk ke Indonesia. Hal ini bukan hal yang tidak mungkin karena perkembangan teknologi telah dapat menghubungkan satu jaringan terorisme dengan yang lainnya. 

B.     Perumusan Masalah
Islamic State of Iraq dan Syria (ISIS) merupakan sebuah gerakan terorisme yang berasal dari negara Irak dan Suriah dan pahamnya semakin berkembang di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Organisasi ini telah menjadi perhatian dari masyarakat internasional karena eksistensinya telah menimbulkan ancaman bagi perdamaian dan keamanan dunia melalui berbagai tindakan radikal yang dilakukannya. Tindakan radikal tersebut memiliki tujuan untuk mendirikan negara muslim dan dilakukan dengan menyebarkan propaganda untuk mengajak seluruh umat Muslim dunia melakukan jihad dan membantu perjuangan mereka dalam mendirikan Negara Islam (Rijal, 2017). Berdasarkan hal tersebut, serta latar belakang yang telah disebutkan sebelumnya permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah mengenai aksi terorisme Bom Surabaya hubungannya dengan organisasi internasional ISIS. Selain itu, akan dibahas pula mengenai bagaimana penyelesaian masalahnya ditinjau dari dunia internasional. 

C.     Deskripsi Masalah
Pengeboman tiga gereja di Surabaya merupakan serangan pertama dengan gagasan tentang Negara Islam, gagasan yang dipicu oleh ISIS, yang berhasil sejak serangan pada tahun 2016 di Thamrin, Jakarta. Kejadian tersebut juga merupakan bom bunuh diri pertama yang berhasil di Indonesia yang dilakukan oleh seorang perempuan dan pemboman pertama yang dilakukan oleh seluruh keluarga, termasuk anak-anak di dalamnya.
Serangan terorisme yang terjadi di Surabaya tersebut menggunakan TATP (triaseton triperoksida) yaitu bahan peledak tingkat tinggi yang sensitif (Schulze, 2018). Peledak ini pernah digunakan dalam serangan besar di Paris, Brussels, dan Manchester antara tahun 2015 dan 2017. Hal ini mengindikasikan terdapatnya peningkatan kemampuan simpatisan ISIS di Indonesia serta adanya modus operasi baru. Peningkatan kemampuan ini kemudian dikaitkan dengan kembalinya foreign fighters dari Suriah ke Indonesia (Kapoor, 2018). Hal ini kemudian mengakibatkan masalah ini memiliki lingkup bukan hanya nasional namun internasional pula.
Selain hal tersebut, diduga keluarga ini menghadiri sebuah pengajian bersama yang dilakukan setiap hari Minggu di Surabaya. Pengajian tersebut diduga menjadi jalur umum dari radikalisasi dan perekrutan untuk organisasi jihad di Indonesia. Pengajian tersebut merupakan pengajian yang dipimpin oleh ustadz Khalid Abu Bakr, yang sudah sejak tahun 1990-an memiliki reputasi sebagai ulama penghasut yang terampil dalam memobilisasi Muslim untuk mengikuti gerakan-gerakan pro Negara Islam. Ustadz Khalid Abu Bakr yang pada tahun 2017 dideportasi dari Turki kembali ke Indonesia setelah berencana hijrah ke Suriah mulai menyebarkan paham Negara Islam dengan mengadakan sesi studi Negara pro-Islam dan mulai mengumpulkan simpatisan ISIS di sekitarnya. Khalid adalah anggota resmi kelompok Jemaah Ansharut Daulah (JAD). Keluarga yang melakukan pengeboman di Surabaya tersebut diyakini merupakan anggota resmi JAD dan bahkan mengepalai organisasi ini di Cabang Surabaya (Schulze, 2018).
Dari penjelasan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa penyebab adanya serangan bom di Surabaya merupakan radikalisme agama yang dimotori oleh ISIS. Hal ini dapat dilihat dari pelaku pengeboman yang merupakan anggota resmi dari organisasi yang merupakan kepanjangan tangan dari ISIS, yaitu JAD. Hal ini juga dapat dipandang sebagai foreign fighters yang kembali ke negaranya untuk melakukan jihad di negaranya masing masing. Masalah yang kemudian harus dipecahkan adalah bagaimana mencegah gerakan ini semakin meluas dengan mencegah adanya foreign fighters kembali dan mencegah penyebaran paham ini dilakukan secara internasional dan lintas negara melalui organisasi-organisasi yang mencurigakan. 

Ini hanya versi sampel saja yaa..
Untuk versi komplit atau dibuatkan analisis kasusnya,
silahkan contact 085868o39oo9 (Diana)
Ditunggu ordernyaa.. 


REUNI 212 DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI MEDIA DAN KOMUNIKASI



REUNI 212 DALAM PERSPEKTIF

SOSIOLOGI MEDIA DAN KOMUNIKASI



PENDAHULUAN

Aksi 212 merupakan aksi bela agama Islam yang berlangsung pada tanggal 2 Desember 2017 yang telah berhasil menyedot jutaan masa (Najib, 2018). Aksi tersebut dihadiri oleh jutaan kaum muslim dari penjuru Indonesia. Masyarakat berbondong-bondong ke Jakarta untuk bisa berpartisipasi dalam aksi tersebut. Dilihat dari latar belakangnya, aksi tersebut merupakan respon kaum Muslim Indonesia atas dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta Ahok.
Satu tahun berlalu, “alumni” dari aksi 212 berkumpul kembali pada 2 Desember 2018 untuk memperingati satu tahun aksi 212. Peristiwa Reuni Akbar 212 tersebut kabarnya dihadiri oleh 7,5 juta orang serta dihadiri oleh banyak politisi dan artis seperti Gubernur terpilih Anies Basweda, Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah dan tokoh- tokoh politik lain yang hadir menjadi sorotan. Berbagai media baik, media online, cetak dan elektronik menyoroti peristiwa tersebut. Bagaimana media menyoroti peristiwa tersebut juga banyak mendapat sorotan dari berbagai pihak. Dalam tulisan ini, akan dilakukan penyelidikan terhadap reuni 212 dipandang dari perspektif sosiologi media dan komunikasi serta terhadap posisi media sebagai suatu institusi sosial.

PEMBAHASAN

Posisi Media Sebagai Institusi Sosial

Pada prinsipnya, media merupakan institusi yang difungsikan untuk mengembangkan kebebasan berpendapat dan menyebarkan informasi ke segala arah, yakni kepada publik dan institusi lainnya termasuk pemerintah. Sebagai suatu institusi, suatu media harus memiliki tenaga profesional, manajemen, dan infrastruktur. Untuk memenuhi fungsinya, media menjalin hubungan dengan sumber berita, pembaca, klien, pemilik modal, distributor, dan pihak-pihak lain. Dengan demikian, juga terlihat bahwa keberadaan media sebagai institusi sosial berkaitan dengan institusi lainnya, seperti ekonomi, politik, hukum ataupun khalayak luas (Kasijanto, 2008).
Ruang-ruang sosial hasil garapan media itu memiliki kecenderungan menjadi ruang-ruang konsumsi, baik konsumsi informasi maupun konsumsi wacana bagi publik. Singkat kata, media dan ragam kepentingannya secara langsung atau tidak langsung mampu melubangi ruang-ruang sosial bahkan ruang-ruang privat menjadi ruang yang seolah-olah publik. Hal ini dapat disebut sebagai  privat semu dan pseudo public.
Aksi 212 merupakan aksi bela agama Islam yang berlangsung pada tanggal 2 Desember 2017 yang telah berhasil menyedot jutaan masa (Najib, 2018). Satu tahun berlalu, “alumni” dari aksi 212 berkumpul kembali pada 2 Desember 2018 untuk memperingati satu tahun aksi 212. Peristiwa Reuni Akbar 212 tersebut kabarnya dihadiri oleh 7,5 juta orang serta dihadiri oleh banyak politisi dan artis. Berbagai media baik, media online, cetak dan elektronik menyoroti peristiwa tersebut.
Terkait dengan pemberitaan mengenai reuni 212, sempat terjadi pergolakan karena berbagai media tidak memberitakan mengenai aksi reuni tersebut. Panitia Reuni 212 saat itu bahkan berencana mendatangi kantor Komisi Penyiaran Indonesia untuk menyampaikan keberatan terkait sejumlah media yang tidak memberitakan Reuni 212 (Siddiq, 2018). Mereka ingin mendatangi KPI untuk berdikusi dan menyampaikan surat keberatan terhadap sejumlah media. Surat keberatan tersebut merupakan upaya untuk mengingatkan media terkait fakta sejarah besar yang terjadi dalam Reuni 212, bahwa peserta reuni mempunyai hak publik untuk disiarkan oleh media.

Reuni 212 dalam Sosiologi Media dan Komunikasi

Ditinjau dari perspektif sosiologi media, dapat dikatakan bahwa media mempunyai lingkar-lingkar kepentingan, yaitu awak media pada level individu yang berbicara tentang aspek profesionalisme pekerja media, faktor rutinitas media yang banyak mengolah bagaimana media berproduksi dan mempunyai standar tertentu, faktor organisasi media yang membentuk struktur media, faktor ekstra media yang banyak bicara tentang faktor lingkungan di luar media seperti narasumber, pengiklan dan lainnya, dan faktor ideologi media (Rahmitasari, 2017).
Pemberitaan mengenai aksi 212 di media selama ini ikut mewarnai gerakan sosial di masyarakat. Hal ini dipicu dengan gelombang aksi sosial, massa dari berbagai daerah di Indonesia berkumpul di Monumen Nasional untuk menuntut keadilan terkait dengan penistaan agama. Media pun kembali menyoroti isu Aksi 212, pada tanggal dan bulan yang sama di tahun 2017 diadakan Reuni Aksi 212. Berbagai media massa baik cetak, elektronik dan media online kembali memberitakan Aksi 212 lagi. Proses pemberitaan Aksi 212 ini tentu berbeda-beda sudut pandang. Hal ini dikarenakan kebijakan redaksi dan ideologi perusahaan media yang diterapkan di dalam perusahaannya.

Dari sisi komunikasi, pengalaman komunikasi yang dimiliki peserta aksi 212 di Jakarta dikategorisasi menjadi jenis-jenis pengalaman tertentu yang meliputi pengalaman positif (menyenangkan) dan pengalaman negatif (tidak menyenangkan). Penjelasan mengenai pengalaman komunikasi yang menyenangkan dan tidak menyenangkan dapat diawali dengan pernyataan, komunikasi memiliki dimensi isi dan dimensi hubungan (Masithoh & Firdaus, 2017). Hal ini berarti pengalaman komunikasi yang menyenangkan (positif) dapat ditinjau, antara lain melalui suatu hubungan yang menunjukan adanya kehangatan sikap, penerimaan dan perhatian satu sama lain. Sedangkan pengalaman komunikasi yang tidak menyenangkan (negatif) berarti sebaliknya. Suatu peristiwa yang mengandung unsur komunikasi akan menjadi pengalaman komunikasi tersendiri bagi individu dan pengalaman komunikasi yang dianggap penting akan menjadi pengalaman yang paling diingat dan memiliki dampak khusus bagi individu tersebut.


KESIMPULAN


DAFTAR PUSTAKA

 

Ini hanya versi sampel saja yaa..
Untuk versi komplit atau dibuatkan analisis kasusnya,
silahkan contact 085868o39oo9 (Diana)
Ditunggu ordernyaa..