Perkembangan Studi Keamanan di Negara Jepang



 Perkembangan Studi Keamanan di Negara Jepang


Dalam kaitannya dengan keamanan maka dapat dikatakan bahwa jika suatu demokrasi berjalan sesuai arah yang benar maka akam menciptakan keamanan yang kondusif, tapi jika demokrasi yang dilaksanakan cenderung mengarah ke tindak anarkisme, yang berdasarkan kepentingan kelompok tertentu dan lain sebagainya, maka keamanan akan sulit didapatkan. Hal ini karena pertahanan suatu Negara akan kuat jika rakyatnya bersatu dalam menghadapi serangan dari luar, baik itu berupa serangan militer ataupun globalisasi.
Keamanan pada dasarnya memiliki arti yang sangat luas. Pertama, keamanan adalah keadaan aman dan tenteram (Wartonah, 2010). Keamanan tidak hanya mencegah rasa sakit atau cedera tapi keamanan juga dapat membuat individu aman dalam aktifitasnya, mengurangi stres dan meningkatkan kesehatan umum. Lebih jauh, kemanan dalam kaitnnya dengan Negara sering kali berhubungan dengan pertahanan Negara, yang mana ini juga kemudian berhubungan dengan keberadaan pasukan militer dalam negeri untuk menghindarkan dari segala amcaman, baik dalam negeri sendiri maupun dari luar negeri.
Berkaitan dengan hal ini, diketahui bahwa dinamika perkembangan militer Jepang mengalami perkembangan yang sangat signifikan, karena secara historis, terutama sebelum tahun 1945, Jepang adalah negara dengan militer yang sangat kuat, namun sejak berakhirnya PD II Jepang tidak memiliki kekuatan militer. Hal ini karena sejak saat itu, secara faktual pertahanan Jepang sepenuhnya tergantung pada Amerika Serikat  (Alfian, 2010). Dalam hal ini, jamaninan keamanan yang diberikan oleh AS, memberikan keuntungan bagi Jepang, Khususnya dalam bidang perekomonian, yang pada akhirnya membuat Jepang muncul sebagai satu kekuatan ekonomi yang dapat diperhitungkan di dunia internasional, khususnya memasuki masa pasca Perang Dingin, dimana keterkaitan ekonomi dan keamanan menjadi hal yang penting untuk dibahas di dunia internasional. Bersamaan dengan hal ini, selain memberikan jaminan perlindungan militer bagi Jepang, AS juga telah mendorong Jepang untuk memperluas serta mengembangkan kebijakan pertahanannya. Kebijakan-kebijakan ini dibentuk sedemikian rupa agar dapat menunjang strategi AS di kawasan Timur Jauh seperti yang digariskan dalam traktat pertahanan kedua negara (Firdasus H, 2014).
Namun ketergantungan Jepang pada AS, justru menyebabkan dunia internasional mengkritik Jepang, karena di satu sisi Jepang tidak memberikan cukup kontribusi terhadap penjagaan stabilitas dan keamanan internasional, namun di sisi lain Jepang menikmati dan mendapatkan berbagai keuntungan yaitu terjaminnya keamanan jalur-jalur perdagangannya di berbagai belahan dunia. Pada tahap tertentu dunia internasional bahkan menekan Jepang untuk membangun kembali kekuatan militernya. Sumbangan Jepang secara finansial dirasa tidak cukup dan tidak fair dalam upaya negara-negara untuk menjaga keamanan internasional. Jepang dituntut berpartisipasi sepenuhnya baik secara finansial maupun militer (Alfian, 2010). Akibatnya Jepang mengalami dilema yang besar, karena jika mereka memenuhi permintahan internasional untuk membangkitkan  pasukan militernya untuk ikut serta dalam menjaga keamanan dunia, maka ini akan bertentangan dengan Konstitusi UUD 1947, yang menyatakan pelarangan bagi Jepang untuk membangun kembali militernya.
Di tengah kondisi dilematis yang dihadipnya Jepang pada keyataannya telah melakukan upaya-upaya membangun kembali militernya. Strategi yang dilakukan Jepang adalah memanfaatkan kondisi-kondisi di mana pembangunan militer yang dilakukannya seolah-olah adalah suatu keharusan yang dipaksakan oleh pihak luar terutama oleh AS. Dengan memanfaatkan hubungannya dengan AS yang pada titik tertentu semakin terbebani dengan kewajibannya melindungi keamanan Jepang, Jepang berhasil mendapatkan simpati publik domestik dan menekan ketakutan negara-negara tetangganya terhadap kebangkitan kembali militerismenya (Alfian, 2010). Pada titik tertentu, sebagi tuntutan perubahan kondisi Jepang berhasil kembali membangkitkan kekuatan militernya. Kemudian seiring dengan berjalannya waktu, Perdana Menteri Jepang yang di pimpin oleh Shinzo Abe membelakukan Undang-undang Keamanan baru sejak 29 Maret 2016 (DW, 2016).
Kebijakan baru terkait keamanan dari pendekatan militer tersebut bersifat soft power serta mengenyampingkan kemungkinan penggunaan kekuatan militer menjadi asertif sebagai upaya collective self-defense. Perubahan kebijakan di sektor keamanan tersebut terpaksa dilakukan akibat perkembangan isu keamanan di wilayah Asia Timur, terutama dari negara Korea Utara dan China. Pada saat itu, Korea Utara kerap melakukan tindakan-tindakan provokatif, seperti menenggalamkan kapal perang Korea Selatan. Mereka (Korut) juga meneruskan program nuklir dan meluncurkan rudal balistik yang sangat mengganggu stabilitas kawasan. Perubahan juga dilakukan sebagai antisipasi terhadap upaya China yang meningkatkan anggaran belanja negara di sektor militer. China telah meningkatkan belanja militernya menjadi US$216 miliar untuk tahun anggaran 2014 lalu, sangat besar dibandingkan anggaran belanja Jepang di sektor militer yang hanya sebesar US$45,8 miliar. Ditambah dengan aksi-aksi sepihak China yang bisa menimbulkan gejolak di kawasan, misalnya dengan mengembangkan pulau buatan di Laut China Selatan (Prayogo, 2016). Disisi lain, UU tersebut memungkinkan militer negeri Sakura itu untuk beroperasi di luar negeri, meskipun banyak menimbulkan penolakan, khususnya dari China  (DW, 2016).

Ini hanya versi sampel saja yaa..
Untuk versi komplit atau dibuatkan analisis kasusnya,
silahkan contact 085868o39oo9 (Diana)
Ditunggu ordernyaa.. 

Perkembangan HAM dan Demokrasi di Negara Jepang




  Perkembangan HAM dan Demokrasi di Negara Jepang



Penelitian mengenai perkembangan demokrasi di Jepang menarik perhatian banyak peneliti, baik dari kalangan profesional maupun amatir, sejak Jepang tumbuh sebagai negara modern, setelah Restorasi Meiji pada tahun 1868 (Surajaya, 1982). Dalam beberapa dekade ini, perubahan sistem pemerintahan Jepang dari sebuah negara yang otoriter menjadi demokrasi merupakan sebuah sejarah yang besar dalam dunia internasional. Dimana hingga pertengahan abad kesembilanbelas, masyarakat Jepang masih bersifat feodal, menggantungkan diri pada pertanian dan cenderung terpecah-pecah. Pada masa tersebut, Shogun merupakan aktor yang memiliki peran penting sebagai penguasa di berbagaiwilayah Jepang.
Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa demokrasi di negara jepang  pada dasarnya sudah ada sejak pemerintahan di zaman Meiji. Hal ini ditandai dengan pembukaan kembali hubungan antara jepang dengan orang asing setelah runtuhnya pemerintahan Tokugawa. Hal ini juga membawa perubahan besar pada bidang perpolitikan di Jepang, karena kebanyakan orang asing yang datang ke Jepang menganut sistem demokrasi yang membebaskan masyarakatnya mengeluarkan pendapat. Dalam perkembangannya, sistem feodal Jepang yang sebelumnya berlaku dapat dikatakan stabil dengan melihat minimnya pergolakan yang terjadi di dalam masyarakatnya. Namun kestabilan ini mulai terganggu ketika Amerika Serikat datang ke Jepang dan melakukan Western Gunboat Diplomacy pada era 1850an. Dimana proses diplomasi tersebut menghasilkan sebuah perjanjian yang mengharuskan Jepang membuka diri untuk melakukan kerjasama perdagangan dengan Amerika Serikat. Perjanjian tersebut memaksa Jepang untuk memberikan ijin kepada kapal-kapal dagang Amerika untuk berlabuh di Shimoda dan Hakodate (Miere, 2014). Dengan demikian pada akhirnya Jepang ikut menerapkan sistem demokrasi di dalam negara, dengan tujuan untuk membentuk negara yang kuat, dengan kebebasan berpendapat untuk para rakyatnya. Hal ini di dasari karena pada zaman Tokugawa yang bisa mengeluarkan pendapat hanya orang-orang yang berkuasa.
Secara garis besar periode perjuangan terbentuknya demokrasi adalah dimualai pasca Restorasi Meiji, atau lebih tepatnya sekitas tahun ahun 1868 hingga tahun awal menjelang munculnya militerisme Jepang yaitu tahun 1931. Ada dua gerakan besar demokrasi yang terjadi pada periode ini; pertama gerakan demokrasi Jiyuu Minken Undo tahun 1877 dengan tokoh pelopor bernama Itagaki Taisuke dan gerakan demokrasi Taisho dengan pelopor bernama Yoshino Sakuzo. Berkat kedua gerakan itu lahirlah apa yang kemudian dikenal dengan Undang Undang Dasar Meiji tahun 1889 dan Pemilu. Namun apa yang harus dicatat adalah bahwa demokrasi yang tercapai masa ini barulah kulit luarnya saja dan belum menyentuh sisi substansi. Ini tak lain karena pada masa itu kedaulatan masih di tangan Tenno dan kalaupun ada pemilu, yang berhak ikutpun sangat dibatasi pada laki-laki dan pembayar pajak tinggi. Rezim penguasa tampaknya masih terlalu kuat digusur melalui dua gerakan demokrasi ini  (Surajaya, 1982). Dalam hal ini Demokrasi Taisho merupakan bentuk paling utama pelaksanaan sistem demokrasi di Jepang diman secara umum ini terjadi sebelum berlangsungnya Perang Dunia II. Khususnya pad aperiode tersebut, terjadi dengan mengubah struktur dan pedoman sosial dan politik negara itu, menciptakan demokrasi dan memungkinkannya untuk menjadi berhasil 'dipaksakan' oleh kekuatan asing di kemudian hari (Otaola, n.d.).
Sementara itu, periode perjuangan demokrasi selanjutnya, terjadi pada pada masa pasca Jepang kalah perang tepatnya pada tahun 1945 hingga tahun 1951, dimana demokrasi pada periode ini dipelopori bukan oleh pihak Jepang melainkan oleh kekuatan dari luar yaitu tentara sekutu. Tentara sekutu yang masa itu mewakilkan penguasaan atas Jepang pada GHQ (General Headquater) yang notabene adalah representasi pemerintah Amerika melakukan tidak hanya de-militerisasi, tetapi juga demokratisasi. Singkatnya Anderson (1993), Jepang memang mengalami kekalahan militer dengan mempertahankan kaisar tetapi bersamaan dengan itu mereka menginstal kembali demokrasi, kemudian dengan menjaga birokrasi tetapi membongkar tentara, ini dapat dikatakan sebagai bentuk hasil contoh negosiasi Jepang dengan sekutu daripada sebagai sebuah hasil pemaksaan. Kemudian pada kenyataannya, "kekalahan militer tidak mengarah pada penghancuran bangunan politik di Jepang, tetapi lebih kepada pembongkaran sebagian dalam rekonstruksi negara dan masyarakat yang lebih luas" (Otaola, n.d.). Meskipun demikian, demokratisasi atas Jepang secara garis besar dapat terjadi dalam empat bidang utama, yaitu: politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Selanjutnya demokras di Jepang kini lebih dikenal dengan sebutan The Parliamentary Democracy atau atau Kokkai (国会), dimana ini di tujukkan dalam bentuk kerangka kerja konstitusional pasca perang sesuai dengan masyarakat demokratis yang menyatakan ada tiga cabang kekuasaan negara yang berbeda memiliki kompetensi, tanggung jawab, dan pemeriksaan yang jelas, dimana tidak satu pun dari mereka yang mampu melaksanakan semua kekuatan negara secara independen, dimana Pusat Konstitusi-nya adalah Kaisar yang berdaulat, sakral dan tidak dapat diganggu gugat, juga dianggap sebagai kepala agama dari agama Negara, yaitu Shinto (Tamás, 2011). Kemudian dua bagian lain adalah Perdana Menteri yang berperan dalam kepala kabinet legislatif dan Kabinet Negara atau badan eksekutif. Dalam hal ini, Perdana Menteri biasanya adalah kepala partai yang memenangkan pemilu di parlemen, kemudian Kabinet Menteri ditunjuk oleh perdana menteri seusai dilantik oleh kaisar.
Selajutnya, sebagai negara yang demokrasi, saat ini Jepang memiliki struktur ketatanegaraan yang meliputi supra struktur dan infra struktur. Dimana suprastruktur adalah lembaga–lembaga kenegaraan atau alat-alat perlengkapannegara yang sesuai dengan Konstitusi 1947, sepertiyang telah disebutkan sebelumnya. Sedangkan infra struktur adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan, dimana setiap aktifitasnya mempengaruhi lembaga kenegaraan dalam menjalankan fungsinya. Infra struktur terdiri dari 5 (lima) komponen  (Kurniawan, 2015), yang meliputi:

  • Partai politik
  • golongan kepentingan (interest group, yang meliputi: interest group  asosiasi, institusional, non-asosiasi, dan interest group yang anomik
  • Golongan penekan (oposisi)
  • Alat komunikasi politik
  • Tokoh politik

Dalam hal keberadaaan [artai politik, sebagai suatu negara demokrasi, Jepang tidak dapat meniadakankeberadaannya karena partai politik adalah salah satu wadah bagimasyarakat untuk menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah (Kurniawan, 2015).


Ini hanya versi sampel saja yaa..
Untuk versi komplit atau dibuatkan analisis kasusnya,
silahkan contact 085868o39oo9 (Diana)
Ditunggu ordernyaa..