Dugaan Kelalaian dan Posisi Akuntan pada Likuidasi dalam Kasus PT Kimia Farma Tbk.

Dugaan Kelalaian dan Posisi Akuntan pada 
Likuidasi dalam Kasus PT Kimia Farma Tbk.

Pendahuluan
Salah satu manfaat dari jasa akuntan publik adalah memberikan informasi yang akurat dan dapat dipercaya untuk pengambilan keputusan. Laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik kewajarannya lebih dapat dipercaya dibandingkan laporan keuangan yang tidak atau belum diaudit.
Semakin banyak dan maraknya kasus dan skandal keuangan yang terjadi baik di dalam maupun di luar negeri telah memberikan dampak besar terhadap kepercayaan publik terhadap profesi akuntan publik. Profesi akuntan publik sebagai pihak ketiga yang independen seharusnya memberikan jaminan atas relevansi dan keandalan sebuah laporan keuangan.
PT. Kimia Farma Tbk yang melakukan mark-up laporan keuangan, yaitu terjadinya penggelembungan laba bersih pada laporan keuangan tahun 2001 sebesar Rp 32,668 miliar.
Kasus yang terjadi menuntut para auditor internal dan eksternal untuk dapat memahami kecurangan pada laporan keuangan. Kecurangan laporan keuangan 

Deskripsi Kasus
PT Kimia Farma adalah salah satu produsen obat-obatan milik pemerintah di Indonesia. Pada audit tanggal 31 Desember 2001, manajemen Kimia Farma melaporkan adanya laba bersih sebesar Rp 132 milyar, dan laporan tersebut di audit oleh Hans Tuanakotta & Mustofa (HTM). Akan tetapi, Kementerian BUMN dan Bapepam menilai bahwa laba bersih tersebut terlalu besar dan mengandung unsur rekayasa. Setelah dilakukan audit ulang, pada 3 Oktober 2002 laporan keuangan Kimia Farma 2001 disajikan kembali (restated), karena telah ditemukan kesalahan yang cukup mendasar. Pada laporan keuangan yang baru, keuntungan yang disajikan hanya sebesar Rp 99,56 miliar, atau lebih rendah sebesar Rp 32,6 milyar, atau 24,7% dari laba awal yang dilaporkan.
Kementerian BUMN memutuskan penghentian proses divestasi saham milik Pemerintah di PT KAEF setelah melihat adanya indikasi penggelembungan keuntungan (overstated) dalam laporan keuangan pada semester I tahun 2002. 

Analisis
Likuiditas adalah rasio keuangan yang mengukur kemampuan suatu perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka pendek dan aktiva lancarnya. Rasio likuiditas yang umumnya digunakan adalah current ratio. Current ratio yang tinggi biasanya dianggap menunjukkan tidak terjadi masalah dalam likuiditas. Maka semakin tinggi likuiditas artinya laba yang dihasilkan  suatu perusahaan berkualitas (Jang dkk., 2007).
Mantan direksi PT Kimia Farma Tbk. Telah terbukti melakukan pelanggaran dalam kasus dugaan penggelembungan (mark up) laba bersih di laporan keuangan perusahaan milik negara untuk tahun buku 2001. Kantor Menteri BUMN meminta agar kantor akuntan itu menyatakan kembali (restated) hasil sesungguhnya dari laporan keuangan Kimia Farma tahun buku 2001. Sementara itu, direksi lama yang terlibat akan diminta pertanggungjawabannya. Seperti diketahui, perusahaan farmasi terbesar di Indonesia itu telah mencatatkan laba bersih 2001 sebesar Rp 132,3 miliar. Namun kemudian Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) menilai, pencatatan tersebut mengandung unsur rekayasa dan telah terjadi penggelembungan. Terbukti setelah dilakukan audit ulang, laba bersih 2001 seharusnya hanya sekitar Rp 100 miliar.
Dan terbukti adanya pencatatan ganda atas penjualan yang mengakibatkan kesalahan penyajian laporan keuangan tersebut
Namun dalam hal ini seharusnya akuntan publik bertindak secara independen karena mereka adalah pihak yang bertugas memeriksa dan melaporkan adanya ketidakwajaran dalam pencatatan laporan keuangan
Dalam melakukan tindakan pencegahan, pendeteksian, dan audit investigatif yang bertujuan untuk meminimalisir kecurangan, keterampilan dan kompetensi merupakan sesuatu yang harus dikuasai dan dimiliki oleh auditor. Widiastuti (2009) mengemukakan bahwa kompetensi auditor berpengaruh secara signifikan dalam mendeteksi kecurangan laporan keuangan. 

Kesimpulan
Aktivitas manipulasi pencatatan laporan keungan yang dilakukan manajemen tidak terlepas dari bantuan akuntan. Akuntan yang melakukan hal tersebut memberikan informasi yang menyebabkan pemakai laporan keuangan tidak menerima informasi yang fair.
Akuntan sudah melanggar etika profesinya Pembahasan Upaya yang dilakukan pemerintah dalam mewujudkan prinsip-prinsip good corporate governance guna memperbaiki kinerja perusahaan. 

Ini hanya sampel saja…
Mau tau versi lengkapnya?
Atau mau order (custom) sesuai request juga bisa


Silahkan WA/ Call ke o85868o39oo9 (Diana)
Ditunggu yaa.. Happy Order J

Konstruksi Image Gender dan Seksualitas dalam Media Massa Studi kasus: Pemberitaan LGBT di Media Massa Indonesia



Konstruksi Image Gender dan Seksualitas dalam Media Massa
Studi kasus: Pemberitaan LGBT di Media Massa Indonesia

A.     Latar Belakang
Diskursus mengenai Lesbian Gay Biseksual dan Transgender (LGBT) di Indonesia belum diterima oleh masyarakat secara luas. Bahwa orang Indonesia yang mengidentifikasi sebagai gay tidak selalu nyaman berada dalam kehidupan sehari-hari mereka mungkin terkait dengan stigma negatif seputar gender dan seksualitas alternatif di nusantara. Sebuah survei dari tahun 2012, oleh surveyor swasta dan badan konsultasi politik Lingkaran Survei Indonesia, yang menginginkan Indonesia yang lebih baik, mengungkapkan bahwa mayoritas warga negara Indonesia (80,6%) tidak ingin memiliki tetangga yang aneh. Salah satu mindstream yang berkembang dalam masyarakat Indonesia dan dunia adalah mengenai kaum LGBT yang dianggap menyimpang dari norma.
Fakta sebaliknya, perkiraan para ahli dan Badan PBB, dengan memperhitungkan jumlah penduduk lelaki dewasa, jumlah lelaki berhubungan seks dengan lelaki (LSL) di Indonesia pada 2011 diperkirakan lebih dari tiga juga orang, padahal pada 2009 angkanya 800 ribu orang. Sehingga da;a, kurun waktu dua tahun, jumlah LSL meningkat lebih dari 300 persen. Bahkan, diperkirakan pada 2013 jumlahnya lebih besar lagi. Khususnya di Ibukota Jakarta, jumlah LSL diperkirakan telah melampaui angka seratus ribu orang.[1] Tingginya angka kaum LGBT ini belum mampu mengubah stigma negative masyarakat yang selama ini melihat LGBT sesbagai rang yang berpenyakitan, dan mindsteram.  Bahkan fenomena LGBT di Indonesia menjadi kontroversial karena rumor yang mengatakan bahwa LGBT itu menular dan harus dijauhi.
Persepsi masyarakat terhadap LGBT tidak lepas dari peran media massa dalam membangun pencitraan kaum LGBT. Media Massa merupakan agen sosial yang mudah menpengaruhi masyarakat, dan media massa dampak penyebaranya paling luas. Dampak media massa mungkin tidak secara langsung terjadi dan dirasakan oleh masyarakat, namun media cukup berperan sangat besar dalam mempengaruhi seseorang. 

B.     Landasan Teori
Komunikasi Massa dan Konstruksi Media Massa
Konstruksi media massa berkaitan dengan teori konstruksi realitas social yang dipaparkan oleh Peter Berger bersama Thomas Luckmann dalam bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality.[2] Literatur tentang konstruksi realitas sosial berpendapat bahwa realitas yang dibangun didasarkan pada empat asumsi dasar: (1) Realitas "tidak hadir secara obyektif" kepada pemirsa, hal ini dipahami melalui pengalaman manusia; (2) kategori bahasa ditentukan oleh "interaksi sosial" yang berlaku pada waktu tertentu; (3) bagaimana realitas didefinisikan ditentukan oleh "konvensi komunikasi"; (4) Perilaku komunikasi merupakan konstruksi realitas sosial (Gergen, 1985 dalam Galbin, 2014).[3]
Ada tiga tahap peristiwa. Pertama, eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Kedua, objektivasi, yaitu hasil yang telah dicapai baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Hasil itu menghasilkan realitas objektif yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisitas yang berada diluar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya. Ketiga, internlisasi. Proses internalisasi lebih merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. 

C.     Pembahasan
1.      Bentuk media untuk konstruksi media massa terhadap LGBT di Indonesia
Berita dianggap sebagai bentuk konstruksi sosial. Menurut Gitlin (1980),[4] bingkai media, "sebagian besar tidak terucapkan dan tidak diketahui, mengatur dunia baik untuk wartawan yang melaporkannya dan, dalam beberapa hal penting, agar kita bergantung pada laporan mereka. Pemberitaan LGBT di media massa Indonesia sejak dua tahun ini menguatkan stigma negative masyarakat Indonesia terhadap keberadaan LGBT. Gelombang penggerebekan polisi yang belum pernah terjadi sebelumnya, serangan main hakim sendiri, dan seruan untuk mengkriminalisasi seks homoseksual telah membuat banyak orang di komunitas LGBT di negara itu takut akan keselamatan mereka.
Terdapat empat jenis informasi yang bias dalam berita: "personalisasi," dramatisasi, "" fragmentasi, "dan" bias gangguan otoritas” (Bennett &  Entman2001)[5]. Dengan demikian, bias dapat dipertimbangkan sebagai bentuk konstruksi sosial. Pemberitaan LGBT di media massa di Indonesia termasuk bias konstruksi social. Menurut laporan Komisi Hak Asasi Manusia Gay dan Lesbian Internasional (2007), orang LGBT Indonesia sering menjadi sasaran pelanggaran hak asasi manusia karena orientasi seksual, identitas gender dan ekspresi gender mereka. Contoh langsung bagaimana LGBTIQ Indonesia didiskriminasikan adalah ketika "Queer Film Festival" diadakan di Jakarta pada tahun 2011 bekerja sama dengan sejumlah Pusat Kebudayaan Eropa.
Kaum LGBT adalah kaum minoritas di Indonesia. Kelompok minoritas merujuk pada kebanyakan adalah kelompok masyarakat yang jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah kelompok masyarakat lain yang dominan.
Pada media massa menggambarkan kaum LGBT sebagai kaum yang menyimpang. Penyampain informasi dilakukan oleh media terhadap kaum LGBT sengaja atau tidak sengaja telah melakukan diskriminasi terhadap kaum LGBT. Sehingga masyarakat yang menonton atau memperoleh informasi tentang LGBT dari media membuat LGBT semakin terpojokkan dan kaum LGBT kehilangan haknya untuk mengekspresikan diri melalui media atau tidak.
Media massa mengarahkan opini khalayak lewat proses framing dan sekaligus menanamkan stereotipe kepada mereka bahwa homoseksual kerap identik dengan kekerasan. Hal ini kemudian menimbulkan kekhawatiran dari masyarakat untuk berhubungan atau bersosialisasi dengan kaum LGBT. Ketika akses untuk bersosialisasi semakin terhambat, kaum LGBT akan memiliki self-esteem yang rendah dan perasaan bersalah yang terus menerus karena ditekan oleh masyarakat (Kirnandita, 2010)[6]

2.      Faktor - faktor kaum LGBT menjadi objek konstruksi media massa dilihat dari konteks marginalisasi, labelisasi dan kekerasan
Penggambaran media positif yang jarang terjadi tentang homoseksualitas juga dapat mempengaruhi kepercayaan heteroseksual. Budidaya teori (Gerbner, Gross, Morgan, Signorielli, & Shanahan, 2002)[7] menunjukkan bahwa menonton televisi mempengaruhi sikap dan keyakinan pemirsa melalui suatu proses dimana dunia seperti yang digambarkan oleh media datang untuk dirasakan oleh pemirsa-khususnya volume tinggi viewers-
Selama ini, peran media massa di Indonesia  yang dianggap belum memiliki keberpihakan pada kelompok LGBT  (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) sehingga ikut melanggengkan diskriminasi  lewat pemberitaan-pemberitaan yang bias.[8]
 
Solusi alternatif yang bisa diterapkan untuk menyelesaikan persoalan diskriminasi LGBT
Media massa, termasuk media online dalam praktiknya tentu tak pernah lepas dari tugas mulianya untuk memberikan informasi sekaligus memberikan edukasi. Media massa bukanlah wadah untuk mempertarungkan kelompok-kelompok di dalam masyrakat. Media massa seharusnya tidak menciptakan jurang dikotomi dan mengadili kaum yang termarginalisasi. Menurut UNDP, ada tiga kategori media konvensional, yang muncul secara cetak dan elektronik, dalam hal bagaimana mereka meliput isu LGBT, yaitu:[9]


Ini hanya sampel saja…
Mau tau versi lengkapnya?
Atau mau order (custom) sesuai request juga bisa


Silahkan WA/ Call ke o85868o39oo9 (Diana)
Ditunggu yaa.. Happy Order 


[1] Jakarta Darurat Gay!. Diakses melalui www.republika.co.id pada tanggal 9 Juli 2017

[2] Peter L. Berger and Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality, A Treatise in the Sociological of Knowledge (Terj.) Hasan Basari (Jakarta: LP3ES, 1990), h. 75.
[3] Galbin, A., (2014). An Introduction To Social Constructionism. Social Research Reports, 26, pp. 82-92, retrieved 10 Juli 2017 from: http://www.researchreports.ro/images/researchreports/social/srr_2014_vol026_004.pdf
[4] Gitlin, T. (1980). The whole world is watching: Mass media in the making & unmaking of the new left. Berkeley: University of California Press.
[5] Bennett, W. L, Entman, R. M., (2001). Mediated Politics in Mediated Politics: Communications in the Future of Democracy. Cambridge:  Cambridge University Press.

[6] Kirnandita, P., (2010). Tanggung Jawab Media dalam Pemberitaan Kaum Lesbi, Gay, Biseks dan TransGender. Makalah perkuliahan Etika dan FIlsafat Komunikasi Universitas Indonesia

[7] Gerbner G, Gross L, Morgan M, Signorielli N, Shanahan J. Growing up with television: Cultivation processes. In: Bryant J, Zillman D, editors. Media effects: Advances in theory and research. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates; 2002. pp. 43–67.

[8] “Media dinilai ikut langgengkan diskriminasi terhadap kaum LGBT”, diakses 10 Juli 2017 dari: http://indonesia.ucanews.com/2014/05/23/media-dinilai-ikut-langgengkan-diskriminasi-terhadap-kaum-lgbt/

[9] UNDP, USAID (2014). Being LGBT in Asia: Indonesia Country Report. Bangkok. Retrieved 10 Juli 2017 from: http://www.asia-pacific.undp.org/content/dam/rbap/docs/Research%20&%20Publications/hiv_aids/rbap-hhd-2014-blia-indonesia-country-report-english.pdf