Sistem Pemilihan Umum Filipina pada Tahun 2016
A.
Pendahuluan
Masalah
utama yang menentukan pembangunan sebuah negara adalah konsep kedaulatan yang
dianut. Kedaulatan merupakan konsepsi yang berkaitan dengan kekuasaan tertinggi
dalam organisasi negara. Isra (dalam Sarbaini,
2015) menjelaskan bahwa kekuasaan tertinggi tersebut biasanya dipahami
sebagai sesuatu yang bersifat abstrak, tunggal, dan utuh, serta tidak berasal
dari kekuasaan lain yang lebih tinggi. Pengakuan pemegang kekuasaan tertinggi suatu
negara tidak mutlak, karena mengalami perkembangan dari sisi pemikiran maupun
praktik ketatanegaraan, dari gagasan kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat. [1]
Dalam
gagasan tentang negara dan praktik kenegaraan sepanjang peradaban manusia, terdapat
lima teori atau ajaran tentang kedaulatan. Kelima teori tersebut mencakup
kedaulatan tuhan, kedaulatan raja, kedaulatan negara, kedaulatan rakyat dan
kedaulatan hukum. Sejak adanya perkembangan peradaban rasionalisme, teori
kedaulatan yang saat ini paling banyak dianut oleh negara-negara di dunia merupakan
kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum. Kedaulatan rakyat menjadi dasar utama
perkembangan demokrasi.[2]
Karakteristik
sebuah negara demokratis adalah seberapa besar negara melibatkan masyarakat
dalam perencanaan atau pelaksanaan pemilihan umum. Sebab partisipasi politik
masyarakat sebagai pemilih merupakan aspek penting dalam sebuah tatanan negara
demokrasi. Dalam hubungannya dengan demokrasi, partisipasi politik memiliki
pengaruh terhadap legitimasi oleh masyarakat pada berjalannya suatu
pemerintahan. Dalam Pemilu misalnya partisipasi politik memiliki pengaruh pada legitimasi
masyarakat pada calon atau pasangan calon terpilih. Setiap masyarakat mempunyai
preferensi dan kepentingan masing-masing yang bertujuan untuk menentukan
pilihan dalam pemilu. Masa depan pejabat publik yang terpilih dalam Pemilu memiliki
ketergantungan pada preferensi masyarakat sebagai pemilih. Partisipasi politik
masyarakat dalam Pemilu juga dapat dinilai sebagai evaluasi dan kontrol masyarakat
terhadap pemimpin atau pemerintahan.[3]
Pemilu
merupakan wujud nyata demokrasi prosedural, meskipun demokrasi tidak sama
dengan pemilihan umum, akan tetapi pemilihan umum adalah salah satu aspek
demokrasi yang penting yang harus diselenggarakan secara demokratis. Maka dari
itu, lazimnya di negara-negara demokrasi mentradisikan Pemilu sebagai bentuk
memilih pejabat-pejabat publik di bidang legislatif dan eksekutif baik di pusat
maupun daerah. Demokrasi dan Pemilu yang demokratis memiliki hubungan qonditio sine qua non, atau yang satu
tidak bisa ada tanpa yang lain, atau kedu hal tersebut saling membutuhkan satu
sama lain. Dalam arti bahwa Pemilu merupakan prosedur untuk mencapai demokrasi
atau merupakan prosedur untuk memindahkan kedaulatan rakyat kepada kandidat
tertentu untuk menduduki jabatan-jabatan politik. [4]
Pelaksanaan
pemilihan umum merupakan momen yang sangat penting sebagai proses demokrasi di
sejumlah negara demokrasi seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Filipina.
Negara-negara tersebut sudah melaksanakan pemilihan umum (pemilu) secara
berkala dalam kurun waktu yang cukup lama. Sama seperti Indonesia, sebelum
memasuki demokratisasi, Filipina juga pernah berada di bawah rezim otoriter. Selama
20 tahun dari tahun 1965 hingga 1986, Filipina berada di bawah pemerintahan
otoriter Ferdinan Edralin Marcos. Akibat dari kekuasaan yang otoriter, Marcos
menggunakan jabatannya untuk mendirikan rezim yang membolehkannya tetap
menjabat presiden hingga periode ke empat. Di bawah kepemimpinan Marcos,
Filipina mengalami swasembada pangan, di mana produksi beras melimpah dan
membuat Filipina mengekspor beras ke luar negeri. Kondisi ekonomi yang stabil
ini tidak berlangsung lama, karena pada tingkat sosial masyarakat, terjadi
kesenjangan antara yang kaya dengan miskin yang terjadi akibat isu korupsi yang
berkembang di tubuh pemerintahan Ferdinand Marcos, sehingga hal tersebut
menyebabkan munculnya kejahatan dan kerusuhan sipil di seluruh negeri. [5]
Kondisi
ini memicu gejolak politik dalam negeri, yang memunculkan kelompok yang menentang
rezim Marcos di bawah pimpinan senator Benigno Aquino. Tahun 1983 Benigno
Aquino ditembak mati setelah dirinya kembali dari pengasingan yang saat itu
berupaya menggulingkan diktator Marcos. Hal ini menjadi pemicu terjadinya
gerakan massa yang disebut revolusi EDSA untuk menumbangkan rezim. Revolusi
EDSA terjadi tahun 1986, karena Marcos telah menghilangkan sebagian dari hak
suara masyarakat Filipina yang pro pada rivalnya di pemilu presiden, Corazon
Aquino. Marcos juga berupaya mengganti anggota Comelec untuk berbuat curang dan
memenangkannya kembali sebagai presiden. Hal inilah yang mendorong terjadinya people power, yang merupakan revolusi
terbesar di Filipina yang membuat Marcos pada turun dari jabatannya sebagai
presiden dalam revolusi EDSA tahun 1986. [6] [7]
Artikel ini adalah versi sampel saja.
Untuk versi lengkap atau
bisa juga tugas custom, based on request
silahkan WA ke 0882-9980-0026 (Diana)
Ditunggu ordernya kakak :))
[1] Sarbaini.
(2015). Demokratisasi Dan Kebebasan Memilih Warga Negara Dalam Pemilihan Umum. Jurnal
Inovatif, Volume VIII Nomor I Januari 2015
[2]
Ibid.
[3] Liando,
D. M. (2016). Pemilu Dan Partisipasi Politik Masyarakat (Studi Pada Pemilihan
Anggota Legislatif Dan Pemilihan Presiden Dan Calon Wakil Presiden Di Kabupaten
Minahasa Tahun 2014). Jurnal LPPM Bidang EkoSosBudKum Volume 3 Nomor 2 Tahun
2016 Edisi Oktober
[4] Prasetyoningsih,
N. (2014). Dampak Pemilihan Umum Serentak Bagi Pembangunan Demokrasi Indonesia.
Jurnal Media Hukum Vol 21, No 2 (2014)
[5] Setiawan,
W. (2017). Perbandingan Sistem Pemilihan Umum Antara Indonesia Dan Filipina.
Universitas Muhammadiyah Malang
[6] Ibid.
[7] Anggara,
C., Marjono, & Swastika, K. (2017). American Intervention In The Overthrow
Of President Ferdinand E. Marcos In Philippines In 1983-1986. Jurnal
Historica Volume. 1 (2017) Issue. 1