STRATEGI PENYEHATAN PERUSAHAAN MERPATI AIRLINES
PENDAHULUAN
Airlines
adalah perusahaan
penerbangan yang kegiatannya menghubungkan
dua tempat tertentu atau lebih tinggi dengan menggunakan
pesawat udara. Pada perkembangan sekarang
ini, banyak menjamur perusahaan-perusahaan
penerbangan dalam negeri mau pun perusahaan penerbangan asing, yang dikelola oleh pemerintah maupun swasta. Di mana setiap perusahaan
penerbangan tersebut masing-masing ingin berusaha mendapatkan pangsa
pasar
di
Indonesia
baik
domestik mau pun internasional.
Dengan melayani rute-rute
domestik maupun
internasional sehingga persaingan yang
besar
dalam
bisnis
airlines
domestik maupun
internasional tidak dapat dihindari.
PT. Merpati Nusantara Airlines sebagai Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) merupakan salah
satu perusahaan penerbangan yang
diberikan kepercayaan oleh pemerintah sebagai perusahaan penerbangan yang melayani jalur-jalur perintis di Tanah Air. Oleh karena
itu, PT. Merpati Nusantara Airlines sering
kita kenal sekarang ini dengan sebutan Airbridge of Indonesia
atau sebagai Perusahaan Penerbangan Perintis Indonesia.
Merpati Nusantara Airline (Merpati)
menjadi sorotan dalam dasawarsa terakhir. Maskapai penerbangan "pelat
merah" itu tengah sakit. Berbagai upaya dan strategi telah dan sedang digalakkan untuk mendukung komitmen tersebut, di
antaranya
adalah
program
restrukturisasi.
Program ini meliputi berbagai
peningkatan di bidang kemampuan
perolehan laba, efisiensi, dan efektifitas sumber
daya manusia, serta daya saing yang berkesinambungan.
Pemerintah dan para "dokter"
di Kementerian BUMN tengah berupaya keras menyehatkan kinerja keuangan,
melakukan pemindahan kantor operasional hingga pemutusan hubungan kerja (PHK).
Alasan pemerintah mempertahankan Merpati adalah agar perusahaan yang didirikan
pada tahun 1975 itu tetap pada tugasnya yaitu melayani rute-rute penerbangan
terutama jalur perintis di wilayah Indonesia bagian timur.
Sesungguhnya upaya pemerintah
menyelamatkan Merpati yang kian "berdarah-darah" ini telah
berlangsung sejak 11 tahun belakangan ini, ketika perusahaan tersebut mengalami
defisit keuangan yang semakin besar. Sejak krisis moneter melanda negeri ini,
Merpati makin terpuruk tercermin dari utang yang lebih besar dibanding asetnya
sendiri. Seiring bermunculannya maskapai penerbangan
yang menerapkan sistem layanan "low cost carrier" (LCC), Merpati yang
memiliki slogan "a pleasant flight a wonderful place" (penerbangan
menyenangkan ke tempat yang indah) ini semakin tidak bisa berbuat banyak,
karena mesti bersaing dengan perusahaan swasta yang pengelolaannya lebih
efisien. Memasuki persaingan maskapai di era penerbangan internasional itu,
Merpati memang berupaya meningkatkan performanya dengan menerapkan tiga tahapan
yaitu masa "re-engineering" (1999-2000), "profitization"
(2001-2004), "privatization" (2003-2004).
Namun upaya manajemen yang tentunya
telah bergonta-ganti ternyata tidak mampu membawa perusahaan ke arah yang lebih
sehat. Kerugian terus meningkatn sejak tahun 2002 dan mencapai puncak pada
tahun 2006, ketika perseroan yang memiliki 2.590 karyawan ini mencatat defisit
Rp283 miliar. Akibat utang yang terus membengkak, memaksa Merpati memangkas
rute-rute penerbangannya, padahal di sejumlah daerah terutama di pedalaman
jelas-jelas masih membutuhkan "kepakan sayap" Merpati.
Menurut catatan Kementerian BUMN, hingga tahun 2007 perseroan memiliki utang sebesar Rp2,1 triliun, dengan modal negatif sekitar Rp1,1 triliun serta total aset yang hanya sekitar Rp952 miliar. Parahnya, perseroan dibebani rugi operasi sebesar Rp20 miliar per bulan. Kondisi tersebut mendorong manajemen perusahaan pada 2003 mengajukan suntikan dana dari APBN ke Merpati dalam bentuk Penyertaan Modal Negara (PMN). Namun dana talangan sebesar Rp450 miliar baru terkabul tahun 2007 di saat perusahaan dinakhodai Direktur Utama Hotasi Nababan, di bawah kuasa pemegang saham pemerintah yaitu Menneg BUMN Sugiharto. Dengan berbagai opsi penyehatan dan restrukturisasi yang diajukan kepada pemerintah dan DPR, suntikan dana sebesar Rp 450 miliar dengan rincian biaya revitalisasi armada sebesar Rp140 miliar, restrukturisasi utang sebesar Rp180 miliar dan peningkatan produktifitas sebesar Rp120 miliar.
Perusahaan dikatakan sakit apabila
mengalami deteriorasi adaptasi perusahaan
dengan lingkungan yang berakibat pada rendahnya kinerja dalam jangka waktu
tertentu yang berkelanjutan, sehingga perusahaan kehilangan sumber daya dan
dana (Cameron,1988). Ketidaksehatan ekonomis perusahaan yang diukur denga
kinerja operasional dan kinerja strategis akan berdampak pada ketidaknormalan (ketidaksehatan)
kinerja organisasi. Kondisi tersebut terjadi saat perusahaan mengalami posisi
penurunan (decline) yang ditandai dengan berkurangnya sumberdaya dan dan
secara berkelanjutan. Dalam makalah ini,
penulis berusaha untuk memberikan rekomendasi strategi penyehatan perusahaan
yang dapat dilakukan oleh Merpati Airlines.
Makalah ini hanya versi draft saja..
klo mau versi full, silahkan contact
o85 868o 39oo9 (Diana)
ditunggu ordernya yah...
terima kasih