Konstruksi Image Gender dan Seksualitas dalam Media Massa
Studi kasus: Pemberitaan LGBT di Media Massa Indonesia
A.
Latar Belakang
Diskursus mengenai Lesbian Gay Biseksual dan Transgender (LGBT) di
Indonesia belum diterima oleh masyarakat secara luas. Bahwa orang Indonesia
yang mengidentifikasi sebagai gay tidak selalu nyaman berada dalam kehidupan
sehari-hari mereka mungkin terkait dengan stigma negatif seputar gender dan
seksualitas alternatif di nusantara. Sebuah survei dari tahun 2012, oleh
surveyor swasta dan badan konsultasi politik Lingkaran Survei Indonesia, yang
menginginkan Indonesia yang lebih baik, mengungkapkan bahwa mayoritas warga
negara Indonesia (80,6%) tidak ingin memiliki tetangga yang aneh. Salah satu mindstream
yang berkembang dalam masyarakat Indonesia dan dunia adalah mengenai kaum LGBT
yang dianggap menyimpang dari norma.
Fakta sebaliknya, perkiraan para ahli dan Badan PBB, dengan
memperhitungkan jumlah penduduk lelaki dewasa, jumlah lelaki berhubungan seks dengan
lelaki (LSL) di Indonesia pada 2011 diperkirakan lebih dari tiga juga orang,
padahal pada 2009 angkanya 800 ribu orang. Sehingga da;a, kurun waktu dua
tahun, jumlah LSL meningkat lebih dari 300 persen. Bahkan, diperkirakan pada 2013
jumlahnya lebih besar lagi. Khususnya di Ibukota Jakarta, jumlah LSL
diperkirakan telah melampaui angka seratus ribu orang.[1] Tingginya angka
kaum LGBT ini belum mampu mengubah stigma negative masyarakat yang selama ini
melihat LGBT sesbagai rang yang berpenyakitan, dan mindsteram.
Bahkan fenomena LGBT di Indonesia
menjadi kontroversial karena rumor yang mengatakan bahwa LGBT itu menular dan
harus dijauhi.
Persepsi masyarakat terhadap LGBT tidak
lepas dari peran media massa dalam membangun pencitraan kaum LGBT. Media Massa merupakan agen sosial yang mudah menpengaruhi masyarakat, dan
media massa dampak penyebaranya paling luas. Dampak media massa mungkin tidak
secara langsung terjadi dan dirasakan oleh masyarakat, namun media cukup
berperan sangat besar dalam mempengaruhi seseorang.
B.
Landasan Teori
Komunikasi Massa dan Konstruksi Media Massa
Konstruksi media massa berkaitan dengan teori konstruksi realitas social
yang dipaparkan oleh Peter Berger bersama Thomas Luckmann dalam bukunya yang
berjudul The Social Construction of Reality.[2]
Literatur tentang konstruksi realitas sosial berpendapat bahwa realitas yang
dibangun didasarkan pada empat asumsi dasar: (1) Realitas "tidak hadir
secara obyektif" kepada pemirsa, hal ini dipahami melalui pengalaman
manusia; (2) kategori bahasa ditentukan oleh "interaksi sosial" yang
berlaku pada waktu tertentu; (3) bagaimana realitas didefinisikan ditentukan
oleh "konvensi komunikasi"; (4) Perilaku komunikasi merupakan
konstruksi realitas sosial (Gergen, 1985 dalam Galbin, 2014).[3]
Ada tiga tahap peristiwa. Pertama,
eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam
dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Kedua, objektivasi, yaitu hasil yang telah dicapai baik mental maupun
fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Hasil itu menghasilkan
realitas objektif yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri
sebagai suatu faktisitas yang berada diluar dan berlainan dari manusia yang
menghasilkannya. Ketiga, internlisasi.
Proses internalisasi lebih merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam
kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur
dunia sosial.
C.
Pembahasan
1.
Bentuk media untuk konstruksi media massa terhadap LGBT di
Indonesia
Berita dianggap sebagai bentuk konstruksi sosial. Menurut
Gitlin (1980),[4]
bingkai media, "sebagian besar tidak terucapkan dan tidak diketahui,
mengatur dunia baik untuk wartawan yang melaporkannya dan, dalam beberapa hal
penting, agar kita bergantung pada laporan mereka. Pemberitaan LGBT di media
massa Indonesia sejak dua tahun ini menguatkan stigma negative masyarakat
Indonesia terhadap keberadaan LGBT. Gelombang penggerebekan polisi yang belum
pernah terjadi sebelumnya, serangan main hakim sendiri, dan seruan untuk
mengkriminalisasi seks homoseksual telah membuat banyak orang di komunitas LGBT
di negara itu takut akan keselamatan mereka.
Terdapat empat jenis informasi yang bias
dalam berita: "personalisasi," dramatisasi, "" fragmentasi,
"dan" bias gangguan otoritas” (Bennett & Entman2001)[5].
Dengan demikian, bias dapat dipertimbangkan sebagai bentuk konstruksi sosial.
Pemberitaan LGBT di media massa di Indonesia termasuk bias konstruksi social.
Menurut laporan Komisi Hak Asasi Manusia Gay dan Lesbian Internasional (2007),
orang LGBT Indonesia sering menjadi sasaran pelanggaran hak asasi manusia
karena orientasi seksual, identitas gender dan ekspresi gender mereka. Contoh
langsung bagaimana LGBTIQ Indonesia didiskriminasikan adalah ketika "Queer
Film Festival" diadakan di Jakarta pada tahun 2011 bekerja sama dengan
sejumlah Pusat Kebudayaan Eropa.
Kaum LGBT adalah kaum minoritas di
Indonesia. Kelompok minoritas merujuk pada kebanyakan adalah kelompok
masyarakat yang jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah kelompok
masyarakat lain yang dominan.
Pada media massa menggambarkan kaum LGBT
sebagai kaum yang menyimpang. Penyampain informasi dilakukan oleh media
terhadap kaum LGBT sengaja atau tidak sengaja telah melakukan diskriminasi
terhadap kaum LGBT. Sehingga masyarakat yang menonton atau memperoleh informasi
tentang LGBT dari media membuat LGBT semakin terpojokkan dan kaum LGBT
kehilangan haknya untuk mengekspresikan diri melalui media atau tidak.
Media massa mengarahkan opini khalayak
lewat proses framing dan sekaligus menanamkan stereotipe kepada mereka
bahwa homoseksual kerap identik dengan kekerasan. Hal ini kemudian menimbulkan
kekhawatiran dari masyarakat untuk berhubungan atau bersosialisasi dengan kaum
LGBT. Ketika akses untuk bersosialisasi semakin terhambat, kaum LGBT akan
memiliki self-esteem yang rendah dan perasaan bersalah yang terus
menerus karena ditekan oleh masyarakat (Kirnandita, 2010)[6].
2.
Faktor - faktor kaum LGBT menjadi objek konstruksi media
massa dilihat dari konteks marginalisasi, labelisasi dan kekerasan
Penggambaran media
positif yang jarang terjadi tentang homoseksualitas juga dapat mempengaruhi
kepercayaan heteroseksual. Budidaya teori (Gerbner, Gross, Morgan, Signorielli,
& Shanahan, 2002)[7] menunjukkan
bahwa menonton televisi mempengaruhi sikap dan keyakinan pemirsa melalui suatu
proses dimana dunia seperti yang digambarkan oleh media datang untuk dirasakan
oleh pemirsa-khususnya volume tinggi viewers-
Selama ini, peran media massa di Indonesia
yang dianggap belum memiliki keberpihakan pada kelompok LGBT (Lesbian,
Gay, Biseksual, dan Transgender) sehingga ikut melanggengkan
diskriminasi lewat pemberitaan-pemberitaan yang bias.[8]
Solusi alternatif yang bisa diterapkan untuk menyelesaikan
persoalan diskriminasi LGBT
Media massa, termasuk media online dalam praktiknya tentu tak
pernah lepas dari tugas mulianya untuk memberikan informasi sekaligus
memberikan edukasi. Media massa bukanlah wadah untuk mempertarungkan
kelompok-kelompok di dalam masyrakat. Media massa seharusnya tidak menciptakan
jurang dikotomi dan mengadili kaum yang termarginalisasi. Menurut UNDP, ada
tiga kategori media konvensional, yang muncul secara cetak dan elektronik,
dalam hal bagaimana mereka meliput isu LGBT, yaitu:[9]
Ini hanya sampel saja…
Mau tau versi lengkapnya?
Atau mau order (custom)
sesuai request juga bisa
Silahkan WA/ Call ke o85868o39oo9
(Diana)
Ditunggu yaa.. Happy Order
[2] Peter L. Berger and Thomas Luckmann, The
Social Construction of Reality, A Treatise in the Sociological of Knowledge
(Terj.) Hasan Basari (Jakarta: LP3ES, 1990), h. 75.
[3] Galbin, A., (2014). An Introduction To Social Constructionism. Social Research Reports, 26, pp. 82-92, retrieved 10 Juli 2017
from: http://www.researchreports.ro/images/researchreports/social/srr_2014_vol026_004.pdf
[4] Gitlin, T. (1980). The whole world is
watching: Mass media in the making & unmaking of the new left. Berkeley:
University of California Press.
[5] Bennett, W. L, Entman, R. M., (2001). Mediated Politics in Mediated Politics: Communications in the Future of
Democracy. Cambridge: Cambridge
University Press.
[6] Kirnandita, P., (2010). Tanggung Jawab Media dalam Pemberitaan Kaum Lesbi, Gay, Biseks dan TransGender. Makalah perkuliahan Etika dan FIlsafat Komunikasi Universitas Indonesia
[7] Gerbner G, Gross L, Morgan M,
Signorielli N, Shanahan J. Growing up with television: Cultivation processes.
In: Bryant J, Zillman D, editors. Media effects:
Advances in theory and research. Mahwah, NJ:
Lawrence Erlbaum Associates; 2002. pp. 43–67.
[8] “Media dinilai ikut langgengkan diskriminasi terhadap kaum LGBT”, diakses 10 Juli 2017 dari: http://indonesia.ucanews.com/2014/05/23/media-dinilai-ikut-langgengkan-diskriminasi-terhadap-kaum-lgbt/
[9] UNDP, USAID (2014). Being LGBT in Asia:
Indonesia Country Report. Bangkok. Retrieved 10 Juli 2017 from:
http://www.asia-pacific.undp.org/content/dam/rbap/docs/Research%20&%20Publications/hiv_aids/rbap-hhd-2014-blia-indonesia-country-report-english.pdf