TINJAUAN
ETIKA PROFESI KEDOKTERAN ATAS
KASUS KONTROVERSI IMUNISASI MALAES RUBELLA (MR)
LATAR BELAKANG
Vaksin menjadi
salah satu cara efektif mencegah penyakit yang disebabkan oleh virus. Namun,
keberadaan vaksin seringkali mendapat tantangan dari masyarakat, penyebabnya
sebagian besar adalah dari informasi yang salah beredar melalui dunia maya.
Seperti yang kita ketahui, bahwa ada zaman modern seperti saat ini, informasi
dengan cepat menyebar ke berbagai kalangan masyarakat, akibatnya banyak orang
yang sebelumnya tidak mencari tahu kebenarannya ikut menyebarkan informasi
tersebut, dan membuat suasana menjadi semakin kacau. Beberapa saat lalu, isu
mengenai imunisasi MR yang dapat menyebabkan autisme pada anak kembali menyebar
di media sosial. Sebenarya kasus ini sudah sejak lama beredar, namun seringkali
muncul kepermukaan. Hingga pada akhirnya informasi tersebut menyebabkan keresahan
terhadap masyarakat. Membuat para orang tua menjadi waspada terhadap rumor yang
beredar, hingga ada yang memilih untuk menolak anak mereka diberikan imunisasi.
Oleh karena itu, semua
pihak perlu sangat berhati-hari dalam memilah informasi dari media. Disamping
itu, bagi para penelitipun juga harus berhati-hati dalam memberikan informasi
terhadap masyarakat, terutama dibagian kesehatan. Karena informasi yang salah
akan sangat berakibat fatal. Sehingga para peneliti diharapkan dapat memberikan
informasi yang akurat mengenai hasil penelitian mereka, hal ini tentu dapat
diulakukan dengan melakukan penelitian sesuai dengan prosedur yang berlaku
disertai dengan data-data pendukung yang dapat memberikan bukti nyata terhadap
penelitaian mereka. Maka, dengan demikian isu-isu yang tidak dinginkan dapat
dihindari.
TEORI
Imunisasi
Imunisasi berasal dari kata “imun” yang berarti kebal atau
resisten. Imunisasi terhadap suatu penyakit hanya akan memberikan kekebalan
atau resistensi pada penyakit itu saja, Sehingga untuk terhindar dari penyakit
lain, diperlukan imunisasi lainnya. Imunisasi adalah suatu cara untuk
meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga
bila kelak terpapar dengan penyakit tidak akan menderita penyakit tersebut
karena sistem memori (daya ingat), ketika vaksin masuk kedalam tubuh maka akan
dibentuk antibodi untuk melawan vaksin tersebut dan sistem memori akan menyimpan
sebagai suatu pengalaman (Mulyani, 2013). Dari pengertian tersebut dapat
dikatakan bahwa Imunisasi merupakan suatu cara untuk meningkatkan kekebalan
seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila kelak terpapar
dengan penyakit tidak akan menderita
penyakit tersebut karena sistem memori (daya ingat), ketika vaksin masuk
kedalam tubuh maka akan dibentuk antibodi untuk melawan vaksin tersebut dan
sistem memori akan menyimpan sebagai suatu pengalaman.
Imunisasi merupakan pencegahan yang telah berhasil
menurunkan mordibitas (angka kesakitan) dan mortalitas (angka kematian) penyakit
infeksi pada bayi dan anak. Imunisasi juga merupakan salah satu program yang dibuat oleh pemerintah
dengan tujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian dari penyakit yang
dapat dicegah dengan imunisasi seperti disentri, tetanus, batuk rejan
(pertusis), campak, polio dan tuberculosis (Notoatmodjo, 2003). Imunisasi dapat
dilakukan pada anak-anak maupun orang dewasa. Pada anak-anak karena sistem imun
yang belum sempurna, sedangkan pada usia 60 tahun terjadi penuaan sistem imun
nonspesifik seperti perubahan fungsi sel sistem imun, dengan demikian usia
lanjut lebih rentan terhadap infeksi penyakit auto imun dan keganasan.
(Mulyani, 2013).
Menurut Notoatmojo (2011), tujuan program imunisasi adalah
untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian dari penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi. Pada saat ini penyakit-penyakit tersebut adalah Disentri,
tetanus, bentuk rejan (pertusis), campak (measles), polio, tuberkulosis.
Imunisasi penting untuk diberikan hal ini karena kira-kira 3-100 kelahiran anak
akan meninggal karena penyakit campak. Sebanyak 2 dari 100 kelahiran akan mati
karena batuk rejan. Dari setiap 200.000 anak, akan menderita penyakit polio.
Satu dari 100 anak akan meninggal karena penyakit tetanus. Imunisasi yang
dilakukan akan melindungi anak terhadap penyakit. Walaupun pada saat ini
fasilitas pelayanan untuk vaksinasi ini telah tersedia dimasyrakat, akan tetapi
tidak semua bayi telah dibawa untuk mendapatkan imunisasi yang lengkap.
Imunisasi MR
Imunisasi MR (Meales Rubella) adalah
sebuah program kegiatan yang dilakukan untuk mencegah penularan campak dan
rubella pada anak. Penyakit camapak dapat menyebabakan penyakit komplikasi
serius, seperti radang paru-paru, radang otak, kebutaan, gizi buruk dan bahkan
kematian. Sedangkan rubella biasanya beruapa penyakit ringan pada anak, akan
tetapi bila menulari ibu hamail pada trisemester pertama atau awal kehamilan,
dapat menyebabkan geguguran atau kecacatan pada bayi yang dilahirkan. Kecacatan
tersebut dikenal sebagai Sindroma rubella Kongenital yang meliputi kelaianan
pada jantg mata, ketulian dan keterlambatan perkembangan, kedua penyakit ini
masih elum ada obatnya, tapi dapat dicegah, yaitu dengan imunisasi vaksin MR
(Direktorat PPTM, 2016).
Autism
Autism spectrum disorder atau autisme adalah gangguan
perkembangan yang kompleks dengan karakteristik kelainan pada fungsi sosial,
bahasa dan komunikasi, serta tingkah laku dan minat yang tidak biasa. Autisme
mencakup seluruh aspek dalam interaksi anak dalam dunianya, melibatkan banyak
bagian dalam otak, dan melemahkan sifat tanggung jawab sosial, kemampuan
komunikasi, dan perasaan kepada orang lain (Mash & Wolfe, 2010).
Autism spectrum disorder termasuk dalam beberapa pervasive
developmental disorders (PDDs), semua yang ditandai dengan gangguan yang
signifikan pada hubungan sosial dan kemampuan komunikasi serta pola stereotip
pada minat dan perilaku. Gangguan ini mencakup Autistic Disorder, Asperger’s
Disorder, dan Pervasive Developmental Disorder, Not Otherwise Specified
(PDD-NOS). Disamping itu, dua jenis gangguan yang jarang ditemui, Rett’s
Disorder dan Childhood Disintegrative Disorder termasuk dalam kategori
Pervasive Developmental Disorder.
Autis pertama kali diperkenalkan dalam suatu makalah pada
tahun 1943 oleh seorang psikiatris Amerika yang bernama Leo Kanner. Ia
menemukan sebelas anak yang memiliki ciri-ciri yang sama, yaitu tidak mampu
berkomunikasi dan berinteraksi dengan individu lain dan sangat tak acuh
terhadap lingkungan di luar dirinya, sehingga perilakunya tampak seperti hidup
dalam dunianya sendiri. Autis merupakan suatu gangguan perkembangan yang
kompleks yang berhubungan dengan komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas
imajinasi. Gejalanya tampak pada sebelum usia tiga tahun. Bahkan apabila autis
infantil gejalanya sudah ada sejak bayi. Autis juga merupakan suatu konsekuensi
dalam kehidupan mental dari kesulitan perkembangan otak yang kompleks yang
mempengaruhi banyak fungsi-fungsi: persepsi (perceiving), intending, imajinasi
(imagining) dan perasaan (feeling). Autis jugs dapat dinyatakan sebagai suatu
kegagalan dalam penalaran sistematis (systematic reasoning), (Trevarthen, 1998
dalam Muhdar Mahmud, 2010).
Beberapa tahun yang lalu, penyebab autisme masih merupkan
suatu misteri, oleh karena itu banyak hipotesis yang berkembang mengenai
penyebab autisme. Salah satu hipotesis yang kemudian mendapat tanggapan yang
luas adalah teori “ibu yang dingin”. Menurut teori ini dikatakan bahwa anak
masuk ke dalam dunianya sendiri oleh karena merasa ditolak oleh ibu yang dingin.
Teori ini banyak yang menentang karena banyak ibu yang bersifat hangat tetap
mempunyai anak yang menunjukkan ciri-ciri autisme. Teori tersebut tidak memberi
gambaran secara pasti, sehingga hal ini mengakibatkan penanganan yang diberikan
kurang tepat bahkan tidak jarang berlawanan dan berakibat kurang menguntungan
bagi pekembangan individu autisme. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
terutama di bidang kedokteran akhir-akhir ini telah menginformasikan individu
dengan gangguan autisme mengalami kelainan neurobiologis pada susunan saraf
pusat. Kelainan ini berupa pertumbuhan sel otak yang tidak sempurna pada
beberapa bagian otak. Gangguan pertumbuhan sel otak ini, terjadi selama
kehamilan, terutama kemahilan muda dimana sel-sel otak sedang dibentuk (Mohamad
Sugiarmin, 2005).
Karakteristik gangguan autisme pada sebagian individu sudah
mulai muncul sejak bayi. Kciri yang sangat menonjol adalah tidak ada kontak
mata dan reaksi yang sangat minim terhadap ibunya atau pengasuhnya.Ciri ini
semakin jelas dengan bertambahnya umur. Pada sebagian kecil lainnya dari
individu penyandang autisme, perkembangannya sudah terjadi secara “.relatif
normal”. Pada saat bayi sudah menatap, mengoceh, dan cukup menunjukkan reaksi
pada orang lain, tetapi kemudian pada suatu saat sebelum usia 3 tahun ia
berhenti berkembang dan terjadi kemunduran. Ia mulai menolak tatap mata,
berhenti mengoceh, dan tidak bereaksi terhdap orang lain (Mohamad
Sugiarmin, 2005).
KRONOLOGI
Vaksin merupakan
salah satu cara yang dapat digunakan untuk mencegah penyakit yang disebabakan
oleh berbagai virus. Biasanya vaksin akan siberikan terhadap seorang bayi untuk
menningkatkan data tahaun tubuh mereka yang masih renta. Akan tetapi,
keberadaan vaksin, seringkali mendapatkan tantangan dari masyarakat. Salah satu
penyebanya adalah penyebaran informasi yang kurang akurat memlalui media masa.
Seperti yang telah kita ketahui, pada zaman modern seperti saat ini, media
social memiliki peranan yang sangat penting dalam penyebaran informasi. Tapi,
jika disalahgunakan, dampaknya bisa sangat fatal. Terutama tentang penyebaran
informasi yang tidak benar (hoax), bias menyebabkan keresahan masyarakat.
Dulu
kasus yang demikian pernah terjadi, yaitu mengenai isu vaksisn MR yang dapat
menyebabkan autism terhadap anak. Berdasarkan keterangan Direktur Surveilans
dan Karantina Kesehatan Kementerian Kesehatan RI dr. Elizabeth Jane Soepardi,
MPH, Dsc, rumor yang beredar tersebut bermula dari adanya seorang dokter yang
melakukan penelitian pada tahun 1998, yang berasal dari Inggris yang, tidak benar-benar
mengadakan penelitian (VIVA.co.id, 2017). Dokter yang diketahui bernana dr.
Andrew Wakefield ini merupakan seorang dokter bedah. Dia melakukan publikasi di
jurnal Lancet pada tahun 1998 mengenai hubungan vaksin Mumps, Meales and
Rubella (MMR) dengan peyakit saluran cerna dan autis yang dinamani dengan autistic enterocollitis. Publikasi
tersebut diketahui hanya berdasar pada 12 pasien saja. Namun setelah dilakukan
sekitar 20 penelitian lain untuk menguji kesahihan hasil, ternyata diketahui
bahwa para peneliti tidak menemukan hal yang sama dengan hasil penelitian
Andrew (Pressreader, 2017).
Akibat rumor tersebut,
pada waktu itu banyak ibu yang anaknya menderita autisme menuntut ke
pemerintah. Vaksin MMR di wilayah Inggris dan Irlandia pun menurun. Akhirnya,
untuk membuktikan hal tersebut, dilakukanlah pembuktian dan terbukti tidak ada
hubungan MMR dengan autisme. Sampai pada akhirnya penelitian Andrew ini
menyebabkan dirinya dikeluarkan dari asosiasi dokter Inggris, dan dia juga tiak
diperbolehkan melakukan praktik di Inggris. Keputusan ini berdasarkan hasil
dari investigasi yang telah dilakukan oleh beberapa pihak, hingga diketahui
bahwa Andrew memanipulasi hasil penelitaian yang penelitian tersebut dialkukan
tidak sesuai dengan kode etik yang seharusnya (Pressreader, 2017). Meskipun
berita tentang vaksin MR dapat menyebakan autism ini tidak terbukti nyata, dan
telah mendapat bantahan setiap tahunnya, rumor yang serupa masih saja
bermunculan lagi di media sosial. Hingga hal ini menjadi medical hoax
terbesar dalam era 100 tahun terakhir.
ANALISIS
Analis dilakukan
dengan meninjau dari beberapa sumber dokumentasi seperti misalnya buku,
artikel, berita, dll. Dari analisis yang dilakukan diketahui bahwa, penyebab
menyebarnya isu tentang imunisasi MR yang dapat menyebabkan autisme pada anak
adalah akibat sebuah penelitian yang dilakukan oleh seorang dokter asal Inggris
yang bernama Andrew Wakefield tentang hubungan vaksin Mumps, Meales and Rubella
(MMR) dengan penyakit saluran cerna dan autis yang dinamai dengan autistic enterocollitis. Akan tetapi
setelah dilakukan penyelidikan, ternyata hasil penelitian yang menyebutkan bahwa
imunisasi MR dapat menyebabkan autisme ini terbukti tidak benar, dan diketahui
pula bahwa Andrew Wakefield melakukan kecurangan saat melakukan penelitian
tentang hal tersebut.
Diketahui bahwa Dokter
Wakefield melakukan penelitian pada 12 anak yang dirujuk ke klinik karena diare
atau nyeri perut. Anak-anak tersebut mempunyai riwayat perkembangan normal,
tetapi mengalami regresi (kemunduran) untuk keterampilan tertentu. Saat
diperiksa, orangtua ditanyakan tentang riwayat imunisasi MMR (yang telah
diberikan 9 tahun sebelumnya) dan hubungan antara imunisasi MMR dengan
hilangnya keterampilan tersebut. Berdasarkan data tersebut, dengan jumlah
subyek yang amat sedikit, Andrew Wakefield menyatakan ada hubungan antara
imunisasi MMR dan autism. Hubungan antara keduanya didasari pada ingatan orangtua
yang terjadi beberapa tahun sebelumnya, bukan berdasarkan bukti ilmiah yang
obyektif. Lebih lanjut, 4 dari 12 subyek mengalami gangguan perilaku sebelum
timbul gangguan saluran cerna. Hal ini membantah teori peneliti itu sendiri
yang menyatakan bahwa gangguan saluran cerna (yang disebabkan oleh MMR) akan
menimbulkan autisme. Kekurangan publikasi ini adalah kesalahan seleksi subyek
(terdapat gangguan saluran cerna sebelum timbul gangguan perilaku) dan tidak
ada kelompok control, suatu hal yang amat penting dalam penelitian. Dengan
demikian publikasi tersebut tidak digolongkan sebagai publikasi ilmiah,
melainkan suatu deskripsi ingatan orangtua dari suatu kelompok anak tertentu
(bukan dari populasi anak pada umumnya) yang dirujuk ke klinik dokter tertentu (Hartono
Gunardi, 2013).
Dari penjelasan
sebelumnya maka dapat diketahui bahwa, penelitian yag dialkuakn oleh dokter
Andrew Wakefield, masih belum sesuai dengan prosedur yang seharusnya. Dengan
jumlah sampel yang sangat sedikit dan tidak disertai data yang mendukung
lainnya dia menyimpulkan sesuatau yang sangat mengejutkan. Jadi tidak heran
bahwa banyak para orang tua yang menjadi cemas dengan pemberitaan hasil
penelitan tersebut.
SOLUSI
Hingga saat ini, belum
ada penelitian yang dapat membuktikan bahwa vaksin MMR dapat menyebabkan
autisme. Akan tetapi, penelitian tentang keterkaitan vaksin MMR dan autisme
masih terus dilakukan. Penyebab autisme sendiri hingga kini masih belum
diketahui, tapi autisme sangat terkait dengan faktor genetik dan lingkungan.
Oleh karena itu, bagi para orang tua dianjurkan untuk mempelajari lebih lanjut
tentang kandungan vaksin MMR dan juga pentingnya vaksin tersebut.
Perlu diketahui, bahwa
vaksin bisa mencegah anak mengalami kondisi serius dan bahkan kondisi yang
mengancam jiwa. Sebagai orang tua sebaiknya harus berperan aktif dalam mencari
tahu dan memberikan informasi tentang riwayat kesehatan anak dan orang tua
kepada dokter terkait. Terutama tentang penyakit autoimun dan saraf.
Tujuan yang
sebenarnya dari diadakannya imunisasi MR, terkait vaksin MMR bertujuan untuk melindungi
tubuh dari beragam virus yang dapat menyebabkan penyakit. Tapi sebagai orang
tua sebaiknya tidak lenggah mengenai informasi-informasi yang belum tentu
kebenarannya. Mereka harus mempertimbangkan pula manfaat penting dari vaksinasi
untuk anak-anak. Penelitian tentang kaitan vaksin MMR dan autisme masih terus
dilakukan, jadi orang tua harus tetap aktif bertanya dan mencari informasi terbaru
dari dokter yang terpercaya (Alo Dokter, 2017).
Selain itu, untuk para
dokter, sebaiknya lebih teliti dalam mengambil tindakan, terutama dalam masalah
penelitian. Karena jika penelitian tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh maka
akan berdampak pada masa depan. Baik itu untuk masyarakat maupun
keberlangsungan ilmu pengetahuan, yang pada dasarnya, sebuah ilmu pengetahuan
dapat dikembangkan berdasarkan dari pengetahuan atau hasil penelitian
terdahulu. Oleh karena itu, penelitian perlu dilakukan sesaui dengan prosedur
yang telah ditentukan sehingga hasilnya pun dapat dipercaya. Maka dengan
demikian isu-isu yang tidak diinginkan tidak terjadi seperti kasus imunisasi MR
yang muncul kembali setelah sekian.
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat
PPTM. 2016. Petunjuk Teknis Kampanye Imunisasi Measles Rubella (MR). Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
Hartono
Gunardi. 2013. MMR Tidak Menyebabkan
Autisme. Diakses dari http://www.idai.or.id/artikel/klinik/imunisasi/mmr-tidak-menyebabkan-autisme-bagian-i . IDAI [Online]
edisi 6/11/2014 pada tanggal 29 Juli
2017
Mash, Eric J. & Wolfe, David A.
2010. Abnormal Child Psychology Fourth
Edition. USA : Wandsworth cengage learning.
Mohamad
Sugiarmin. 2005. Individu Dengan Gangguan
Autisme. Diakses dari http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195405271987031-MOHAMAD_SUGIARMIN/INDIVIDU_DENGAN_GANGGUAN_AUTISME.pdf . PLB-FIP-UPI [Online] pada tanggal 29 Juli 2017
Muhdar Mahmud, 2010. Anak Autis. Diakses dari http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195707041981031-MUHDAR_MAHMUD/Artikel/ANAK_AUTIS.pdf . PLB-FIP-UPI [Online] pada tanggal 29 Juli 2017
Mulyani, N.S. 2013. Imunisasi Untuk Anak. Yogyakarta : Nuha
Medika
Notoatmodjo, S. 2011. Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka
Cipta
Notoatmodjo. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan.
Jakarta: Rineka Cipta
Pressreader. 2017. Resah Isu Vaksin Bikin Autis. Diakses
dari https://www.pressreader.com/indonesia/jawa-pos/20170728/281603830537411. Jawa Pos [Online]
edisi 28/7/2017 pada
tanggal 29 Juli 2017
Viva. 2017. Imunisasi MMR Picu Autisme Hoax Medis Terbesar. Diakses dari www.viva.co.id/gaya-hidup/kesehatan-intim/937449-imunisasi-mmr-picu-autisme-hoax-medis-terbesar Viva.co.id [Online] edisi 20/7/2017 pada tanggal 29 Juli
2017
Mau
dibuatkan paper HI seperti ini?
Atau
tugas-tugas custom lainnya?
Silahkan
contact ke WA 085868039009 (Diana)
Happy
Order :)