Sosiologi
Hukum Dalam Kasus Penjara Mewah
Pendahuluan
Pendapat dari Colin Gordon,
menyatakan bahwa penjara atau lembaga pemasyarakatan atau LP atau lapas
merupakan suatu institusi yang diciptakan oleh negara untuk melakukan
transformasi kriminal atau pelaku kejahatan menjadi warga negara yang baik.
Hakekatnya setika seorang pelaku masuk
ke LP, maka ia akan mendapatkan intervensi berupa pendidikan dalam berbagai
bidang, sehingga setelah menjalani masa “penebusannya” diharapkan dapat kembali
hidup di tengah masyarakat dan tidak lagi melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum. Maka, kata lain dari penjara
adalah “sekolah” sehingga mantan narapidana menjadi pribadi-pribadi baru yang
lebih bertanggungjawab (Jaya, 2011).
Sementara itu, yang dinamakan sebagai narapidana
adalah subjek
hukum yang kebebasannya terpenjarakan untuk sementara waktu dalam penempatan
ruang isolasi jauh dari lingkup masyarakat, oleh karena itulah mereka juga
perlu diperhatikan kesejahteraannya di dalam sel tersebut terlebih lagi seorang
napi yang hidupnya terisolisasi oleh umum (Pamungkas, 2017). Selain itu, penjara juga merupakan institusi
yang diharapkan berperan untuk melakukan transformasi seorang kriminal menjadi warga
negara yang baik. Namun ternyata banyak narapidana melakukan kejahatan kembali
setelah keluar dari penjara. Bahkan tidak jarang penjara berfungsi menambah
ilmu kejahatan bagi para narapidana (Jaya, 2011).
Dalam sebuah Lembaga
Pemasyarakatan (Lapas) salah satunya, didalamnya juga tidak terlepas dari
adanya tindakan-tindakan penyalahgunaan wewenang yang menyebabkan terjadinya
berbagai bentuk pelanggaran. Bahkan, belakangan ini banyak ditemui
berbagai jenis pelanggaran yang dilakukan oleh para narapidana ketika mereka
masih dalam penjara, dimana pelanggran ini juga melibatkan para petugas Lapas. Salah satunya yaitu adanya
bentuk penjara mewah dalam bentup penyuapan. Berita mengenai kemewahan
fasilitas di LP dan rutan bukanlah hal baru lagi. Di satu pihak, kesejahteraan
pegawai yang minim membuat petugas tergoda menerima suap. Sementara di pihak
lain, jumlah warga binaan ataupun tahanan tidak sebanding dengan kapasitas
hunian mendorong mereka untuk mendapatkan keistimewaan dengan jalan menyuap
petugas Lembaga Pemasayarakatan (Lapas) terkait (Widayati,
2011).
Bahkan kejadian serupa terus kembali berulang. Berita terbaru adalah apa yang
terjadi pada bulan Juli 2018, dimana public diramaikan oleh berita tentang
langkah Komisi Pemberantasan Korupsi yang menangkap Kepala Lembaga
Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, Wahid Husen beserta anggota
stafnya, Hendri Saputra, dan terpidana korupsi Fahmi Darmawansyah. Penangkapan
itu menguak praktik suap dan jual beli fasilitas penjara di Lapas Sukamiskin,
dimana pemberitaan ini cukup menyedot perhatian masyarakat umum (IDX, 2018).
Sehubungan dengan pemberitaan
itu, tak lama kemudian, pihak Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM
(Kakanwil) Jawa Barat membongkar 32 saung di Lapas
Sukamiskin di Bandung, dimana saung-saung tersebut dibangun
atas swadaya narapidana. Tujuannya untuk dijadikan sebagai tempat 'nongkrong'
narapidana ketika keluarga atau kolega mereka datang berkunjung. Dalam
pembongkaran tersebut, Aparat Kakanwil membutuhkan waktu sekitar tujuh jam untuk
membongkar saung mewah tersebut.Pembongkaran dilakukan karena diduga saung
tersebut dipergunakan oleh segelintir narapidana saja. Dari beberapa informasi yang
ada, hanya narapidana “berduit” saja yang bisa menyewa saung dengan beragam
fasilitas ini (CNN Indonesia, 2018).
Akibat
adanya kejadian ini tentu, keberadaaan hukum dan undang-undang yang berlaku
perlu dipertanyakan. Mengapa hal yang demikian dapat terjadi? Tentunya hal ini
sangat mengusik masyarakat, kata penjara yang seharusnya membuat para
narapidana jera dengan tindakan mereka dan berubah menjadi lebh baik, justru
tidak mersakan semua itu karena hidup dalam penajra seperti tidak ada bedanya
dengan hidup di luar penjara, khususnya bagi mereka para narapidana yang memiliki
status sosial tinggi, kaum-kaum orang kaya. Sehingga ini menyebabkan suatu
kesenjangan dalam Lapas, mereka orang yang tidak mampu akan merasakan sulitnya
hidup dipenjara, akan tetapi bagi mereka orang-orang kaya, mereka masih bisa
menikmati hidup mewah dengan melakukan penyuapan terhadap para petugas suapaya diberikan
fasilitas-faslitas tertentu.
Berkaitan
dengan hal tersebut, maka dalam makalah ini akan dibahas mengenai sosiologi hukum
dalam kasus penjara mewah. Konteks sosiologi hukum disini adalah sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan
yang secara empiris dan analitis mempelajari hubungan timbal-balik antara hukum
sebagai gejala sosial, dengan gejala-gejala sosial lain. Sementara itu, untuk
tujuan sosiologi hukum di dalam kenyataan adalah: berguna untuk terhadap
kemampuan memahami hukum di dalam
konteks sosial, memberikan kemampuan untuk mengadakan analisis terhadap efektivitas
hukum dalam masyarakat, baik sebagai sarana pengendalian sosial, mengubah
masyarakat, mengatur interaksi sosial agar mencapai keadaan social yang
tertentu dan memberikan kemungkinan-kemungkinan dan kemampuan untuk mengadakan
evaluasi terhadap efektivitas hukum di dalam masyarakat (Faizal, 2009).
Pembahasan
Sosiologi
Hukum
Sosiologi
hukum terdiri dari dua kata, yaiau sosiologi dan hukum. Berkaitan dnegan hal
tersebut, kata sosiologi memiliki beberapa definisi. Definisi yang dimaksud tersebut,
diantaranya yaitu sebagai berikut ini (Abdulsyan, 2012):
1.
Hubungan
dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala sosial (misalnya
antara gejala ekonomi dengan agama,keluarga dengan moral, hukum dengan ekonomi,
gerak masyarakatdengan politik dan sebagainya)
2.
Hubungan
dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala non sosial
(misalnya gejala geografis, biologis dan sebagainya)
3.
Sosiologi
atau ilmu masyarakat adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses
sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial.
Sisiologi Hukum Dalam Kasus Penjara
Mewah
Keberadaan Lembaga Pemasyarakatan, telah
secara resmi diatur dalam sebuah undang-undangs, yaitu UU No. 12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan (selanjutnya disebut UU Pemasyarakata). Pembentukan
undang-undang ini dilakukan atas dasar bahwa bagi negara Indonesia yang
berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran baru mengenai fungsi pemidanaan yang
tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan
reintegrasi sosial Warga Binaan Pemasyarakatan, dimana ini telah melahirkan
suatu sistem pembinaan yang sejak lebih dari tiga puluh tahun yang lalu dikenal
dan dinamakan sistem pemasyarakatan. Hal ini karena sistem pemenjaraan yang
sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan yang disertai dengan
lembaga "rumah penjara" secara berangsur-angsur dipandang sebagai
suatu sistem dan sarana yang tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan
reintegrasi sosial, agar Narapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi
berkehendak untuk melakukan tindak pidana dan kembali menjadi warga masyarakat
yang bertanggung jawab bagi diri, keluarga, dan lingkungannya.
Meskipun dalam pasal
tersebut sudah jelas dan pasti mengenai pengaturan dalam Lapas, namum dalam
pelaksanaanya, tidak dapat dipungkiri bahwa masih banyak
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan dialamnya. Seolah UU yang dibuat justru
menjadi celah bagi pihak-pihak tertentu untuk mendapatkan keungtungan. Beberapa
contoh kasus pelanggaran terhadap UU Pemasyarakatan yang pernah terjadi
diantaranya yaitu (Gatra, 2018):
1.
Kasus
Artalyta Suryani alias Ayin
2.
Haryanto
Chandra alias Gombak
3.
Freddy
Budiman Pada September 2013
4.
Agusrin
Najamuddin
5.
Gayus
Tambunan Pada November 2010
6.
Penangkapan
Kepala Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Wahid Husen oleh tim Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK)
Berkaitan dengan pelanggaran yang telah
dilakukan kebanykan berkaitan dengan danya barang mewah, yang biasanya berupa
barang-barang elekktronik. Meskipun demikian, sebenarnya keberadaaan barang
elektronik tidak sepenuhnya dilarang di dalam lapas. Ini dijelaskan dalam PP
Nomor 32 Tahun 1999 tentang
Syarat
dan Tata Cara Pelaksanaan Warga
Binaan
Pemasyarakatan Pasal 28
menentukan,
yang menyatkan bahwa:
(1)
Setiap narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang berkeinginan
membawa dan mendapat
bahan
bacaan atau informasi dari media massa dari luar lapas, harus mendapat izin
dari kepala lapas
(2)
Setiap lapas menyediakan
sekurang-kurangnya 1 (satu) buah pesawat televisi, 1 (satu) buah radio
penerima, dan media elektronik lain yang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
(3)
Narapidana dan anak didik pemasyarakatan
dilarang membawa pesawat televisi dan radio atau media elektronik yang lain ke
dalam lapas untuk kepentingan pribadi.
Dalam penjelasan tersebut, jelas bahwa
keberadaan barang elektronik diperlukan guna untuk memberikan informasi
dari media massa dari luar lapas, mengenai perkembangan yang terjadi di dunia
luar. Ini dilakukan dengan tujuan bahwa mereka, tidak buta akan informasi dunia
luar. Hal ini juga diperjelas dalam UU Permasyarakatan mengenai hak yang harus
dimiliki oleh para Warga Binaan Lapas pada Pasal 14 ayat (1) bagian (f) yang
menyatakan bahwa para narapidana berhak mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti
siaran media massa lainnya yang tidak dilarang.
Meskipun demikian jelas
peraturannya. Dari beberapa contoh kasus yang telah disebutan sebelumnya, dapat
diketahui bahwa keberadaan barang-barang elektronik yang masuk kategori mewah
di miliki oleh narapidana secara pribadi, mulai dari Tv, laptop, AC, hingga kamera
CCTV, bahkan perlengkapan memasak pun bisa masuk kedalam lapas. Barang-barang
ini tentu sudah seharusnya tidak dimiliki oleh para narapidana, sebagai bentuk
pembinaan untuk mereka bahwa hidup dalam penjara, berbeda dengan hidup secara
bebas, sehingga ketika keluar dari penjara, mereka bisa menjadi pribadi yang
lebeih baik lagi dan berusaha untuk selalu bertindak sesuai dengan hukum untuk
menhidari kemabli kedalam penjara. Makak dengan demikian, keberadaan fasilitas mewah lain seperti kamar
khusus, tempat tidur, rak buku, toilet, dll, ini sama saja tidak mencerminkan
pembinaan yang dimaksudkan tersebut. Karena mereka beranggapan bahwa hidup di
dalam penjara tidak sepenuhnya berada dalam belenggu keterbatasan.
Kesimpulan
Berdasarkan
penjelasan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa sosiologi hukum
memiliki tujuan untuk memahami hukum di dalam konteks sosial, memberikan
kemampuan untuk mengadakan analisis terhadap efektivitas hukum dalam
masyarakat, baik sebagai sarana pengendalian sosial, mengubah masyarakat,
mengatur interaksi sosial agar mencapai keadaan social yang tertentu dan
memberikan kemungkinan-kemungkinan dan kemampuan untuk mengadakan evaluasi
terhadap efektivitas hukum di dalam masyarakat. Dalam hal ini, terkait dengan
kasus penjara mewah yang kembali menjadi bahan pemberitaan, dapat diketahui
bahwa keberadaan peraturan hukum dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan dan PP Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara
Pelaksanaan Warga
Binaan
Pemasyarakatan dalam praktikny amsih belum efektif. Hal ini terbukti dengan
adanya berbagai jenis kasus pelanggran yang melibatkan baik dari pihak Lempaga
Pemasyarakatan maupun dari pihak narapidana sendiri. Lemahnya peraturan yang
ada membuat kejadian-kejadian penyuapan yang dilakukan dengan tujuan untuk
memiliki kehidupan mewah dan nyaman di Lapas masih terus terjadi
Daftar Pustaka
Abdulsyan. (2012). Sosiologi: Skematika, Teori Dan
Terapan. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
BBC Indonesia. (2018,
Juli 21). KPK tangkap Kalapas Sukamiskin, Bandung: Terkait 'jual beli keluar
lapas'? Retrieved Agustus 06, 2018, from BBC Indonesia:
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-44909440
Bruggink, J. H. (2011).
Refleksi Tentang Hukum: Pengertian-Pengertian Dasar Dalam Teori Hukum.
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
CNN Indonesia. (2018,
Juli 25). Kontroversi Saung Mewah, Tempat 'Pesta' Napi Lapas Sukamiskin .
Retrieved Agustus 06, 2018, from CNN Indonesia:
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180725090816-12-316775/kontroversi-saung-mewah-tempat-pesta-napi-lapas-sukamiskin
Destryawan, D., &
Wardhani, A. K. (2018, Juli 22). Diduga Bayar Ratusan Juta, Ini Fasilitas
Mewah di Kamar Tahanan Suami Inneke Koesherawati. Retrieved Agustus 06,
2018, from Tribunnews: http://www.tribunnews.com/nasional/2018/07/22/diduga-bayar-ratusan-juta-ini-fasilitas-mewah-di-kamar-tahanan-suami-inneke-koesherawati
Faizal, L. (2009).
SOSIOLOGI HUKUM DALAM PARADIGMA SOSIAL. Jurnal TAPIs Vol. 5 No. 10.
Gatra, S. (2018, Juli
22). Ini 5 Kasus Fasilitas Mewah di Dalam Penjara. Retrieved Agustus 06,
2018, from Kompas:
https://nasional.kompas.com/read/2018/07/22/17562741/ini-5-kasus-fasilitas-mewah-di-dalam-penjara
IDX. (2018). Kompas:
Budaya Suap Mencengkeram Lapas (Senin, 30 Juli 2018). Retrieved Agustus 06,
2018, from IDX:
http://www.idx.co.id/StaticData/NewsAndAnnouncement/ANNOUNCEMENTSTOCK/From_EREP/201807/48ee4ccdca_80fb0e5108.pdf
Jaya, P. H. (2011). FEKTIFITAS
PENJARA DALAM MENYELESAIKAN MASALAH SOSIAL. Retrieved Agustus 06, 2018,
from Neliti.com: https://media.neliti.com/media/publications/79949-ID-efektifitas-penjara-dalam-menyelesaikan.pdf
Kelsen, H. (2007). Teori
Hukum Murni: Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif. Bandung: Penerbit Nusamedia.
Munawir. (2010). Sosiologi
Hukum. Ponorogo: STAIN Po Press.
Najih, M., &
Soimin. (2014). Pengantar Hukum Indonesia: Sejarah,Konsep Tata Hukum, Dan
Politik Hukum Indonesia . Malang: Setara Press.
Ohoiwutun, Y. T., &
Samsudi. (2017). MENALAR SEL MEWAH DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN. Masalah-Masalah
Hukum, Jilid 46 No. 1, 48-54.
Pamungkas, S. T.
(2017). PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP NARAPIDANA YANG MELAKUKAN
PENGANIAYAAN DI DALAM LEMBAGA PEMASYARAKATAN (Studi Pada Lembaga Pemasyarakatan
Kelas 1 Bandarlampung ). Bandanr Lampung: Universitas Lampung.
Priatmojo, D. (2018,
Juli 25). Asal Usul Saung Mewah Lapas Sukamiskin. Retrieved Agustus 06,
2018, from Viva:
https://www.viva.co.id/berita/nasional/1057494-asal-usul-saung-mewah-lapas-sukamiskin
Widayati, L. S. (2011).
"KEMEWAHAN” LEMBAGA PEMASYARAKATAN DAN RUTAN. Info Singkat: Hukum, Vol.
III, No. 22/II/P3DI/November/2011.