PEMERATAAN PENDIDIKAN INDONESIA
Pendahuluan
Indonesia sebagai Negara yang berdasarkan hukum, telah menyatakan dalam
Undang-Undang Dasar 1945 bahwa setiap warga Negara berhak memperoleh
pendidikan. Pemerintah Indonesia melalui Dinas Pendidikan pun berupaya
merealisasikan isi UUD 1945 pasal 31 ayat 1 tersebut. Namun, melalui
pemberitaan media cetak ataupn media elektronik, berita tentang pendidikan
banyak pula yang merupakan berita memprihatinkan. Beberapa provinsi yang jauh
dari ibukota kekurangan tenaga pengajar, bangunan sekolah rusak, anak-anak
kesulitan mencapai lokasi sekolah mereka, dan lain sebagainya.
Pendidikan merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia
dan untuk itu setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang
bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya tanpa memandang status
sosial, status ekonomi, suku, etnis, agama, dan gender. Pemerataan akses dan
peningkatan mutu pendidikan akan membuat warga negara Indonesia memiliki
kecakapan hidup (life skills) sehingga mendorong tegaknya pembangunan manusia
seutuhnya serta masyarakat madani dan modern yang dijiwai nilai-nilai
Pancasila, sebagaimana yang telah diamanatkan dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (Kemdiknas).
Pernyataan Kemdiknas tersebut mengindikasikan bahwa Negara
juga menaruh perhatian untuk menciptakan pendidikan di Indonesia yang merata
dalam hal mutu dan kemudahan akses. Pendidikan, minimal pada tingkat pendidikan
dasar, adalah bagian dari hak asasi manusia dan hak setiap warga negara yang
usaha pemenuhannya harus direncanakan dan dijalankan dengan sebaik mungkin. Pemenuhan
atas hak untuk mendapatkan pendidikan dasar yang bermutu merupakan ukuran
keadilan dan pemerataan atas hasil pembangunan dan sekaligus menjadi investasi
sumber daya manusia yang diperlukan untuk mendukung keberlangsungan pembangunan
bangsa. Hak untuk mendapatkan pendidikan dasar sebagai pemenuhan hak asasi manusia
telah menjadi komitmen global. Oleh karena itu, program pendidikan untuk semua
yang inklusif diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal
dengan sistem pendidikan terbuka dan demokratis serta berkesetaraan gender agar
dapat menjangkau mereka yang berdomisili di tempat terpencil serta mereka yang
mempunyai kendala ekonomi dan sosial.
Paradigma ini menjamin keberpihakan kepada peserta didik yang
memiliki hambatan fisik ataupun mental, hambatan ekonomi dan sosial, ataupun
kendala geografis, yaitu layanan pendidikan untuk menjangkau mereka yang tidak
terjangkau. Keberpihakan diwujudkan dalam bentuk penyelenggaraan sekolah
khusus, pendidikan layanan khusus, ataupun pendidikan nonformal dan informal,
pendidikan dengan sistem guru kunjung, pendidikan jarak jauh, dan bentuk
pendidikan layanan khusus lain sehingga menjamin terselenggaranya pendidikan
yang demokratis, merata, dan berkeadilan serta berkesetaraan gender.
Di antara masyarakat Indonesia yang bersifat umum, ada
sejumlah siswa yang memerlukan perhatian sangat khusus dengan layanan yang
khusus pula. Kekhususannya itu bisa jadi karena masalah yang sifatnya fisik,
geografis, atau sosial. Bab IV Bagian kesatu Pasal 6 Undang-Undang No. 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa: setiap warga negara
mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu dan setiap
warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.
Selanjutnya Pasal 6 juga menyatakan bahwa: warga negara di
daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak
memperoleh pendidikan layanan khusus, dan warga negara yang memiliki kelainan
fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh
pendidikan khusus dan warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat
istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.
Mengingat Indonesia merupakan Negara kepulauan yang besar dan
tingkat populasi termasuk tertinggi di dunia, masalah pemerataan pendidikan ini
merupakan salah satu masalah penting yang harus diupayakan tercipta. Agar para
warga Negara memiliki kesempatan meraih pendidikan bermutu baik walaupun jauh
dari ibukota.
Tulisan ini berusaha untuk melakukan analisis prospek
pemerataan pendidikan di Indonesia menggunakan Konstruksi Skenario Model Royal
Dutch / Shell yang diciptakan oleh
Pierre Wack.
Berdasarkan skenario model Royal Dutch / Shell, langkah –
langkah yang harus dilakukan untuk menyusul skenario adalah sebagai berikut :
- Mengidentifikasi Pokok Persoalan / Faktor Lingkungan yang Berpengaruh
- Mengidentifikasi Kekuatan Penentu Utama (Main Trends)
- Mengidentifikasi Variabel Ketidakpastian (Uncertainties)
- Menyusun Konstruksi Skenario
- Membangun Narasi Skenario
Pokok Persoalan / Faktor-Faktor
Lingkungan yang Berpengaruh untuk Pemerataan Pendidikan di Indonesia
1.
Lingkungan Pendidikan Formal
1.
1 Pendidikan Dasar (berdasarkan data dari Kemdiknas)
Dalam rangka memperluas akses dan pemerataan pendidikan
dasar, pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk terus meningkatkan
partisipasi pendidikan sekaligus menurunkan kesenjangan taraf pendidikan
antarkelompok masyarakat. APK jenjang SD/MI/SDLB/Paket A terus mengalami
peningkatan dari 112,50% pada tahun 2004 menjadi 116,95% pada tahun 2009. Pada
periode yang sama, Angka Partisipasi Murni (APM) SD/MI/SDLB/Paket A juga
meningkat dari 94,12% menjadi 95,23%. Selanjutnya, pada jenjang SMP/MTs/sederajat,
APK juga meningkat dari 81,22% pada tahun 2004 menjadi 98,11% pada tahun 2009.
Peningkatan APK SD/MI/SDLB/Paket A juga diikuti dengan menurunnya disparitas APK
antara kabupaten dan kota dari 2,49% pada tahun 2004 menurun menjadi 2,20% pada
tahun 2009. Selanjutnya, pada periode yang sama disparitas APK SMP/SMPLB/MTs/Paket
B menurun dari 25,14% menjadi 18,90%. terdapat 20 provinsi yang capaian APM
SD/SDLB/MI/Paket A telahmencapai atau lebih dari APM nasional pada tahun 2009,
yaitu sebesar 95,23%.
Sementara itu, masih terdapat 13 provinsi yang capaian APM
SD/MI/Paket A-nya di bawah APM nasional tahun 2009. Bila dilihat capaian APM
SD/MI/Paket A pada tingkat kabupaten/kota, sebanyak 146 kabupaten (39% dari 373
kabupaten) dan 16 kota (17% dari 95 kota) yang capaian APM SD/SDLB/MI/Paket
A-nya di bawah target nasional tahun 2009. Kondisi yang sama juga terjadi pada
APK SMP/MTs/Paket B. Sebanyak 14 provinsi di Indonesia yang capaian APK-nya
masih di bawah APK nasional tahun 2009, dan sebanyak 19 provinsi yang capaian
APK-nya telah mencapai atau melampaui APK nasional tahun 2009. Bila dilihat
capaian APK SMP/MTs/Paket B pada tingkat kabupaten/kota, ternyata lebih dari
setengah jumlah kabupaten di Indonesia (238 kabupaten dari 386 kabupaten atau
62%) yang capaian APK-nya masih di bawah target nasional tahun 2009. Pada
tingkat kota masih ada 6 kota (6% dari 97 kota) yang capaian APK-nya masih di
bawah target nasional tahun 2009.
Dalam hal peningkatan akses pendidikan untuk jenjang
SD/SDLB/MI/Paket A seperti yang terlihat pada indikator APM menunjukkan
peningkatan dari waktu ke waktu, namun disparitas antarprovinsi, antarkabupaten
dan antarkota masih relatif tinggi. Sementara itu, upaya untuk meningkatkan
mutu pendidikan tidak terlepas dari peran strategis guru. Untuk meningkatkan
mutu dan relevansi pendidikan, maka ketersediaan pendidik yang berkualitas dan
dalam jumlah yang mencukupi, serta distribusi yang merata merupakan persyaratan
mutlak yang harus dipenuhi. Pada jenjang SD, secara nasional rasio guru
terhadap siswa telah sangat baik, yaitu 17
siswa per guru. Namun, bila dilihat rasio tersebut di setiap
provinsi, terlihat disparitas yang cukup lebar, yaitu dari 33 siswa per guru di
Provinsi Papua hingga 13 siswa per guru di Provinsi D.I. Yogyakarta dan
Provinsi Kalimantan Selatan. Pada jenjang SMP secara nasional rasio guru
terhadap siswa telah mencapai 16 siswa per guru, tetapi jika dilihat data per
provinsi, nampak disparitas rasio guru terhadap siswa yang cukup lebar
antarprovinsi. Rasio guru terhadap siswa di Provinsi Gorontalo dan Provinsi
D.I. Yogyakarta telah mencapai 12 siswa per guru, sementara di Provinsi Nusa
Tenggara Timur dan di Provinsi Banten rasio guru terhadap siswa adalah
masing-masing 27 dan 28 siswa per guru.
1.
2 Pendidikan Menengah
APK SMA/SMALB/SMK/MA/MAK/Paket C mengalami peningkatan dari
49,01% pada tahun 2004 menjadi 69,60% pada tahun 2009. Pada periode yang sama,
peningkatan angka partisipasi pendidikan jenjang menengah tersebut juga diikuti
dengan menurunnya disparitas APK antara kabupaten dan kota dari 33,13% menjadi
29,20%. Dibandingkan dengan jenjang pendidikan dasar, disparitas pendidikan
pada jenjang menengah terlihat sebaran yang lebih besar antarprovinsi, yaitu
dari yang tertinggi sebesar 119,4% di Provinsi DKI Jakarta sampai yang terendah
sebesar 57,4% di Provinsi Sulawesi Tengah. Pada Gambar 2.5 terlihat bahwa
sebanyak 15 provinsi memiliki APK SMA/SMK/MA/MAK/Paket C di bawah APK nasional
tahun 2009.
Sementara itu, pada tingkat kabupaten/kota, masih ada 204
kabupaten dan 4 kota yang capaian APK-nya masih berada di bawah target nasional
tahun 2009. Hal ini menunjukkan bahwa pada jenjang pendidikan menengah,
disparitas akses pendidikan antarprovinsi, antarkabupaten, dan antarkota masih
cukup lebar.
Pada jenjang pendidikan menengah (SMA/MA dan SMK/MAK) rasio
guru terhadap siswa secara nasional masing-masing telah mencapai 15 dan 16 guru
per siswa. Namun, seperti halnya pada SD/MI dan SMP/MTs sebaran guru
antarprovinsi tidak merata. Gambar 2.6 menunjukkan provinsi-provinsi dengan
rasio guru terhadap siswa yang sangat baik seperti di Provinsi Sulawesi Utara,
Provinsi D.I. Yogyakarta, dan Provinsi Gorontalo (12 siswa per guru) pada
SMA/MA, dan di Provinsi Maluku (11 siswa per guru) pada SMK/MAK. Sementara itu,
rasio guru terhadap siswa SMA/MA di Provinsi Papua Barat adalah 29 guru per
siswa, dan rasio guru terhadap
siswa SMK/MAK di Provinsi Aceh adalah 49 siswa per guru dan
bahkan di Provinsi Sulawesi Utara adalah 54 siswa per guru. Hasil yang sama
juga terjadi pada program sekolah/madrasah berbasis keunggulan lokal. Hingga
tahun 2008 telah dikembangkan sebanyak 100 SMA dan 341 SMK berbasis keunggulan
lokal. Rasio kesetaraan gender pada jenjang pendidikan menengah juga meningkat
dari 93,80% pada tahun 2004 menjadi 95,90% pada tahun 2009.
Selain itu, rasio lulusan SMP/MTs dan SMA/SMK/MA Tidak
Melanjutkan mengikuti Pendidikan Kecakapan Hidup (PKH) juga menunjukkan
perkembangan yang menggembirakan. Pada tahun 2009, rasio ini mencapai 18,99%
atau jauh di atas target nasional yang ditetapkan, yaitu 15%.
Dari data tentang keadaan pendidikan formal di Indonesia
tersebut sasaran untuk pemerataan pendidikan di Indonesia menjadi terarah dan
bertarget jelas.
2.
Lingkungan Sosial dan Budaya
Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku dan etnik
serta ratusan bahasa daerah memberi tantangan sendiri bagi pembelajaran budaya.
Hal ini terlihat dengan adanya pelajaran muatan local yang biasanya berisi
materi bahasa daerah sesuai dengan domisili. Keadaan sosial, seperti pandangan
hidup turun temurun juga mempengaruhi pendidikan di Indonesia. Sebagai contoh,
seorang anak dari keluarga nelayan atau kuli kasar akan lebih memilih bekerja
menghasilkan uang daripada bersekolah dan tidak mendapat uang. Namun,
permasalahan pendidikan tidak hanya terkait masalah intern dalam negeri tetapi
juga hubungannya dengan Negara lain.
Kondisi sosial dan budaya yang mempengaruhi pembangunan pendidikan
dalam kurun waktu lima tahun mendatang antara lain adalah (1) jumlah penduduk
yang makin tinggi menempatkan Indonesia dalam posisi yang makin penting dalam
percaturan global; (2) angka HDI Indonesia meningkat dari tahun ke tahun tetapi
masih di bawah mayoritas negara di Asia Tenggara; (3) masih tingginya kesenjangan
antargender, antara penduduk kaya dan miskin, antara perkotaan dan perdesaan,
antara wilayah maju dan wilayah tertinggal; (4) masih rendahnya peringkat
Indeks Pembangunan Gender Indonesia yang menduduki urutan ke-93 dari 177 negara
(UNDP 2007/2008); (5) perubahan gaya hidup yang konsumtif dan rendahnya
kesadaran masyarakat yang berpotensi menurunkan kualitas lingkungan; (6) adanya
ketidakseimbangan sistem lingkungan akibat pencemaran oleh industri, pertanian,
dan rumah tangga; (7) masih rendahnya pemanfaatan keanekaragaman hayati yang
dapat menjadi alternatif sumber daya termasuk penelitian-penelitian yang dapat
berpotensi menghasilkan Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI); (8) masih
rendahnya kualitas SDM Indonesia untuk bersaing di era ekonomi berbasis pengetahuan
(Knowledge-Based Economy).
Permasalahan social dan budaya tersebut memberi masukan bahwa
pendidikan akademik saja tak cukup bagi masayarakat Indonesia, tetapi juga
pendidikan karakter.
3.
Lingkungan Ekonomi
Kondisi ekonomi yang mempengaruhi pembangunan pendidikan
dalam kurun waktu lima tahun mendatang antara lain adalah (1) tingginya angka
kemiskinan dan pengangguran; (2) masih adanya kesenjangan pertumbuhan ekonomi
antarwilayah; (3) masih banyak basis kekuatan ekonomi yang mengandalkan upah
tenaga kerja yang murah dan ekspor bahan mentah dari eksploitasi sumber daya
alam tak terbarukan; (4) makin meningkatnya daya saing Indonesia yang perlu
diikuti dengan peningkatan kemampuan tenaga kerja; (5) munculnya ancaman
raksasa ekonomi global seperti Cina dan India dan semakin luasnya perdagangan
bebas yang mengancam daya saing perekonomian nasional; (6) masih rendahnya
optimalisasi pendayagunaan sumber daya ekonomi yang berasal dari sumber daya
alam; (7) pertumbuhan ekonomi Indonesia yang relatif tinggi, baik yang sudah
berjalan maupun yang direncanakan, perlu didukung dengan penyiapan tenaga kerja
yang memadai; dan (8) ancaman masuknya tenaga terampil menengah dan tenaga ahli
dari negara lain.
4.
Lingkungan Teknologi
Dengan perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat
saat ini, factor lingkungan teknologi merupakan factor penting permasalahan
pemerataan pendidikan di Indonesia. Kondisi teknologi yang mempengaruhi
pembangunan pendidikan dalam kurun waktu lima tahun mendatang antara lain
adalah (1) kesenjangan literasi TIK antarwilayah, (2) kebutuhan akan penguasaan
dan penerapan iptek dalam rangka menghadapi tuntutan global, (3) terjadinya
kesenjangan antara perkembangan teknologi dan penguasaan iptek di lembaga
pendidikan, (4) semakin meningkatnya peranan TIK dalam berbagai aspek kehidupan
termasuk dalam bidang pendidikan, (5) semakin meningkatnya kebutuhan untuk
melakukan berbagi pengetahuan dengan
memanfaatkan TIK, (6) perkembangan internet yang
menghilangkan batas wilayah dan waktu untuk melakukan komunikasi dan akses
terhadap informasi, dan (7) perkembangan internet yang juga membawa dampak
negatif terhadap nilai dan norma masyarakat serta memberikan peluang munculnya
plagiarisme dan pelanggaran HAKI.
5.
Lingkungan Politik, Pertahanan, dan Keamanan
Kondisi politik, pertahanan dan keamanan yang mempengaruhi
pembangunan pendidikan dalam kurun waktu lima tahun mendatang antara lain
adalah (1) ketidakstabilan politik serta pertahanan dan keamanan yang mengancam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara, (2) ketidakselarasan peraturan
perundangan yang berdampak pada penyelenggaraan pendidikan, (3) kebutuhan
pendidikan politik untuk mendorong kesadaran masyarakat dalam berdemokrasi, (4)
implementasi otonomi daerah yang mendorong kemandirian dan berkembangnya kearifan
lokal,
(5) terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam implementasi
otonomi daerah, (6) keterlambatan penerbitan turunan peraturan perundangan yang
berdampak pada bidang pendidikan, (7) ancaman disintegrasi bangsa akibat dari
ketidakdewasaan dalam berdemokrasi, (8) ideologi negara sebagai pemersatu
bangsa dan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, dan (9) komitmen
pemenuhan pendanaan pendidikan minimal 20% dari APBN dan APBD sesuai dengan UUD
1945 Pasal 31 ayat (4).
6.
Lingkungan Geografis dan Keadaan Alam
Indonesia merupakan Negara dengan lima pulau besar dan
merupakan Negara kepulauan memiliki iklim tropis. Infrastruktur tata kota
berbeda di tiap provinsi. Dengan asumsi pulau Jawa terutama ibu kota memiliki
tingkat infrastruktur paling tinggi. Namun demikian, masih banyak lokasi di
Indonesia yang masih sedikit sekali tersentuh infrastruktur, seperti
daerah-daerah perbatasan dengan Negara lain, provinsi Indonesia Timur, dan
daerah pedalaman lainnya. Kontur bumi yang tidak selalu sama di seluruh
Indonesia juga harus ditangani dengan penanganan berbeda.
Indonesia dengan ikllim tropis hanya memiliki dua musim,
yaitu musim kemarau dan musim hujan. Namun, dengan adanya isu tentang pemanasan
global keseimbangan dampak iklim juga terjadi di Indonesia. Banyak kasus kemarau
berkepanjangan yang menyebabkan banyak provinsi kekurangan air bersih. Ada pula
kasus banjir bandang di berbagai provinsi di Indonesia.
Lokasi geografis Indonesia yang sangat strategis menyebabkan
Indonesia sering dilanda gempa bumi tektonik, dan pegunungan berapi di
Indonesia yang masih cukup banyak aktif, meyebabkan Indonesia juga kerap
dilanda gempa vulkanik dan bencana meletusnya gunung berapi. Bencana alam lain
yang kerap melanda Indonesia adalah kebakaran hutan, dan tsunami.
Bencana alam ini menyebabkan sarana dan prasarana pendidikan
juga ikut terkena efeknya. Gedung sekolah hancur, tenaga guru berkurang, dll
menuntuk perhatian pemerintah memeriksa infrastruktur di berbagai wilayah
tersebut.
Di bawah
ini merupakan ringkasan hasil identifikasi Pokok Persoalan / Faktor-Faktor
Lingkungan yang Berpengaruh untuk Pemerataan Pendidikan di Indonesia
Identifikasi
|
Implikasi Bagi Proses Pemerataan Pendidikan
|
1. Lingkungan Pendidikan Formal
1.
1 Pendidikan Dasar
1.
2 Pendidikan Menengah
|
- Mengetahui provinsi mana yang belum sesuai standar
Kemdiknas dalam hal APK dan APM dan ketersediaan guru
|
2. Lingkungan Sosial dan Budaya
|
- Motivasi untuk menyamai pendidikan Negara-negara asing
- Perlunya pendidikan karakter
- Jumlah penduduk yang makin tinggi menempatkan Indonesia
dalam posisi yang makin penting dalam percaturan global
|
3. Lingkungan Ekonomi
|
- Perlunya meningkatkan sumber daya manusia
- makin meningkatnya daya saing Indonesia yang perlu
diikuti dengan peningkatan kemampuan tenaga kerja
|
4. Lingkungan Teknologi
|
- Pemerintah menyediakan akses teknologi informasi bagi
seluruh warga Negara
- kebutuhan akan penguasaan dan penerapan iptek dalam
rangka menghadapi tuntutan global,
- semakin meningkatnya peranan TIK dalam berbagai aspek
kehidupan termasuk dalam bidang pendidikan
- semakin meningkatnya kebutuhan untuk melakukan berbagi
pengetahuan dengan
memanfaatkan TIK
- perkembangan internet yang menghilangkan batas wilayah
dan waktu untuk melakukan komunikasi dan akses terhadap informasi
|
5. Lingkungan Politik, Pertahanan, dan Keamanan
|
- Otonomi daerah yang mendorong kemandirian
- Pemahaman perbedaan di Indonesia perlu bagi setiap
individu
- ideologi negara sebagai pemersatu bangsa dan bahasa
Indonesia sebagai bahasa persatuan
- komitmen pemenuhan pendanaan pendidikan minimal 20% dari
APBN dan APBD sesuai dengan UUD 1945 Pasal 31 ayat (4).
|
6. Lingkungan Geografis dan Keadaan Alam
|
- Perawatan sarana dan prasarana bagi akses pendidikan
|
Dari uraian dan resume di atas, diperoleh 6 faktor lingkungan
bisnis yang mempengaruhi prospek Bandara Internasional di Yogyakarta. Terdapat
6 variabel yang merupakan variable yang termasuk dalam kategori kecenderungan
utama (main trends), yaitu variable
yang telah juga menjadi penentu akan keberhasilan pemerataan pendidikan di
Indonesia. Selebihnya dikategorikan sebagai variabel ketidakpastian (uncertainties) [Suwarsono, 2008:294].
Kekuatan Penentu Utama (Main
Trends) Pemerataan Pendidikan di Indonesia
Di bawah
ini adalah tabel yang menguraikan secara ringkas dampak dari variabel Main
Trends terhadap pemerataan pendidikan di Indonesia
T1
|
Penyediaan tenaga guru di daerah tak terjangkau di
Indonesia sehingga mutu pendidikan sesuai standar Kemdiknas tercipta
|
T2
|
Pendidikan karakter menciptakan pribadi unggul yang dapat
menyaingi individu dan bangsa lain dari Negara-negara asing
|
T3
|
Peningkatan sumber daya manusia untuk mencapai taraf hidup
yang baik
|
T4
|
Penyediaan akses teknologi informasi yang menjangkau
seluruh wilayah Indonesia
|
T5
|
Otonomi daerah yang meningkatkan kemandirian dan pemahaman
tentang pentingnya pendidikan
|
T6
|
Perawatan sarana dan prasarana pendidikan di seluruh
wilayah Indonesia dengan infrastruktur yang sama
|
Variabel Ketidakpastian (Uncertainties)
Menurut Suwarsono (2008), variabel –variabel yang tidak dapat
dikategorikan sebagai Main Trends disebut
dengan Unvcertainties variables. Diyakini
bahwa variabel tersebut memiliki pengaruh terhadap eksistensi Bandara
Internasional tetapi tidak dapat dipastikan apakah pengaruh tersebut
menguntungkan atau sebaliknya merugikan. Selain itu, variabel tersebut disebut uncertainties dikarenakan tidak dapat
dipastikan atau diketahui seberapa besar atau kuat pengaruhnya. Bisa jadi
pengaruhnya tidak signifikan tetapi sebaliknya mungkin perubahan lingkungan
tersebut benar – benar menentukan pemerataan pendidikan Indonesia.
Di bawah ini adalah tabel daftar variabel – variabel uncertainties dari pemerataan pendidikan
Indonesia
U1
|
Pemerintah menyediakan akses teknologi informasi bagi
seluruh warga Negara
|
U2
|
ideologi negara sebagai pemersatu bangsa dan bahasa
Indonesia sebagai bahasa persatuan
|
Dari uraian di atas, terdapat 8 variabel lingkungan pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia yang dipercaya setiap perubahannya akan
memberikan pengaruh. Dari 8 variabel tersebut kemudian dianalisis
lebih lanjut dengan cara memberikan penilaian secara kuantitatif menggunakan
skala 1 sampai 5 pada dua buah ukuran yaitu intensitas pengaruh dan tingkat
ketidakpastian masing – masing variabel lingkungan tersebut terhadap eksistensi
pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia. Semakin besar angkanya, berarti
semakin besar pengaruh variabel terhadap peluang
pemerataan pendidikan di Indonesia dan semakin tinggi tingkat ketidakpastian eksistensinya.
Gambar 1. Hasil Penilaian Intensitas
Pengaruh
Konstruksi Skenario
Berdasarkan
analisis di atas, diambil dua buah variabel yang dianggap memiliki tingkat
ketidakpastian paling tinggi dengan intensitas pengaruh yang paling besar,
yaitu : (1) Penyediaan tenaga guru dan (2) Pendirikan
karakter. Dengan
menggunakan asumsi bahwa masing – masing variabel tersebut memiliki 2 nilai
ekstrim, yaitu tinggi dan rendah, maka gabungan dari kedua variabel akan
membentuk sebuah matrik 2 x 2 sehingga menghasilkan 4 kuadran scenario sebagai
berikut.
Gambar. Hasil Penyusunan Skenario
Pendidikan Karakter
|
Penyediaan Tenaga Guru
|
||
Tinggi
Rendah
|
|||
Tinggi / Mendukung
|
Skenario 1 :
Berkembang
|
Skenario 2 :
Stagnan
|
|
Rendah
/ Tidak Mendukung
|
Skenario 3 :
Fragmentasi
|
Skenario 4 :
Chaos
|
Untuk menggambarkan seberapa besar pengaruh variabel –
variabel lain selain penyediaan tenaga guru dan
pembentukan pribadi unggul, di bawah ini adalah tabel yang kondisi variabel yang
mendukung terbentuknya kondisi yang mengarah pada terwujudnya salah satu dari
skenario di atas.
Table 4. Cetak Biru Skenario
Skenario A
Berkembang
|
Skenario B
Stagnan
|
Skenario C
Oligopoli
|
Skenario D
Monopoli
|
||
U1
|
Pemerintah menyediakan
akses teknologi informasi bagi seluruh warga Negara
|
Menguat
|
Tidak berubah
|
Menguat
|
Memburuk
|
U2
|
ideologi negara sebagai
pemersatu bangsa dan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan
|
Menguat
|
Stabil
|
Meningkat
|
Memburuk
|
T3
|
Pendidikan karakter
menciptakan pribadi unggul yang dapat menyaingi individu dan bangsa lain dari
Negara-negara asing
|
Meningkat
|
Stabil
|
Meningkat
|
Memburuk
|
T4
|
Peningkatan sumber daya
manusia untuk mencapai taraf hidup yang baik
|
Meningkat
|
Tidak berubah
|
Menguat
|
Memburuk
|
T5
|
Penyediaan akses teknologi
informasi yang menjangkau seluruh wilayah Indonesia
|
Memburuk
|
Tidak berubah
|
Memburuk
|
Menguat
|
T6
|
Otonomi daerah yang
meningkatkan kemandirian dan pemahaman tentang pentingnya pendidikan
|
Meningkat
|
Stabil
|
Meningkat
|
Memburuk
|
Narasi Skenario
Salah
satu dari keempat scenario di bawah akan benar –benar terwujud dengan asumsi
bahwa variabel – variabel lain di luar adanya penyediaan
tenaga guru dan pembentukan karakter yang unggul dalam kondisi yang mendukung
terbentuknya skenario tersebut seperti yang tercantum dalam Tabel 4 di atas.
Penyediaan tenaga guru di daerah tak terjangkau di
Indonesia sehingga mutu pendidikan sesuai standar Kemdiknas tercipta dan upaya
untuk pendidikan karakter menciptakan pribadi unggul yang dapat
menyaingi individu dan bangsa lain dari negara-negara
asing, sehingga dapat mewujudkan pemerataan pendidikan
di seluruh Indonesia, bahkan sampai ke pelosok – pelosok daerah.
Scenario 1 : Berkembang
Skenario
1 merupakan kombinasi dari ketersediaan tenaga guru yang
inkremental dan pendidikan karakter yang unggul yang juga inkremental. Jika
penyediaan tenaga guru yang berkualitas di daerah tak terjangkau di Indonesia dan pendidikan karakter menciptakan pribadi unggul yang dapat
menyaingi individu dan bangsa lain dari negara-negara
asing. Jika tenaga guru yang berkualitas tersedia di
seluruh Indonesia, maka akan memenuhi standar Dinas Pendidikan tentang
keseragaman kualitas guru. Sedangkan apabila pendidikan pribadi unggul dapat
dilaksanakan, maka akan dapat mendukung proses pemerataan kualitas pendidikan
karena adanya kemauan dan kemampuan dari dalam siswa itu sendiri.
Skenario 2: Stagnan
Skenario
2 merupakan kombinasi dari penyediaan tenaga guru bersifat
rendah dan pembentukan karakter yang unggul yang bersifat radikal. Kurangnya ketersediaan tenaga guru yang berkualitas di
seluruh Indonesia membuat skenario ini menjadi cenderung stagnan, walaupun ada
karakter guru yang bersifat radikal.
Skenario 3: Fragmentasi
Skenario
3 merupakan kombinasi penyediaan tenaga guru yang tinggi
dan pembentukan karakter yang ungggul cenderung rendah.
Skenario 4: Chaos
Skenario
4 merupakan kombinasi munculnya tuntutan radikal baik tentang penyediaan tenaga guru berkualitas maupun pembentukan
karakter yang unggul keduanya rendah.
Referensi:
Muhammad, Suwarsono, Matriks &
Skenario dalam Strategi, UPP STIM YKPN, Yogyakarta, 2008.
Rencana Strategis Kemdiknas Indonesia. Kemdiknas.go.id (diakses
10 Desember 2012).