Perkembangan
HAM dan Demokrasi di Negara Jepang
Penelitian mengenai perkembangan demokrasi di Jepang
menarik perhatian banyak peneliti, baik dari kalangan profesional maupun amatir, sejak Jepang tumbuh sebagai
negara modern, setelah Restorasi Meiji pada
tahun 1868 (Surajaya, 1982). Dalam beberapa
dekade ini, perubahan sistem pemerintahan Jepang dari sebuah negara yang
otoriter menjadi demokrasi merupakan sebuah sejarah yang besar dalam dunia
internasional. Dimana hingga pertengahan abad kesembilanbelas, masyarakat
Jepang masih bersifat feodal, menggantungkan diri pada pertanian dan
cenderung terpecah-pecah. Pada masa tersebut, Shogun merupakan aktor yang
memiliki peran penting sebagai penguasa di berbagaiwilayah Jepang.
Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa demokrasi
di negara jepang pada dasarnya sudah ada
sejak pemerintahan di zaman Meiji. Hal ini ditandai dengan pembukaan kembali hubungan antara jepang dengan orang asing setelah runtuhnya pemerintahan Tokugawa. Hal ini juga membawa perubahan besar
pada bidang perpolitikan di Jepang, karena kebanyakan orang asing yang datang
ke Jepang menganut sistem demokrasi yang membebaskan masyarakatnya mengeluarkan
pendapat. Dalam perkembangannya, sistem feodal Jepang yang sebelumnya
berlaku dapat dikatakan stabil dengan melihat minimnya pergolakan yang terjadi
di dalam masyarakatnya. Namun kestabilan ini mulai terganggu ketika
Amerika Serikat datang ke Jepang dan melakukan Western Gunboat
Diplomacy pada era 1850an. Dimana proses diplomasi tersebut menghasilkan
sebuah perjanjian yang mengharuskan Jepang membuka diri untuk melakukan
kerjasama perdagangan dengan Amerika Serikat. Perjanjian tersebut memaksa
Jepang untuk memberikan ijin kepada kapal-kapal dagang Amerika untuk berlabuh
di Shimoda dan Hakodate (Miere, 2014). Dengan demikian pada akhirnya Jepang ikut menerapkan sistem demokrasi di dalam
negara, dengan tujuan untuk membentuk negara yang kuat, dengan kebebasan
berpendapat untuk para rakyatnya. Hal ini di dasari karena pada zaman Tokugawa
yang bisa mengeluarkan pendapat hanya orang-orang yang berkuasa.
Secara garis besar periode perjuangan terbentuknya demokrasi adalah dimualai
pasca Restorasi Meiji, atau lebih tepatnya sekitas tahun ahun 1868 hingga tahun
awal menjelang munculnya militerisme Jepang yaitu tahun 1931. Ada dua gerakan
besar demokrasi yang terjadi pada periode ini; pertama gerakan demokrasi Jiyuu
Minken Undo tahun 1877 dengan tokoh pelopor bernama Itagaki Taisuke dan gerakan
demokrasi Taisho dengan pelopor bernama Yoshino Sakuzo. Berkat kedua gerakan
itu lahirlah apa yang kemudian dikenal dengan Undang Undang Dasar Meiji tahun
1889 dan Pemilu. Namun apa yang harus dicatat adalah bahwa demokrasi yang
tercapai masa ini barulah kulit luarnya saja dan belum menyentuh sisi
substansi. Ini tak lain karena pada masa itu kedaulatan masih di tangan Tenno
dan kalaupun ada pemilu, yang berhak ikutpun sangat dibatasi pada laki-laki dan
pembayar pajak tinggi. Rezim penguasa tampaknya masih terlalu kuat digusur
melalui dua gerakan demokrasi ini (Surajaya, 1982). Dalam hal ini
Demokrasi Taisho merupakan bentuk paling utama pelaksanaan sistem demokrasi di
Jepang diman secara umum ini terjadi sebelum berlangsungnya Perang Dunia II.
Khususnya pad aperiode tersebut, terjadi dengan mengubah struktur dan pedoman
sosial dan politik negara itu, menciptakan demokrasi dan memungkinkannya untuk
menjadi berhasil 'dipaksakan' oleh kekuatan asing di kemudian hari (Otaola, n.d.).
Sementara itu, periode perjuangan demokrasi selanjutnya,
terjadi pada pada masa pasca Jepang kalah perang tepatnya pada tahun 1945
hingga tahun 1951, dimana demokrasi pada periode ini dipelopori bukan oleh
pihak Jepang melainkan oleh kekuatan dari luar yaitu tentara sekutu. Tentara
sekutu yang masa itu mewakilkan penguasaan atas Jepang pada GHQ (General
Headquater) yang notabene adalah representasi pemerintah Amerika melakukan
tidak hanya de-militerisasi, tetapi juga demokratisasi. Singkatnya Anderson
(1993), Jepang memang mengalami kekalahan militer dengan mempertahankan kaisar
tetapi bersamaan dengan itu mereka menginstal kembali demokrasi, kemudian
dengan menjaga birokrasi tetapi membongkar tentara, ini dapat dikatakan sebagai
bentuk hasil contoh negosiasi Jepang dengan sekutu daripada sebagai sebuah
hasil pemaksaan. Kemudian pada kenyataannya, "kekalahan militer tidak
mengarah pada penghancuran bangunan politik di Jepang, tetapi lebih kepada
pembongkaran sebagian dalam rekonstruksi negara dan masyarakat yang lebih
luas" (Otaola, n.d.). Meskipun demikian, demokratisasi
atas Jepang secara garis besar dapat terjadi dalam empat bidang utama, yaitu:
politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Selanjutnya demokras di Jepang kini lebih dikenal dengan
sebutan The Parliamentary Democracy atau atau Kokkai (国会), dimana ini di tujukkan dalam bentuk kerangka kerja konstitusional
pasca perang sesuai dengan masyarakat demokratis yang menyatakan ada tiga cabang
kekuasaan negara yang berbeda memiliki kompetensi, tanggung jawab, dan
pemeriksaan yang jelas, dimana tidak satu pun dari mereka yang mampu
melaksanakan semua kekuatan negara secara independen, dimana Pusat
Konstitusi-nya adalah Kaisar yang berdaulat, sakral dan tidak dapat diganggu
gugat, juga dianggap sebagai kepala agama dari agama Negara, yaitu Shinto (Tamás, 2011). Kemudian dua bagian
lain adalah Perdana Menteri
yang berperan dalam kepala kabinet legislatif dan Kabinet Negara atau badan
eksekutif. Dalam hal ini, Perdana Menteri biasanya adalah kepala partai yang
memenangkan pemilu di parlemen, kemudian Kabinet Menteri ditunjuk oleh perdana
menteri seusai dilantik oleh kaisar.
Selajutnya, sebagai negara yang demokrasi, saat ini
Jepang memiliki struktur ketatanegaraan yang meliputi supra struktur dan
infra struktur. Dimana suprastruktur adalah lembaga–lembaga kenegaraan atau
alat-alat perlengkapannegara yang sesuai dengan Konstitusi 1947, sepertiyang
telah disebutkan sebelumnya. Sedangkan infra struktur adalah segala sesuatu
yang berhubungan dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan, dimana setiap
aktifitasnya mempengaruhi lembaga kenegaraan dalam menjalankan fungsinya. Infra
struktur terdiri dari 5 (lima) komponen (Kurniawan, 2015), yang meliputi:
- Partai politik
- golongan kepentingan (interest group, yang meliputi: interest group asosiasi, institusional, non-asosiasi, dan interest group yang anomik
- Golongan penekan (oposisi)
- Alat komunikasi politik
- Tokoh politik
Dalam hal keberadaaan [artai politik, sebagai suatu
negara demokrasi, Jepang tidak dapat meniadakankeberadaannya karena partai
politik adalah salah satu wadah bagimasyarakat untuk menyampaikan aspirasinya
kepada pemerintah (Kurniawan, 2015).
Ini
hanya versi sampel saja yaa..
Untuk
versi komplit atau dibuatkan analisis kasusnya,
silahkan
contact 085868o39oo9 (Diana)
Ditunggu
ordernyaa..