LATAR BELAKANG
Penetapan upah minimum kabupaten/kota (UMK) maupun upah
minimum provinsi (UMP) menjadi ritual tahunan. Tidak mengherankan jika terjadi
tarik ulur antarpihak yang berkepentingan, baik buruh maupun asosiasi
pengusaha. Di satu pihak, para pengusaha berupaya mempertahankan hak penguasaan
atas wilayah otoritas bisnis, yaitu kelayakan biaya dan keuntungan produksi. Di
pihak lain, para buruh berusaha mendapatkan hak atas kelayakan hidup sebagai
manusia, yaitu upah yang secara normatif layak bagi diri dan keluarganya.
Bagi kalangan buruh, kenaikan upah minimum tiap tahun amat
dinantikan. Meskipun kenaikan yang diterima jauh dari harapan, setidaknya
sedikit meringankan kesulitan hidup buruh di tengah tekanan hidup yang tinggi;
sekalipun upah riil yang diterima buruh justru turun dan makin jauh dari
standar hidup layak.
Rendahnya upah buruh di Indonesia memang bukan isapan
jempol belaka. Penelitian TURC menyebutkan pada 1997 upah minimum buruh mampu
membeli 350 kg beras (dengan harga beras Rp700 rupiah per kilogram pada tahun
itu), sedangkan upah minimum buruh 2008 hanya mampu untuk membeli beras
sebanyak 160 kilogram beras (dengan asumsi harga berasRp 5.000 per kg di tahun 2008). Ini bermakna upah riil buruh berkurang hampir 50 persen. Penelitian INDOC juga menyatakan upah buruh Indonesia kini
sangat rendah, hanya berkisar 5% sampai 6% dari biaya produksi. Data yang
diperoleh dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi menyatakan upah buruh
hanya menghabiskan 25 persen dari total komponen pengeluaran perusahaan. Yang
60 persen adalah biaya produksi, 15 persen lain uang siluman yang terus-menerus
dilakukan oknum aparat pemerintah (Ihsan Prasodjo: 2006).
Kebijakan
peningkatan upah minimum yang cukup besar ini dilaksanakan ketika Indonesia sedang berjuang keras untuk memulihkan perekonomiannya dari
krisis ekonomi yang parah. Setelah terjadi
kontraksi ekonomi besar-besaran sekitar 13,7% pada tahun 1998 dan laju pertumbuhan
ekonomi kurang dari satu persen pada tahun 1999, perekonomian Indonesia mengalami
pertumbuhan sekitar 5% pada tahun 2000. Berbagai pihak
memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi pada tahun 2001 akan mencapai sekitar 3% hingga 3,5%. Dalam
iklim pertumbuhan ekonomi yang rendah seperti ini,
kenaikan upah minimum lebih lanjut memicu keprihatinan bahwa hal tersebut mungkin akan menghambat upaya pemulihan ekonomi, memperlambat pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang, dan mengurangi pertumbuhan penyerapan tenaga kerja di sektor industri modern.
Disamping
itu, mulai bulan Januari 2001 Indonesia telah menerapkankan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Dengan adanya kebijakan ini, wewenang
untuk menetapkan tingkat upah minimum
dialihkan dari pemerintah pusat ke pemerintah
daerah di tingkat propinsi, kabupaten,
dan kota. Terdapat tanda-tanda awal bahwa pengalihan
wewenang ini mungkin akan semakin meningkatkan kenaikan upah minimum di beberapa daerah. Selain kenaikan upah minimum yang cukup besar
pada tahun 2001, frekuensi perubahan upah
minimum juga telah meningkat selama setahun terakhir ini. Hal ini menimbulkan keprihatinan bahwa pemerintah daerah
mungkin lebih mudah menyerah terhadap
tekanan-tekanan agar memberlakukan pendekatan yang lebih populis dalam kebijakan
sosial. Akibatnya, ada bahaya bahwa pertumbuhan ekonomi jangka panjang mungkin akan dikorbankan demi
kepentingan-kepentingan jangka pendek yang tidak
berkesinambungan.
Jika dinalar lewat aturan baru, yakni SKB empat menteri,
kenaikan upah minimum yang dinantikan buruh sesungguhnya tidak signifikan.
Bagaimana mungkin kenaikan upah minimum tidak boleh melebihi angka pertumbuhan
ekonomi, sedangkan angka pertumbuhan ekonomi nasional kini jauh di bawah angka
inflasi apalagi angka KHL. Bandingkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional 2008
yang diprediksikan hanya sekitar enam persen sementara angka inflasi berkisar
12 persen. Bisa dibayangkan betapa menderitanya kehidupan buruh ketika upah
riil makin lama makin berkurang.
PERUMUSAN MASALAH
Apakah penetapan upah minimum telah mencukupi standar kehidupan minimum
pekerja?
PEMBAHASAN
Konsepsi Upah Minimum
Dalam hubungan industrial, kedudukan upah minimum merupakan persoalan
prinsipil. Upah minimum harus dilihat sebagai bagian sistem pengupahan secara
menyeluruh. ILO dalam Report of the Meeting of Experts of 1967 menyatakan
hal serupa. Upah minimum didefinisikan sebagai upah yang memperhitungkan
kecukupan pemenuhan kebutuhan makan, pakaian, tempat tinggal, pendidikan, dan
hiburan bagi pekerja serta keluarganya sesuai dengan perkembangan ekonomi dan
budaya tiap negara.
Pada prinsipnya, sistem penetapan upah minimum dilakukan
untuk mengurangi eksploitasi atas buruh. Ini sesungguhnya berisi kewajiban
pemerintah memproteksi buruh. Intervensi dan peran pemerintah dalam hubungan
industrial adalah bentuk penguatan terhadap posisi tawar yang memang tidak
seimbang antara buruh ketika berhadapan dengan pengusaha.
Setiap pekerja berhak atas jaminan sosial yang
memungkinkan pengembangan diri secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. Upah
minimum dipandang sebagai sumber penghasilan bersih (take home pay) sebagai jaring pengaman (safety net) KHL. Sebab itu,
upah minimum diharapkan dapat memenuhi kebutuhan seorang buruh terhadap
pendidikan, kesehatan, transportasi, dan rekreasi. Bahkan, bila dimungkinkan
dapat disisihkan untuk menabung. Dalam tataran normatif, KHL merupakan standar
kebutuhan yang harus dipenuhi seorang buruh lajang untuk dapat hidup layak,
baik secara fisik maupun nonfisik dalam kurun waktu satu bulan.
Terbitnya UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
Permenaker No. 1/1999 jo Kepmenakertrans No. 226/2000 tentang Upah Minimum,
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 17 2005 tentang tentang Komponen dan
Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak dan Keppres 107/2004
tentang Dewan Pengupahan tentunya diharapkan menjadi payung hukum bagi buruh
agar mendapatkan keadilan dan menghindari eksploitasi terhadap buruh yang
seringkali tidak berdaya karena berbagai keterbatasan.
Standar Kebutuhan Minimum Pekerja
Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) merupakan faktor utama
sebagai bahan kajian serta pertimbangan dalam menetapkan upah minimum. Survey
KHM yang dilakukan di tiap kabupaten / kota akan memberi gambaran dengan jelas
berapa kebutuhan minimum utuk buruh baik yang masih lajang, menikah, maupun
yang telah berkeluarga dengan satu anak dan dua anak. Survey KHM dihitung untuk
kebutuhan buruh denga 3000 kalori / hari untuk jenis makanan / minuman yang dikonsumsi
buruh. Kebutuhan lainnya mencakup perumahan dan fasilitasnya, sandang, serta
aneka kebutuhan seperti transport, sarana kesehatan, pendidikan, rekreasi, dan
lain sebagainya.
Implikasi Upah Minimum terhadap
Pemenuhan Kebutuhan
Upaya pemerintah melindungi buruh dari suatu situasi yang kurang kondusif
dalam hubungan kerja dilakukan dengan menerbitkan berbagai kebijaksanaan yang
mencakup perbaikan syarat kerja antara lain melalui penerapan upah minimum.
Pertimbangan yang paling mendasar dengan menetapkan upah minimum adalah agar
pendapatan buruh tidak terus merosot, karena faktor – faktor yang tidak dapat
diperbuat oleh buruh, misalnya karena posisi tawar buruh yang lemah.
Faktor dominan yang menetapkan upah minimum sebagai bahan
pertimbangan adalah standar Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) buruh yang sebelumnya
telah dilakukan survey serta penelitian di masing – masing daerah. Kebutuhan
hidup minimum merupakan sebuah kalkulasi yang menstandarkan pada kebutuhan
hidup minimum seseorang maupun telah berkeluarga dengan asumsi dapat dipenuhi
oleh setiap orang.
Perhitungan kebutuhan hidup minimum setiap tahun terus
berkembang sesuai dengan kebutuhan dan keadaan yang dimulai tahun 1956 – 1966
dengan nama Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) dan sejak tahun 1997 lebih meningkat
dengan perhitungan yang lebih representatif dengan istilah kebutuhan hidup
minimum (KHM).
Sesuai Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 81 /
1995 tentang Penetapan Komponen Kebutuhan Hidup Minimum telah distandarkan 4
komponen pokok dalam perhitungan KHM meliputi komponen makanan dan minuman,
komponen perumahan dan fasilitasnya, komponen sandang dan komponen aneka
kebutuhan untuk kurun waktu satu bulan dengan 3.000 kalori per hari.
Melalui survey yang dilakukan oleh serikat – serikat
buruh, organisasi pengusaha, serta pemerintah di tiap daerah maka hasil survey
KHM tersebut di atas ditabulasi serta diolah sebagai bahan pertimbangan
penetapan upah minimum. Hasil penetapan upah minimum sampai saat
ini belum pernah mencapai KHM karena dalam proses penetapan upah minimum tidak
mendasarkan perhitungan ekonomis semata atau hanya mendasarkan data – data atau
angka – angka yang telah diperoleh di lapangan, tetapi pengambilan keputusan
lebih cenderung menggunakan pendekatan kompromis agar kepentingan buruh dan
kepentingan pengusaha tidak benturan, sehingga hasil akhir penetapan upah
minimum apapun hasilnya harus diterima semua pihak.
Data KHM yang ada di Kabupaten / Kotamadya tetap
diperlukan serta tetap menjadi salah satu bahan dalam pembahasan penetapan upah
minimum, namun data tersebut sering tidak dapat dipergunakan sebagai patokan
baku karena adanya penafsiran antara satu daerah dengan daerah lainnya.
Khususnya perbedaan penafsiran materi komponen khususnya yang berstandar
kualitas sedang. Di lapangan banyak barang yang justru tidak ada di pasaran
atau tidak banyak digunakan oleh pekerja dalam keseharian, demikian halnya
terhadap produk – produk tertentu sudah agak sulit ditemukan.
SOLUSI
Penetapan upah minimum merupakan langkah pemerintah dalam upaya
meningkatkan pendapatan upah buruh yang secara realistis dapat meningkatkan
pendapatan buruh. Namun karena upah minimum tersebut hanya satu dari sekian
banyak produk kebijaksanaan pemerintah maka ada kecenderungan kurang efektif
untuk mencapai sasaran. Agar produk kebijaksanaan pemerintah bisa dapat lebih
efektif hendaknya perlu dilakukan :
1.
Sinkronisasi
Kebijaksanaan yang terkait satu dengan
lainnya, tidak sebagaimana saat ini walaupun upah buruh telah dinaikkan namun
pada saat yang tidak berbeda atau bersamaan pemerintah menaikkan harga- harga kebutuhan barang yang masih menjadi
tanggung jawab pemerintah, seperti BBM, listrik, biaya transportasi, dan lain
sebagainya, sehingga kenaikan upah tenaga kerja secara riil tidak dapat
dinikmati.
2.
Jamsostek
Merubah sistem jaminan sosial
ketenagakerjaan, sehingga buruh korban PHK dan buruh pensiunan akan mendapat
tunjangan layak dari Jamsostek. Pemerintah dilarang mengambil keuntungan apapun
dari Jamsostek, bahkan sebaliknya.
REFERENSI
Dahrendof, Rafi, Konflik dalam
Masyarakat Industri, Rajawali Pers, Jakarta. 1986.
Departemen Tenaga Kerja RI, Profil
Ketenagakerjaan di Indonesia, Jakarta, 1999.
Hasibuan, Sayuti, Ekonomi Sumber Daya Manusia, Teori dan Kebijakan, LP3ES, Jakarta,
2000.
James, Philip dan Cowling, Alan. The Essence of Personnel Management and
Industrial Relations (Manajemen Personalia dalam Hubungan Industrial), Andi
Yogyakarta, 1996.
Kertonegoro, Pengupahan (Wages), Yayasan Tenaga Kerja Indonesia, Jakarta, 1999.
Sentanoe Kartonegoro, Pengupahan Teori, Hukum, dan Manajemen, Yayasan
Tenaga Kerja Indonesia, Jakarta, 2010, H. 31-32.
Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja
Nomor 81 / 1995 tentang Penetapan Komponen Kebutuhan Hidup Minimum
Makalah ini cuma versi sampel aja
Jadi belum lengkap isinya
Untuk versi lengkap atau
mau bikin makalah judul lain
Request aja
Diana -o85868o39oo9
Dijamin beres dan ga pake repot
Thanks